• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis ini ditujukan untuk membuktikan apakah kemitraan usaha garam rakyat yang berjalan saat ini memiliki kinerja yang menunjukkan tercapainya efisiensi bagi para pelaku yang terlibat. Analisis kinerja kelembagaan kemitraan terdiri dari analisis pendapatan, analisis ekonomi kelembagaan dan kinerja pemasaran.

Analisis Pendapatan Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Rembang Usaha garam rakyat merupakan mata pencaharian utama mayarakat pesisir di Kabupaten Rembang. Dalam rantai nilai usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang meliputi petani garam, pedagang perantara, perusahaan pengolahan garam, agen dan pengecer serta pedagang pengumpul besar. Pada penelitian ini lingkup rantai nilai hanya meliputi petani garam, pedagang perantara, perusahaan pengolahan dan pedagang pengumpul besar

Pendapatan Usaha Petani garam

Pendapatan petani garam dibedakan atas pendapatan pemilik lahan sekaligus penggarap dan pendapatan pemilik lahan yang melakukan bagi hasil dengan penggarap. Pendapatan merupakan hasil akhir yang diperoleh petani sebagai bentuk imbalan atas pengelolaan sumberdaya yang dimiliki dalam usahanya. Oleh karena itu petani harus mampu melakukan tindakan efisiensi dalam menggunakan sumberdaya dimana total penerimaan harus melebihi dari total pengeluaran. Penerimaan yang diperoleh petani garam merupakan nilai dari total produksi garam yang dihasilkan petani dalam satu musim (6 bulan) dengan asumsi luasan lahan per 1hektar. Dalam menganalisis penerimaan petani garam asumsi yang digunakan bahwa garam yang dihasilkan petani seluruhnya dijual. Petani menjual dengan bentuk garam krosok. Kualitas yang dihasilkan petani sebagian besar adalah kualitas 2, sehingga dalam analisis ini penjualan garam berupa garam kualitas 2.

Berdasarkan data yang diperoleh, hasil panen rata-rata yang diperoleh responden pemilik lahan sekaligus penggarap pada musim garam yaitu bulan Juli hingga November 2012 (5 bulan) sebesar 66.67 ton per hektar. Tingkat produksi rata-rata sekali panen 1.67 ton per hektar dan dalam satu musim panen dapat dilakukan sebanyak 40 kali panen. Tingkat harga rata- rata garam yang diperoleh pemilik lahan sekaligus penggarap sebesar Rp304 167per ton sehingga total penerimaan yang diperoleh sebesar Rp 20 277 778. Total pengeluaran dalam satu musim sebanyak Rp 15 368 679 yang terdiri dari pembuatan saluran dan tanggul (12.74%), tenaga kerja pengelolaan lahan (46.36%), tenaga kerja pemanenan (12.62%), pembelian solar (12.09%), pajak lahan (0.72%), pemeliharaan peralatan (5.75%) dan biaya penyusutan gudang dan peralatan (9.72%). Total pendapatan yang diperoleh responden petani pemilik sekaligus penggarap contoh permusimnya sebesar Rp4 909 099. Secara rinci analisis pendapatan petani pemilik sekaligus penggarap dapat dilihat pada Lampiran 5

Penerimaan yang diperoleh pemilik lahan yang melakukan pola kerjasama bagi hasil dengan penggarap menerima bagian 1:1. Berdasarkan data responden penggarap rata-rata tingkat produksi garam sebesar 1.56 ton per panen per hektar dengan jumlah panen dalam satu musim sebanyak 40 kali sehingga total produksi garam permusimnya yang diperoleh penggarap sebesar 62.50 ton. Pemilik lahan menetapkan harga beli garam kepada penggarap sebesar Rp 294 643 sehingga total penerimaan yang diperoleh penggarap sebesar Rp 18 415 179, dengan sistem bagi hasil maka penggarap harus menyerahkan setengah penerimaanya kepada pemilik lahan, sehingga penerimaan yang diperoleh hanya sebesar Rp 9 207 589. Total pengeluaran yang dibebankan penggarap terdiri dari pembayaran 1 orang tenaga kerja yang membantu penggarap mengelola lahan (25.83%), pembelian solar untuk menjalankan mesin diesel yang berguna untuk mengalirkan air laut

dari saluran ke petakan (6.75%) dan biaya pemeliharaan peralatan (4.51%). Biaya pengeluaran terbesar adalah nilai bagi hasil yang diberikan kepada pemilik lahan (62.91%). Pendapatan rata-rata responden petani penggarap sebesar Rp 3 779 687 per musimnya. Analisis pendapatan petani penggarap dapat dilihat pada Lampiran 7.

Pemilik lahan memperoleh penerimaan jauh lebih besar dari penggarap yaitu Rp 20 312 500, hal ini disebabkan pemilik memperoleh nilai jual garam ke pedagang perantara lebih besar dibandingkan nilai penjualan yang diperoleh penggarap dari pemilik lahan. Rata-rata penjualan garam dari responden pemilik sebesar Rp 325 000 per tonnya. Posisi tawar yang dimiliki pemilik lahan kepada pedagang perantara jauh lebih baik karena tidak adanya ikatan hutang, pemilik lahan bisa memilih pedagang perantara yang mau menawarkan harga lebih tinggi. Pengeluaran yang dibebankan pedagang pemilik terdiri dari pengeluaran untuk menormalisasi saluran air (13.72%), pajak lahan (0.74%), pembayaran bagi hasil untuk penggarap (63.17%), pembelian solar (6.78%) dan biaya penyusutan (15.59%). Pengeluaran atas pembelian solar diasumsikan dibagi dua antara pemilik lahan dan penggarap. Pendapatan rata-rata yang diperoleh pemilik lahan setiap tahunnya sebesar Rp 5 737 201. Analisis pendapatan pemilk lahan dapat dilihat pada Lampiran 7.

Selisih biaya yang dikeluarkan petani pemilik maupun petani penggarap tidak berbeda jauh karena dalam sistem bagi hasil, pemilik hanya menyerahkan tanggung jawab kepada satu orang penggarap untuk mengelola lahan hingga pemanenan, namun untuk mengelola 1 hektar lahan penggarap tidak bisa bekerja sendiri sehingga perlu melibatkan 1 orang tenaga kerja tambahan untuk membantunya selama persiapan hingga pemanenan kurang lebih 6 bulan. Upah kerja atas tenaga kerja tambahan menjadi tanggung jawab dari penggarap itu sendiri. Umumnya tenaga kerja tersebut masih merupakan kerabat atau tetangga terdekat. Pembayaran upah dilakukan pada saat penggarap menerima bagi hasil dari pemilik lahan. Analisis pendapatan petani garam dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Analisis pendapatan atas biaya total petani garam di Rembang

No Uraian Satuan Petani Pemilik

sekaligus penggarap Petani penggarap Petani Pemilik lahan

1 Produksi ton/ha/ musim 66.67 62.50 62.50

2 Harga jual garam Rp/ton 304 167 294 643 325 000 3 Nilai Produksi Rp/musim 20 277 778 18 415 179 20 312 500 4 Biaya Total Rp/ha/musim 15 368 679 14 635 492 14 575 299 5 Pendapatan Rp/tahun 4 909 099 3 779 687 5 737 201

6 R/C 1.32 1.26 1.39

Tabel 14 memperlihatkan pendapatan terkecil diperoleh penggarap dan pendapatan terbesar diterima oleh pemilik lahan. Dengan pendapatan penggarap hanya sebesar Rp 3 779 687 maka dalam 1 musim (6 bulan) pendapatan petani penggarap hanya sebesar 629 948 per bulan. Nilai ini masih jauh dari standar UMR Kabupaten Rembang pada tahun 2012 sebesar Rp 816 000. Hasil ini memperkuat pendapat Satria (2011) yang menyatakan petani garam hidup

dibawah garis kemiskinan. Dengan tingkat pendapatan tersebut sulit bagi petani untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga termasuk juga untuk pendidikan dan kesehatan. Rendahnya pendapatan yang diperoleh petani disebabkan harga jual garam yang sangat rendah ditingkat petani. Adanya asimetris informasi terutama informasi harga dan perilaku oportunis dari pelaku pasar menyebabkan pasar gagal memberikan distribusi pendapatan yang adil kepada petani garam.

Adanya intervensi pemerintah berupa kebijakan harga dasar garam untuk kualitas dua sebesar Rp 550 000 perton tidak berjalan efektif di Kabupaten Rembang, faktanya harga rata-rata garam kualitas dua ditingkat petani di Kabupaten Rembang pada tahun 2012 hanya sekitar Rp 300 000 hingga Rp 350 000 per tonnya. Tidak efektifnya penerapan harga dasar di Kabupetan Rembang disebabkan belum adanya kelembagaan yang mampu mengontrol harga garam dan lemahnya pengawasan dan mekanisme penegakan/sanksi bagi pelaku pasar. Saat ini harga garam ditentukan penuh oleh pelaku yang bergerak dijalur pemasaran.

Berdasarkan tingkat keuntungan relatif dilihat dari nilai R/C seperti yang ditunjukkan pada Tabel 14, dimana masing-masing petani memperoleh keuntungan, namun keuntungan tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan keuntungan yang diterima pelaku usaha lainnya. Keuntungan terkecil diperoleh penggarap dan keuntungan terbesar diperoleh pemilik lahan. Setiap pengeluaran yang dilakukan masing-masing petani sebesar Rp 1000 maka penggarap memperoleh penerimaan sebesar Rp 1 260, pemilik lahan sebesar Rp Rp 1 390 dan pemilik lahan sekaligus penggarap sebesar Rp 1 320. Komparasi keuntungan dari ketiga petani garam dapat disimpulkan bahwa kemitraan yang dilakukan antara pemilik lahan dengan penggarap belum memberikan keuntungan yang proporsional karena keuntungan yang diterima penggarap lebih kecil dibandingkan pemilik lahan. Sementara bagi pemilik lahan sekaligus penggarap memiliki keuntungan lebih rendah dibandingkan pemilik lahan yang tidak menggarap lahannya, karena adanya ikatan pinjaman sehingga pedagang perantara mampu menekan harga, sedangkan bagi pemilik lahan tidak adanya ikatan pinjaman memberikan kekuatan tawar yang jauh lebih baik dan dapat memilih pembeli yang mau membeli garam dengan harga lebih tinggi.

Berdasarkan Tabel 14 dapat disimpulkan bahwa dalam mata rantai usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang, penggarap merupakan pihak yang paling kecil mendapatkan keuntungan baru berikutnya petani yang memiliki lahan sempit yang menggarap lahannya sendiri dan pemilik lahan. Penggarap sangat tergantung dan ditentukan secara sepihak oleh pemilik, mereka hanya memiliki hak untuk memproduksi garam dengan kewajiban menyerahkan sepenuhnya hak penjualan kepada pemilik dan pemiliklah yang menentukan harga. Adapun pemilik lahan sekaligus penggarap hanya dapat menjual pada pedagang perantara tertentu dan pedagang tersebut cenderung menentukan harga secara sepihak. Pendapatan Usaha Pedagang Perantara

Pedagang perantara memasok kebutuhan bahan baku dari petani ke perusahaan pengolahan atau ke pedagang pengumpul besar. Umumnya 1 orang pedagang perantara bekerjasama dengan 10-15 petani yang berada di 2-3 desa. Pedagang perantara contoh membeli garam langsung ditambak-tambak petani atau gudang petani setiap 4-5 kali dalam sebulan selama musim panen garam (5

bulan). Rata-rata total penjualan garam yang dilakukan pedagang perantara pertahunnya sebesar 1083 ton dengan harga rata-rata penjualan pedagang perantara contoh ke perusahaan pengolahan sebesar Rp458 333 per ton, sehingga rata-rata penerimaan yang diperoleh per tahunnya sebesar Rp 496 375 000. Selain itu pedagang perantara memperoleh penerimaan tidak tunai dari penimbunan garam sebesar 500 ton yang akan dijual pada saat harga garam tinggi yaitu pada saat harga mencapai Rp 550 000 per tonnya, sehingga penerimaan tidak tunai sebesar Rp 275 000 000. Total penerimaan yang diperoleh pedagang perantara setiap tahunnya mencapai Rp 771 375 000.

Pedagang perantara melakukan proses grading, pengemasan dan pendistribusian garam dari tambak petani ke gudang kemudian setelah sesuai dengan kuantitas tertentu garam didistribusikan ke gudang pabrik pengolahan. Garam krosok yang dibeli dari petani dikemas dalam karung. Biaya pengangkutan garam berbeda tergantung jauh dekat lokasi tambak dengan jalan raya, apabila dekat dengan jalan raya biaya angkut dan pengemasan untuk 1 ton garam sebesar Rp 18 000, sedangkan apabila lokasi jauh sebesar Rp 20 000. Rata- rata biaya pengangkutan dan pengemasan yang dibayarkan repsonden pedagang perantara sebesar Rp 18 667 per tonnya. Total biaya yang dikeluarkan untuk pengangkutan dan pengemasan per tahunnya sebesar Rp 20 216 361 (3.89%).

Komponen biaya terbesar adalah pembelian garam dari petani. Harga rata- rata pembelian garam ditingkat petani per tonnya sebesar Rp 307 937 dengan total pembelian permusim sebanyak 1583 ton maka total pengeluaran untuk pembelian garam dari petani sebesar Rp 487 463 492 (93.89%). Komponen biaya lainnya yang harus dikeluarkan meliputi biaya tunai yang terdiri atas biaya rata-rata pembelian karung sebesar Rp744 563 (0.14%). Transaksi pembelian garam dari petani dilakukan setiap seminggu sekali dalam kurun waktu 5 bulan. Setiap kali pengiriman dari gudang ke gudang milik industri menghabiskan biaya bahan bakar sekitar Rp 200 000 per bulan, sehingga total biaya bahan bakar yang dikeluarkan untuk aktivitas pengiriman garam ke gudang industri sebanyak Rp 4 050 000 (0.78%). Rincian biaya produksi yang dikeluarkan oleh pedagang perantara dapat dilihat pada Lampiran 9.

Biaya yang diperhitungkan berupa biaya penyusutan peralatan sebesar 8 487 333 (1.63%). Peralatan yang digunakan oleh pedagang perantara diantaranya mesin jahit sebanyak 2 unit, genset untuk menyalakan mesin jahit, genset sangat dibutuhkan pedagang perantara karena proses pengemasan berlangsung di lokasi tambak dan tidak terdapat fasilitas listrik, gerobak untuk mengangkut garam ke truk, gudang sebagai sarana penyimpanan dan truk untuk mendistribusikan garam kegudang Total biaya rata-rata yang dikeluarkan oleh pedagang perantara setiap tahunnya sebesar Rp520 961 749. Hasil analisis menunjukkan tingkat pendapatan atas biaya total yang diperoleh pedagang perantara Rp 250 413 251 dengan nilai R/C 1.48. Hasil perhitungan pendapatan pedagang perantara dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Analisis pendapatan rata-rata atas biaya total dari pedagang perantara di Kabupaten Rembang

No Uraian Satuan Nilai

1 Penjualan garam ton/tahun 1083

2 Harga jual garam Rp/ton 458 333

3 Stok garam (penimbunan) Ton/tahun 500

4 Harga jual garam Rp/ton 500 000

5 Penerimaan Rp/tahun 771 375 000

6 Biaya Total Rp/tahun 520 961 749

7 Pendapatan atas biaya total Rp/tahun 250 413 251

8 R/C atas biaya total 1.48

Keuntungan relatif yang diperoleh pedagang perantara lebih besar dibandingkan keuntungan yang diperoleh petani. Hal ini membuktikan bahwa yang menikmati surplus value adalah pelaku usaha yang bergerak dijalur pemasaran bukan petani. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rochwulaningsih (2008) dimana petani (lahan sempit dan penggarap) di Kabupaten Rembang hanya diposisikan sebagai produsen yang tidak menikmati keuntungan dari hasil usahanya. Kondisi itu diperkuat lagi dengan adanya eksploitasi yang terwujud dalam bentuk relasi usaha antara penggarap dengan pemilik lahan dan antara petani kecil dengan pelaku usaha lain di jalur pemasaran dan permodalan serta dengan pabrikan sebagai produsen jadi.

Pendapatan Usaha Perusahaan Pengolahan Garam Briket dan Halus

Perusahaan pengolahan garam mengolah garam krosok menjadi garam briket dan halus. Bahan baku yang digunakan industri sebagian besar diperoleh dari pedagang perantara dan sisanya diperoleh dari lahan tambak yang dimiliki sendiri oleh perusahaan. Rata-rata produksi garam briket yang dihasilkan responden industri pengolahan sebesar 9.75 ton per hari dan produksi rata-rata untuk produk garam halus sebesar 1.50 ton per hari. Dalam setahun rata-rata produksi garam briket sebesar 2 634 ton dan garam halus 1 184 ton. Harga jual rata-rata untuk garam briket per kg sebesar Rp 1 100 dan garam halus Rp 1 200 per kg. Penerimaan yang diperoleh perusahaan pengolahan atas penjualan garam briket sebesar Rp 2 897 4000 dan garam halus sebesar Rp 1 420 800 000, sehingga total penerimaan rata-rata perusahaan pengolahan contoh setiap tahunnya sebesar Rp4 318 200 000.

Bahan baku garam krosok yang diterima oleh perusahaan pengolahan di Rembang sebagian besar adalah kualitas dua yang digunakan perusahaan untuk menghasilkan garam briket, sedangkan kualitas satu yang diperoleh dimanfaatkan untuk menghasilkan garam halus. Perusahaan pengolahan seringkali kesulitan memperoleh bahan baku garam krosok kualitas satu sehingga alternatif yang digunakan untuk tetap memproduksi garam halus adalah dengan membeli garam impor. Kelebihan garam impor dimana perusahaan tidak perlu lagi melakukan proses pengolahan seperti penyelipan dan pengovenan namun langsung dapat dikemas. Namun kelebihan yang dimiliki dari garam impor tidak merubah komitmen responden perusahaan pengolahan di Rembang untuk lebih mengutamakan garam lokal dibandingkan garam impor. Kesulitan lain untuk memperoleh kualitas satu adalah kurang baiknya proses grading yang dilakukan

pedagang perantara, sehingga pada saat bongkar muat pihak perusahaan sulit memisahkan garam yang berkualitas satu atau dua, akibatnya perusahaan menetapkan harga beli garam kepada pedagang perantara berupa kualitas dua. Harga jual rata-rata garam krosok yang dibeli perusahaan pengolahan sebesar Rp 458 333 per tonnya. Berbeda dengan kemitraan yang berlaku antara pedagang perantara dengan petani dimana pedagang yang berhak menetapkan harga, namun pada kemitraan antara pedagang dan pihak perusahaan terjadi kesepakatan harga berdasarkan kesepakatan penilaian mutu yang ditentukan bersama. Umumnya perusahaan pengolahan bermitra dengan 5-6 pedagang perantara yang memasok garam krosok 20 hingga 30 ton perminggunya. Total pembelian garam responden perusahaan pengolahan pertahunnya sebesar 4200 ton, sehingga rata-rata pengeluaran perusahaan untuk pembelian bahan baku garam krosok per tahunnya mencapai Rp 1 925 000 000 (72.62%). Alokasi pembelian bahan baku garam merupakan pengeluaran terbesar dari seluruh biaya produksi yang dikeluarkan.

Komponen pengeluaran lainnya adalah pembelian iodium. Perusahaan seringkali kesulitan memperoleh iodium karena penyediaan ioduim diatur oleh asosiasi yang tergabung dalam GAKY dan harganya cukup mahal, dimana harga untuk 1 kg iodium sebesar Rp 625 000. Setiap harinya pihak perusahaan menggunakan 1 kg iodium yang disemprotkan ke garam yang telah melalui proses pencucian. Dalam satu tahun rata-rata perusahaan pengolahan membutuhkan iodium sebesar 264 kg. Biaya yang dikeluarkan untuk pembelian iodium dalam satu tahun sebesar Rp 165 000 000 (6.22%). Bahan baku yang juga sangat diperlukan adalah plastik, kebutuhan plastik masing-masing perusahaan berbeda karena kemasan produk garam briket dan garam halus sangat beragam. Untuk garam briket dikemas dalam ukuran 1 kg dan 2 kg, begitu juga dengan garam halus. Estimasi kebutuhan plastik perharinya sebanyak 5000 buah, sehingga dalam setahun dibutuhkan 1.32 juta buah plastik dengan harga persatuan Rp 50, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk pembelian plastik dalam satu tahun sebesar Rp 66 000 000 (2.49%). Perusahaan pengolahan garam membutuhkan solar untuk digunakan dalam proses pemanasan oven dan menjalan mesin selip setiap harinya sebesar 100 liter, sehingga dalam setahun total kebutuhan solar sebanyak 24 000 liter dengan harga solar Rp 4500 per liter maka perusahaan mengeluarkan biaya untuk pembelian solar pertahunnya sebesar Rp 108 000 000 (4.07%).

Perusahaan pengolahan menerapkan upah yang berbeda bagi tenaga kerja berdasarkan tugas yang dijalankan. Upah dihitung berdasarkan jumlah hari kerja dan dibayarkan setiap minggu. Mekanisme pengupahan berdasarkan jumlah hari kerja dianggap paling efektif karena banyaknya kegiatan sosial yang menyebabkan sejumlah pekerja tidak masuk. Tenaga kerja yang bekerja di pabrik pengolahan garam sebagian besar adalah wanita dan merupakan istri petani garam. Jumlah tenaga kerja laki-laki hanya sepertiga dari keseluruhan tenaga kerja yang bertugas dibagian pengovenan, penyelipan garam dan iodisasi. Jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan garam briket 9.75 ton dan garam halus 1.50 ton sebanyak 30 orang terdiri dari 4 orang tenaga kerja pencucian dan penyelipan, 2 orang tenaga kerja iodisasi, 9 orang tenaga kerja mencetak garam dengan mesin dimana 1 mesin pencetak dikelola 3 orang, 5 orang tenaga kerja yang mencetak garam secara manual, 4 orang bekerja di ruang pemanasan, 4 orang tenaga kerja pegemasan sekaligus pengepakan dan 2 orang

tenaga kerja pengawas sekaligus administrasi. Alokasi pengeluaran untuk upah tenaga kerja sebesar Rp 317 460 000 (11. 98%)

Komponen biaya lainnya yang dikeluarkan oleh perusahaan pengolahan meliputi pembayaran pajak bumi (0.01%) dan bangunan, listrik (0.05%), serta pemeliharaan peralatan (0.94%). Pemeliharaan peralatan menjadi hal yang sangat penting karena bahan baku garam yang berasal dari air laut menyebabkan mesin sangat mudah berkarat atau rusak apabila tidak dirawat dengan baik. Sedangkan biaya yang tidak diperhitungkan yaitu biaya penyusutan mesin dan peralatan pengolahan sebesar Rp 42 479 167 (1.60%). Total biaya yang dikeluarkan oleh industri garam per tahunnya sebesar Rp 2 650 762 500. Secara rinci biaya pengeluaran yang dikeluarkan oleh perusahaan pengolahan dapat dilihat pada Lampiran 11.

Hasil perhitungan pendapatan atas biaya total yang diperoleh perusahaan pengolahan garam setiap tahunnya sebesar Rp 1 667 437 500 dan nilai R/C sebesar 1.63. Keuntungan relatif yang diperoleh jauh lebih besar dari pelaku usaha lainnya karena perusahaan melakukan aktivitas penambahan nilai terhadap produk garam yang dihasilkan. Adanya peningkatan nilai tambah maka keuntungan yang diperoleh akan semakin besar. Hasil perhitungan tingkat pendapatan perusahaan pengolahan garam dapat dilihat pada Tabel 16

Tabel 16 Analisis pendapatan rata-rata atas biaya total dari perusahaan pengolahan garam briket dan halus di Kabupaten Rembang

No Uraian Satuan Nilai

1 Penjualan garam briket ton/tahun 2 634

2 Harga jual garam briket Rp/ton 1 100 000

3 Penjualan garam halus ton/tahun 1184

4 Harga jual garam halus Rp/tahun 1 200 000

5 Penerimaan Rp/tahun 4 318 200 000

6 Biaya Total Rp/tahun 2 650 762 500

7 Pendapatan atas biaya total Rp/tahun 1 667 437 500

8 R/C atas biaya total 1.63

Pendapatan Usaha Pedagang Pengumpul Besar

Pedagang pengumpul besar berperan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengguna garam, seperti industri pupuk, pakan ternak dan pengasinan ikan. Bahan baku yang dibutuhkan sedikit berbeda dengan bahan baku yang ditawarkan pedagang perantara ke perusahaan pengolahan, terdapat spesifikasi tertentu tergantung kebutuhan dari pelanggan. Garam yang dibeli dari pedagang perantara umumnya disimpan di gudang pengumpul besar dengan kapasitas yang cukup besar. 2 responden pedagang pengumpul besar tidak memiliki gudang sendiri namun menyewa gudang milik pedagang perantara dengan alasan pembelian garam oleh pihak konsumen tidak dilakukan secara kontinyu, sehingga dengan menyewa jauh lebih efesien. Proses pengiriman garam biasanya dilakukan 1 bulan sekali selama musim garam (5bulan). Rata-rata penjualan garam dari pedagang pengumpul besar contoh pertahunnya sebesar 967 ton dengan harga rata-rata penjualan garam per tonnya mencapai Rp 666 667, sehingga rata-rata total penerimaan pedagang pengumpul besar setiap tahunnya sebesar Rp644 000 000.

Pedagang pengumpul besar memperoleh harga beli garam per tonnya dari pedagang perantara jauh lebih murah (Rp 383 333) dibandingkan harga yang ditawarkan ke pabrikan (Rp 466 667), selisih harga ini disebabkan adanya perbedaan biaya distribusi dan pengemasan. Penjualan garam ke perusahaan pengolahan mengeluarkan biaya distribusi dari gudang perantara ke gudang industri serta biaya pembelian karung dan pengemasan, sementara penjualan kepada pedagang pengumpul besar tidak perlu mengeluarkan biaya distribusi karena pihak pengumpul besar yang mengambil langsung dari gudang-gudang pedagang perantara dan melakukan pengemasan sendiri. Selain itu adanya hubungan kekerabatan antara pedagang perantara dengan pedagang pengumpul besar maka marjin harga diusahakan seminim mungkin. Total pembelian garam rata-rata pedagang pengumpul besar contoh sebesar 1 083 ton per tahun. Sehingga total biaya yang dikeluarkan unuk pembelian garam setiap tahun sebesar Rp 411 316 617 (92.23%). Dalam setiap kali proses pengiriman ke tujuan pemasaran, pedagang pengumpul besar selalu mengalami risiko produksi berupa penyusutan bobot garam antara 10-15%. Sehingga dari pengiriman 1 083 ton setelah sampai ke konsumen bobot garam hanya sebesar 967 ton.

Biaya operasional lain yang dikeluarkan berupa biaya pembelian karung sebesar Rp 1 609 500 (0.37%), biaya pengangkutan dan pengemasan Rp 20 744 667 (4.64%), biaya distribusi dari gudang perantara ke gudang pengumpul besar Rp 4 500 000 (1.01%). Biaya pengiriman dari Rembang ke tujuan pemasaran yaitu industri pengguna (pupuk, pakan ternak, pengolahan ikan) yang lokasinya berada diluar Kabupetan Rembang seluruhnya menjadi tanggung jawab pihak pembeli. Pedagang pengumpul hanya mencari truk yang dapat disewa untuk

Dokumen terkait