PERILAKU KOMUNITAS DALAM MENGELOLA BLOCK
GRANT PEMBANGUNAN DAERAH PARTISIPATIF
(KASUS KABUPATEN SUMBAWA BARAT PROVINSI NTB)
AGUS PURBATHIN HADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Perilaku Komunitas dalam Mengelola Block Grant Pembangunan Daerah Partisipatif (Kasus Kabupaten Sumbawa Barat Provinsi NTB) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
RINGKASAN
AGUS PURBATHIN HADI. Perilaku Komunitas dalam Mengelola Block Grant Pembangunan Daerah Partisipatif (Kasus Kabupaten Sumbawa Barat Provinsi NTB). Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING, DJOKO SUSANTO dan NINUK PURNANINGSIH.
Upaya untuk membangun kepercayaan antara pemerintah dengan masyarakat, antara lain dengan memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk mengelola sendiri pembangunan di lingkungannya melalui pemberian Block Grant Pembangunan (BGP). BGP merupakan bentuk inovasi yang sangat esensial dalam mengembangkan partisipasi dan memberdayakan masyarakat. Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) adalah daerah yang memiliki inovasi kebijakan untuk membangun partisipasi dari level komunitas melalui kebijakan Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga (PBRT). Dalam pelaksanaannya, PBRT memberikan BGP seperti program Bedah Rumah dan stimulan pengembangan usaha mikro dan kecil melalui pembentukan Koperasi Berbasis Rukun Tetangga (KBRT).
Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) menganalisis profil program BGP sebagai suatu inovasi kebijakan pembangunan, (2) menganalisis perilaku komunitas Rukun Tetangga dalam mengelola BGP dan faktor-faktor saja yang mempengaruhi perilaku partisipatif tersebut, dan (3) menganalisis keberdayaan komunitas Rukun Tetangga dalam mengelola BGP
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), Provinsi Nusa Tenggara Barat. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui survei, wawancara mendalam, dan focus group discussions (FGD).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan PBRT merupakan inovasi kebijakan pembangunan karena menempatkan Rukun Tetangga sebagai lokus kegiatan. Dalam PBRT, Rukun Tetangga ditempatkan tidak lagi sebatas untuk kebutuhan administratif, tetapi sebagai kesatuan komunitas warga yang saling berinteraksi dan diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam setiap tahapan pembangunan.
Pada proses komunikasi inovasi terjadi proses membangun jaringan, pembelajaran sosial, dan negosiasi. Jaringan komunikasi internal telah terbangun dan berlangsung efektif, namun pembentukan jaringan dengan pihak eksternal di luar komunitas belum berjalan. Dalam proses komunikasi inovasi PBRT, warga belajar dari sejumlah informasi yang diperoleh melalui komunikasi dan partisipasi dalam sistem sosial Rukun Tetangga. Proses belajar terjadi mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan sampai ke monitoring dan evaluasi program BGP. Negosiasi terjadi dalam internal komunitas Rukun Tetangga dalam pembagian tugas, peran dan tanggung jawab, namun negosiasi dengan pihak eksternal di luar komunitas belum berjalan.
perilaku partisipatif yang lebih baik dibandingkan dengan desa Sekongkang Bawah yang termasuk dalam desa lingkar tambang Batu Hijau. Komunitas masyarakat yang berada di desa-desa persawahan memiliki tingkat partisipasi yang lebih baik dibandingkan dengan desa-desa nelayan. Komunitas Rukun Tetangga yang tinggal di wilayah perkotaan menunjukkan tingkat partisipasi warga tergolong baik.
Perilaku partisipatif warga komunitas Rukun Tetangga yang tergolong tinggi adalah karena Rukun Tetangga adalah institusi sosial kemasyarakatan yang terkecil setelah rumah tangga, dimana Rukun Tetangga merupakan wadah interaksi dan komunikasi warga yang terjadi setiap hari. Tingkat partisipasi yang berbeda ditunjukkan warga terhadap program-program pembangunan dari luar komunitas, seperti program-program di tingkat desa dan atau kecamatan. Untuk program-program BGP dari pemerintah pusat dan BGP dari perusahaan swasta, partisipasi warga komunitas Rukun Tetangga tergolong rendah.
Peubah-peubah yang berpengaruh nyata terhadap perilaku partisipatif komunitas Rukun Tetangga adalah motivasi intrisik, motivasi ekstrinsik, karakteristik sistem sosial, karakteristik program, dan peran fasilitator. Motivasi yang datang dari dalam diri warga komunitas untuk berpartisipasi dalam pembangunan di lingkungannya tergolong baik, namun faktor-faktor dari luar diri warga komunitas tidak cukup kuat memotivasi warga untuk berpartisipasi.
Pengelolaan BGP oleh komunitas dilihat dari aspek perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pemeliharaan tergolong baik, sedangkan aspek monitoring dan evaluasi tergolong cukup. Pengelolaan program-program yang menyangkut hubungan sosial warga komunitas seperti dana stimulus RT dan program bedah rumah dapat dilaksanakan secara mandiri oleh komunitas. Sedangkan program yang menyangkut pengembangan ekonomi dan perencanaan membutuhkan pendampingan bagi komunitas rukun tetangga.
Keberdayaan komunitas Rukun Tetangga dalam mengelola BGP dilihat dari tiga aspek, yaitu keberdayaan komunitas rukun tetangga dalam penguatan kelompok dan kepeloporan, keberdayaan komunitas rukun tetangga dalam penguatan sosial dan ekonomi, dan keberdayaan komunitas rukun tetangga dalam penguatan demokrasi dan partisipasi tergolong baik. Namun demikian masih dibutuhkan fasilitasi untuk penguatan ekonomi secara berkelompok. Keberdayaan komunitas Rukun Tetangga berpengaruh positif dan berpengaruh nyata terhadap perilaku partisipatif komunitas dalam mengelola BGP. Hal ini memperlihatkan kuatnya modal sosial (social capital) di komunitas Rukun Tetangga sebagai salah satu modal penting dalam keberlanjutan pembangunan.
Memperhatikan beberapa pembelajaran dari implementasi pengelolaan BGP oleh komunitas rukun tetangga, maka implikasi kebijakan yang dapat disarankan adalah :
2. Menjadikan Rukun Tetangga sebagai unit belajar masyarakat dengan memfasilitasi sarana dan prasarana belajar, sumber pembelajaran, dan tenaga fasilitator sesuai kompetensi yang dibutuhkan.
3. Menjadikan Rukun Tetangga sebagai unit pengembangan ekonomi untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan warga komunitas dengan memberikan fasilitasi dan membuka akses terhadap sumber-sumber permodalan dan jaringan pemasaran.
4. Menumbuhkan fasilitator-fasilitator lokal yang akan memfasilitasi proses belajar di komunitas rukun tetangga dengan berbagai kompetensi (seperti agribisnis, budidaya tanaman, budidaya peternakan, budidaya perikanan, keuangan mikro, dan sebagainya). Penyiapan fasilitator profesional yang memiliki kompetensi dapat bekerjasama dengan Perguruan Tinggi setempat dan LSM lokal, dengan memberikan pendidikan (setara diploma) di Akademi Komunitas setempat.
5. Langkah-langkah untuk menumbuhkan fasilitator lokal, yang pertama adalah mengidentifikasi para aktor lokal yang kemudian dilembagakan menjadi kader pemberdayaan. Berikutnya adalah membangun kesadaran kolektif tentang isu-isu yang berkembang di masyarakat, kemudian melakukan pembelajaran, pengorganisasian, pelatihan dan mentoring sesuai kebutuhan. Terakhir adalah pelembagaan (institusionalisasi) dalam proses perencanaan desa (Musrenbangdes).
6. Memperhatikan proses pembelajaran sosial yang terjadi di komunitas Rukun Tetangga, pendekatan masalah yang selama ini digunakan diubah menjadi pendekatan apresiatif. Dari proses pembelajaran sosial, warga menemukan pengalaman-pengalaman positif yang akan menjadi modal penting dalam pembangunan di lingkungannya dengan mengedepankan potensi yang dimiliki daripada terus mengharapkan bantuan dari luar komunitas.
SUMMARY
AGUS PURBATHIN HADI. Behavior of Community to Manage the Development Block Grant of Participatory District (Case of Sumbawa Barat District NTB Province). Supervised by LALA M. KOLOPAKING, DJOKO SUSANTO and NINUK PURNANINGSIH.
Efforts to build trust between the government and society, among others, by giving confidence to the people to manage their own development environment through the provision of development block grant (BGP). BGP is a form of innovation that is essential in developing and empowering community participation. KSB is a district that have policy innovation to establish the level of participation of the community through the Neighborhood-Based Development policy (PBRT). In the implementation, BGP provide programs PBRT such as Surgery Home and stimulant development of micro and small enterprises through the establishment of Neighborhood-Based Cooperative (KBRT).
The objectives of this research are: (1) to analyze the profile of BGP program as an innovation policy development, (2) analyze the behavior of neighborhood communities in managing BGP and the factors that influence the participatory behavior, and (3) Analyze empowerment the neighborhood community in managing BGP
This study was conducted in West Sumbawa District (KSB), West Nusa Tenggara Province. Methods of this study used a descriptive approach to the techniques of data collection through surveys, in-depth interviews, and focus group discussions (FGD).
The results found that the Neighborhood-Based Development (PBRT) policy is an innovative development policy because it puts the neighborhood association as the locus of activity. In PBRT, Neighborhood placed no longer limited to administrative needs, but as a unified community of people who interact with each other and are given the opportunity to participate in every stage of development.
In the communication process of innovation occur process of network building, social learning, and negotiation. Internal communication network is established and is effective, but the formation of networks with external parties outside the community is not running. In the communication process of PBRT innovation, residents learned of a number of information obtained through communication and participation in the social system of neighborhood association. Learning occurs from planning, implementation, utilization up to the BGP monitoring and evaluation program. Negotiations occur in the Neighborhood Community in internal division of tasks, roles and responsibilities, but negotiations with external parties outside the community is not running.
villages of rice fields have a better participation rate compared with fishing villages. The neighborhood community who live in urban areas showed relatively good level of citizen participation.
Participatory behavior of residents of the neighborhood community that is high is because the neighborhood is the smallest social institution after the household, where the neighborhood is a place of interaction and communication that occur every day citizens. Different levels of participation of citizens demonstrated against development programs outside the community, such as programs at the village or district. For programs from the central government and the BGP BGP from private companies, the participation of community residents of the neighborhood is low.
Variables that significantly affect the neighborhood community participatory behavior is intrinsic motivation, extrinsic motivation, social system characteristics, program characteristics, and the role of facilitator. Motivation that comes from within the community residents to participate in the development environment is quite good, but factors outside themselves members of the community are not strong enough to motivate people to participate. BGP management by communities from the aspects of planning, implementation, use and maintenance is relatively good, while aspects of monitoring and evaluation is quite. Management programs related to social relationships as a community of citizens and the RT stimulus funding house renovation program can be carried out independently by the community. While programs related to economic development and community planning need assistance for the neighborhood.
Empowerment of neighborhood communities in managing BGP viewed from three aspects, namely the empowerment of neighborhood communities in strengthening and pioneering groups, the neighborhood community empowerment in social and economic strengthening and empowerment of neighborhood communities in strengthening democracy and participation is fair. However, still needed to facilitate economic empowerment in groups. Community empowerment and the positive effect of neighborhood real impact on community participatory behavior in managing BGP. This shows a strengthening of social capital (social capital) in the neighborhood community as one of the important capital in sustainable development.
Noting some of the lessons learned from the implementation of BGP management by the neighborhood community, the policy implications that can be suggested are:
1. If it is not possible to provide BGP as the implications of the entry into force of Law No. 6 of 2004 on the village, the policy emphasizes that the government PBRT villagers still make the neighborhood as actors in rural development, pre (Musrenbangdes) stays put at the neighborhood level as a basis for the drafting of the budgets income and Expenditure Village (RAPBDes).
3. Making the neighborhood as a unit of economic development to improve the income and welfare of community residents by providing facilitation and access to capital resources and network marketing.
4. Growing local facilitators who will facilitate the process of learning in community neighborhoods with various competencies (such as agribusiness, crop cultivation, livestock farming, aquaculture, micro finance, and so on). Preparation of a professional facilitator who has the competence to cooperate with local universities and local NGOs, by providing education (diploma equivalent) at the local Community College.
5. Measures to foster local facilitators, the first is to identify local actors who later became institutionalized cadre empowerment. Next is to build a collective awareness about issues in society, then do the learning, organizing, training and mentoring as needed. Last is the institutionalization (institutionalization) in the village planning process (Musrenbangdes).
6. Taking into account the social learning processes that occur in the Neighborhood community, approach to the problem which has been used is converted to an appreciative approach. From a social learning process, citizens find the positive experiences that will be of capital importance in the development environment by promoting its potential rather than continue to expect help from outside the community.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
PERILAKU KOMUNITAS DALAM MENGELOLA BLOCK
GRANT PEMBANGUNAN DAERAH PARTISIPATIF
(KASUS KABUPATEN SUMBAWA BARAT PROVINSI NTB)
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Djuara P Lubis
(Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor)
Dr Saharuddin, MSi
(Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor)
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr Ir H Amry Rakhman, MSi
(Kepala Bappeda Kabupaten Sumbawa Barat) Dr Saharuddin, MSi
Judul Disertasi : Perilaku Komunitas dalam Mengelola Block Grant Pembangunan Daerah Partisipatif (Kasus Kabupaten Sumbawa Barat Provinsi NTB)
Nama : Agus Purbathin Hadi NIM : I361090041
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Lala M. Kolopaking, MS Ketua
Prof (R) Dr Djoko Susanto, SKM, APU Anggota
Dr Ir Ninuk Purnaningsih, MSi Anggota
Diketahui oleh Ketua Program Studi
Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Prof Dr Ir Sumardjo, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi yang berjudul: Perilaku Komunitas dalam Mengelola Block Grant Pembangunan Daerah Partisipatif (Kasus Kabupaten Sumbawa Barat Provinsi NTB) ini berhasil diselesaikan.
Karya ilmiah ini dapat terselesaikan atas bantuan banyak pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr Ir Lala M Kolopaking, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, serta Prof (R) Djoko Susanto, SKM, APU., dan Dr. Ninuk Purnaningsih, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing. Terima kasih atas bimbingan yang diberikan dengan penuh kesabaran, mulai dari penyusunan Rencana Penelitian, pelaksanaan penelitian, sampai dengan terselesaikannya disertasi ini.
2. Dr Djuara P Lubis dan Dr. Saharuddin, M.Si selaku penguji ujian tertutup. Dr Ir H Amry Rakhman, M.Si (Kepala Bappeda Kabupaten Sumbawa Barat) dan Dr Saharuddin, M.Si selaku penguji pada ujian terbuka. Prof Dr Sumardjo, MS dan Dr Pudji Muljono, M.Si selaku penguji pada sidang komisi yang diperluas. Terima kasih atas masukan dan saran untuk penyempurnaan disertasi ini.
3. Prof Dr Sumardjo, MS dan Dr Anna Fatchiya, M.Si selaku Ketua dan Wakil Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, serta mbak Desiar Ismoyowati staf administrasi PS PPN. Juga kepada Prof. Dr. Ahmad Sulaiman dan Dr Titik Sumarti, Wakil Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB. Terima kasih atas dorongan semangat dan pelayanan administrasi akademik yang sangat baik.
4. Tim enumerator, Kepala Dinas/Instansi terkait, Koordiantor Kabupaten PNPM-P, PNPM-GSC, dan PNPM PISEW, staf Community Development PT Newmont Nusa Tenggara, dan responden penelitian di Kabupaten Sumbawa Barat. Terima kasih atas dukungan data dan informasi yang terkait dengan penelitian ini. Secara khusus terima kasih kepada Muhammad Nursan, S.P., M.Si yang telah membantu peneliti mulai dari pengumpulan data, pengolahan dan analisis data, sampai menyunting naskah terakhir.
5. Sahabat-sahabat di KSB : Dr H Ir Amry Rakhman, M.Si, Ir Bambang Supriadi, Ir. Abdul Muis, MM., Ir Muhadi, Ir Alimin dan Ir Fatmawati, M.Si, atas bantuan logistik dan akomodasi selama melakukan penelitian di lapangan. 6. Sahabat-sahabat di Program Doktor PPN IPB Angkatan 2009 : Dr Sumarlan, Dr Helda Ibrahim, Dr Inta PN Damanik, Dr Faizal Maad, Dr Ayat Taufik Arevin, dan Nelvariani Hanafi, M.Si, atas diskusi, masukan dan kebersamaan dalam menempuh pendidikan di PS PPN IPB.
7. Terima kasih disampaikan pula kepada para pihak yang telah membantu penyelesaian karya ilmiah ini, mulai dari penyusunan proposal, pengumpulan data di lapanggan, penulisan disertasi, sampai tahapan ujian akhir.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN x
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
Ruang Lingkup Penelitian 4
Kerangka Pemikiran 5
Kebaruan (Novelty) Penelitian 10
Sistematika Penulisan 11
2 PROGRAM BLOCK GRANT PEMBANGUNAN DAERAH SEBAGAI INOVASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DI KABUPATEN SUMBAWA
BARAT 12
Pendahuluan 12
Tinjauan Pustaka 14
Metode Penelitian 22
Hasil dan Pembahasan 23
Simpulan 32 3 PERILAKU KOMUNITAS RUKUN TETANGGA DALAM MENGELOLA
BLOCK GRANT PEMBANGUNAN DAERAH PARTISIPATIF 33
Pendahuluan 33
Tinjauan Pustaka 35
Metode Penelitian 42
Hasil dan Pembahasan 51
Simpulan 61
4 KEBERDAYAAN KOMUNITAS RUKUN TETANGGA DALAM MENGELOLA BLOCK GRANT PEMBANGUNAN DAERAH
PARTISIPATIF 62
Pendahuluan 62
Tinjauan Pustaka 63
Metode Penelitian 70
Hasil dan Pembahasan 72
Simpulan 82
5 PEMBAHASAN UMUM 82
6 SIMPULAN DAN SARAN 87
Simpulan 87
Saran 89
DAFTAR PUSTAKA 91
DAFTAR TABEL
1.1 Karakteristik program block grant yang memberdayakan masyarakat
6 1.2 Perilaku partisipatif masyarakat yang diharapkan dalam
pengelolaan block grant pembangunan
Keberdayaan masyarakat yang diharapkan dari pengelolaan block grant pembangunan
Luas wilayah, jumlah penduduk, kepadatan dan jumlah rumahtangga berdasarkan sensus penduduk 2010 menurut kecamatan di Kabupaten Sumbawa Barat
Pengelolaan block grant pembangunan di Kabupaten Sumbawa Barat
Penilaian warga komunitas terhadap inovasi PBRT
10 24
26 31 3.1 Kecamatan, desa, dan RT lokasi penelitian serta jumlah
responden di Kabupaten Sumbawa Barat tahun 2012
44 3.2 Definisi operasional, parameter dan pengukuran peubah
karakteristik individu
45 3.3 Definisi operasional, parameter dan pengukuran peubah
karakteristik sistem sosial
47 3.4 Definisi operasional, parameter dan pengukuran peubah
karakteristik program block grant pembangunan
48 3.5 Definisi operasional, parameter dan pengukuran peubah peran dan
keterampilan fasilitator program block grant pembangunan
49 3.6 Definisi operasional, parameter dan pengukuran peubah perilaku
partisipatif
49 3.7 Definisi operasional, parameter dan pengukuran peubah
keberdayaan masyarakat
50
3.8 Karakteristik responden penelitian 51
3.9 Sebaran persepsi warga komunitas tentang perilaku partisipatif komunitas rukun tetangga berdasarkan desa
52 3.10
3.11
Sebaran persepsi warga komunitas tentang perilaku partisipatif komunitas rukun tetangg berdasarkan aspek kognitif dan afektif Sebaran block grant pembangunan berdasarkan desa di Kabupaten Sumbawa Barat
54 55 3.12 Sebaran pengetahuan dan keterlibatan komunitas rukun tetangga
dalam program BGP
55 3.13 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku partisipatif komunitas
rukun tetangga dalam mengelola BGP
56 3.15
3.16
Sebaran penilaian warga komunitas rukun tetangga tentang karakteristik sistem sosial komunitas rukun tetangga
Sebaran penilaian warga komunitas rukun tetangga tentang karakterisik program BGP
58 59 3.17 Sebaran penilaian warga komunitas rukun tetangga tentang peran
dan keterampilan fasilitator
responden di Kabupaten Sumbawa Barat tahun 2012 4.3
4.4
Sebaran penilaian komunitas rukun tetangga berdasarkan pengelolaan BGP
Sebaran penilaian komunitas rukun tetangga tentang kemampuan mengelola BGP berdasarkan desa
72 73 4.5 Sebaran keberdayaan komunitas rukun tetangga dalam
penguatan kelompok dan kepeloporan
77 4.6 Sebaran keberdayaan komunitas rukun tetangga dalam penguatan
sosial dan ekonomi
79 4.7 Sebaran keberdayaan komunitas rukun tetangga dalam
penguatan demokrasi dan partisipasi
80 4.8 Hubungan antara keberdayaan terhadap perilaku partisipatif 81
DAFTAR GAMBAR
1.1 2.1 4.1
Kerangka pemikiran dan hubungan antar peubah penelitian
Peta wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kabupaten Sumbawa Barat
Paradigma pendekatan community participation model
5 23 64
DAFTAR LAMPIRAN
1 2
Siklus Block Grant PNPM Perdesaan
Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Barat Nomor 27 Tahun 2008 Tentang Pembangunan Berbasis RT (PBRT)
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) pada hakekatnya merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan memberdayakan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat dilakukan dengan mengurangi jenjang birokrasi sehingga pemerintah daerah dapat memberikan pelayanan publik yang lebih dekat, cepat dan tepat sasaran kepada masyarakat. Sedangkan pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan memberikan kesempatan yang lebih besar kepada semua lapisan masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap tahapan proses pembangunan.
Adanya harapan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan dan keberdayaan merupakan pendorong masyarakat di wilayah bagian barat dan selatan Pulau Sumbawa untuk membentuk Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) sebagai daerah kabupaten otonom yang terpisah dari Kabupaten Sumbawa di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sebagai wilayah penghasil bahan tambang emas dan tembaga terbesar kedua di Indonesia, masyarakat KSB mengharapkan mendapatkan nilai tambah dari pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan mereka. Dukungan untuk membentuk DOB datang dari semua lapisan masyarakat, baik dalam bentuk pemikiran maupun aksi sosial politik, sehingga pada tanggal 18 Desember 2003 ditetapkan terbentuknya Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat. Dukungan masyarakat terhadap pembentukan KSB sebagai daerah otonom baru perlu dikuatkan dengan membangun saling percaya (trust) antara pemerintah dan masyarakat, serta antar anggota masyarakat sendiri, sebagai suatu komponen penting dalam pembentukan modal sosial. Fukuyama (2002) menyatakan bahwa trust berfungsi sebagai pelumas yang membuat kelompok organisasi masyarakat dapat berjalan secara lebih efektif. Kepercayaan sosial adalah aset yang berharga yang berfungsi sebagai perekat bahkan merupakan prasyarat untuk mencapai civil society yang demokratis.
Upaya untuk membangun kepercayaan antara pemerintah dengan masyarakat, antara lain dengan memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk mengelola sendiri pembangunan di lingkungannya melalui pemberian block grant pembangunan (BGP). Pemberian BGP merupakan bentuk inovasi yang sangat esensial dalam mengembangkan partisipasi dan memberdayakan masyarakat. Inovasi kebijakan pemerintah KSB adalah dengan membangun partisipasi dari level komunitas melalui kebijakan Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga (PBRT). Dasar hukum Kebijakan PBRT adalah Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2008 yang menegaskan bahwa PBRT adalah upaya untuk menumbuhkembangkan partisipasi seluruh komponen masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan. Dalam pelaksanaannya, PBRT memberikan BGP seperti program Bedah Rumah dan stimulan pengembangan usaha mikro dan kecil melalui pembentukan Koperasi Berbasis Rukun Tetangga (KBRT).
2
pertambangan emas dan tembaga terbesar kedua di Indonesia, hibah juga diberikan oleh perusahaan pertambangan sebagai bentuk tanggungjawab sosial perusahaan (CSR).
Berbagai penelitian melaporkan keberhasilan pengelolaan block grant yang dilakukan secara partisipatif, sementara penelitian lainnya melaporkan kegagalan implementasi partsipasi karena kesalahan pendekatan pelaku dan pendamping program. Hadi dan Hadi (2009) melaporkan rekayasa kelembagaan dan komunikasi untuk meningkatkan partisipasi petani dalam membangun infrastruktur pertanian melalui Program Peningkatan Petani melalui Inovasi (P4MI) di Kabupaten Lombok Timur berhasil karena pelaksanaan proses pemberdayaan dilakukan secara partisipatif dimana koordinasi dan kerjasama antar pelaku membantu proses konvergensi dan divergensi sumberdaya bagi proses pembangunan pedesaan.
Sementara hasil penelitian Hikmat (2006) menemukan bahwa implementasi program-program pemerintah yang mengatasnamakan pemberdayaan masyarakat pada era otonomi daerah, ternyata masih merupakan adopsi dari struktur dan mekanisme program pusat pada era sebelumnya. Pelaksanaan program menjangkau pelayanan yang terbatas, masih kuat didasarkan pada petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis yang kaku, kurang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses perencanaan dan evaluasi, setiap tahapan kegiatan didominasi oleh peran petugas pemerintah, serta orientasi keberhasilan program masih terbatas pada pencapaian target fisik/administratif.
Dari sudut pandang Ilmu Penyuluhan Pembangunan memberdayakan dan memandirikan komunitas merupakan peranan dari penyuluhan. Pelaku penyuluhan bertugas untuk membantu para petani dan warga pedesaan mengorganisasikan diri dan bertangung-jawab dalam (pemberdayaan) pertumbuhan dan perkembangan mereka sendiri (Slamet 2003). Peranan Penyuluhan Pembangunan dalam pemberdayaan adalah membantu komunitas untuk membangun, mengembangkan dan meningkatkan kekuasaan melalui proses pembelajaran. Kekuasaan tersebut digali dari energi tersembunyi yang ada dalam komunitas itu sendiri untuk membangun kegiatan bersama melalui kemitraan, pembagian peran dan bekerjasama untuk kepentingan bersama (Chamala dan Shingi 1997).
Namun demikian, paradigma lama penyuluhan pembangunan yang lebih mengedepankan proses transfer teknologi untuk mengejar target produksi (Pretty 1995) menyebabkan terjadinya deligitimasi terhadap peran penyuluhan dalam pemberdayaan. Leeuwis (2004) mengemukakan manusia merupakan sentral dari penyuluhan. Karenanya, pendekatan penyuluhan yang berfokus pada pendekatan linier yang mengutamakan tujuan, menjejali partisipan penyuluhan dengan inovasi-teknologi yang belum tentu diperlukan, pendekatan koersif dan sebagainya perlu direkonstruksi. Artinya penyuluhan lebih kepada upaya partisipatif melalui komunikasi inovasi yang dikembangkan sesuai dengan kondisi masyarakat.
3 (1985) yaitu menempatkan masyarakat sebagai pelaku, dilaksanakan secara partisipatif, dan memberdayakan masyarakat, maka pembangunan yang berkelanjutan akan dapat tercapai. Keberlanjutan masih menjadi masalah pada saat pengakhiran program-program pemberdayaan masyarakat di Indonesia. Strategi pengakhiran suatu program (Rogers dan Macias 2004) bertujuan untuk memastikan keberlanjutan dampak dan kegiatan setelah program berakhir. Menurut Fillaili et al. (2007), program-program penanggulangan kemiskinan di Indonesia pada umumnya tidak secara jelas memiliki komponen kegiatan strategi pengakhiran program di dalam perencanaan programnya.
Perumusan Masalah
Program BGP di KSB dilihat dari sumber pendanaannya berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan perusahaan swasta, sehingga meskipun memiliki sasaran penerima program yang sama yaitu masyarakat, namun terdapat perbedaan karakteristik antar program BGP. Disamping itu, dalam pelaksanaannya program BGP akan melibatkan banyak pemangku kepentingan selain komunitas sebagai sasaran program. Permasalahan pertama dalam penelitian ini adalah bagaimana profil program BGP sebagai suatu inovasi kebijakan dan bagaimana persepsi pemangku kepentingan terhadap pengelolaan BGP ?
Pemberian BGP mensyaratkan adanya partisipasi masyarakat penerima manfaat, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pemeliharaan hasil program, dimana masyarakat ditempatkan pada posisi strategis yang menentukan keberhasilan program pembangunan. Permasalahan kedua dalam penelitian ini adalah bagaimana perilaku partisipatif (pengetahuan dan sikap mental) masyarakat dalam pengelolaan BGP dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku partisipatif tersebut ?
Suatu program pemberdayaan masyarakat baru dapat dikatakan berhasil apabila program tersebut mampu meningkatkan pendapatan, kesejahteraan, dan keberdayaan masyarakat sasaran. Selanjutnya program tersebut juga dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, dan mampu menginternalisasi perilaku partisipatif di kalangan masyarakat sasarannya, yang tercermin dengan adanya upaya-upaya yang mengarah pada keberlanjutan pasca intervensi program. Permasalahan ketiga adalah apakah program-program BGP tersebut mampu memberdayakan dalam arti mengembangkan kemandirian masyarakat ?
Dari uraian di atas, pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana keragaan program BGP sebagai suatu inovasi kebijakan pembangunan ?
2. Bagaimana perilaku komunitas rukun tetangga dalam mengelola BGP dan faktor-faktor saja yang mempengaruhi perilaku komunitas tersebut ?
4
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menganalisis keragaan program BGP sebagai suatu inovasi kebijakan
pembangunan
2. Menganalisis perilaku komunitas rukun tetangga dalam mengelola BGP dan faktor-faktor saja yang mempengaruhi perilaku komunitas tersebut
3. Menganalisis keberdayaan komunitas rukun tetangga dalam mengelola BGP
Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat yang cukup mendasar dalam perkembangan pengetahuan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dan paradigma pembangunan partisipatif. Secara rinci, manfaat penelitian ini adalah : 1. Merupakan upaya pencarian kebenaran ilmiah melalui analisis empirik dan
teoritik tentang inovasi kebijakan pembangunan dalam bentuk pendekatan pembangunan partisipatif dan pemberdayaan masyarakat melalui block grant pembangunan.
2. Temuan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumber informasi bagi peneliti atau pihak lain yang berminat dalam kajian partisipasi dan pengembangan masyarakat dalam rangka meningkatkan keberdayaan masyarakat dan transformasi perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik. 3. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun dan
mengimplementasikan kebijakan pembangunan masyarakat partisipatif yang beriorientasi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini termasuk ke dalam ruang lingkup penelitian perilaku (behavioral research) di bidang penyuluhan pembangunan dengan fokus mengkaji apakah kebijakan dan pengelolaan block grant pembangunan, dapat menginternalisasi perilaku partisipatif dan memberdayakan komunitas sehingga komunitas dapat mengelola program tersebut secara mandiri dan berkelanjutan. Dalam proses tersebut terjadi proses pembelajaran diantara warga komunitas dalam mengelola BGP, sehingga ke depan komunitas Rukun Tetangga dapat menjadi unit belajar untuk mengembangkan partisipasi, demokratisasi, kepedulian sosial, dan pemberdayaan ekonomi.
5 Kerangka Pemikiran
Penelitian ini difokuskan pada tiga masalah, yaitu block grant pembangunan sebagai inovasi kebijakan pembangunan, perilaku partisipatif komunitas rukun tetangga dalam mengelola BGP, dan keberdayaan komunitas dalam mengelola BGP.
Untuk menjawab permasalahan penelitian, diajukan peubah-peubah bebas dan peubah-peubah terikat yang sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Dua peubah terikat dalam penelitian ini adalah : (1) peubah perilaku partisipatif dan (2) peubah tingkat keberdayaan masyarakat. Peubah-peubah bebas terdiri dari : (1) peubah-peubah karakteristik program BGP sebagai inovasi kebijakan, (2) peubah karakteristik individu anggota komunitas, (3) peubah karakteristik sistem sosial, (4) peubah peran dan keterampilan fasilitator, dan (5) peubah pengelolaan block grant pembangunan oleh komunitas. Hubungan antar peubah dalam penelitian ini adalah seperti digambarkan pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1 Kerangka pemikiran dan hubungan antar peubah penelitian
Inovasi Kebijakan Block Grant Pembangunan. Dengan diberlakukannya desentralisasi pembangunan dan otonomi daerah memberikan peluang bagi Pemerintah Daerah untuk mengembangkan inovasi kebijakan pembangunan yang pro rakyat, terutama masyarakat miskin. Kebijakan pemberian block grants pembangunan untuk dikelola langsung oleh masyarakat, merupakan suatu inovasi kebijakan yang partisipatif, baik bagi Pemerintah Daerah selaku
INOVASI KEBIJAKAN BLOCK GRANT PEMBANGUNAN
Karakteristik Sistem
Sosial (X2) PERILAKU
PARTISIPATIF (Y1)
Karakteristik Program (X3)
PEMANGKU
KEPENTINGAN
Karakteristik Individu (X1)
KEBERDAYAAN (Y2)
PENGELOLAAN BGP OLEH KOMUNITAS
6
pembuat dan pelaksana kebijakan, maupun bagi masyarakat sasaran itu sendiri. Inovasi kebijakan block grant dari Pemerintah KSB melalui PBRT, disamping mengedepankan filosofi ”memberi kail” atau menolong masyarakat agar dapat menolong dirinya sendiri, juga mengedepankan kearifan lokal ”basiru” sebagai bentuk solidaritas sosial masyarakat Sumbawa Barat. Kebijakan block grant juga dilandasi filosofi ”amanah” untuk membangun saling percaya antara pemerintah dan masyarakat, dan antar masyarakat.
Untuk membangun saling percaya (trust) antara pemerintah dengan masyarakat, dan antar anggota masyarakat, maka dibutuhkan adanya persepsi yang sama tentang filosofi kebijakan block grant pembangunan ini. Persepsi yang terbangun akan menentukan keputusan untuk berpartisipasi dan cara bertindak dalam pengelolaan block grant oleh masyarakat maupun aparatur. Difusi inovasi kebijakan partisipatif selama ini hanya dilakukan pada unit adopsi masyarakat sasaran, namun seringkali melupakan unit adopsi aparatur pemerintah yang akan menjadi pelaksana kebijakan tersebut, padahal untuk melakukan perubahan perilaku secara mendasar dibutuhkan perubahan birokrasi yang biasa bekerja secara hirarkis menjadi birokrasi yang responsif terhadap rakyat.
Tabel 1.1 Karakteristik program block grant yang memberdayakan masyarakat
Karakteristik Kriteria Program Memberdayakan
Komunikasi Inovasi
Berlangsung dalam komunikasi dialogis dua arah
Menjangkau semua lapisan masyarakat sasaran
Menjangkau para pihak yang terlibat
Berlangsung secara berkesinambungan
Orientasi Program Berorientasi pada proses dan tujuan
Mengutamakan penggunaan sumberdaya lokal
Memperhatikan keberlanjutan program
Muatan (Isi/ Materi) Program
Program dirancang mengakomodasi kebutuhan masyarakat
Kegiatan dalam bentuk penguatan kapasitas masyarakat
Proses Berpusat pada individu, kelompok dan masyarakat sasaran
Pemerintah hanya sebagai fasilitator
Melibatkan berbagai stakeholders
Dilakukan bersama-sama sesuai kebutuhan masyarakat
Menggunakan berbagai pendekatan
Peran dan keterampilan Fasilitator
Fasilitator berperan dan terampil memfasilitasi
Fasilitator berperan dan terampil mendidik
Fasilitator berperan dan terampil sebagai refresentasi
komunitas
7 Komunikasi inovasi menjadi hal penting dalam desiminasi dan implementasi kebijakan dan program pembangunan. Pada masa sebelumnya, komunikasi inovasi biasa dalam bentuk sosialisasi terbatas bagi para elit yang dianggap menjadi representasi perwakilan masyarakat. Sosialisasi ini biasanya dilakukan sebelum implementasi kebijakan dalam bentuk penjelasan paket program yang harus dilaksanakan masyarakat, komunikasi berlangsung satu arah dan seringkali tidak memberikan ruang untuk dialog dengan para pihak. Komunikasi inovasi yang berorientasi pada masyarakat sasaran seharusnya berlangsung dalam komunikasi dialogis dua arah, menjangkau semua lapisan masyarakat sasaran dan para pihak yang terlibat, dan berlangsung terus-menerus paling tidak selama berlangsungnya proses pemberdayaan.
Sebagai suatu program pemberdayaan masyarakat, program block grant pembangunan hendaknya menempatkan masyarakat sebagai pelaku, dilaksanakan secara partisipatif, memberdayakan, dan memperhatikan keberkelanjutan pasca intervensi program. Karakteristik program pemberdayaan masyarakat yang baik dapat dilihat dari orientasi program, muatan (isi) program, dan proses yang dilakukan, serta peran dan keterampilan fasilitator.
Orientasi program pemberdayaan bukan semata-mata untuk mencapai tujuan, namun juga harus berorientasi pada proses yang dilakukan, mengutamakan penggunaan sumberdaya lokal, dan memperhatikan keberlanjutan program. Muatan (isi/materi) program hendaknya dirancang Program dirancang mengakomodasi kebutuhan masyarakat, dan kegiatannya dalam bentuk penguatan kapasitas masyarakat, dan bukan sekedar memberikan bantuan kepada masyarakat. Proses pemberdayaan yang dilakukan hendaknya berpusat pada individu, kelompok dan masyarakat sasaran, dan pihak pemerintah hanya sebagai fasilitator, melibatkan berbagai stakeholders, dilakukan bersama-sama sesuai kebutuhan masyarakat, dan menggunakan berbagai pendekatan sesuai kebutuhan dan tingkat perkembangan masyarakat.
Selain memberikan dana yang bersifat stimulan, pengelola program block grant pembangunan juga memberikan fasilitasi dan pendampingan kepada masyarakat penerima untuk mengembangkan kapasitas masyarakat agar mampu mencapai kesejahteraan secara mandiri. Ife (2005) menggolongkan berbagai peran dan keterampilan fasilitator ke dalam empat kelompok, yaitu peran dan keterampilan memfasilitasi, peran dan keterampilan mendidik, peran dan keterampilan merepresentasi, dan peran dan keterampilan teknis.
Peranan dan keterampilan memfasilitasi merupakan kompetensi utama seorang fasilitator dalam menstimulasi proses pengembangan masyarakat. Peranan dan keterampilan mendidik sangat penting dimiliki fasilitator dalam merangsang dan mendukung berbagai proses pengembangan masyarakat. Peranan dan keterampilan representasi adalah kemampuan seorang fasilitator dalam berinteraksi dengan pihak luar demi kepentingan masyarakat. Kemudian tidak kalah pentingnya adalah peranan dan keterampilan teknis seorang fasilitator yang melibatkan aplikasi berbagai keterampilan teknis untuk membantu proses pengembangan masyarakat.
8
tatanan kehidupan bersama. Partisipasi yang seharusnya dikembangkan adalah partisipasi yang berkelanjutan, dimana partisipasi telah terinternalisasi menjadi perilaku yang tercermin dalam pelaksanaan hak dan tanggungjawab individu anggota masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan. Dengan terinternalisasinya perilaku partisipatif yang kemudian berkembang menjadi budaya partisipatif, maka proses pembangunan akan dapat berlangsung secara berkelanjutan.
Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai kegiatan nyata apabila terpenuhi adanya tiga faktor pendukung yang utama, yaitu kemauan, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi (Slamet 1992). Dalam era pembangunan partisipatif saat ini, kesempatan untuk berpartisipasi terbuka bagi semua anggota masyarakat, sehingga yang harus dilakukan adalah bagaimana mendorong kemauan masyarakat untuk berpartisipasi, dan bagaimana mengembangkan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi.
Tabel 1.2 Perilaku partisipatif masyarakat yang diharapkan dalam pengelolaan block grant pembangunan
Ranah Perilaku
Perilaku yang Diharapkan
Kognitif Memahami bahwa partisipasi adalah hak semua anggota masyarakat
Memahami bahwa partisipasi adalah tanggung jawab semua anggota masyarakat
Mengetahui manfaat berpartisipasi
Memahami pentingnya berpartisipasi untuk menjaga solidaritas sosial di masyarakat
Afektif Menggunakan hak untuk berpartisipasi dalam pembangunan di lingkungannya
Melaksanakan tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam pembangunan di lingkungannya
Mengambil manfaat positif dari berpartisipasi Menjaga solidaritas sosial di masyarakat
9 Pada ranah afektif, perilaku yang diharapkan adalah kepedulian dan kemauan individu anggota masyarakat untuk berperanserta dalam pembangunan di komunitasnya. Dalam menentukan untuk bersikap, individu melalui tahapan perkembangan perilaku afektif, yaitu : (1) menerima (receiving) ide atau inovasi tentang block grant sebagai suatu amanah bagi masyarakat, (2) bereaksi menanggapi (responding) inovasi tersebut, (3) melakukan penilaian (valuing) keuntungan dan kerugian inovasi, (4) melakukan pengorganisasian (organization) untuk menjadikan ide dan inovasi sebagai nilai-nilai dalam diri individu dan terorganir dalam pola pikirnya, dan (5) ide dan inovasi tersebut dapat menjadi karakter (characterization) yang berkelanjutan.
Keberdayaan. Proses partisipatif yang dikembangkan berbagai program pemberdayaan masyarakat, termasuk program block grant, diharapkan mampu memberdaya-kan dalam arti mengembangkan kemandirian masyarakat. Sintesis antara partisipasi dan pemberdayaan adalah bahwa partisipasi merupakan jalan untuk menuju keberdayaan. Melalui pengelolaan program oleh masyarakat sendiri, kepada masyarakat diberikan kesempatan untuk berpartisipasi, ditumbuhkan kemauan untuk berpartisipasi, dan dikembangkan kemampuan untuk berpartisipasi, pada akhirnya akan menumbuhkan rasa percaya diri, pengakuan eksistensi, penyadaran akan potensi diri dan modal sosial yang ada di masyarakat. Sintesis antara partisipasi dan pemberdayaan adalah bahwa keberdayaan merupakan jalan untuk menuju partisipasi. Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi, menumbuhkan kemauan untuk berpartisipasi, dan mengembangkan kemampuan untuk berpartisipasi, akan menumbuhkan rasa percaya diri, pengakuan eksistensi, penyadaran akan potensi diri dan modal sosial yang ada di masyarakat, serta memperkuat solidaritas dan tanggung jawab sosial masyarakat. Menurut Slamet (2000), istilah “berdaya” diartikan sebagai tahu, mengerti, faham, termotivasi, berkesempatan melihat peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap informasi, mampu bertindak sesuai situasi.
10
Tabel 1.3 Keberdayaan masyarakat yang diharapkan dari pengelolaan block grant pembangunan
Aspek Keberdayaan yang Diharapkan
Penguatan kelompok dan pengembangan kepeloporan di tingkat komunitas
Anggota komunitas bisa mengembangkan mekanisme dan perangkat organisasi
Anggota komunitas bisa mengelola tata laksana program sendiri (dari perencanaan sampai monev) Adanya pembagian kontribusi antara komunitas dan
program block grant pembangunan
Kesiapan anggota komunitas melanjutkan program pasca intervensi
Adanya kepeloporan lokal (Fasilitator Desa, Kader Pembangunan, Petani Penggerak)
Penguatan sosial dan ekonomi komunitas
Anggota komunitas bisa melakukan analisis biaya Anggota komunitas bisa menentukan pilihan teknologi
dan bisa menggunakannya dengan baik dalam berusaha Anggota komunitas bisa mengembangkan modal usaha
dan dapat mengakses sumber-sumber permodalan Anggota komunitas bisa mengembangkan pemasaran
hasil produksinya
Anggota komunitas bisa mengembangkan gagasan kritis tentang dirinya dan masa depannya
Penguatan demokrasi dan partisipasi di tingkat komunitas
Anggota komunitas bersedia berpartisipasi sesuai kemampuan, hak dan tanggungjawabnya
Anggota komunitas melakukan pengambilan keputusan secara demokratis
Anggota komunitas bisa menyampaikan aspirasi terkait kebijakan dan pelaksanaan pembangunan di tingkat komunitas
Kebaruan (Novelty) Penelitian
11 penelitian yang mengkaji BGP yang disalurkan pemerintah daerah sebagai suatu kebijakan pembangunan.
Penelitian ini mengkaji bagaimana warga komunitas rukun tetangga melakukan proses belajar bersama dalam mengelola blok grant pembangunan yang terlihat dari pengetahuan dan sikap untuk mengambil peran dalam aktifitas di lingkungan sosialnya. Melalui pengelolaan BGP, warga komunitas mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk menganalisis kehidupannya sendiri sehingga mereka secara bertahap mampu menentukan rencana kegiatan secara mandiri, melaksanakan dan memantau, termasuk mengambil keputusan di setiap tahap kegiatan. Kebijakan BGP yang disalurkan oleh pemerintah daerah tersebut merupakan suatu inovasi yang mendorong kerangka kerja partisipasi dan pemberdayaan masyarakat yang lebih baik di masa depan (strategi keberlanjutan), dengan menempatkan komunitas sebagai unit pembelajaran bersama.
Kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah yang menjadikan komunitas sebagai unit pembelajaran partisipatif, dan menjadikan BGP sebagai instrumen belajar komunitas yang efektif. Inovasi kebijakan BGP memberikan kesempatan warga komunitas untuk menganalisis kehidupannya sendiri sehingga mereka secara bertahap mampu menentukan rencana kegiatan secara mandiri, melaksanakan dan memantau, termasuk mengambil keputusan di setiap tahap kegiatan.
Pengelolaan BGP oleh masyarakat merupakan proses pembelajaran, baik bagi masyarakat yang menjadi sasaran dan pelaksana program, maupun oleh pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan BGP. Succes story dan lesson learned dari pengelolaan BGP dapat menjadi masukan bagi masyarakat dan pemangku kepentingan dalam mengembangkan partisipasi dan memberdayakan masyarakat.
Pembelajaran ini menjadi semakin penting karena memasuki tahun 2014 Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, dimana salah satu keputusan penting dalam UU tersebut adalah alokasi BGP dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) langsung ke Pemerintah Desa. Diperkirakan setiap desa mendapatkan alokasi dana sekitar Rp 1.4 milyar per desa, dan desa diberikan keleluasaan mengelola dana tersebut sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki desa.
Sistematika Penulisan
Hasil penelitian disajikan dengan pola rangkaian penelitian yang terdiri dari beberapa judul penelitian. Pola ini digunakan dengan maksud agar setiap judul memiliki fokus penelitian sesuai dengan tujuan penelitian. Rangkaian penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bab 1 Pendahuluan, menjelaskan latar belakang penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, kerangka pemikiran, dan novelty penelitian.
2. Bab 2 menyajikan karakteristik program BGP sebagai suatu inovasi kebijakan pembangunan.
12
4. Bab 4 menyajikan keberdayaan komunitas rukun tetangga dalam mengelola BGP dan hubungan antara keberdayaan dengan perilaku partisipatif komunitas rukun tetangga dalam mengelola BGP
5. Bab 5 menguraikan pembahasan umum untuk mengintegrasikan hasil kajian atau temuan dari setiap judul penelitian sehingga dapat menjelaskan hubungan satu judul dengan judul lainnya sebagai satu rangkaian penelitian.
6. Bab 6 menyajikan simpulan yang merupakan temuan utama penelitian dan saran kebijakan berdasarkan temuan tersebut.
2 PROGRAM BLOCK GRANT PEMBANGUNAN SEBAGAI INOVASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DI
KABUPATEN SUMBAWA BARAT
Pendahuluan
Latar Belakang
Desentralisasi dan otonomi daerah pada hakekatnya merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan memberdayakan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat dilakukan dengan mengurangi jenjang birokrasi sehingga pemerintah daerah dapat memberikan pelayanan publik yang lebih dekat, cepat dan tepat sasaran kepada masyarakat. Sedangkan pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan memberikan kesempatan yang lebih besar kepada semua lapisan masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap tahapan proses pembangunan.
Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat, merupakan daerah otonom baru (DOB) yang terbentuk pada tanggal 18 Desember 2003, dan merupakan kabupaten penghasil bahan tambang emas dan tembaga terbesar kedua di Indonesia. Dengan status KSB sebagai DOB dan daerah penghasil bahan tambang, masyarakat KSB mengharapkan terwujudnya peningkatan kesejahteraan mereka. Pemerintah KSB merespon harapan masyarakat tersebut melalui inovasi kebijakan pembangunan yang bertumpu pada partisipasi masyarakat yang dinamakan Program Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga (PBRT).
Dalam pelaksanaanya, PBRT memberikan block grant pembangunan (BGP) berupa dana stimulan kepada setiap RT setiap tahun, dan mendorong pembentukan Koperasi Berbasis Rukun Tetangga (KBRT) melalui Program Dana Stimulus Ekonomi. Pemberian BGP ini melengkapi BGP yang sudah ada sebelumnya, yaitu BGP dari Pemerintah Pusat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, dan block grant dari pihak swasta, dimana perusahaan pertambangan yang beroperasi di KSB memberikan block grant untuk pengembangan infrastruktur dan program pengembangan masyarakat sebagai bagian dari program tanggungjawab sosial dunia usaha.
13 perlindungan sosial, dan block grant pembangunan. Dalam program bantuan dan perlindungan sosial atau disebut juga dengan program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Pemerintah memberikan bantuan langsung (baik berupa uang tunai, bahan makanan, bantuan sosial, dan sebagainya) kepada masyarakat sasaran, dan digolongkan sebagai program charity. Sedangkan BGP diberikan dalam bentuk bentuk program pemberdayaan masyarakat sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat menuju kemandiriannya dalam pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat (Sumodiningrat 2007).
Pemberian BGP merupakan upaya untuk membangun saling percaya (trust) antara pemerintah dan masyarakat, dan antar anggota masyarakat. Membangun saling percaya (trust) ini adalah komponen penting dalam pembentukan modal sosial (Fukuyama 2002). Program BGP merupakan program yang digolongkan sebagai perubahan yang direncanakan dimana inovasi untuk perubahan datang dari eksternal komunitas, dan komunitas diharapkan untuk mengadopsi perubahan berencana yang diintervensi pihak eksternal (Lippitt dan Wesley 1958; Leeuwis 2006). Kebijakan difusi inovasi di Indonesia pada masa-masa sebelum tahun 1990-an, adalah bagaimana agar intervensi suatu inovasi dapat diadopsi oleh masyarakat sesuai dengan kemauan pemerintah. Pada era pembangunan partisipatif sekarang ini, paradigma inovasi juga mengalami pergeseran, dimana masyarakat menjadi pelaku utama dalam proses pembangunan, sehingga aspirasi dan kebutuhan masyarakat harus mendapatkan perhatian yang lebih besar.
Pengertian inovasi menurut Rogers (1983) adalah suatu ide praktis, atau objek yang dianggap baru oleh individu atau unit adopsi lainnya. Sedangkan difusi inovasi adalah proses dimana inovasi tersebar atau dikomunikasikan dalam waktu tertentu kepada anggota sebuah sistem sosial. Leeuwis (2004) menggambarkan inovasi pada saat ini sebagai proses komunikasi untuk membangun jaringan, pembelajaran sosial, dan negosiasi.
Permasalahan yang terkait dengan inovasi yang datang dari luar sistem sosial adalah bagaimana proses difusi dan keputusan inovasi yang terjadi. Konsep ‟baru‟ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali dalam arti kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Meskipun paradigma pembangunan sudah bergeser menjadi proses partisipatif dan memberdayakan, akan tetapi paradigma lama masih dipegang kuat oleh pengambil kebijakan yang sangat kental dengan kultur administrasi yang birokratis. Di kalangan masyarakat pun masih mengalami kegamangan dalam menerapkan proses partisipatif setelah lebih dari tiga dekade menerima saja apa yang datang dari atas tanpa melakukan refleksi dan kritisi.
Tujuan Penelitian
14
Tinjauan Pustaka
Inovasi Kebijakan Pembangunan
Perubahan paradigma pembangunan dari sebelumnya pembangunan ekonomi yang mengedepankan pertumbuhan menjadi pembangunan yang berpusat pada pembangunan manusia, membawa konsekuensi dengan adanya tuntutan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam setiap tahapan proses pembangunan. Paradigma baru pendekatan pembangunan tersebut merupakan inovasi kebijakan, baik bagi pengambil kebijakan maupun bagi masyarakat yang menjadi target kebijakan.
Menurut Rogers (2003), inovasi adalah gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang, maka ide tersebut adalah inovasi untuk orang tersebut. Konsep ‟baru‟ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali. Meskipun paradigma pembangunan sudah bergeser menjadi proses partisipatif dan memberdayakan, akan tetapi paradigma lama masih dipegang kuat oleh pengambil kebijakan yang sangat kental dengan kultur administrasi yang birokratis. Di kalangan masyarakat pun masih mengalami kegamangan dalam menerapkan proses partisipatif setelah lebih dari tiga dekade menerima saja apa yang datang dari atas tanpa melakukan refleksi dan kritisi.
Program-program block grants merupakan program yang diinisasi oleh pihak di luar komunitas, sehingga masyarakat bisa saja menerima yang dinyatakan dengan kemauan dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam program, atau bahkan bisa saja menolak baik secara terbuka maupun secara diam-diam. Resistensi masyarakat terhadap program diungkapkan James C. Scott (1981) tentang subsistensi dan perlawanan petani. Prinsip moral ini dari teori Scott (1981) adalah berdasarkan gagasan bahwa program-program intervensi oleh pemerintah atau pun dari pihak di luar komunitas, hendaknya tidak mengganggu tatanan sosial dan kelembagaan yang ada di komunitas. Ketika terjadinya eksploitasi yang menyebabkan etika subsistensi serta norma resiprositas tersebut dilanggar maka petani akan melakukan perlawanan baik berupa penolakan program secara terbuka, maupun penolakan secara diam-diam dalam bentuk sikap apatis terhadap implementasi program.
Pengalaman Lakpesdam NU dalam memfasilitasi Perencanaan Partisipatori Penyusunan Program Desa (P4D) di Jawa Tengah (Sumarto, 2009) menemukan bahwa ternyata desa mempunyai konsep kebudayaan yang sistematik dan organik. Desa tidak selalu membutuhkan bimbingan. Desa hidup dalam sistem kebudayaan, politik, dan sosial secara mandiri. Desa juga memiliki indigeneus dan local wisdom yang resisten terhadap pengaruh di luar dirinya.
15 terhadap anggota birokrasi level bawah. Perspektif birokrasi daerah tentang pembangunan tidak kondusif bagi pelaksanaan pembangunan beorientasi people centered development dan upaya pengentasan kemiskinan.
Terdapat dua faktor utama yang diduga berkontribusi terhadap respon masyarakat, yaitu faktor internal yang berasal dari individu masyarakat, dan faktor eksternal yang berasal dari luar individu dan atau sistem sosial. Faktor-faktor internal tersebut antara lain pengetahuan, keterampilan, sikap mental, nilai-nilai, dan kondisi sosial ekonomi individu tersebut. Sedangkan faktor-faktor eksternal antara lain kebijakan pemerintah, karakteristik program pemberdayaan masyarakat, kompentensi pendamping, dan peran pemimpin setempat.
Teori difusi inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial (Rogers 1983). Menurut Rogers, dalam proses difusi inovasi terdapat empat elemen pokok, yaitu: inovasi, saluran komunikasi, jangka waktu, dan sistem sosial.
Inovasi. Rogers (2003) menyatakan bahwa terdapat lima karakteristik inovasi yang dapat mempengaruhi tingkat adopsi seseorang secara individu, yaitu: Relative advantage (keuntungan relatif); (2) Compatibility (kesesuaian); (3) Complexity (kerumitan); (4) Trialability (kemungkinan dicoba); dan (5) Observability (kemungkinan diamati). Keuntungan relatif adalah derajat dimana inovasi dirasakan lebih baik dari pada ide lain yang menggantikannya. Derajat keuntungan tersebut dapat diukur secara ekonomis, tetapi faktor prestise sosial, kenyamanan dan kepuasan juga merupakan faktor penting. Semakin besar keuntungan relatif inovasi yang dapat dirasakan, tingkat adopsi inovasi juga akan menjadi lebih cepat.
Kesesuaian adalah derajat dimana inovasi dirasakan sebagai sesuatu yang biasa dilakukan atau konsisten dengan nilai–nilai yang berlaku, pengalaman-pengalaman terakhir dan kebutuhan adopter (pengadopsi). Ide yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma sistem sosial tidak akan diadopsi secara cepat sebagaimana inovasi yang sesuai. Kerumitan adalah derajat kesulitan inovasi untuk dipahami dan digunakan. Ide-ide baru yang lebih sederhana untuk dipahami akan lebih cepat diadopsi daripada inovasi yang mengharuskan adopter mengembangkan keahlian dan pemahaman baru.
Kemungkinan dicobaadalah derajat kemudahan inovasi untuk dicoba pada keadaan sumber daya yang terbatas. Ide-ide baru yang dapat dicoba pada sebagaian tahapan penanaman secara umum akan lebih mudah dan cepat diadopsi daripada inovasi yang tidak dapat diuji cobakan dalam skala yang lebih kecil. Kemungkinan dicoba adalah derajat kemudahan inovasi untuk dilihat dan disaksikan hasilnya oleh orang lain. Kemudahan dalam melihat hasil inovasi oleh seseorang akan memudahkannya dalam mengadopsi inovasi.
16
unit tersebut. Saluran komunikasi atau communication channel adalah ‟alat‟ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari individu yang satu ke individu lainnya. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidak perlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b) karakteristik penerima. Apabila komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi apabila komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku seseorang secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal. Saluran komunikasi interpersonal melibatkan komunikasi tatap muka (face to face) antara dua atau lebih individu.
Jangka waktu. Jangka waktu adopsi inovasi merupakan proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam: (a) Proses pengambilan keputusan inovasi, (b) Keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.
Rogers (2003) menggambarkan the innovation decision process (proses keputusan inovasi) sebagai kegiatan individu untuk mencari dan memproses informasi tentang suatu inovasi sehingga termotivasi untuk mencari tahu tentang keuntungan atau kerugian dari inovasi tersebut yang pada akhirnya akan memutuskan apakah dia akan mengadopsi inovasi tersebut atau tidak. Proses keputusan inovasi memiliki lima tahap, yaitu: knowledge (pengetahuan), persuasion (kepercayaan), decision (keputusan), implementatation (penerapan), dan confirmation (penegasan/ pengesahan).
Sistem sosial. Sistem sosial adalah kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat kerja sama dalam menyelesaikan masalah untuk mencapai tujuan bersama. Sebuah sistem memiliki struktur dan didefinisikan sebagai pola susunan unit dalam sistem yang memberikan stabilitas dan pengaturan untuk perilaku individu dalam sebuah sistem. Anggota atau unit sistem sosial mungkin merupakan individu, kelompok informal, organisasi, dan atau subsistem.
Difusi terjadi dalam sebuah sistem sosial. Struktur sosial dari sistem tersebut mempengaruhi difusi inovasi dalam beberapa cara. Sistem sosial merupakan sebuah pembatas terjadinya difusi inovasi. Struktur sosial dari sebuah sistem sosial dapat memfasilitasi atau menghalangi difusi inovasi dalam sistem. Salah satu aspek dari struktur sosial adalah norma, yaitu pembentuk pola perilaku anggota sistem sosial. Norma sistem sosial dapat menjadi penghalang untuk berubah.
17 kompetensi teknis individu, aksesibilitas sosial, dan conformitas norma sistem sosial.
Bentuk individu lain yang dapat mempengaruhi sikap individu dalam sistem sosial secara profesional adalah agen pembaharu yang berasal dari luar sistem sosial. Agen pembaharu adalah individu yang berusaha mempengaruhi keputusan inovasi klien. Agen perubahan seringkali memanfaatkan opinion leader dalam sistem sosial sebagai ketua kelompok dalam kegiatan difusi.
Sistem sosial memiliki pengaruh penting dalam difusi ide baru. Inovasi dapat diadopsi atau ditolak (1) oleh anggota sistem sosial secara individu atau (2) oleh seluruh sistem sosial, yang dapat memutuskan untuk mengadopsi inovasi melalui keputusan kolektif atau otoritas. Terdapat tiga tipe utama keputusan inovasi, yaitu: 1) Optional innovation-decisions, yaitu memilih mengadopsi atau menolak inovasi yang dibuat oleh individu secara independen dari keputusan anggota sistem sosial yang lain; 2) Collective innovation-decisions, yaitu memilik untuk mengadopsi atau menolak inovasi yang dibuat melalui konsensus di antara anggota sistem sosial; 3) Authority innovation-decisions, yaitu memilih mengadopsi atau menolak inovasi yang dibuat oleh sekelompok kecil individu dalam sebuah sistem sosial yang memiliki kekuasaan, status, atau keahlian secara teknis; dan 4) Contingent innovation-decision yaitu memilih mengadopsi atau menolak inovasi yang dibuat hanya setelah adanya sebuah keputusan inovasi yang mendahului.
Block Grant Pembangunan
Latar belakang pemberian hibah atau block grant adalah upaya untuk mengentaskan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat. Disadari bahwa sumber utama dari kemiskinan dan keterbelakangan adalah ketidakberdayaan, sehingga diperlukan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Masyarakat yang selama ini terpinggirkan dengan menjadi obyek pembangunan semata, kini ditempatkan sebagai subyek yang menjadi pelaku pembangunan. Program-program pemberdayaan masyarakat dilaksanakan berdasarkan perspektif pembangunan berpusat pada rakyat atau people centered development (PCD). Konsekuensinya, Pemerintah harus melakukan reorientasi kebijakan pembangunan, termasuk menata prosedur dan instrumen pembangunan (Soetomo 2011).
Istilah block grant menjadi istilah yang populer ketika negara dan rakyat Indonesia memasuki era desentralisasi pada akhir tahun 1990-an, meski pun pada era Orde Baru pemerintah juga sudah memberikan block grant pembangunan melalui instruksi Presiden tentang pembangunan desa tertinggal atau lebih dikenal dengan Inpres Desa Tertinggal (IDT). Kebijakan block grant bukan hanya ada di negara berkembang seperti di Indonesia, namun juga dilakukan di negara-negara maju seperti di Amerika Serikat.