• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan Latar Belakang

Desentralisasi dan otonomi daerah pada hakekatnya merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan memberdayakan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat dilakukan dengan mengurangi jenjang birokrasi sehingga pemerintah daerah dapat memberikan pelayanan publik yang lebih dekat, cepat dan tepat sasaran kepada masyarakat. Sedangkan pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan memberikan kesempatan yang lebih besar kepada semua lapisan masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap tahapan proses pembangunan.

Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat, merupakan daerah otonom baru (DOB) yang terbentuk pada tanggal 18 Desember 2003, dan merupakan kabupaten penghasil bahan tambang emas dan tembaga terbesar kedua di Indonesia. Dengan status KSB sebagai DOB dan daerah penghasil bahan tambang, masyarakat KSB mengharapkan terwujudnya peningkatan kesejahteraan mereka. Pemerintah KSB merespon harapan masyarakat tersebut melalui inovasi kebijakan pembangunan yang bertumpu pada partisipasi masyarakat yang dinamakan Program Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga (PBRT).

Dalam pelaksanaanya, PBRT memberikan block grant pembangunan (BGP) berupa dana stimulan kepada setiap RT setiap tahun, dan mendorong pembentukan Koperasi Berbasis Rukun Tetangga (KBRT) melalui Program Dana Stimulus Ekonomi. Pemberian BGP ini melengkapi BGP yang sudah ada sebelumnya, yaitu BGP dari Pemerintah Pusat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, dan block grant dari pihak swasta, dimana perusahaan pertambangan yang beroperasi di KSB memberikan block grant untuk pengembangan infrastruktur dan program pengembangan masyarakat sebagai bagian dari program tanggungjawab sosial dunia usaha.

Kebijakan block grant di Indonesia, berdasarkan tujuan dan penerima manfaat dapat dipilahkan menjadi dua bentuk, yaitu program bantuan dan

13 perlindungan sosial, dan block grant pembangunan. Dalam program bantuan dan perlindungan sosial atau disebut juga dengan program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Pemerintah memberikan bantuan langsung (baik berupa uang tunai, bahan makanan, bantuan sosial, dan sebagainya) kepada masyarakat sasaran, dan digolongkan sebagai program charity. Sedangkan BGP diberikan dalam bentuk bentuk program pemberdayaan masyarakat sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat menuju kemandiriannya dalam pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat (Sumodiningrat 2007).

Pemberian BGP merupakan upaya untuk membangun saling percaya (trust) antara pemerintah dan masyarakat, dan antar anggota masyarakat. Membangun saling percaya (trust) ini adalah komponen penting dalam pembentukan modal sosial (Fukuyama 2002). Program BGP merupakan program yang digolongkan sebagai perubahan yang direncanakan dimana inovasi untuk perubahan datang dari eksternal komunitas, dan komunitas diharapkan untuk mengadopsi perubahan berencana yang diintervensi pihak eksternal (Lippitt dan Wesley 1958; Leeuwis 2006). Kebijakan difusi inovasi di Indonesia pada masa- masa sebelum tahun 1990-an, adalah bagaimana agar intervensi suatu inovasi dapat diadopsi oleh masyarakat sesuai dengan kemauan pemerintah. Pada era pembangunan partisipatif sekarang ini, paradigma inovasi juga mengalami pergeseran, dimana masyarakat menjadi pelaku utama dalam proses pembangunan, sehingga aspirasi dan kebutuhan masyarakat harus mendapatkan perhatian yang lebih besar.

Pengertian inovasi menurut Rogers (1983) adalah suatu ide praktis, atau objek yang dianggap baru oleh individu atau unit adopsi lainnya. Sedangkan difusi inovasi adalah proses dimana inovasi tersebar atau dikomunikasikan dalam waktu tertentu kepada anggota sebuah sistem sosial. Leeuwis (2004) menggambarkan inovasi pada saat ini sebagai proses komunikasi untuk membangun jaringan, pembelajaran sosial, dan negosiasi.

Permasalahan yang terkait dengan inovasi yang datang dari luar sistem sosial adalah bagaimana proses difusi dan keputusan inovasi yang terjadi. Konsep ‟baru‟ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali dalam arti kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Meskipun paradigma pembangunan sudah bergeser menjadi proses partisipatif dan memberdayakan, akan tetapi paradigma lama masih dipegang kuat oleh pengambil kebijakan yang sangat kental dengan kultur administrasi yang birokratis. Di kalangan masyarakat pun masih mengalami kegamangan dalam menerapkan proses partisipatif setelah lebih dari tiga dekade menerima saja apa yang datang dari atas tanpa melakukan refleksi dan kritisi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik block grant pembangunan daerah partisipatif sebagai inovasi kebijakan pembangunan

14

Tinjauan Pustaka Inovasi Kebijakan Pembangunan

Perubahan paradigma pembangunan dari sebelumnya pembangunan ekonomi yang mengedepankan pertumbuhan menjadi pembangunan yang berpusat pada pembangunan manusia, membawa konsekuensi dengan adanya tuntutan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam setiap tahapan proses pembangunan. Paradigma baru pendekatan pembangunan tersebut merupakan inovasi kebijakan, baik bagi pengambil kebijakan maupun bagi masyarakat yang menjadi target kebijakan.

Menurut Rogers (2003), inovasi adalah gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang, maka ide tersebut adalah inovasi untuk orang tersebut. Konsep ‟baru‟ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali. Meskipun paradigma pembangunan sudah bergeser menjadi proses partisipatif dan memberdayakan, akan tetapi paradigma lama masih dipegang kuat oleh pengambil kebijakan yang sangat kental dengan kultur administrasi yang birokratis. Di kalangan masyarakat pun masih mengalami kegamangan dalam menerapkan proses partisipatif setelah lebih dari tiga dekade menerima saja apa yang datang dari atas tanpa melakukan refleksi dan kritisi.

Program-program block grants merupakan program yang diinisasi oleh pihak di luar komunitas, sehingga masyarakat bisa saja menerima yang dinyatakan dengan kemauan dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam program, atau bahkan bisa saja menolak baik secara terbuka maupun secara diam-diam. Resistensi masyarakat terhadap program diungkapkan James C. Scott (1981) tentang subsistensi dan perlawanan petani. Prinsip moral ini dari teori Scott (1981) adalah berdasarkan gagasan bahwa program-program intervensi oleh pemerintah atau pun dari pihak di luar komunitas, hendaknya tidak mengganggu tatanan sosial dan kelembagaan yang ada di komunitas. Ketika terjadinya eksploitasi yang menyebabkan etika subsistensi serta norma resiprositas tersebut dilanggar maka petani akan melakukan perlawanan baik berupa penolakan program secara terbuka, maupun penolakan secara diam-diam dalam bentuk sikap apatis terhadap implementasi program.

Pengalaman Lakpesdam NU dalam memfasilitasi Perencanaan Partisipatori Penyusunan Program Desa (P4D) di Jawa Tengah (Sumarto, 2009) menemukan bahwa ternyata desa mempunyai konsep kebudayaan yang sistematik dan organik. Desa tidak selalu membutuhkan bimbingan. Desa hidup dalam sistem kebudayaan, politik, dan sosial secara mandiri. Desa juga memiliki indigeneus dan local wisdom yang resisten terhadap pengaruh di luar dirinya.

Selain dari masyarakat, resistensi bisa saja timbul dari kalangan birokrasi yang membuat dan menjadi pelaksana kebijakan. Hasil penelitian thesis Entin Sriani Muslim (2000) yang dilakukan terhadap 69 birokrat yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan di Kota Bandung menunjukkan belum terjadi perubahan budaya birokrasi. Aspek-aspek budaya yang masih bertahan adalah budaya yang bersifat dominasi, paternalistik, patrimonial dan tidak menjunjung akuntabilitas. Aspek budaya yang telah mengalami transisi adalah budaya demokratis yang mendukung adanya pembagian kekuasaan dan pemberdayaan

15 terhadap anggota birokrasi level bawah. Perspektif birokrasi daerah tentang pembangunan tidak kondusif bagi pelaksanaan pembangunan beorientasi people centered development dan upaya pengentasan kemiskinan.

Terdapat dua faktor utama yang diduga berkontribusi terhadap respon masyarakat, yaitu faktor internal yang berasal dari individu masyarakat, dan faktor eksternal yang berasal dari luar individu dan atau sistem sosial. Faktor-faktor internal tersebut antara lain pengetahuan, keterampilan, sikap mental, nilai-nilai, dan kondisi sosial ekonomi individu tersebut. Sedangkan faktor-faktor eksternal antara lain kebijakan pemerintah, karakteristik program pemberdayaan masyarakat, kompentensi pendamping, dan peran pemimpin setempat.

Teori difusi inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial (Rogers 1983). Menurut Rogers, dalam proses difusi inovasi terdapat empat elemen pokok, yaitu: inovasi, saluran komunikasi, jangka waktu, dan sistem sosial.

Inovasi. Rogers (2003) menyatakan bahwa terdapat lima karakteristik inovasi yang dapat mempengaruhi tingkat adopsi seseorang secara individu, yaitu: Relative advantage (keuntungan relatif); (2) Compatibility (kesesuaian); (3) Complexity (kerumitan); (4) Trialability (kemungkinan dicoba); dan (5) Observability (kemungkinan diamati). Keuntungan relatif adalah derajat dimana inovasi dirasakan lebih baik dari pada ide lain yang menggantikannya. Derajat keuntungan tersebut dapat diukur secara ekonomis, tetapi faktor prestise sosial, kenyamanan dan kepuasan juga merupakan faktor penting. Semakin besar keuntungan relatif inovasi yang dapat dirasakan, tingkat adopsi inovasi juga akan menjadi lebih cepat.

Kesesuaian adalah derajat dimana inovasi dirasakan sebagai sesuatu yang biasa dilakukan atau konsisten dengan nilai–nilai yang berlaku, pengalaman- pengalaman terakhir dan kebutuhan adopter (pengadopsi). Ide yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma sistem sosial tidak akan diadopsi secara cepat sebagaimana inovasi yang sesuai. Kerumitan adalah derajat kesulitan inovasi untuk dipahami dan digunakan. Ide-ide baru yang lebih sederhana untuk dipahami akan lebih cepat diadopsi daripada inovasi yang mengharuskan adopter mengembangkan keahlian dan pemahaman baru.

Kemungkinan dicobaadalah derajat kemudahan inovasi untuk dicoba pada keadaan sumber daya yang terbatas. Ide-ide baru yang dapat dicoba pada sebagaian tahapan penanaman secara umum akan lebih mudah dan cepat diadopsi daripada inovasi yang tidak dapat diuji cobakan dalam skala yang lebih kecil. Kemungkinan dicoba adalah derajat kemudahan inovasi untuk dilihat dan disaksikan hasilnya oleh orang lain. Kemudahan dalam melihat hasil inovasi oleh seseorang akan memudahkannya dalam mengadopsi inovasi.

Saluran komunikasi. Difusi adalah tipe komunikasi khusus dalam mana isi pesan yang dipertukarkan dilibatkan dengan sebuah ide baru. Esensi proses difusi inovasi adalah pertukaran inovasi melalui seseorang secara individu yang mengkomunikasikan ide baru kepada seseorang atau beberapa orang lainnya dengan bentuk dasar melibatkan:1) Inovasi; 2) individu atau unit adopsi lainnya yang memiliki pengetahuan atau pengalaman dalam memanfaatkan inovasi, 3) individu lain atau unit lainnya yang belum memiliki pengetahuan atau pengalaman dengan inovasi tersebut; dan 4) saluran komunikasi penghubung dua

16

unit tersebut. Saluran komunikasi atau communication channel adalah ‟alat‟ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari individu yang satu ke individu lainnya. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidak perlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b) karakteristik penerima. Apabila komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi apabila komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku seseorang secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal. Saluran komunikasi interpersonal melibatkan komunikasi tatap muka (face to face) antara dua atau lebih individu.

Jangka waktu. Jangka waktu adopsi inovasi merupakan proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam: (a) Proses pengambilan keputusan inovasi, (b) Keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.

Rogers (2003) menggambarkan the innovation decision process (proses keputusan inovasi) sebagai kegiatan individu untuk mencari dan memproses informasi tentang suatu inovasi sehingga termotivasi untuk mencari tahu tentang keuntungan atau kerugian dari inovasi tersebut yang pada akhirnya akan memutuskan apakah dia akan mengadopsi inovasi tersebut atau tidak. Proses keputusan inovasi memiliki lima tahap, yaitu: knowledge (pengetahuan), persuasion (kepercayaan), decision (keputusan), implementatation (penerapan), dan confirmation (penegasan/ pengesahan).

Sistem sosial. Sistem sosial adalah kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat kerja sama dalam menyelesaikan masalah untuk mencapai tujuan bersama. Sebuah sistem memiliki struktur dan didefinisikan sebagai pola susunan unit dalam sistem yang memberikan stabilitas dan pengaturan untuk perilaku individu dalam sebuah sistem. Anggota atau unit sistem sosial mungkin merupakan individu, kelompok informal, organisasi, dan atau subsistem.

Difusi terjadi dalam sebuah sistem sosial. Struktur sosial dari sistem tersebut mempengaruhi difusi inovasi dalam beberapa cara. Sistem sosial merupakan sebuah pembatas terjadinya difusi inovasi. Struktur sosial dari sebuah sistem sosial dapat memfasilitasi atau menghalangi difusi inovasi dalam sistem. Salah satu aspek dari struktur sosial adalah norma, yaitu pembentuk pola perilaku anggota sistem sosial. Norma sistem sosial dapat menjadi penghalang untuk berubah.

Sebagian besar anggota sistem sosial yang inovatif seringkali dianggap sebagai sebuah penyimpangan dari sistem sosial. Peran individu tersebut dalam difusi sangat terbatas. Anggota sistem sosial yang dapat dipercaya berfungsi sebagai opinion leader. Mereka memberikan informasi dan memberikan nasehat tentang inovasi untuk beberapa individu lainnya dalam sistem tersebut. Opinion leadership adalah derajat dimana individu dapat mempengaruhi sikap individu lain atau perilaku terang-terangan secara informal dalam cara yang diinginkan. Kepemimpinan informal bukan sebuah fungsi dari posisi atau status formal individu dalam sistem sosial. Opinion leadership dihasilkan dan dipelihara oleh

17 kompetensi teknis individu, aksesibilitas sosial, dan conformitas norma sistem sosial.

Bentuk individu lain yang dapat mempengaruhi sikap individu dalam sistem sosial secara profesional adalah agen pembaharu yang berasal dari luar sistem sosial. Agen pembaharu adalah individu yang berusaha mempengaruhi keputusan inovasi klien. Agen perubahan seringkali memanfaatkan opinion leader dalam sistem sosial sebagai ketua kelompok dalam kegiatan difusi.

Sistem sosial memiliki pengaruh penting dalam difusi ide baru. Inovasi dapat diadopsi atau ditolak (1) oleh anggota sistem sosial secara individu atau (2) oleh seluruh sistem sosial, yang dapat memutuskan untuk mengadopsi inovasi melalui keputusan kolektif atau otoritas. Terdapat tiga tipe utama keputusan inovasi, yaitu: 1) Optional innovation-decisions, yaitu memilih mengadopsi atau menolak inovasi yang dibuat oleh individu secara independen dari keputusan anggota sistem sosial yang lain; 2) Collective innovation-decisions, yaitu memilik untuk mengadopsi atau menolak inovasi yang dibuat melalui konsensus di antara anggota sistem sosial; 3) Authority innovation-decisions, yaitu memilih mengadopsi atau menolak inovasi yang dibuat oleh sekelompok kecil individu dalam sebuah sistem sosial yang memiliki kekuasaan, status, atau keahlian secara teknis; dan 4) Contingent innovation-decision yaitu memilih mengadopsi atau menolak inovasi yang dibuat hanya setelah adanya sebuah keputusan inovasi yang mendahului.

Block Grant Pembangunan

Latar belakang pemberian hibah atau block grant adalah upaya untuk mengentaskan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat. Disadari bahwa sumber utama dari kemiskinan dan keterbelakangan adalah ketidakberdayaan, sehingga diperlukan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Masyarakat yang selama ini terpinggirkan dengan menjadi obyek pembangunan semata, kini ditempatkan sebagai subyek yang menjadi pelaku pembangunan. Program- program pemberdayaan masyarakat dilaksanakan berdasarkan perspektif pembangunan berpusat pada rakyat atau people centered development (PCD). Konsekuensinya, Pemerintah harus melakukan reorientasi kebijakan pembangunan, termasuk menata prosedur dan instrumen pembangunan (Soetomo 2011).

Istilah block grant menjadi istilah yang populer ketika negara dan rakyat Indonesia memasuki era desentralisasi pada akhir tahun 1990-an, meski pun pada era Orde Baru pemerintah juga sudah memberikan block grant pembangunan melalui instruksi Presiden tentang pembangunan desa tertinggal atau lebih dikenal dengan Inpres Desa Tertinggal (IDT). Kebijakan block grant bukan hanya ada di negara-negara berkembang seperti di Indonesia, namun juga dilakukan di negara- negara maju seperti di Amerika Serikat.

Istilah block grant sendiri mulai diperkenalkan di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1960-an. Sejarah block grant menurut Finegold et al. (2004) telah menjadi bagian dari sistem federal Amerika sejak tahun 1966. Inisiatif awal ketika pemerintahan partai Demokrat memberikan dua block grant berupa the Partneship for Health Program pada tahun 1966, dan the Omnibus Crime Control and Safe Streets Act pada tahun 1968. Kebijakan ini kemudian dilanjutkan pemerintahan partai Republik, dimana pada tahun 1971 Presiden Nixon

18

mengusulkan mengkonsolidasikan 129 program yang berbeda ke dalam enam block grants, yang kemudian ditolak anggota Kongres dari partai Demokrat. Meskipun demikian, pada akhir pemerintahan Presiden Ford, Kongres telah menciptakan tiga skim besar block grants, yaitu : the Community Development Block Grant (CDBG), the Social Services Block Grant (SSBG), dan the Comprehensive Employment and Training Act (CETA). Berbagai program block grant juga dikembangkan oleh pemerintahan presiden-presiden Amerika Serikat berikutnya.

Dari hasil kajian Finegold et al., pelajaran yang dapat ditarik dari program block grant di Amerika Serikat adalah bahwa block grant di Amerika Serikat bukanlah suatu program charity, namun merupakan suatu program yang terintegrasi dengan sistem administrasi pemerintah pusat dan pemerintah negara bagian. Program block grant merupakan program ad hoc yang akan dihentikan dan atau dikurangi pendanaannya secara bertahap ketika penerima hibah.

Kebijakan block grant seperti di Amerika Serikat, di Indonesia hampir sama dengan block grant transfer daerah dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Dalam block grant ini, Pemerintah Pusat melakukan transfer dana ke Pemerintah Daerah melalui beberapa mekanisme, seperti dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil (DBH). Semua dana perimbangan tersebut disalurkan ke dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Dari ketiga mekanisme tersebut, yang bersifat hibah umum (block grant) adalah DAU, dimana Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki kebebasan dalam memanfaatkannya tanpa campur tangan Pemerintah Pusat. Sekitar 80% DAU yang dikelola daerah digunakan untuk belanja rutin, terutama gaji pegawai Pemda (Hastuti et al. 2006; Usman 2008).

Selain kebijakan block grant transfer daerah dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, bentuk lain block grant adalah bantuan dan hibah dari pemerintah langsung kepada masyarakat. Berdasarkan tujuan dan penerima manfaat dapat dipilahkan menjadi dua bentuk, yaitu program bantuan dan perlindungan sosial, dan block grant pembangunan (Sumodiningrat 1999; Hastuti et al. 2006):

Pertama, Program Bantuan dan Perlindungan Sosial atau disebut juga dengan program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Melalui program ini Pemerintah memberikan bantuan langsung (baik berupa uang tunai, bahan makanan, bantuan sosial, dan sebagainya) kepada masyarakat sasaran atau rumah tangga sasaran (RTS). Program-program yang termasuk dalam kelompok ini antara lain : (a) Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk meningkatkan daya beli masyarakat miskin sebagai dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), (b) Beras bersubsidi atau beras untuk rumah tangga miskin (Raskin), (c) Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi siswa dari keluarga miskin, (d) Program Keluarga Harapan (PKH) berupa bantuan uang bagi rumah tangga sangat miskin (RTSM), (e) Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) bagi RTM/RTSM untuk berobat gratis di Puskesmas dan RS Pemerintah, (f) Bantuan social untuk pengungsi/korban bencana, (g) Bantuan sosial untuk penyandang cacat dan orang tua lanjut usia (lansia).

Dilihat dari tujuan dan sasaran penerimanya, block grant bentuk pertama ini dapat digolongkan sebagai program karitas, atau “memberikan ikan” kepada RTS sangat miskin dan hampir miskin sebagai suatu tindakan perlindungan sosial.

19 Untuk bantuan yang tidak bersifat pertolongan segera (tanggap darurat) seperti bantuan untuk korban bencana, biasa memberlakukan persyaratan tertentu kepada penerima bantuan. Di beberap negara, selain mensyaratkan kualifikasi rumah tangga sasaran (RTS) miskin, program dana tunai juga mewajibkan penerima bantuan dana tunai untuk melakukan hal-hal yang dipersyaratkan, misalnya menyekolahkan anak, menggunakan fasilitas layanan kesehatan untuk kesehatan ibu dan anak, dan sebagainya (Sumarto 2006).

Kedua, block grant pembangunan dalam bentuk program pemberdayaan masyarakat. Program ini adalah program yang “memberikan kail dan mengajarkan cara memancing” sebagai upaya untuk meningkatkan dan menciptakan kapasitas masyarakat menuju kemandiriannya dalam pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat. Berbagai program pemberdayaan masyarakat yang sebelumnya dilaksanakan secara terpisah oleh masing-masing Kementerian, dan dinilai pelaksanaannya kurang efektif dan parsial, sehingga kemudian sejak tahun 2007 diintegrasikan ke dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan yang menjadi dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. Program ini menjadikan Kecamatan sebagai lokus program untuk mengharmonisasikan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian program.

Pemberdayaan Komunitas Melalui Pendekatan BlockGrant Pembangunan Pendekatan people centered development (PCD) dalam pelaksanaannya mengalami permasalahan, yaitu stimulasi yang dilakukan pihak pelaksana program kepada masyarakat tidak berkelanjutan, karena lemahnya pemahaman konsep dan filosofi pemberdayaan masyarakat di kalangan aparatur dan pelaksana program. Akibatnya terjadi distorsi dalam penjabaran dan implementasi program, sehingga yang terjadi bukanlah perubahan substansial akan tetapi hanya sekedar perubahan prosedural (atau perubahan kemasan semata). Pendekatan yang dilakukan seharusnya bagaimana mengembangkan kapasitas masyarakat (enabling process) yang memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk menentukan masa depannya. Ketika masih mendapatkan fasilitasi, masyarakat seolah lebih dinamis sebagai dampak fasilitasi, namun kemudian mengalami kemunduran ketika fasilitasi dihentikan (Soetomo 2011).

Dari sudut pandang ilmu Penyuluhan Pembangunan, proses pemberdayaan pada hakekatnya adalah proses memampukan (enabling) masyarakat dengan memberikan kewenangan (power sharing) kepada masyarakat untuk mengurus dirinya sendiri, dan memberikan kemampuan atau daya melalui proses pembelajaran, karena masyarakat membutuhkan kemampuan untuk mengaktualisasikan kewenangan. Sebagai sebuah alternatif pembangunan, pemberdayaan bukanlah pelaksanaan program yang mekanis, melainkan proses belajar bersama secara berkelanjutan dimana masyarakat dapat mengenali dan mengembangkan dirinya.

Pemberdayaan masyarakat bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya, pembaharuan institusi- institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Proses pemberdayaan masyarakat merupakan

20

proses difusi praktek sosial baru (sebagai suatu inovasi) kepada masyarakat sebagai adopter. Perubahan yang diharapkan sebagai dampak pemberdayaan masyarakat adalah perubahan yang terpola dan terlembagakan, sehingga akan tumbuh institusi baru yang sesuai dengan perubahan yang terjadi.

Konsep yang mendasari bahwa proses pemberdayaan masyarakat harus

Dokumen terkait