• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRINSIP AJARAN ISLAM DALAM PENERAPAN EKONOM

E. JUAL BELI 1 Pengertian

Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-ba’I yang menurut bahasa berarti pertukaran sesuatu dengan sesuatu. (Abd.Rahman:2008) Menurut mazhab hanafiyah jual beli adalah pertukaran harta (maal) dengan harta menggunakan cara tertentu. Pertukaran harta dengan harta disini , diartikan harta yang memiliki manfaat serta terdapat kecenderungan manusia untuk menggunakannya, dengan cara sighat atau ungkapan ijab dan qabul. (belajar

Syari’ah:2014)

2. Dasar hukum jual beli

Jaul beli sebagai sarana tolong menolong antara sesame umat manusia mempunyai landasan dari Al-Qur’an dan Assunnah. Masalah ini dijelaskan Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 275 dan 198.

َْا ٰو ب ِّ رلٱَ مَّر ح وَ عۡي بۡلٱَُ َّلِلّٱََّل ح أ و َۚ

َ

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

َۡمُڪِّ بَّرَنِّ مَ لَ ۡض فَْاوُغ تۡب تَن أٌَحا نُجَ ۡمُڪۡي ل عَ سۡي ل َۚ

َ

Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”.

Dalam QS.An-Nisa’ (4) ayat 29 juga disebutkan,

َۡمُكنِّ مَ ٍضا ر تَن عَ ة رٰـ جِّتَ نوُك تَن أَٓ َّلَِّإ َۚ

َ

“Kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”

Diriwayatka oleh Rifa’ah, Rasulullah saw ditanya oleh seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) yang paling baik. Rasulullah saw menjwab; usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati.” (HR. Al-Bazzar dan Hakim)

Maksudnya jual bei yang jujur tanpa ada kecurangan, maka akan mendapat berkah dari Allah SWT.

Dari riwayat lain disebutkan,“Jual beli itu didasarkan atas suka sama suka.”(HR. Al- Baihaqi, Ibn Majah dan Ibn Hibban)

Dari penjelasan ayat-ayat dan hadis di atas menyatakan bahwa hukum asal jual beli adalah mubah (boleh). Tetapi pada situasi-situasi tertentu hukum mubah menjadi wajib menurut Imam al-Syathibi. Contoh ketika terjadi ihtikar (penimbunan sehingga menghilangnya stok barang di pasaran) maka, pihak pemerintah boleh pedagang untuk menjual barangnay dengan harga disesuaikan dengan harga sebelum melonjak.

3. Rukun dan Syarat

Rukun jual beli ada empat yaitu;

75

b. Shigat (lafal ijab dan kabul)

c. Ada barang yang dibeli

d. Ada nilai tukar pengganti barang (Abdurrahman:2009) Adapun syarat jual beli menurut jumhur ulama sebagai berikut: a. Syarat orang yang melakukan jual beli harus berakal

b. Syarat yang terkait ijab Kabul, adanya kerelaan keduaa belah pihak. Di zaman modern ini wujud ijab Kabul tidak lagi diucapkan, tetapi dilakukan dengan sikap mengambil barang dan membayarnya oleh pembeli, serta menerima uang dan menyerahkan baranya oleh penjual. Seperti di swalayan.

c. Syarat barang yang diperjual belikan. Barangnya ada, dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia, milik seseorang, dan boleh diserangkan langsung atau sesuai perjanjian transaksi.

d. Syarat nilai tukar (harga barang). Merupakan syarat terpenting dalam jual beli yaitu uang. Terkait dengan harga barang para ulama’ membedakan menjadi 2: al- atsman (harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat secara actual) dan al-si’r (modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke konsumen). Oleh sebab itu harga yang sering dipermainkan oleh pedagang adalah al-tsaman.

4. Bentuk-bentuk jual beli yang dilarang

Jual beli yang dilarang terbagi dua; pertama, jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syaratnya. Kedua, jual beli yang memenuhi syarat dan rukun, tetapi ada beberapa factor menghalangi kebolehannya. Diantaranya:

a. Jual beli barang haram, najis, atau tidak boleh diperjual belikan. Sesuai hadis nabi yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan memakan sesuatu

maka, dia mengharamkan juga memperjualbelikannya.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Riwayat kedua, berbunyi,” Sesungguhnya Allah dan Rasulnya mengharamkan

menjual arak, babi dan berhala.” (HR. Bukhari dan Muslim)

b. Jual beli yang belum jelas. Jual atau membeli sesuatu yang bersifat spekulasi, karena bisa merugikan salah satu pihak. Contoh: membeli buah-buahan yang

belum tampak hasilnya. Sabda Rasul berbunyi,’Dari Annas bin Malik ra. Bahwa

Rasulullah saw melarang menjual buah-buahan sehingga tampak dan matang.” (Hadis disepakati Bukhari-Muslim)

c. Jual beli bersyarat. Jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan dengan jual beli. Contoh: mobilmu akan aku beli dengan harga sekian asal anakmu menjadi istriku, dll.

d. Jual beli yang mengandung kemudharatan. Seperti jual beli patung, salib, dan buku-buku bacaan porno. Yang dikhawatirkan dengan membelinya akan berakibat kemaksiatan atau kemudharatan.

e. Jual beli karena aniaya. Seperti menjual anak binatang yang masih butuh induknya. Rasulullah bersabda:”Barang siapa memisahkan antara induk dan

76

anaknya, nanti Allah akan memisahkan dari orang-orang yang dicintainya pada

hari kiamat.”(HR. Ahmad)

f. Jual beli dari orang yang masih dalam tawar- menawar. Dalam hadis yang

diriwyatkan oleh muttafaqun’alai, Rasulullah bersabda,” Janganlah menjual

sesuatu yang telah dibeli orang lain.”

g. Jual beli dengan menghadang dagangan di luar pasar, dengan maksud memperoleh harga yang lebih murah kemudian dijual dengan harga murah pula,

sehingga merugikan pedagang yang lain. Rasulullah saw bersabda,”Janganlah kalian menghadang barang yang dibawa dari luar kota. Barang siapa menghadang lalu ia membeli barang darinya lalu yang punya barang datang ke

pasar, maka dia mempunyai hak khiyar.”

h. Membeli barang dengan memborong bertujuan untuk menimbun,kemudian dijual saat harga tinggi disebabkan kelangkaannya. Sabda Rasullullh

saw,”Saudagar itu diberi rizki, sedangkan yang menimbun itu dilaknat.” (HR.Ibn Majjah dan Hakim)

i. Jual beli barang rampasan atau curian. Bila sang pembeli sudah tahu itu barang hasil curian maka keduanya bekerjasama dalam dosa. Diriwayatkan oleh Baihaqi, Rasulullah bersabda,”Barang siapa yang membeli barang hasil curian sedangkan

ia tahu bahwa barang curian maka ia ikut dalam dosa dan kejelekan.”

5. Jual Beli Kredit

Kredit adalah sesuatu yang dibayar berangsur-angsur, baik berupa jual beli atau pinjaman. Masalah jual beli kredit ada dua pendapat. Mengharamkan karena ada dua akad dalam transaksinya, seperti dalam satu riwayat dari Abu Huroiroh:

”Barang siapa yang melakukan dua transaksi jual beli dalam satu transasi jual

beli, maka dia harus mengambil harga yang paling rendah, kalau tidak akan

terjerumus pada riba.” (HR. Ahmab dan Abu Dawud)

Yang dimaksud dua transaksi dalam satu akad jual beli disini adalah tidak boleh membuat akad tunai dan akad tunda (bayar angsur) dalam satu transaksi, harus dipilih salah satu. Pilih perjanjian tunai atau tunda. Atau sistem kredit segitiga, yakni kredit dengan adanya pihak ketiga (pemilik barang, pembeli dan lembaga pembiayaan). Contoh kasus, Dalam sebuah showroom dealer sepeda motor, dipajang sebuah motor dengan harga 10 juta tunai dan 17 juta kredit. Datang pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil (kredit). Setelah deal transaksi, beliau akan diminta mengisi formulir plus tanda tangan, dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka.

Setelah akad jual-beli ini selesai dan pembeli-pun membawa pulang motor yang dibeli, selanjutnya beliau berkewajiban menyetorkan uang cicilan motor ke bank atau lembaga pembiayaan, dan bukan ke dealer tempat ia mengadakan transkasi dan menerima motor yang dibeli.

Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa Pak Ahmad harus membayarkan cicilannya ke bank atau lembaga pembiayaan, bukan ke dealer tempat ia bertransaksi dan menerima motornya?

77

Jawabannya sederhana, karena Bank atau lembaga pembiayaan telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak dealer, yang intinya, bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank berkewajiban melunasi harga motor tersebut, konsekwensinya pembeli secara otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya. Praktik semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan

hawalah, yaitu memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu. Pada dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syariat. Akan tetatpi permasalahannya menjadi lain, tatkala hawalah digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu transaksi. Bila kita mencermati kredit segitiga yang dicontohkan di atas, dapat dipahami dari dua sudut pandang:

Pertama, Bank mengutangi pembeli motor tersebut Rp 10 juta, dalam bentuk Bank langsung membayarkannya ke dealer. Kemudian pak Ahmad dituntut untuk melunasi cicilan piutang Rp 17 juta tersebut ke bank. Bila demikian yang terjadi, maka transaksi ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah). Tujuh juta yang menjadi tambahan adalah riba yang diserahkan ke bank. Hukum transaksi ini terlarang, sebagaimana ancaman dalam hadis dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah SAW telah melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Beliau juga

bersabda: “Mereka semua dosanya sama.” (HR. Muslim)

Kedua, Bank membeli motor tersebut dari dealer dan menjualnya kembali kepada pak Ahmad. Hanya saja bank sama sekali tidak menerima motor tersebut. Bank hanya mentransfer sejumlah uang seharga motor tunai, kemudian pembeli membayar cicilan ke bank. Bila realita bank membeli motor ini benar, maka Bank telah menjual motor yang dia beli sebelum menerima motor tersebut. Sehingga Bank atau lembaga pembiayaan telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan atas nama pembeli, dan bukan atas nama bank yang kemudian dibalik nama ke pembeli. (Muhammad Arifi:2011

Membolehkan dengan prinsip murabahah. Kata murabahah berasal dari lafadz

rabaha-turabihu-murabahah artinya mengambil keuntungan dalam operasionalnya. Dalam praktiknya murabahah identik dengan jual beli kredit, yang harganya sudah ditambah dari harga tunai.

Kebolehannya dengan argument pihak penjual telah menunaikan kewajibannya memberikan barangnya, sedang pihak pembeli belum menunaikan kewajibannya membayar dengan tunai atau ditangguhkan. Seandainya pihak pembeli tunai membayarnya pastilah uang tersebut bisa segera diputar untuk transaksi dengan pembeli lainnya. Maka karena penangguhan itu penjual memberikan harga tambahan asalkan ada akad di awal transaksi. Firman Allah;

َ تَن عَ ة رٰـ جِّتَ نوُك تَن أَٓ َّلَِّإَِّلِّطٰـ بۡلٱِّبَمُڪ نۡي بَمُك لٲ و ۡم أَْا ٓوُلُڪۡأ تَ لََْاوُن ما ءَ نيِّذَّلٱَا هُّي أٰٓـ ي َۡمُكنِّ مَ ٍضا ر َۚ َ سُفن أَْا ٓوُلُتۡق تَ لَ وَ َۡمُك َۚ َ َّلِلّٱََّنِّإَ َ ا مي ِّح رَ ۡمُكِّبَ نا ك َ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya

Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS.An-Nisa’, 4:29)

Bisa disimpulkan jual beli kredit yang diperolehkan apabila: pertama, harga barang ditentukan jelas dan pasti. Kedua, pembearan cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran. Ketiga, harga semula yang sudah disepakati bersama

78

tidak boleh dinaikkan lantaran pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan terjadi riba. Keempat, penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli dengan member harga terlalu tinggi dari harga pasar yang berlaku. Diperkuat dengan firman Allah;

َُهوُبُت ۡڪٱ فَى م سُّمٍَل ج أَ ٰٓى لِّإٍَنۡي دِّبَمُتن يا د تَا ذِّإَْا ٓوُن ما ءَ نيِّذَّلٱَا هُّي أٰٓـ ي َۚ

َ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (al-Baqarah, 2: 282)

6. Melaksanakan jual beli yang benar dalam kehidupan

Jual beli merupakan bagian dari ta’awun (tolong-menolong). Bagi pembeli menolong penjual yang membutuhkan uang (keuntungan), bagi penjual menolong pembeli yang membutuhkan barang. Bahkan rasulullah bersabda penjual yang jujur dan benar kelak di akhirat akan di tempatkan bersama para nabi, syuhada, dan orang shaleh. Hal ini menunjukkan tingginya niali kejujuran dalam berdagang. Jadi usaha yang baik dan jujur akan mendatangkan keuntungan , kebahagiaan, dan ridha Allah SWT.