• Tidak ada hasil yang ditemukan

Business model of salt business partnership of rembang district

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Business model of salt business partnership of rembang district"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

HARNITA HADIASTUTY

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Bisnis Kemitraan Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Rembang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

Harnita Hadiastuty

(4)

Kabupaten Rembang. Dibimbing oleh SUHARNO and ANNA FARIYANTI

Topik dari penelitian ini adalah mencari bentuk ideal dari kemitraan diantara stakeholders disepanjang rantai nilai usaha garam rakyat. Usaha garam rakyat merupakan mata pencaharian utama mayarakat pesisir di Kabupaten Rembang.Rantai nilai usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang meliputi petani garam, pedagang perantara, perusahaan pengolahan garam briket dan halus serta pedagang pengumpul besar.Petani garam dibedakan atas penggarap, pemilik lahan dan pemilik lahan sekaligus penggarap.Terdapat ikatan kerjasama jual beli hasil garam yang kuat antara pelaku usaha yaitu antara penggarap dengan pemilik lahan, pemilik lahan/pemilik lahan sekaligus penggarap dengan pedagang perantara dan pedagang perantara dengan perusahaan pengolahan atau pedagang pengumpul besar.Gejala ini mengindikasikan kuatnya asimetrisme informasi pasar yang menyebabkan pihak yang kurang informasi, yaitu produsen garam rakyat, menerima fakta bahwa harga yang diterima merupakan harga terbaik.Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana karakteristik kelembagaan kemitraan yang terjalin antar pelaku usaha garam rakyat, menganalisis kinerja kelembagaan kemitraan dan merumuskan model bisnis berbasis kemitraan yang mampu meningkatkan kinerja usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang.

Hasil penelitian menunjukkan dua bentuk pola kemitraan yaitu (1) kemitraan bagi hasil antara penggarap dengan pemilik lahan dan (2) kemitraan pemasaran antara petani pemilik/petani pemilik sekaligus dengan pedagang perantara, pedagang perantara dengan perusahaan pengolahan dan pedagang perantara dengan pedagang pengumpul besar.Karakteristik kelembagaan menunjukkan bahwa kemitraan yang berjalan saat ini belum mencerminkan kemitraan yang ideal karena tidak ada kebebasan dalam melakukan pilihan untuk bertransaksi dan posisi tawar yang tidak seimbang disebabkan kemitraan yang terbentuk diikat dengan bantuan permodalan.Keseluruhan kemitraan yang terjalin bersifat informal berupa aturan main yang disepakati bersama.Sanksi atas penyimpangan yang terjadi adalah sanksi sosial berupa tersisih dari rantai nilai usaha garam rakyat.

Berdasarkan hasil analisis pendapatan, analisis kerja ekonomi kelembagaan dan analisis efisiensi pemasaran menunjukkan bahwa penggarap dan pemilik lahan sekaligus penggarap merupakan pelaku usaha yang dirugikan dalam transaksi ekonomi yang berjalan saat ini di Rembang, sedangkan pelaku usaha lainnya yaitu pedagang perantara, perusahaan pengolahan dan pengumpul besar memperoleh keuntungan dari transaksi ekonomi yang ada.Posisi tawar petani yang lemah karena adanya kemitraan yang terikat dengan permodalan menyulitkan petani untuk memperbaiki tingkat ekonomi.

(5)

pengolahan.Koperasi yang dibangun harus memiliki tata kelola yang baik yaitu transparan, akuntabel, mandiri, adil dan partisipasi aktif dari anggota serta adanya peningkatan nilai tambah atas produk yang dihasilkan.Adanya koperasi karena kebutuhan kolektif para petani garam untuk memperbaiki ekonominya, sehingga berdirinya koperasi dari bottom up bisa menjadi salah satu faktor keberhasilan koperasi.

Keberadaan koperasi mampu meningkatkan pendapatan penggarap sebesar 49.19 persen, 38.36 persen bagi pemilik lahan sekaligus penggarap dan 2.01 persen bagi perusahaan pengolahan, sementara pemilik lahan dan pedagang perantara mengalami penurunan pendapatan masing-masing 3.01 persen dan 25.40 persen. Kerja kelembagaan lebih efektif karena adanya penurunan nilai biaya transaksi sebesar 30.63 persen petani penggarap; 79.54 persen pemilik lahan; 76.26 persen petani pemilik sekaligus penggarap; 58.89 persen pedagang perantara dan 34.74 persen perusahaan pengolahan. Sedangkan bagi pedagang pengumpul besar keberadaan koperasi tidak memberikan keuntungan maupun kerugian karena produk yang dihasilkan koperasi tidak ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pengumpul besar.Hasil analisis marjin pemasaran menunjukkan bahwa saluran pemasaran yang diusulkan (petani-koperasi-perusahaan pengolahan memiliki marjin biaya total (biaya pemasaran) paling rendah, sehingga secara operasional dapat dikatakan sebagai saluran yang paling efisien. Selain itu, share

harga yang akan diterima petani jauh lebih baik (30.43 %) dibandingkan dengan

share harga yang saat ini diterima sebagian besar petani garam (25.62%), sehingga secara relatif mampu meningkatkan motivasi petani untuk meningkatkan produksi.

Pada model bisnis yang baru keberadaan koperasi dalam rantai nilai usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang memberikan keuntungan kepada penggarap, pemilik lahan sekaligus penggarap dan perusahaan pengolahan namun disatu pihak merugikan pemilik lahan dan pedagang perantara. Sesuai dengan prinsip pareto kompensasi, maka pemilik lahan dan pedagang perantara sebagai pihak yang dirugikan atas kebijakan baru harus mendapatkan kompensasi. Kerugian yang diterima pemilik lahan dapat digantikan dengan penurunan biaya transaksi yang cukup besar. Sedangkan bentuk kompensasi yang diberikan kepada pedagang perantara berupa perbaikan reputasi sehingga dapat diperhitungkan dalam setiap pengambilan kebijakan, memperoleh kemudahan akses pembiayaan dari lembaga perbankan dan memperoleh fasilitas pemerintah terkait pelaksanaan industrialisasi usaha garam rakyat salah satunya adalah dorongan untuk meningkatkan skala usaha menjadi industri pengolahan garam

(6)

Rembang District. Supervisied by SUHARNO and ANNA FARIYANTI

Inquiry on the ideal form of business partnership among constituents along the value chain of salt business is the main theme of this study. Majority of Rembang Residents’ coastal community depend on salt business. Salt farmers, middleman, salt processing companies and large traders involve in such business. Salt farmers themselves can be divided into three groups, they are salt field labour, field owner and field owner-labour. In addition, there are business bond between salt farmers-field owner, field owner-middleman and middleman-salt processing companies or middleman-large traders. This phenomenon indicates that asymmetric market information accepted by salt farmers mislead them to take the actual price as the best share. This study aims to identify how partnership institutional among stakeholders in salt business perform. Moreover, the study tries to analyse and formulate a business model that is able to provide welfare improvement for business constituents proportionately, especially salt producing households (“salt farmers”) in the District of Rembang.

The results of this study show two patterns of partnership as the following :(1) profit-sharing partnership between salt farmers-field owner; and (2) marketing partnership between field owner-middleman, middleman- salt processing companies and middleman-large traders. All partnerships, which are based on verbal/handshake deals, are yet ideal since partly members have weak bargaining position and could not freely choose a fair transaction due to bonded capital system.

Income analysis, institution analysis and marketing efficiency find that middleman, processing industries and large traders gain larger profit than salt farmers and field owner. Bonded capital system put farmers in a weak position hence, the profit unfairly shared among constituents.

An alternative business model is proposed. That is, involving the establishment of farmers cooperative as the new partner for farmers, salt processing companies and middleman. In this new model, the farmers sell their products to cooperative directly. On the other hand, specific products for certain industries (feed industries, fertilizer industries and salty-fish industries) can be offered to middleman by the farmers. In order to ensure the salt processing companies as a potential partner, cooperative group has to compete with middleman by producing fortified salts which has better quality. This established cooperative group should be transparent, accountable, independent, fair, active and able to create value added of its products.

(7)

price better (30.43%) compared to the current share price of most farmers received (25.62%), so it is relatively able to increase the motivation of farmers to increase production.

The farmers cooperative appearance along the value chain of salt business in Rembang District provide more advantages for farmers, field owner-labour and salt processing companies while field owner and middleman got less benefit. According to pareto compensation theory,the field owner and middleman as the loss party should receive compensation as the new regulation imposed by the government. A significant lower of transaction cost could be the compensation for the field owner. The government should compensate the middleman for its loss by giving recommendation in accessing bank funding and giving opportunities to increase its business scale through government facilities.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

HARNITA HADIASTUTY

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc

(11)
(12)

NIM : H451110131

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Suharno, M.Adev Ketua

Dr Ir Anna Fariyanti, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(13)
(14)

Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena rahmat dan hidayah-Nya, tesis yang berjudul “Model Bisnis Kemitraan Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Rembang”dapat diselesaikan.Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Master pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi tingginya kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:

1. Dr. Ir. Suharno M.Adev selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Dr. Ir. Anna Fariyanti MSi selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini.

2. Dr. Ir Luky Adrianto MSc selaku Dosen Penguji Luar Komisi pada pelaksanaan ujian tesis dan Dr. Ratna Winandi MS selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal penelitianatas segala masukan untuk penyempurnaan tesis ini.

3. Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina MSselaku Ketua Program Studi Agribisnis sekaligus Dosen Penguji Perwakilan Program Studi pada ujian tesis serta seluruh staf Program Studi Agribisnis atas dorongan semangat, bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan pada Program Studi Agribisnis.

4. Seluruh Staf Pengajar pada Program Studi Agribisnis.

5. Direktorat Jenderal P2HP dan BPSDMKP, Kementerian Kelautan dan Perikanan atas kesempatan tugas belajar yang diberikan.

6. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembangdan seluruh

stakeholders garam di Kabupaten Rembang atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan dalam penyusunan tesis ini.

7. Teman-teman seperjuangan Angkatan II pada Program Studi Agribisnis atas diskusi, masukan dan bantuan selama mengikuti pendidikan serta Tim garam atas semangat dan dukungannya.

8. Penghormatan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta. Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada suamidan kedua buah hati tercinta yang telah memberikan dukungan penuh dan menjadi motivasi terbesar bagi penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan.

Bogor, Agustus 2013

(15)

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Usaha Garam Rakyat 6

Penerapan Model Bisnis 7

Penerapan Kelembagaan Kemitraan 9

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Teori Model Bisnis 11

Teori Ketidakpastian Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 12

Teori Kemintraan dan Kontrak 12

Teori Pendapatan 14

Teori Ekonomi Biaya Transaksi 15

Teori Kinerja Pemasaran 16

Teori Perubahan Kelembagaan 18

Kerangka Pemikiran Operasional 19

4 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian 21

Jenis dan Sumber Data 21

Metode Pengambilan Sampel 21

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 22

5 GAMBARAN UMUM USAHA GARAM RAKYAT DI

KABUPATEN REMBANG DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN

Kondisi Usaha Tambak Garam Rakyat di Kabupaten Rembang 25

Aktivitas Pengolahan Garam di Kabupaten Rembang 30

Aktivitas Pemasaran Garam Rakyat di Kabupaten Rembang 31 Karakteristik Pelaku Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Rembang 33

6 KARAKTERISTIK KELEMBAGAAN KEMITRAAN USAHA GARAM RAKYAT DI KABUPATEN REMBANG

Kemitraan Penggarap dengan Pemilik Lahan 37

Kemitraan Pemilik Lahan dengan Pedagang Perantara 39

Kemitraan Pemilik Lahan sekaligus Penggarap dengan

(16)

PengumpulBesar 44

7 KINERJA KELEMBAGAAN KEMITRAAN USAHA GARAM RAKYAT DI KABUPATEN REMBANG

AnalisisPendapatan Usaha Garam Rakyat 46

Analisis Biaya Transaksi Usaha Garam Rakyat 55

Analisis Efisiensi Pemasaran Usaha Garam Rakyat 62

8 MODEL BISNIS BERBASIS KEMITRAAN USAHA GARAM

RAKYATDI KABUPATEN REMBANG 65

9 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 77

Saran 77

DAFTAR PUSTAKA 78

LAMPIRAN 79

RIWAYAT HIDUP 102

DAFTAR TABEL

1 Tingkatkebutuhan, produksi dan impor garam nasional

tahun 2008-2011 1

2 Jumlah responden dalam penelitian 22

3 Perbedaan kualitas garam 29

4 Kapasitas produksi perusahaan pengolahan garam 31

5 Fungsi pemasaran pada setiap lembaga pemasaran garam 32

6 Jumlah responden petani garamdan lokasi penelitian 33

7 Identitas petani garam di Kecamatan Kaliori, Lasem dan Rembang 34

8 Profil perusahaan pengolahan usaha garam rakyat 36

9 Karakteristik kelembagaan kemitraan antara petani penggarap

dengan pemilik lahan 38

10 Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pemilik lahan

dengan pedagang perantara 40

11 Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pemilik lahan

sekaligus penggarap dengan pedagang perantara 42

12 Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pedagang perantara

denganperusahaan pengolah 44

13 Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pedagang perantara

dengan pedagang pengumpul besar 45

(17)

pengolahangaram briket dan halus di Kabupaten Rembang 52

17 Analisis pendapatan pedagang pengumpul besar 54

18 Komponen biaya transaksi pemilik lahan 57

19 Komponen biaya transaksi petani pemilik sekaligus penggarap 58

20 Komponen biaya transaksi pedagang perantara 59

21 Komponen biaya transaksi perusahaan pengolahan 60

22 Komponen biaya transaksi pedagang pengumpul besar 60

23 Rasio biaya transaksi – penerimaan usaha garam rakyat 61 24 Sebaran marjin pemasaran garam dan share harga pada

setiap saluran pemasaran garam rakyat di Kabupaten Rembang 65

25 Opsi kelembagaan kemitraan usaha garam rakyat 69

26 Perbandingan pendapatan antar model bisnis lama dan baru 72

27 Desain koperasi pemasaran untuk usaha garam rakyat 73

28 Perbandingan pendapatan pedagang perantara dan perusahaan

pengolahan dalam model bisnis lama dan baru 74

29 Perbedaan atas biaya transaksi pada model bisnis lama dan baru 75 30 Perbandingan nilai sebaran marjin pemasaran dan farmer share

antara model bisnis yang lama dan baru 76

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan produksi garam nasional tahun 2001-2011 2

2 Fungsi model bisnis menurut Chesbrough dan Rosenbloom 11

3 Kurvamarjin pemasaran 17

4 Kerangka pemikiran operasional modelbisnis usaha garam rakyat 20

5 Luas lahan garam di Kabupaten Rembang 26

6 Jumlah petani pemilik dan penggarap di Kabupaten Rembang 26

7 Proses produksi garam di Kabupaten Rembang. 27

8 Lahan garam di Kabupaten Rembang 28

9 Data produksi garam tahun 2012 di Kabupaten Rembang 29

10 Proses pembuatan garam briket di Kabupaten Rembang 30

11 Produk garam briket dan halus 31

12 Persentase pekerjaan sampingan petani garam 35

13 Komparasi keuntungan relatif antar pelaku usaha garam rakyat

di Kabupaten Rembang 54

14 Saluran pemasaran garam di Kabupaten Rembang 62

15 Model bisnis usaha garam rakyat saat ini 66

16 Usulan desain model bisnis usaha garam rakyat 70

(18)

2 Karakteristik responden pelaku usaha garam rakyat 82

3 Karakteristik responden perusahaan pengolahan 83

4 Nilai penyusutan masing –masing pelaku usaha garam rakyat 84 5 Analisis pendapatan pemilik lahan sekaligus penggarap(aktual) 86 6 Analisis pendapatan pemilik lahan sekaligus penggarap(usulan) 87 7 Analisis pendapatan penggarap-pemilik lahan pola bagi hasil(aktual) 88 8 Analisis pendapatan penggarap-pemilik lahan pola bagi hasil (usulan) 89

9 Analisis pendapatan pedagang perantara (aktual) 90

10 Analisis pendapatan pedagang perantara (usulan) 91

11 Analisis pendapatan perusahaanpengolahan garam briket/halus (aktual) 92 12 Analisis pendapatan perusahaanpengolahan garam briket dan halus 93

13 Analisis pendapatan pedagang pengumpul besar 94

14 Analisis pendapatan koperasi garam di Kabupaten Rembang 95 15 Analisis biaya transaksi yang dikeluarkan pelaku usaha garam 96 16 Analisis sebaran marjin pemasaran dan share harga 97 17 Aturan yang dipergunakan dalam penyusunan kontrak kemitraan

antara petani garam dengan koperasi 98

(19)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada saat ini dan masa mendatang peran dan fungsi garam sangat penting untuk konsumsi sehari-hari maupun industri. Fungsi garam dibedakan atas garam iodisasi atau yang dikenal sebagai garam konsumsi dan garam non iodisasi atau garam industri. Garam iodisasi atau garam konsumsi adalah garam yang digunakan sebagai bahan baku produksi bagi industri garam konsumsi beryodium (garam meja), untuk aneka pangan dengan NaCl minimal 94.7 persen dan pengasinan ikan, sedangkan garam non iodisasi atau garam industri adalah garam yang digunakan sebagai bahan baku bagi industri antara lain digunakan industri soda kostik atau Chlor Alkali Plant (CAP) dengan kadar NaCl minimal 97 persen, industri farmasi dengan kadar NaCl minimal 99 persen, industri kulit, industri tekstil dan industri pengeboran minyak (Kementerian Perindustrian 2012). Besarnya peranan garam memperlihatkan bahwa garam merupakan komoditas yang sangat strategis.

Di Indonesia kebutuhan garam secara nasional pada tahun 2011 sebanyak 2.9 juta ton ton dengan rincian 1.1 juta ton untuk kebutuhan konsumsi dan 1.8 juta ton untuk kebutuhan industri. Sedangkan kemampuan produksi nasional hanya mencapai 1.4 juta ton. Apabila dibandingkan antara kebutuhan nasional dan kemampuan produksi maka produksi nasional belum mampu memenuhi kebutuhan baik konsumsi maupun industri. Saat ini kebutuhan garam nasional dipenuhi melalui impor sebesar 1.7 juta ton yang berasal dari China, India dan Australia. Kebutuhan impor garam ditunjukkan pada Tabel 1 (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2012).

Tabel 1 Tingkat kebutuhan, produksi dan impor garam nasional tahun 2008-2011 (ton) URAIAN/TAHUN 2008 2009 2010 2011

KEBUTUHAN GARAM 2 888 920 2 960 250 3 003 550 2 900 000

A. Garam Konsumsi 1 140 920 1 160 150 1 200 800 1 100 000 a. Rumah Tangga 687 000 700 000 720 000 750 000 b. Industri Aneka Pangan 154 920 160 150 165 800 250 000 c. Industri Pengasinan Ikan 299 000 300 000 315 000 100 000

B. Garam Industri 1 748 000 1 800 100 1 802 750 1 800 000 a. Industri CAP 1 550 000 1 600 000 1 600 000 1 600 000 b. Industri NON CAP 198 000 200 100 202 750 200 000

PRODUKSI GARAM 1 199 000 1 371 000 30 600 1 400 000

A. Garam Konsumsi 1 199 000 1 371 000 30 600 1 400 000

B. Garam Industri 0 0 0 0

IMPOR GARAM (REALISASI)

1 630 793 1 736 453 2 187 632 1 707 509

(20)

Pemerintah menetapkan wilayah sentra garam di 7 kabupaten/kota di Pulau Jawa yaitu Indramayu, Cirebon, Pati, Rembang, Sampang, Sumenep dan Pamekasan sebagai upaya meningkatkan produksi garam nasional. Total luas lahan produksi di 7 kabupaten/kota tersebut sebesar 15 040.69 Ha. Selain itu ditetapkan juga wilayah penyangga usaha garam rakyat di 31 kabupaten/kota dengan total luas lahan produksi sebesar 9 342.61 Ha (KKP, 2012). Saat ini pengusahaan garam di Indonesia diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu usaha garam yang dikelola oleh PT. Garam dan usaha yang dikelola oleh rakyat. Luas areal lahan garam yang dikelola oleh usaha garam rakyat sebesar 73 persen, sedangkan sisanya adalah milik PT Garam (Kementerian Perindustrian 2011)

Produksi garam di Indonesia masih dilakukan secara konvensional dan mengunakan teknologi sederhana, dimana hasil produksi garam sangat tergantung pada sinar matahari (solar evaporation). Sesuai dengan kondisi iklim yang ada di Indonesia maka dalam kondisi normal panen garam rakyat berlangsung selama 4.5-5 bulan dimulai pada bulan Juli sampai dengan pertengahan Nopember. Pada tahun 2001-2011 tingkat produksi garam nasional per hektar cenderung stabil dikisaran 1-1,5 juta ton, kecuali pada tahun 2010 dimana terjadi penurunan produksi luar biasa yang disebabkan gagal panen akibat iklim yang tidak mendukung dalam pelaksanaan produksi. Pada tahun 2010 terjadi anomali cuaca disebabkan adanya fenomena ENSO (El Nino-Southern Oscillation), IOD (Indian Ocean Dipole), dan pengaruh interaksi atmosfer perairan lokal di wilayah Benua Maritim Indonesia yang mengakibatkan curah hujan turun berlebih di sebagian besar Benua Maritim Indonesia terutama diwilayah Pulau Jawa. Curah hujan maksimum bahkan terjadi selama periode musim kemarau yaitu bulan juni hingga agustus. Curah hujan positif di kawasan BMI selama tahun 2010 antara 50 hingga 200 milimeter (Fathrio dan Yuliastin 2011). Kondisi ini tentunya berdampak pada penurunan jumlah produksi garam yang sangat besar di tahun 2010. Tingkat produksi garam pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Perkembangan produksi garam nasional tahun 2001-2011

0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 1600000

20012002200320042005200620072008200920102011

P

roduk

si

(

ton)

(21)

Secara umum kegiatan usaha garam di Indonesia masih didominasi oleh usaha garam yang dikelola oleh petani dengan luasan lahan sempit (<1Ha) dengan rata-rata tingkat produktivitas hanya sekitar 40-60 ton/ha/tahun. Hal ini menjadi salah satu alasan kurang berkembangnya usaha garam rakyat dan sulit bagi petani untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya. Menurut Satria (2011) petani garam dan nelayan umumnya hidup di bawah garis kemiskinan. Kawasan pesisir merupakan salah satu pusat konsentrasi penyebaran kemiskinan di Indonesia. Rata-rata penghasilan masyarakat kawasan pesisir per hari di bawah 1 dolar AS atau di bawah Rp9 000. Berarti dalam sebulan penghasilannya di bawah Rp270 000. Pemerintah dengan program pemberdayaan usaha garam rakyat (PUGAR) berusaha membantu petani garam untuk dapat meningkatkan kesejahteraan melalui bantuan sarana produksi dan perbaikan kualitas sumberdaya petani, namun hal ini tidak akan banyak artinya apabila struktur ekonomi yang melingkupinya masih memposisikan petani garam hanya sebagai penghasil surplus namun tidak menikmati surplus yang dihasilkannya. Sepanjang struktur ekonomi yang terbangun masih bersifat monopsonistik maka sulit mengharapkan adanya pengurangan kemiskinan secara nyata bagi petani garam.

Sebagai upaya membantu petani garam keluar dari kemiskinan dibutuhkan solusi bisnis yang mampu memberikan kesempatan bagi petani garam untuk memperoleh insentif dalam melakukan kegiatan usahanya dan dapat membatasi tindakan-tindakan kelompok tertentu yang berupaya untuk memperoleh keuntungan tanpa prosedur yang benar. Vermulen dan Cotula (2011) merumuskan model bisnis inklusif yaitu dengan membangun kelembagaan kemitraan antara petani dengan pelaku pemasaran dengan tujuan membantu petani dalam meningkatkan pendapatannya. Dengan kemitraan terjadi pembagian beban resiko produksi dan pemasaran diantara pelaku agribisnis dan petani kecil. Menurut Yustika (2010) apabila suatu negara memiliki kondisi geografis yang baik, sumberdaya alam yang melimpah, teknologi yang memadai dan penduduk yang bermutu sehingga sangat mungkin menjadi sumber pertumbuhan ekonomi, namun semua tidak bisa menjadi pemicu kesejahteraan apabila tidak dipandu dengan sistem kelembagaan ekonomi yang baik. Oleh karena itu untuk dapat membantu petani keluar dari jeratan kemiskinan adalah dengan membangun kelembagaan, dimana kelembagaan merupakan unsur terpenting dari pencapaian kemajuan ekonomi suatu negara.

Salah satu wilayah sentra garam adalah Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Total luas lahan garam di Kabupaten Rembang sebesar 1 998.3 Ha. Tingkat produktivitas usaha garam berkisar 60 ton/hektar/musim. Petani garam di kabupaten Rembang didominasi oleh buruh garap dan petani penggarap yang merupakan pemilik lahan sempit (< 0.5 ha). Pemilikan lahan > 1 Ha biasanya dikuasai oleh pelaku usaha yang bergerak dijalur pemasaran. Dari total petani garam yang ada yaitu 5 178 petani sebanyak 80% adalah petani penggarap dengan tingkat pendapatan yang rendah (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang, 2013).

(22)

rendahnya posisi tawar petani sehingga tidak dapat menikmati surplus value yang seharusnya diterima. Disisi lain terdapat juga bentuk relasi usaha antara pedagang dengan pihak industri, dimana kontinyuitas pasokan bahan baku untuk pabrik garam sangat tergantung dengan keberadaan pedagang. Pihak pabrikan lebih memilih bekerjasama dengan pedagang perantara dibandingkan bekerjasama langsung dengan pihak petani karena petani seringkali kesulitan dalam memenuhi persyaratan jumlah yang dibutuhkan dan kualitas yang ditentukan.

Menurut Vermulen dan Cotula (2011) kemitraan ideal adalah terciptanya kesetaraan dalam pengambilan keputusan, pembagian risiko dan distribusi keuntungan yang proporsional. Untuk keberlanjutan kemitraan usaha garam rakyat maka perlu dirumuskan model bisnis. Model bisnis yang dikembangkan bertujuan untuk dapat menciptakan manfaat ekonomi bagi pelaku usaha garam rakyat melalui keberadaan sistem kelembagaan kemitraan yang dapat memperbaiki kualitas interaksi/transaksi ekonomi antar pelaku menuju keseimbangan baru yang lebih efisien dan berkeadilan.

Perumusan Masalah

Kabupaten Rembang merupakan salah satu daerah penghasil garam di Indonesia. Tingkat produksi garam pada tahun 2012 mencapai 163 487.43 ton (DKP Rembang, 2013). Dalam konteks perdagangan garam di Kabupaten Rembang, petani sebagai produsen garam krosok posisinya termarjinalkan karena adanya penutupan akses pasar oleh pelaku ekonomi yang bergerak di jalur pemasaran. Pemilik lahan sempit dan penggarap hanya diposisikan sebagai produsen. Kondisi itu diperkuat lagi dengan adanya eksploitasi yang berwujud relasi usaha antara penggarap dengan pemilik lahan dan antara petani kecil dengan pelaku usaha lain di jalur pemasaran dan permodalan serta dengan pabrikan. Pelaku ekonomi yang bergerak dijalur pemasaran cenderung menikmati surplus value yang seharusnya dimiliki oleh petani garam (Rocwulaningsih 2008). Kondisi ini mengakibatkan petani semakin sulit keluar dari kemiskinan.

Intervensi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani garam melalui penetapan harga dasar yaitu Rp 750 per kg untuk garam kualitas 1 dan Rp 550 per kg untuk kualitas 2 tidak berjalan efektif di Kabupaten Rembang. Harga garam di tingkat petani berada dikisaran Rp 250 hingga Rp 350 per kg nya. Penyediaan subsidi berupa bantuan peralatan produksi kepada petani garam terbukti mampu memotivasi petani untuk meningkatkan produksi garam, namun belum adanya lembaga penyangga mengakibatkan penawaran garam yang berlebih berdampak pada semakin rendahnya harga garam yang diterima petani. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pelaku pemasaran untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi yang saat ini dilakukan pemerintah belum mampu memperbaiki interaksi ekonomi diantara pelaku usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang, khususnya untuk peningkatan kesejahteraan petani garam.

(23)

dimana setiap transaksi yang dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara petani dengan pelaku pemasaran sehingga terjadi pembagian beban risiko baik produksi maupun pemasaran dan pembagian keuntungan secara proporsional sesuai dengan korbanan yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak. Kemitraan merupakan suatu terobosan untuk mengurangi biaya transaksi yang tinggi akibat kegagalan pasar dan kegagalan pemerintah dalam menyediakan sarana yang diperlukan seperti kredit, asuransi, informasi, prasarana dan faktor-faktor produksi (Patrick, 2004)

Penelitian ini merumuskan model bisnis berbasis kemitraan usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang yang dapat memberikan perbaikan ekonomi menuju pareto improvement, yaitu adanya perbaikan ekonomi khususnya bagi petani garam dan juga bagi pelaku usaha lain serta dapat menjamin pelaku usaha lain tidak mengalami kerugian. Sebelum merumuskan model bisnis yang sesuai, maka perlu menganalisis kinerja kemitraan yang telah terbangun saat ini untuk mengetahui apakah kelembagaan kemitraan yang ada telah mencapai kondisi ideal yaitu adanya posisi tawar yang setara, adanya kebebasan untuk melakukan pilihan transaksi dan tercapainya efisiensi dalam transaksi ekonomi yang dilakukan oleh masing-masing pelaku usaha garam rakyat. Berdasarkan uraian diatas permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah karakteristik kelembagaan usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang mendukung terlaksananya kemitraan yang ideal?

2. Bagaimana kinerja kemitraan usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang? 3. Bagaimana model bisnis usaha garam rakyat berbasis kemitraan yang dapat

meningkatkan kinerja usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang?

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah :

1. Menganalisis karakteristik kelembagaan kemitraan usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang

2. Menganalisis kinerja kelembagaan kemitraan usaha garam rakyat

3. Merumuskan model bisnis usaha garam rakyat berbasis kemitraan di Kabupaten Rembang

Manfaat Penelitian

Kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan masukan bagi pembuat kebijakan khususnya Tim Swasembada garam untuk penyempurnaan kebijakan garam nasional

2. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Rembang dalam mengembangkan usaha garam rakyat

3. Sebagai bahan masukan petani, pedagang dan perusahaan pengolahan dalam mencari alternatif model bisnis,

4. Bagi kalangan akademisi dan peneliti dalam mengembangkan penelitian lanjutan dan menjadi bahan pembanding tentang kelembagaan kemitraan, berdasarkan konsep atau teori kontrak kemitraan dan adopsinya di lapangan. 5. Bagi Penulis, untuk melatih kemampuan menganalisis permasalahan usaha

(24)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Usaha Garam Rakyat

Usaha garam rakyat adalah usaha memproduksi garam yang pengelolaannya dilakukan oleh rakyat. Pelaku usaha garam rakyat terdiri dari petani garam rakyat yang memproduksi garam krosok, perusahaan pengolahan garam briket dan halus yang umumnya berlokasi di pusat tambak garam dan pelaku pemasaran. Kesuksesan usaha garam ditingkat petani sangat ditentukan oleh tingkat penguasaan lahan garam, semakin luas area tambak garam tentunya akan menghasilkan jumlah produksi garam yang semakin banyak (Sukesi (2011); Rochwulaningsih (2008); Hasan (2011)). Kajian Sukesi (2011) menunjukkan bahwa petani bisa berhasil walaupun dengan tingkat pendidikan yang rendah, pola penguasaan lahan menjadi faktor dominan keberhasilan usaha garam. Rochwulaningsih (2008) membedakan petani garam sesuai dengan kepemilikan lahan yaitu penggarap yang mengelola lahan garam milik orang lain, petani kecil yang memiliki lahan kurang dari 1 Ha dan biasanya mengelola lahannya sendiri dan petani besar yang memiliki lahan lebih dari 1 Ha. Dalam mata rantai usaha garam penggarap merupakan pihak yang paling kecil mendapatkan keuntungan, penggarap/buruh sangat tergantung dan ditentukan secara sepihak oleh pemilik, mereka hanya memiliki hak untuk memproduksi garam dengan kewajiban menyerahkan sepenuhnya hak penjualan pada pemilik dan pemiliklah yang menentukan harga. Hasan (2011) mengidentifikasi luasan lahan yang dimiliki petani garam di Kabupaten Biruen Aceh sebagian besar kurang dari 1 Ha. Besarnya hasil produksi garam ditentukan oleh luas lahan yang mampu di olah untuk setiap kali proses produksi.

Terbatasnya akses permodalan menjadikan usaha garam rakyat sulit berkembang. Lembaga Pembiayaan melihat usaha garam memiliki risiko yang tinggi karena keberhasilan produksi sangat tergantung oleh faktor cuaca. Hal ini menyebabkan sebagian besar petani garam menggunakan jasa tengkulak dalam membantu memecahkan permasalahan modal untuk dipergunakan dalam kegiatan produksi (Suherman 2011; Rochwulaningsih 2008). Untuk membayar pinjaman modal, petani menjual hasil produksi garamnya kepada tengkulak dengan harga yang ditentukan tengkulak, disini petani tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Menurut Rochwulaningsih (2008) petani hanya dapat menjual pada pedagang yang telah dikenal yang bergerak di jalur pemasaran dan permodalan dan mereka ini yang cenderung mempermainkan harga. Berbeda dengan hasil kajian Sukesi (2011) dimana petambak garam di Pasuruan justru paling banyak memanfaatkan jasa para petambak lain yang sukses untuk meminjam modal usaha. Hal itu disampaikan oleh 59.46 persen responden, dan hanya sekitar 4 persen yang meminjam di tengkulak. Petani garam di Kabupaten Pasuruan menginginkan adanya lembaga koperasi yang dapat membantu permasalahan permodalan sekaligus sebagai lembaga pendamping untuk dapat memberikan informasi teknologi, harga dan informasi pasar. Sedangkan modal yang digunakan oleh petani garam di Kabupaten Bieruen sebagian besar menggunakan modal pribadi (Suherman et al 2011)

(25)

diproduksi petani garam di Kabupaten Sumenep tidak laku dijual karena PT. Garam tidak bersedia membeli karena tidak memenuhi persyaratan kualitas (Suherman 2010). Sama halnya dengan produksi garam di Kabupaten Jeneponto- Sulawesi Selatan dimana kualitas yang dihasilkan sangat rendah karena waktu kristalisasi relatif singkat dan penanganan pasca panen yang buruk (Apriliani 2007). Produksi garam di Indonesia sebagian besar melalui proses evaporasi yaitu dengan pemanasan sinar matahari, proses produksi sangat sederhana yaitu tahap persiapan dengan membuat saluran air dan pematang, kemudian tahap pemasukan air laut dan membuat meja garam kemudian dilakukan kristalisasi, umur kristal garam sampai dengan 10 hari dan seterusnya secara rutin dapat dipanen selama 3-4 hari apabila didukung oleh cuaca (Purbani 2003), kemudian dilakukan proses pencucian untuk meningkatkan mutu garam.

Kelembagaan yang terbangun dalam usaha garam rakyat di wilayah sentra garam sebagian besar berdasarkan hubungan principle-agent yaitu hubungan kontrak kerja yang disepakati oleh dua belah pihak, dimana principle dalam hal ini adalah pemilik lahan sepakat memberikan insentif kepada agent yaitu penggarap dan agent sepakat melakukan tindakan atas nama kepentingan

principle. Insentif berupa bagi hasil sesuai kesepakatan antara pemilik lahan dan penggarap. Munadiyanto dan Pranowo (2007) mengidentifikasi kerjasama sistem bagi hasil yang dilakukan petani garam di Kabupaten Sumenep, dimana lahan tambak yang diusahakan cukup lama menggunakan sistem bagi hasil 3 bagian yaitu pemilik memperoleh 2 bagian dan penggarap 1 bagian dari hasil bersih, sedangkan lahan yang masih baru diusahakan pemilik 1 bagian dan penggarap 1 bagian dari hasil bersih. Pelaksanaan sistem bagi hasil dilakukan tanpa tertulis dan hanya didasarkan pada kesepakatan bersama sehingga tidak ada aturan yang jelas. Hasil penelitian yang dilakukan Suherman et al (2011) menunjukkan saluran pemasaran garam di Kecamatan Kalianget meliputi Petani – Tengkulak – Pabrik – Agen – Pengecer – Konsumen. Hasil penelitian menunjukkan pemasaran garam tidak efesien, beberapa tingkat pasar bersifat monopsoni. Terdapat hambatan keluar masuk pasar bagi petani garam, hal ini disebabkan petani garam memiliki pinjaman kepada tengkulak sehingga tidak dapat memilih untuk menjual garam kepada tengkulak lain yang bisa memberikan harga lebih baik. Berdasarkan hasil analisis marjin pemasaran yang dilakukan oleh Suherman et al (2011) diketahui margin terbesar terdapat pada pihak pabrik sedangkan farmer share

yang diterima petani sangat rendah.

Penerapan Model Bisnis

(26)

Casadesus et al (2009) mengadopsi model bisnis sebagai logika perusahaan, cara beroperasi dan bagaimana menciptakan nilai bagi para stakeholder. Zott dan Amit (2010) mengemukakan pandangan aktivitas sistem untuk mendesain model bisnis. Mereka berpendapat bahwa aktivitas sistem menangkap inti dari model bisnis. Model bisnis tidak statis namun harus di kelola dan dikembangkan dari waktu ke waktu karena adanya tantangan persaingan, pergeseran pasar dan perubahan teknologi. Perusahaan harus menyesuaikan model bisnis untuk tetap layak digunakan (Gasman et al 2012).

Definisi model bisnis cukup luas tergantung cara pandang peneliti. Saunders (2007) menelaah 30 konsep model bisnis yang berbeda dan membagi menjadi ekonomi, operasional dan strategis. Sebagian besar peneliti menjelaskan model bisnis sebagai strategi bisnis (Osterwalder 2005; Vermulen dan Cotula 2012; Eriyatno 2011), namun beberapa peneliti membedakan antara model bisnis dan strategi. Perbedaan praktis menjelaskan model bisnis sebagai suatu sistem yang menunjukkan bagaimana bagian-bagian yang searah dan sejalan dengan bisnis, sedangkan strategi didalamnya terdapat kompetisi. Perbedaan lain antara strategi dan model bisnis bahwa strategi mencakup pelaksanaan dan implementasi, sementara model bisnis menggambarkan bagaimana bisnis bekerja sebagai suatu sistem (Zot and Amit 2010). Casadesus et al (2009) mengintegrasikan konsep strategi, bisnis model dan taktik. Strategi mengacu pada pilihan model bisnis di mana perusahaan akan bersaing di pasar. Taktik mengacu pada terbukanya sisa pilihan untuk perusahaan dengan berdasarkan model bisnis. Pandangan atas bisnis model juga berbeda antara pelaku bisnis dengan peneliti, pelaku bisnis memandang bisnis model sebagai cara melakukan bisnis yang dapat menghasilkan keuntungan lebih sedangkan peneliti melihat bisnis model dengan mempertimbangkan komponen-komponen pembentuk bisnis model.

Kunci dari model bisnis bagi pelaku bisnis adalah bagaimana cara perusahaan dalam memperoleh keuntungan. Untuk mencapai tujuan tersebut dirumuskan berbagai strategi usaha, strategi inilah yang menjadi rumusan model bisnis. Model bisnis bisa berbagai bentuk misalnya dengan melakukan inovasi produk dan jasa seperti yang dilakukan oleh Allianz dalam menawarkan asuransi mikro kepada kelompok masyarakat kalangan bawah yang tidak pernah mengakses asuransi untuk membuka bisnis baru atau E24 yang menawarkan inovasi layanan ponsel secara komprehensif di Swiss dengan memberikan kemudahan transaksi melalui pembayaran secara elektronik (Osterwalder 2005). Vermulen dan Cotula (2010) menganalisis model bisnis dalam lingkup agribisnis, yaitu dengan menawarkan bagaimana perusahaan dalam memanfaatkan sumberdaya, melakukan kemitraan dan menjalin hubungan dengan pelanggan untuk menciptakan dan menangkap nilai dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Ukuran model bisnis meliputi bagaimana kepemilikan bisnis, memiliki kemampuan untuk mempengaruhi keputusan bisnis, mampu meminimalisir risiko dan pembagian keuntungan yang merata antara mitra bisnis. Model bisnis biasanya melibatkan lebih dari dua pihak yaitu petani, pedagang ("perantara"), pemodal dan pihak swasta sebagai pengolah. Vermulen dan Cotula membagi model bisnis menjadi contract farming, contract management, tenant farming dan sharecropping, joint venture, farmer own business serta upstream

(27)

Berbeda dengan model bisnis yang dirumuskan Eriyatno dan Najikh (2011) dimana tidak hanya bertujuan untuk meraih keuntungan bagi perusahaan Kelola Mina Laut, namun juga bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan nelayan. Terdapat empat model bisnis yang ditawarkan yaitu (1) Model diferensiasi praktik bisnis yang merupakan sistem pengembangan produk yang menyangkut proses bisnis yang memadukan antara manajemen perusahaan, teknologi pengolahan dan tenaga kerja lokal yang saling berkaitan dengan permintaan pasar sehingga mampu bersaing tanpa merugi, (2) Model diversifikasi produk ikutan dimana industri mengembangkan jejaring produk olahan lanjutan dan hasil ikutan, hasil samping maupun limbah, (3) Model desentralisasi proses industri yaitu suatu sistem penyebaran kegiatan produksi, (4) Model dekonsentrasi usaha penunjang dimana industri memfasilitasi unsur pendukung dan pelengkap aktivitas itu sendiri yang memerlukan penanganan dan pelayanan khusus di wilayah sekitar.

Penerapan Kelembagaan Kemitraan

Berbagai bentuk kelembagaan ekonomi petani telah banyak berkembang di pedesaan. Namun, eksistensi dan kinerjanya masih kurang menggembirakan, bahkan keberadaannya dalam menopang perekonomian di pedesaan cenderung tidak berkesinambungan. Hal ini karena kebanyakan kelembagaan yang ditumbuhkan tersebut lebih bersifat “top down” dan bahkan cenderung menggeneralisasikan suatu bentuk kelembagaan untuk diintroduksikan tanpa memperhatikan struktur sosial dan kebutuhan masyarakat setempat. Akibatnya banyak kelembagaan baru yang masuk di pedesaan tidak memperoleh respon dan konsensus dari masyarakat. Oleh karena itu, introduksi kelembagaan baru ke dalam masyarakat perlu menyesuaikan diri dengan bentuk-bentuk kelembagaan tradisional yang telah ada (Hermanto 2007).

Beberapa bentuk kelembagaan yang dibutuhkan petani menurut Hermanto (2007) antara lain: (1) kelembagaan keuangan mikro (micro-finance) untuk mengatasi kelangkaan modal usaha dan kebutuhan konsumsi, (2) kelembagaan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), (3) kelembagaan klinik agribisnis, dan (4) kelembagaan Kemitraan Bermediasi. Sedangkan menurut Lopulalan (2010) terdapat empat sistem kelembagaan ditingkat masyarakat nelayan yang banyak ditemui yaitu 1) kelembagaan bagi hasil, 2) kelembagaan hubungan kerja, 3) kelembagaan pemasaran dan 4) kelembagaan perkreditan. Masing-masing kelembagaan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, saling menyatu dan saling terkait satu sama lain dalam kerangka sistem dan usaha agribisnis (Hermanto 2007), Lopulalan (2010). Namun demikian, kelembagaan keuangan mikro merupakan sentral dari pengembangan kelembagaan secara keseluruhan. Kelembagaan keuangan mikro merupakan pilihan utama petani untuk mengatasi permasalahan permodalan yang selama ini menyulitkan petani untuk mengembangkan usahanya.

(28)

sebaiknya berbentuk korporasi, asosiasi, atau koperasi yang berbadan hukum; (4) penerapan manajemen korporasi dalam menjalankan sistem usaha agribisnis; dan (5) pengembangan pola kemitraan terpadu secara tidak langsung dengan mitra.

Kelembagaan kemitraaan yang memiliki keunggulan adalah contract farming yang diketahui memiliki dampak positif terhadap produktivitas dan pendapatan petani. Contract farming memiliki keunggulan seperti efisiensi pengumpulan dan pengangkutan hasil, harga relatif stabil, mampu mendorong petani untuk menghasilkan produk berkualitas, memudahkan petani mendapat fasilitas kredit, serta menjamin kontinuitas pasokan bagi perusahaan mitra. Beberapa review mengenai hasil kajian contract farming menunjukkan bahwa

contract farming membuat petani kecil dapat mencapai panen lebih tinggi, diversifikasi ke produk baru dan meningkatkan pendapatan. Contract farming

sukses dijalankan oleh Luveko (perusahaan BUMN Vietnam) dengan petani sayur-sayuran di Provinsi Nam Dinh Vietnam. Luveko menyediakan input produksi, pelatihan dan kepastian harga, sedangkan petani menghasilkan produk berupa ketimun, tomat dan jagung manis dengan kualitas yang terjaga, sesuai ukuran dan sesuai dengan strandar produk yang diinginkan perusahaan, produk yang tidak sesuai akan ditolak oleh Luveko. Contract farming yang dijalankan perusahaan Blue Sky yang bergerak pada pengolahan buah-buahan berhasil meningkatkan pendapatan petani buah di Ghana. Blue Sky tidak memberikan bantuan input dan kredit melainkan melakukan pelatihan dan pendampingan sehingga petani mampu menghasilkan produk dengan kualitas sangat baik sehingga perusahaan bersedia membayar mahal untuk produk tersebut (Vermulen dan Cotula 2010). Hasil kajian Patrick et al (2004) mengenai dampak contract farming terhadap unggas, benih jagung dan benih beras di Indonesia ditemukan bahwa kontrak secara positif mempengaruhi tingkat kesejahteraan petani. Kontrak untuk benih dan broiler menghasilkan peningkatan atas pengembalian modal sedangkan untuk benih padi dapat menjamin akses pasar. Namun contract farming juga memiliki kelemahan dan ancaman seperti pembatasan inkuslifitas skema (hanya terbatas pada produsen kecil yang berkualitas), hubungan yang tidak seimbang antara kontraktor yang bersifat monopsonistik dengan petani, petani menanggung risiko lebih tinggi dan adanya moral hazard (Sirajudin 2010). Eksploitasi monopsonistik oleh perusahaan inti terhadap perusahaan plasma akan mempengaruhi tingkat pendapatan petani dan akhirnya akan menurunkan produktivitas. Sirajudin (2010) menunjukkan adanya moral hazard pada petani dengan perusahaan inti bisa saja terjadi, dimana petani ingkar pada kewajibannya untuk menjual hasil produksinya ke perusahaan inti namun menjual ke pedagang desa atau pasar karena adanya selisih harga yang menggiurkan.

(29)

3. KERANGKA PEMIKIRAN

Teori Model Bisnis

Zoots (2001) mereview kontribusi beberapa teori model bisnis diantaranya terkait analisis rantai nilai dengan melihat sumberdaya perusahaan, transaksi biaya, dan strategi jaringan pemasaran. Menurut Chesbrough and Rosenbloom (2002) fungsi dari model bisnis yaitu (1) mengartikulasikan value proposition

sebuah organisasi yaitu bagaimana organisasi tersebut menciptakan nilai tambah, (2) mengidentifikasi target pasar, (3) menentukan bagaimana menciptakan rantai nilai dalam proses operasionalisasi organisasi, (4) memperkirakan besaran biaya dan pendapatan akibat ditetapkannya value proposition dan value chain, (5) menciptakan kerjasama dan (6) memformulasikan strategi bisnis. Fungsi dari model bisnis dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Fungsi model bisnis menurut Chesbrough dan Rosenbloom, 2002

Vermeulen dan Cotula (2010) menggunakan pendekatan model bisnis dengan mempertimbangkan aturan kepemilikan, hak suara, risiko dan reward

dibagi diantara partner usaha. Model bisnis yang dirumuskan oleh Vermeulen dan Cotula adalah bagaimana strategi perusahaan dalam mengelola sumberdaya dan menjalin kemitraan untuk menciptakan dan meraih keuntungan. Ostenwalder et al

(2005) menjelaskan posisi model bisnis dalam perusahaan sebagai blue print

tentang bagaimana perusahaan melakukan bisnis. Model ini memungkinkan perusahaan untuk menganalisis struktur sektor tertentu, usaha rencana bisnis, dan memonitor kinerja. Vermeulen dan Cotula (2010) menyusun model bisnis untuk petani atau industri kecil sebagai cara petani atau usaha kecil menangkap dan mengkreasi nilai-nilai dalam satu jaringan pasar. Vermeulen dan Cotula membagi model bisnis menjadi :

1. Contract Farming, menggambarkan perjanjian pasokan yang disepakati antara petani dan pembeli. Dalam perjanjian tersebut biasanya ditetapkan harga beli, dapat juga memuat perjanjian waktu pengiriman, persyaratan jumlah dan kualitas. Dalam beberapa kasus, pembeli yang merupakan industri pengolah menawarkan faktor input seperti kredit, benih, pupuk, pestisida dan konsultasi teknis.

2. Management Contract, mengacu pada bermacam aturan bagaimana petani atau perusahaan pertanian menjalankan usahanya jika menggunakan lahan pertanian

Technical inputs : Feasibility, performence

Business Model : Market Value proposition

Value chain Cost and profit Value network Competitive strategy

Economic Output :

(30)

yang tidak dimiliki sendiri. Bentuk manajemen kontrak bisa berupa sistem sewa dimana petani mengelola lahan atas nama pemilik. Dalam kontrak manajemen juga sering dicantumkan pembagian keuntungan antara pemilik lahan dan penyewa.

3. Marketing contract merupakan bagian dari contract farming, dimana didalam kontrak terkandung ketentuan bagaimana menentukan jenis dan atau jumlah produk pertanian yang akan diserahkan, tetapi jarang menyebut kegiatan-kegiatan atau metode-metode khusus mana yang harus diikuti dalam proses produksi, juga tidak mengharuskan pihak inti untuk menyediakan masukan-masukan tertentu.

4. Tenant farming dan sharecropping merupakan versi kontrak manajemen di mana petani-petani kecil menggarap lahan milik petani lainnya yang lebih besar dan melakukan bagi hasil sesuai dengan kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya. Pada tenant farming biasanya berlaku biaya sewa tetap, sedangkan sharecropping memberlakukan bagi hasil panen.

5. Joint venture menggambarkan perjanjian kerjasama dua pelaku pasar seperti perusahaan pengolah dengan organisasi petani (koperasi) yang saling berbagi risiko finansial dan keuntungan dan biasanya pengambilan otoritas keputusan sebanding dengan kepemilikan saham.

6. Farmer-owned business adalah struktur bisnis formal bagi petani untuk menghimpun aset-asetnya guna membangun bisnis tertentu (misalnya usaha pengolahan dan pemasaran), kemudahan untuk mendapatkan akses pembiayaan dan membatasi tanggung jawab individu. Bisnis tersebut biasanya dalam bentuk koperasi yang dapat memfasilitasi transaksi bisnis.

7. Upstream and downstream business link adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan beberapa peluang bisnis di bidang produksi pertanian yang terbuka bagi perusahaan besar, kecil maupun menengah.

Teori Ketidakpastian Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Charles (2001) menguraikan pentingnya pendekatan sistem bagi pengelolaan perikanan dan kelautan. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan terdapat berbagai macam ketidakpastian sehingga sangat diperlukan pengelolaan yang tepat dan cermat. Karakteristik dari komoditas perikanan sangat berbeda dengan komoditas pertanian, dimana tidak ada satu orang pun yang dapat memastikan berapa banyak sumberdaya perikanan setiap tahunnya, berapa banyak produksi yang harus dihasilkan setiap tahun, atau apa akibatnya terhadap produksi dimasa yang akan datang yang terkait dengan ketersediaan ikan. Sumber ketidakpastian yang luas senantiasa muncul dalam sistem perikanan baik secara alamiah maupun dari sisi manusia dan manajemen. Dampak dari adanya ketidakpastian akan menimbulkan resiko di dalam sistem perikanan, sehingga apabila tidak diatasi akan mengancam sistem perikanan. Sumber-sumber ketidakpastian menurut Charles (2001) meliputi :

(31)

2. Sumber ketidakpastian yang berasal dari manusia diantaranya harga ikan dan struktur pasar, biaya operasional dan biaya korbanan, perubahan teknologi, sasaran pengelolaan,respon nelayan terhadap peraturan dan perilaku konsumen Sumber ketidakpastian untuk usaha garam muncul karena adanya faktor alamiah yaitu tidak terjadinya proses kristalisasi karena faktor cuaca, sedangkan ketidakpastian yang berasal dari manusia meliputi harga, biaya, teknologi dan respon pelaku usaha terhadap peraturan yang ada. Terdapat 3 macam tipologi ketidakpastian dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (Charles 2001) yaitu : 1. Randomness / Process Uncertainty, merupakan tipologi ketidakpastian yang

menyangkut dengan proses dalam sistem perikanan yang bersifat random (acak).

2. Parameter and State Uncertainty, merupakan ketidakpastian dalam konteks ketidakakuratan parameter atau status yang diestimasi. Tipologi seperti ini dapat dibedakan menjadi tiga macam ketidakpastian :

a. Observation Uncertainty, ketidakpastian perikanan karena keterbatasan observasi (ketidakpastian variabel perikanan) yang dapat mengakibatkan terjadinya mis-management.

b. Model Uncertainty, ketidakpastian dalam memprediksi model system perikanan.

c. Estimation uncertainty, ketidakpastian sebagai akibat dari ketidakakuratan estimasi.

3. Structural Uncertainty, ketidakpastian yang muncul akibat dari proses struktural dalam pengelolaan perikanan yang meliputi :

a. Implementation Uncertainty, ketidakpastian implementasi pengelolaan perikanan.

b. Institutional Uncertainty, ketidakpastian dalam pengelolaan perikanan sebagai sebuah institusi, ketidakpastian ”value system” dalam perikanan

Teori Kontrak/Kemitraan

Permasalahan krusial dalam kegiatan ekonomi adalah adanya ketidaksetaraan antara pelaku ekonomi yang diwujudkan dalam posisi tawar maupun informasi yang asimetris sehingga terjadi ketimpangan dimana salah satu/beberapa pihak memperoleh keuntungan dan pihak lainnya mengalami kerugian. Hal ini menunjukkan bahwa aktvitas ekonomi tersebut tidak ideal sehingga perlu didesain aturan main (kelembagaan) yang bertujuan untuk membangun kesetaraan antara pelaku ekonomi baik dari sisi daya tawar maupun kelengkapan informasi. Untuk dapat mendesain aturan main tersebut sangat diperlukan teori kontrak. Dalam pendekatan ekonomi biaya transaksi basis dari unit analisis adalah kontrak antara kedua pihak yang melakukan hubungan ekonomi. Kontrak secara umum menggambarkan kesepakatan satu pelaku untuk melakukan tindakan yang memiliki nilai ekonomi kepada pihak lain tentunya terdapat konsekuensi tindakan balasan (pembayaran).

(32)

yakni prinsipal dan agen. Prinsipal adalah pihak yang memperkerjakan agen untuk melaksanakan pekerjaan atau layanan yang diinginkan oleh prinsipal, diluar itu prinsipal juga memfasilitasi keberhasilan sebuah aktivitas yang didelegasikan kepada agen. Dalam teori agency diasumsikan kesepakatan dapat ditegakkan secara hukum, maka dalam teori kesepakatan otomatis tidak seluruh transaksi dapat ditegakkan secara hukum. Teori kontrak otomatis didesain untuk memastikan keuntungan untuk berbuat curang lebih rendah dari keuntungan yang diperoleh apabila mematuhi kontrak yang telah disepakati. Dalam hal ini tidak ada pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pada kontrak kesepakatan otomatis lebih banyak mencakup norma-norma perilaku ketimbang pembagian risiko. Teori kontrak relasional memainkan peranan penting dalam ekonomi modern dimana permasalahan yang terjadi dalam hubungan kontrak dapat diselesaikan melalui keseimbangan kerjasama dan pemaksaan. Kontrak relasional biasanya diaplikasikan dalam situasi dimana terdapat ketergantungan dua pihak pelaku transaksi karena eksistensi dari transaksi investasi yang spesifik.

Kontrak menghubungkan antara satu pelaku dengan mitra lainnya karena adanya asas saling menguntungkan, tetapi pada saat yang sama kontrak berisiko melalui praktik opportunisme, sehingga prosedur penegakan menjadi kunci untuk menentukan berhasil atau tidaknya suatu kesepakatan (Menard, 2000). Kontrak harus dapat mencapai kesepakatan optimal yaitu kontrak didesain sebegitu rupa sehingga pelaku memiliki insentif yang memadai untuk mematuhi kontrak yang telah disepakati. Terdapat 4 aspek yang dapat disimpulkan menjadi faktor pembeda dalam menentukan suatu kontrak yaitu (1) jangka waktu dari kontrak, dimana jangka waktu ini sangat berhubungan dengan atribut biaya transaksi dan sekaligus menggambarkan komitmen dari mitranya, (2) derajat kelengkapan yang meliputi variabel harga, kualitas, aturan keterlambatan dan penalti, (3) mekanisme insentif misalnya upah berdasarkan jam kerja, distribusi bagian kepada pekerja, mengembalikan aset yang dibayarkan kepada pemilik dan sewa yang dibagikan antara mitranya dan (4) prosedur penegakan yang berlaku.

Hubungan kontrak akan menjadi efisien jika tingkat harapan manfaat dan keuntungan (rewards) kedua pihak seimbang dengan korbanan masing-masing dan biaya yang minimal untuk pembuatan kontrak atau kesepakatan. Kontrak juga menjadi lebih efisien untuk ditegakkan jika pelaku tidak sepenuhnya bergantung ke pihak lain, karena apabila terjadi maka memudahkan adanya eksploitasi oleh pihak yang menjadi gantungannya. Kontrak juga harus dapat menjamin bahwa keuntungan dari berbuat curang adalah lebih rendah dari manfaat mematuhi kontrak (Yustika, 2010).

Teori Pendapatan

(33)

produksi. Pengeluaran total usahatani mencakup pengeluaran tunai dan pengeluaran tidak tunai. Pengeluaran tunai usahatani (farm payment) adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Nilai kerja yang dibayar dengan benda tidak termasuk pengeluaran tunai. Sedangkan pengeluaran tidak tunai (diperhitungkan) adalah nilai semua input yang digunakan untuk usahatani bukan dalam bentuk uang misalnya nilai barang atau jasa yang untuk keperluan usahatani yang dibayar dengan benda atau kredit.

Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dengan seluruh biaya (Soerkatawi 2002). Pendapatan usahatani merupakan ukuran kemampuan usahatani tunai namun besarnya tidak selalu mampu menggambarkan kondisi yang seharusnya. Jika penerimaan dan biaya hanya menggambarkan jumlah uang tunai yang masuk dan keluar, maka hasil pendapatan yang diperoleh petani akan bias, banyak biaya yang dibayarkan secara tidak tunai sehingga perhitungan biaya ini harus dipertimbangkan dalam analisis. Untuk mengetahui tingkat efisiensi usaha dilakukan analisis rasio penerimaan dan total biaya (R/C ratio). Kriteria dari R/C ratio > 1 maka usaha tani tersebut menguntungkan sedangkan apabila R/C ratio = 1 menunjukkan usaha tani tersebut impas.

Teori Ekonomi Biaya Transaksi

Ekonomi klasik/neoklasik berasumsi bahwa transaksi bersifat free of cost. Dengan kata lain, transaksi dapat berlangsung mengikuti mekanisme pasar tanpa perlu keluar biaya. Pandangan ini bertolak belakang dengan pemikiran ekonomi kelembagaan baru yang beranggapan sebaliknya. Pasar tidak akan berjalan sempurna bila pelaku ekonomi tidak memiliki informasi mengenai barang yang akan ditransaksikan. Untuk itu, sebagian ekonom berkeyakinan bahwa transaksi dapat berjalan bila ada informasi. Pengumpulan informasi memerlukan biaya. Karena itu, asumsi bahwa transaksi dapat berjalan tanpa biaya menjadi tergoyahkan. Dengan demikian, biaya transaksi menjadi unit analisis penting dalam ekonomi kelembagaan. Teori ekonomi biaya transaksi (transaction cost economics) dikembangkan oleh Ronald Coase, Douglass North dan Oliver Wiliamson (Yustika, 2010). Teori Coase mengklarifikasi tentang biaya transaksi didalam pandangan ekonomi neoklasik. Coase menjelaskan bahwa terjadinya inefisiensi ekonomi bukan hanya disebabkan struktur pasar yang tidak sempurna melainkan karena adanya kehadiran secara implisit biaya transaksi. Oliver Williamson mendefinisikan biaya transaksi sebagai biaya untuk menjalankan sistem ekonomi. Doglas North menyebutnya sebagai biaya untuk menspesifikasi dan memaksakan kontrak yang mendasari pertukaran yang memungkinkan dapat mengutip laba dari perdagangan. Secara ringkas biaya transaksi adalah biaya untuk melakukan negosiasi dan memaksakan pertukaran

(34)

implikasinya adalah setiap pelaku ekonomi akan menghadapi informasi yang tidak lengkap. Sedangkan perilaku oportunis adalah upaya untuk mendapatkan keuntungan melalui praktik yang tidak jujur dalam kegiatan transaksi. Dalam situasi tertentu perilaku oportunis bisa menutup informasi dengan cara mendistori informasi. Jika salah satu pihak memegang informasi secara pribadi pada waktu negosiasi kontrak, maka pihak ini bisa tergoda untuk menyimpangkan informasi demi mendapatkan kontrak yang lebih menguntungkan. Bounded rasionality dan perilaku oportunis dapat digunakan sebagai variabel dalam pengukuran biaya transaksi (Beckman dalam Yustika 2010). Menurut Williamson inti dari dari ekonomi biaya transaksi adalah biaya-biaya yang muncul karena berkenaan dengan keberadaan informasi yang tidak sempurna. Desain kelembagaan pertukaran pada akhirnya akan menetukan seberapa besar tingkat biaya transaksi yang ditimbulkan.

Disamping itu menurut Wiliamson besaran biaya transaksi juga dapat diukur dengan adanya penyimpangan dalam wujud (1) lemahnya jaminan hak kepemilikan, (2) penyimpangan pengukuran atas tugas yang kompleks dan prinsip yang beragam, (3) penyimpangan intertemporal yang dapat berbentuk kontrak yang timpang dan ketersembunyian informasi yang panjang, (4) penyimpangan yang muncul karena kelemahan dalam kebijakan kelembagaan dan (5) kelemahan integritas.

Teori Kinerja Pasar (Market Performance)

Dalam pandangan ekonomi kelembagaan, kinerja pasar yang kompetitif sebagai outcome dari adanya suatu hubungan kemitraan, dimana bercirikan kemampuan melarang penggunaan oleh yang tidak berhak, dapat dipindahtangankan secara mudah dan diinternalisasi oleh semua pelaku yang terlibat. Suatu pasar yang secara klasik diasumsikan bersifat kompetitif, namun apabila karakteristik kelembagaan tidak memotivasi individu untuk memproduksi, mengkonsumsi dan mengalokasikan barang dengan mudah, maka hal tersebut mencirikan kegagalan pasar, sebaliknya apabila barang yang dihasilkan memenuhi ketiga kriteria tersebut dan kelembagaan terbukti memotivasi perilaku untuk memproduksi dan memasarkan komoditas secara efisien dan mudah maka ekonomi kelembagaan mengasumsikan sebagai pasar yang kompetitif.

(35)

berhubungan dengan penanganan aktivitas-aktivitas yang dapat meningkatkan rasio dari output-input pemasaran. Efisiensi operasional biasanya dapat diukur dari margin pemasaran, analisis farmer’s share,analisis rasio keuntungan atas biaya serta analisis fungsi-fungsi pemasaran. Sedangkan efisiensi harga mengukur seberapa kuat harga pasar menggambarkan sistem produksi dan biaya pemasaran. Dengan menggunakan konsep biaya, suatu sistem pemasaran dikatakan efisien bila dapat dilaksanakan dengan biaya yang rendah.

Dahl dan Hammond (1977), menyatakan bahwa marjin pemasaran menggambarkan perbedaan harga di tingkat lembaga pemasaran (Pr) dengan harga di tingkat produsen (Pf). Nilai marjin pemasaran (value of marketing

margin) merupakan perkalian antara margin pemasaran dengan volume produk yang terjual [(Pr – Pf). Qrf] yang mengandung pengertian marketing cost dan

marketing charge. Jadi pendekatan terhadap nilai marjin pemasaran dapat melalui

returns to factor (marketing cost) yaitu penjumlahan dari biaya pemasaran, yang merupakan balas jasa terhadap input yang digunakan seperti tenaga kerja, modal, investasi yang diberikan untuk lancarnya proses pemasaran dan input-input lainnya, serta dengan pendekatan returns to institution (marketing charge), yaitu pendekatan melalui lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses penyaluran atau pengolahan komoditi yang dipasarkan. Gambar 3 terlihat bahwa marjin pemasaran merupakan selisih harga yang dibayarkan konsumen (Pr) dengan harga yang diterima petani (Pf).

Gambar 3 Marjin pemasaran

Sumber : Dahl dan Hammond (1977)

Keterangan :

Pf : Harga di tingkat petani Pr : Harga di tingkat pedagang Sf : Kurva penawaran petani Sr : Kurva penawaran pedagang Df : Kurva permintaan petani Dr : Kurva permintaan pedagang

Qr, f : Jumlah keseimbangan ditingkat petani dan pedagang

Pr

Pf

Sr

Sf

Dr

Df

Qr,f Marjin

Pemasaran

(36)

Besar kecil marjin pemasaran sering digunakan sebagai kriteria untuk menilai apakah pasar tersebut sudah atau tidak efisien. Tingginya marjin dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh dalam proses pemasaran antara lain ketersediaan fasilitas fisik pemasaran yaitu pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, risiko kerusakan dan lain-lain. Konsep marjin pemasaran erat kaitannya dengan bagian harga yang diterima pertani atau farmer’s share.

Farmer’s share merupakan bagian harga dari konsumen yang diterima petani yang dinyatakan dalam bentuk persentase. Hal ini berguna untuk mengetahui porsi harga yang berlaku ditingkat konsumen dinikmati oleh petani. Farmer’s share (FS) didapatkan dari hasil bagi antara Pf dan Pr, dimana Pf adalah harga di tingkat petani dan Pr adalah harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Besarnya farmer’s share biasanya dipengaruhi oleh: (1) tingkat pemrosesan, (2) biaya transpotasi, (3) keawetan, dan (4) jumlah produk (Kohls dan Uhl, 1990)

Farmer’s share sering digunakan sebagai indikator dalam mengukur kinerja suatu sistem pemasaran, tetapi farmer’s share yang tinggi tidak mutlak menunjukkan bahwa pemasaran berjalan dengan efisien. Hal ini berkaitan dengan besar kecilnya manfaat yang ditambahkan pada produk (value added) yang dilakukan lembaga perantara atau pengolahan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Faktor yang penting diperhatikan adalah bukan besar kecilnya share, melainkan total penerimaan produknya. Farmer’s share mumpunyai hubungan negatif dengan marjin pemasaran. Sehingga semakin tinggi marjin pemasaran, maka bagian yang diterima oleh petani semakin rendah. Pengukuran efisiensi pemasaran pada usaha garam rakyat didasarkan pada efisiensi operasional dimana pemasaran akan efisien bila penggunaan biaya pemasaran rendah dan petani memiliki bagian (share) paling besar terhadap harga yang diterima konsumen akhir. Analisis efisiensi pemasaran usaha garam rakyat menggunakan pendekatan margin pemasaran dan farmer’s share.

Teori Perubahan Kelembagaan

Kelembagaan memiliki sifat dinamis, dimana kelembagaan dapat berubah seiring perkembangan waktu. terdapat dua dimensi dalam terjadinya perubahan kelembagaan yaitu 1) adanya perubahan kepentingan antar pelaku ekonomi akan memicu terjadinya perubahan kelembagaan dan 2) perubahan kelembagaan sengaja didesain untuk mengatur kegiatan ekonomi. Perubahan kelembagaan bertujuan untuk memperbaiki kualitas interaksi antar pelaku ekonominya. Perubahan kelembagaan terjadi disebabkan karena munculnya masalah kelangkaan dan perilaku yang sulit ditebak. Kelangkaan disini tidak sekedar persoalan keterbatasan sumberdaya (ekonomi) yang tersedia namun juga keterbatasan aturan main yang mengakibatkan pelaku ekonomi tidak memiliki akses untuk melakukan transaksi secara sepadan. Sedangkan menyangkut perilaku individu yang sulit dikontrol seperti perilaku oportunis, perubahan kelembagaan harus dilakukan supaya tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

(37)

berdasarkan hasil dari perjuangan antara kelompok kepentingan yang berharap mendapatkan pembagian lebih baik didalam pemanfaatan sumber daya dan distribusi pendapatan (Yustika 2008). Selain itu perubahan kelembagaan dapat dilakukan dengan formalisasi penulisan kembali peraturan, mengkomunikasikan perubahan kepada mereka yang dipengaruhi dan mengawasi serta menegakkan perilaku yang bertentangan dengan aturan baru yang telah disepakati. Menurut para ahli ekonomi kelembagaan tuntutan efektif terhadap perubahan kelembagaan pada dasarnya digunakan untuk mengubah (menurunkan) biaya transaksi.

Setiap perubahan kelembagaan diperlukan alat ukur dan variabel yang terfokus sehingga memudahkan setiap pengambil kebijakan merumuskan jenis kelembagaan yang dibutuhkan. North (1990) memetakan perubahan kelembagaan menjadi dua tahap yaitu peningkatan pendapatan dan pasar tidak sempurna yang mengakibatkan tingginya biaya transaksi. Dalam kasus ekspektasi atas peningkatan pendapatan, perubahan kelembagaan didasari atas besarnya manfaat yang diterima lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan, sedangkan dalam kasus pasar yang tidak sempurna yaitu adanya informasi yang asimetris maka perubahan kelembagaan bereaksi terhadap transaksi yang tidak efesien. Perubahan kelembagaan ini dapat dikerjakan melalui koordinasi pasar maupun organisasi.

Kerangka Pemikiran Operasional

Kelembagaan adalah suatu instrumen yang dibuat oleh manusia untuk mengatur interaksi/hubungan antara individu atau kelompok, dilengkapi dengan aturan penegakan dan sanksi terhadap pelanggaran dan perilaku oportunis. Hubungan kemitraan merupakan suatu bentuk kelembagaan karena adanya sifat saling ketergantungan. Pada usaha garam rakyat, terdapat kemitraan antara penggarap dengan pemilik lahan, pemilik lahan/ pemilik sekaligus penggarap dengan pedagang perantara dan antara pedagang perantara dengan perusahaan pengolahan. Selama ini tidak ada kemitraan secara langsung antara petani dengan perusahaan pengolah garam di Rembang. Petani lebih memilih menjual hasil produksinya kepada pedagang perantara karena tidak memerlukan biaya transportasi dan pergudangan, selain itu adanya kemudahan bantuan pinjaman modal yang diberikan oleh pedagang perantara memperkuat ikatan kemitraan antara petani dengan pedagang perantara. Petani sangat terbantu dengan keberadaan pedagang perantara, namun menurut Rocwulaningsih (2008) pedagang perantara cenderung menetapkan harga secara sepihak. Hal ini terjadi karena tidak adanya mekanisme aturan main yang lengkap. Kondisi demikian menunjukkan bahwa kemitraan yang terjalin dalam usaha garam rakyat belum ideal karena masih terdapat salah satu pihak yang merasa dirugikan.

Gambar

Tabel 1 Tingkat kebutuhan, produksi dan impor  garam nasional tahun 2008-2011 (ton)
Gambar 1.
Gambar 3 Marjin pemasaran
Gambar 4  Kerangka pemikiran operasional  model bisnis usaha garam rakyat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Karakter wirausaha yang menjadi prioritas kedua dalam menjalankan usaha pertanian garam rakyat menurut petani garam rakyat di Desa Aeng Sareh, Kecamatan Sampangadalah

Sedangkan di tingkat pedagang pengepul, jumlah petani garam yang banyak dapat menimbulkan permainan dalam pasar persaingan pedagang pengepul untuk melakukan suatu

Strategi yang digunakan untuk meningkatkan pendapatan petani garam di Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang adalah Penyaluran bantuan PUGAR ke koperasi-koperasi garam

Untuk menguji hipotesis kedua yaitu diduga usaha pemeliharaan ayam pedaging sistem kemitraan di Kecamatam Limbangan Kabupaten Kendal memberikan penerimaan, pendapatan

Mata rantai usaha Garam rakyat di Desa Losarang terdiri lima komponen, yaitu (1) Petam- bak Garam, orang yang melaksanakan usaha Garam pada lahan milik sendiri

Ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Rembang, sebagaimana pantai utara Jawa Tengah lainnya tidak hanya terbentuk di kawasan muara sungai namun terutama terbentuk pada

Berdasarkan hal tersebut diperlukan analisis kelayakan usaha pada usaha agrowisata di Kabupaten Rembang dengan penambahan fasilitas rumah makan (skenario II). Dalam

Penelitian Integrasi Gender Dalam Pengembangan Potensi Kemitraan Yang Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir Kabupaten Rembang, dilaksanakan di wilayah pesisir