• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sinergi Ilmu dan Pengintegrasiannya dengan Nilai dan Ajaran Islam

ETIKA PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN IPTEKS DALAM PANDANGAN ISLAM

1. Sinergi Ilmu dan Pengintegrasiannya dengan Nilai dan Ajaran Islam

Integrasi sinergis antara ajaraan Islam dan ilmu pengetahuan secara konsisten akan menghasilkan sumber daya yang handal dalam mengaplikasikan ilmu yang dimiliki dengan diperkuat oleh spiritualitas yang kokoh dalam menghadapi kehidupan. Islam tidak lagi dianggap sebagai agama yang kolot, melaikan sebuah kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri di berbagai bidang kehidupan, dan sebagai fasilitas untuk perkembangan ilmu dan teknologi (Turmudi, 2006).

Islam mementingkan pengembangan dan penguasaan Iptek untuk menjadi sarana ibadah-pengabdian Muslim kepada Allah SWT dan mengembang amanat khalifatullah (wakil/mandataris Allah) di muka bumi untuk berkhidmat kepada kemanusiaan dan menyebarkan rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ’Alamin). Ada lebih dari 800 ayat dalam Al-Qur’an yang mementingkan proses perenungan, pemikiran dan pengamatan terhadap berbagai gejala alam, untuk ditafakuri dan menjadi bahan dzikir (ingat) kepada

20

Allah. Dalam pengertian Islam akal bukanlah otak tetapi daya fikir yang terdapat dalam jiwa manusia untuk memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitar. Dalam Al-quran banyak sekali anjuran terhadap umat Islam untuk memnggunakan akal dalam menangkap sinyal keagungan Tuhan. Al-quran selain memiliki dimensi yang normatif juga memiliki dimensi yang menggiring manusia untuk selalu berpikir dengan menggunakan akalnya. Sebagaimana termaktub dalam QS. Al Mujadillah ayat 11: “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa

derajat.”

Dalam Al-Qur’an banyak sekali ditemukan idiom-idiom dan anjuran bagi umat Islam untuk berbuat secara empirik-praktis dengan cara meneliti, mencari data dari alam sekitar semisal pergantian malam dan siang, proses kehidupan biologis, dan misteri alam semesta. Penggunaan akal dalam Islam tidak hanya bersifat teoritis tetapi telah dipraktekkan dalam sejarah pembangunan peradaban Islam. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Alaq ayat 1:

َ ق ل خَىِّذَّلٱَ كِّ ب رَِّمۡسٱِّبَۡأ رۡقٱ َ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan.” (Q.S. Al-Alaq [96]: 1).

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa umat manusia diperintahkan untuk

“membaca”. Sebuah perintah yang diidentikkan dengan pengamatan manusia terhadap

ayat-ayat Allah, baik secara Qouliyyah ataupun Kauniyah yang pada akhirnya dapat memahami kehendak Tuhan yang termanifestasikan dalam aturan alam. Kegiatan pengamatan inilah, merupakan cikal bakal perenungan manusia untuk menemukan konsep ilmu pengetahuan yang strukturnya dibentuk oleh akal tanpa melupakan Agama.

Kesadaran masa itu dapat kita sebut dengan kesadaran integratif-holistik, artinya tidak ada batas pembeda antara ilmu agama dan ilmu non-agama. Karena dua elemen ini diyakini sebagai sarana untuk menemukan anugerah dan keagungan Tuhan yang menjelma dalam alam ciptaannya. Namun, tentu saja kesadaran itu tidak hanya tumbuh karena tekanan sosiologis dan politis semata. Faktor pembentuk yang disadarkan pada motivasi teologis di mana Islam sangat menganjurkan penggunaan akal, juga berperan dalam membangun kesadaran ilmiah tersebut.

Secara aksiologis pengembangan ilmu pengetahuan pada masa kejayaan itu memiliki dua karakteristik. Pertama, kesadaran untuk menjadikan ilmu pengetahuan sebagai pembentuk peradaban. Pengembangan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh umat Islam saat itu diarahkan untuk membangun peradaban yang lebih unggul dari peradaban di sekitarnya. Umat Islam meyakini bahwa Islam tidak hanya berposisi sebagai agama tetapi juga sebagai kebudayaan dan peradaban.

Corak kedua, munculnya kesadaran bahwa semakin umat Islam mempelajari ilmu pengetahun semakin dekat pula ia merasakan keagungan Tuhan. Menurut Sayyed Hossien Nasr bahwa pengembangan ilmu yang dilakukan oleh ulama klasik ini tidak hanya dijiwai oleh jiwa ilmiah tetapi juga untuk menyatakan hikmat pencipta dalam ciptaannya. Motivasi seperti itulah yang membangkitkan ghairah umat Islam dalam mengkaji ilmu pengetahuan yang tidak terkotakkan dengan ilmu agama dan umum (Nasr, 2003). Sebagaimana Firman Allah berikut:

ا رۡبُخَِّهۡي د لَا مِّبَا نۡط ح أَۡد ق وَ كِّلٲ ذ ك َ

“Demikianlah. dan Sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya.” (Q.S.

21

Berdasar dua karekteristik di atas dapat dilihat Islam menempatkan pengembangan sains tidak sebagai pengembangan ilmu murni tetapi sebagai sains instrumental yang menjamin terhadap bangunan kesadaran yang mantap dan kebudayaan yang mapan.

Bagi umat Islam, kedua-duanya adalah merupakan ayat-ayat (atau tanda- tanda/sinyal) KeMahaKuasaan dan Keagungan Allah SWT. Ayat tanziliyah/naqliyah (yang diturunkan atau transmited knowledge), seperti kitab-kitab suci dan ajaran para

Rasulullah (Taurat, Zabur, Injil dan Al Qur’an), maupun ayat-ayat kauniyah (fenomena, prinsip-prinsip dan hukum alam), keduanya bila dibaca, dipelajari, diamati dan direnungkan, melalui mata, telinga dan hati (qalbu atau akal) akan semakin mempertebal pengetahuan, pengenalan, keyakinan dan keimanan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, Wujud yang wajib, Sumber segala sesuatu dan segala eksistensi).

Berdasar fenomena tersebut di atas, ajaran Islam dan ilmu pengetahuan, tidak terlepas satu sama lain. Ajaran Islam dan ilmu pengetahuan adalah dua sisi koin dari satu mata uang koin yang sama. Keduanya saling membutuhkan, saling menjelaskan dan saling memperkuat secara sinergis, holistik dan integratif. Pengetahuan yang dilimpahkan kepada manusia, tidak akan bermakna tanpa dilandasi iman yang benar. Iman tanpa ilmu seperti orang buta, sebaliknya ilmu tanpa iman dapat menjadi bumerang yang dapat menghancurkan diri sendiri maupun orang lain.

Oleh karena itu, manusia tidak hanya bisa mengandalkan kecerdasan intelektual sebagai representasi potensi manusia dalam menemukan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi kecerdasan spiritual yang bermanfaat membimbing manusia tetap berada pada jalur yang benar juga menjadi bagian yang sangat penting. Demikian pula dalam praktek kehidupan manusia sering ditemukan seseorang bisa berbuat bodoh atau jahat padahal ia termasuk orang-orang intelek. Sarjana hukum misalnya, melakukan rekayasa hukum dengan cara-cara yang sangat professional sehingga mengetahui celah- celah melakukan pelanggaran hokum. Seorang ahli di bidang ekonomi tetapi paling hebat dalam hal manipulasi dan koruspsi. Seorang yang mengaku paham tentang agama tetapi perilakukan menyimpang dari nilai-nilai agama. Di sejumlah Negara sekuler terjadi kasus bunuh diri missal yang dilakukan oleh sekelompok intelektual, menjadi indicator bahwa ilmu yang dimiliki tidak mampu memecahkan masalah hidupnya. Seorang hakim atau jaksa yang ahli dikenal profesional karena keluasan ilmunya, tetapi masih mau menerima suap. Seorang pendidik yang seharusnya menjadi teladan yang melindungi mereka, tetapi masih ada kasus pelecehan seksual terhadap anak didiknya sendiri.

Sejumlah kasus di atas dengan mudah dapat ditemukan di berbagai media, artinya telah menjadi fenomena di masyarakat. Patologi (penyakit) sosial ini akan menjadi tradisi yang habitual (terbiasa) dan sulit untuk diputus mata rantainya jika tidak ada kesadaran untuk melakukan perubahan. Hal ini disebabkan oleh lepasnya iman dan ketaqwaan seseorang dari ilmu sebagai anugerah Allah. Mereka tidak menyadari bahwa Allah membagikan anugerah ilmu kepada manusia agar dapat mensyukurinya dalam bentuk ketundukan (taslim), kepatuhan (ta’at), meghindarkan diri dari maksiat terhadap Allah.