• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBERDAYAAN KOMUNITAS RUKUN TETANGGA DALAM MENGELOLA BLOCK GRANT PEMBANGUNAN

DAERAH PARTISIPATIF

4 KEBERDAYAAN KOMUNITAS RUKUN TETANGGA DALAM MENGELOLA BLOCK GRANT PEMBANGUNAN

DAERAH PARTISIPATIF

Pendahuluan Latar Belakang

Program block grant pembangunan (BGP) menjadi program yang populer memasuki era desentralisasi pada akhir tahun 1990-an, meski pun program BGP bukan merupakan program yang sama sekali baru di Indonesia. Sejak pemerintahan Orde Baru, pemerintah meluncurkan berbagai program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat yang dijalankan oleh berbagai kementerian dan lembaga. Salah satu yang terkenal adalah Program Inpres Desa Tertinggal (IDT).

Desentralisasi dan otonomi daerah memberikan keleluasaan bagi Pemerintah Daerah untuk menterjemahkan kebijakan pembangunan nasional disesuaikan dengan kondisi setempat, termasuk mengakomodasi kearifan lokal yang berkembang di masyarakat setempat. Salah satu inovasi kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah adalah pemberian block grant sebagai suatu inovasi pelayanan dan pengembangan partisipasi masyarakat. Program BGP merupakan program untuk meningkatkan dan menciptakan kapasitas masyarakat menuju kemandiriannya dalam pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat.

Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) merupakan daerah otonomi baru (terbentuk pada tanggal 18 Desember 2003) di Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan merupakan daerah penghasil bahan tambang emas dan tembaga terbesar kedua di Indonesia. Salah satu inovasi pembangunan yang dilakukan Pemerintah KSB adalah berupa kebijakan pembangunan yang bertumpu pada partisipasi masyarakat melalui program Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga (PBRT) dengan landasan hukum Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2008. Dalam pelaksanaanya, PBRT memberikan block grant pembangunan (BGP) berupa dana stimulan kepada setiap RT setiap tahun, dan mendorong pembentukan Koperasi Berbasis Rukun Tetangga (KBRT) melalui Program Dana Stimulus Ekonomi berdasarkan Peraturan Bupati Nomor 5 Tahun 2010.

Dasar pemikiran kebijakan PBRT adalah bahwa masyarakat Suku Sumbawa (Tau Samawa) memiliki nilai-nilai kegotongroyongan, partisipasi maupun demokrasi dalam kehidupan sehari-hari. Namun dari tahun ke tahun nilai-nilai budaya tersebut mulai menipis, bahkan cenderung akan hilang, disebabkan karena perubahan kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya dan teknologi yang sangat fundamental. Untuk dapat meningkatkan nilai-nilai positif tersebut, pemerintah KSB merasa perlu untuk melakukan upaya-upaya guna memberikan motivasi dan rangsangan kepada masyarakat untuk mengembalikan nilai-nilai partisipasi, gotong royong serta demokrasi tersebut, antara lain melalui kebijakan PBRT.

Inovasi pemberian BGP ini melengkapi BGP yang sudah ada sebelumnya, yaitu BGP dari Pemerintah Pusat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Selain dari pemerintah, masyarakat KSB juga menerima block grant dari perusahaan pertambangan yang beroperasi di KSB.

63 Perusahaan pertambangan mengalokasikan dana dari program tanggungjawab sosial dunia usaha (Corporate Social Responsibility, CSR) untuk pengembangan infrastruktur dan program pengembangan masyarakat terutama di desa-desa sekitar lingkar tambang Batu Hijau.

Program BGP merupakan suatu program pemberdayaan masyarakat dengan memberikan hak kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Dari sudut pandang Ilmu Penyuluhan Pembangunan, pemberian BGP merupakan proses pembelajaran untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat. Penyuluhan merupakan transformasi perilaku manusia melalui pendekatan pendidikan non formal (Amanah 2007). Perubahan perilaku dilakukan secara terencana (planned change) dengan menghilangkan hambatan- hambatan terjadinya perubahan (Lippit dan Wesley 1958).

Slamet (2003) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, faham, termotivasi, berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi, dan mampu bertindak sesuai dengan situasi. Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat seperti yang diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab.

Ukuran keberhasilan suatu program pemberdayaan masyarakat tidak bisa diukur hanya dari keberhasilan pembangunan fisik semata, sehingga yang menjadi permasalahan adalah apakah pengembangan partisipasi masyarakat melalui pengelolaan BGP oleh komunitas rukun tetangga tersebut mampu memberdayakan dalam arti mengembangkan kemandirian masyarakat, dilihat dari penguatan organisasi lokal dan pengembangan kepeloporan masyarakat, penguatan kemandirian masyarakat di bidang ekonomi, dan kemandirian masyarakat di bidang sosial-politik. Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana keberdayaan komunitas rukun tetangga dalam mengelola BGP, dan apakah ada hubungan antara keberdayaan dengan perilaku partisipatif komunitas rukun tetangga dalam mengelola BGP ?

Tujuan Penelitian

Dari latar belakang dan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah : (1) untuk menganalisis pengelolaan BGP oleh komunitas rukun tetangga, (2) untuk menganalisis keberdayaan komunitas rukun tetangga dalam mengelola BGP, dan (3) untuk menganalisis hubungan antara keberdayaan dengan perilaku partisipatif komunitas rukun tetangga dalam mengelola BGP.

Tinjauan Pustaka Konsep dan Teori Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat (community empowerment) kadang-kadang sangat sulit dibedakan dengan penguatan masyarakat serta pembangunan masyarakat (community development). Karena prakteknya saling tumpang tindih,

64

saling menggantikan dan mengacu pada suatu pengertian yang serupa. Pemberdayaan dan partisipasi muncul sebagai dua kata yang banyak diungkapkan ketika berbicara tentang upaya memberdayakan dan memandirikan masyarakat, meskipun sesungguhnya kedua aktifitas tersebut terkait erat dengan konsep dan teori perubahan perilaku. Konsep pemberdayaan tersebut kemudian mempengaruhi teori-teori yang berkembang belakangan.

Menurut Abbot (1996) teori modernisasi awalnya digunakan oleh masyarakat barat yang berperan dalam merubah seluruh masyarakat dari tradisional dan primitif menjadi modern melalui peningkatan tahapan secara berkesinambungan dalam pertumbuhan ekonominya. Abbot menyatakan bahwa pengembangan masyarakat perlu memperhatikan kesetaraan, konflik dan hubungan pengaruh kekuasaan atau jika tidak maka tingkat keberhasilannya rendah.

Setelah kegagalan teori modernisasi muncul teori ketergantungan, dimana teori ketergantungan pada prinsipnya menggambarkan adanya suatu hubungan antar negara yang timpang, utamanya antara negara maju (pusat) dan negara pinggiran (tidak maju). Menurut Abbot dari teori ketergantungan muncul pemahaman akan keseimbangan dan kesetaraan, yang pada akhirnya membentuk sebuah pemberdayaan dalam partisipasi masyarakat dikenal sebagai teori keadilan (conscientisacion theory).

Pengembangan masyarakat digunakan sebagai pendekatan partisipasi masyarakat dalam paradigma teori modernisasi, sedangkan pemberdayaan masyarakat (community empowerment) merupakan pendekatan dalam konteks teori ketergantungan (dependency theory). Hubungan hierarki antara kedua teori ini dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Original Linkage Superseded by New Linkage

Paradigm Modernizatio n Dependency Theory Approach Community Development Empowerment

Gambar 4.1. Paradigma pendekatan community participation model (Abbot 1996)

Teori mengenai hubungan kekuasaan dan partisipasi masyarakat menurut Abbot digambarkan dalam bentuk kontinum dimana pada satu sisi pemerintah lebih terbuka terhadap keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan, pada situasi yang lain pemerintah secara total tidak berperan. Jika peran pemerintah tidak ada (government closed) maka peran masyarakat akan tinggi, hal

65 ini merupakan tahap keberhasilan dari pemberdayaan, akan tetapi disisi lain juga menciptakan konfrontasi atau pendekatan pada kekuatan fisik, sehingga tidak ada satupun pendekatan pembangunan yang dapat dilaksanakan. Oleh karena itu perlu adanya suatu area dimana pemerintah dapat melaksanakan kontrol melalui berbagai manipulasi, pemerintah membuka kesempatan luas terhadap keterlibatan masyarakat, hingga pada akhirnya masyarakat yang mengelola dan pemerintah berfungsi sebagai lembaga pengontrol.

Pemberdayaan yang diadaptasikan dari istilah empowerment berkembang di Eropa mulai abad pertengahan, terus berkembang hingga diakhir 70-an, 80-an, dan awal 90-an. Konsep pemberdayaan didefinisikan secara beragam dan digunakan untuk berbagai area of concern. Konsep yang paling sering dirujuk diambil dari Merriam Webster and Oxford English Dictionary yang mengartikan pemberdayaan sebagai (1) to give power or authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain, (2) to give ability to or to enable atau usaha untuk memberi kemampuan atau keperdayaan (Prijono & Pranarka, 1996).

Berkenaan dengan pemaknaan konsep pemberdayaan masyarakat, Ife (2005) menyatakan bahwa : Empowerment is a process of helping disadvantaged groups and individual to compete more effectively with other interests, by helping them to learn and use in lobbying, using the media, engaging in political action,

understanding how to „work the system,‟ and so on. Sedangkan konsep pemberdayaan menurut Friedman (1992) dalam hal ini pembangunan alternatif menekankan keutamaan politik melalui otonomi pengambilan keputusan untuk melindungi kepentingan rakyat yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi, langsung melalui partisipasi, demokrasi dan pembelajaran sosial melalui pengamatan langsung.

Konsep pemberdayaan) yang dirintis oleh Friedman memunculkan adanya dua premis mayor, yaitu “kegagalan dan harapan” dalam memandang konsep- konsep keneysian. Kegagalan yang dimaksud adalah gagalnya model-model pembangunan ekonomi terdahulu dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan menjamin kelestarian lingkungan yang berkelanjutan. Sedangkan harapan muncul karena adanya model-model pembangunan alternatif yang memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, persamaan antar generasi dan pertumbuhan ekonomi yang memadai.

Kegagalan dan harapan menurut Friedman bukanlah merupakan alat ukur dari hasil kerja ilmu sosial melainkan lebih merupakan cermin dari nilai-nilai normatif dan moral yang berkembang dalam lokalitas. Kegagalan dan harapan akan terasa sangat nyata pada tingkat individu dan masyarakat. Pada tingkat yang lebih luas, yang dirasakan hanyalah gejala dari kegagalan dan harapan. Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya adalah nilai kolektif dari pemberdayaan individu.

Titik fokus dari pemberdayaan ini adalah lokalitas, karena civil society, menurut Friedmann lebih siap diberdayakan lewat isu-isu lokal. Menurut konsep Friedman, pemberdayaan masyarakat harus berawal dari pemberdayaan rumah tangga yang menyangkup tiga hal : (a) Pemberdayaan sosial ekonomi yang difokuskan pada upaya menciptakan akses bagi setiap rumah tangga dalam proses produksi seperti akses informasi, pengetahuan dan keterampilan, akses untuk berpartisipasi dalam organisasi social dan akses kepada sumber-sumber keuangan,

66

(b) Pemberdayaan politik difokuskan kepada upaya menciptakan akses bagi setiap rumah tangga ke dalam proses pengambilan keputusan publik yang mempengaruhi masa depannya. Pemberdayaan politik masyarakat tidak hanya sebatas proses pemilihan umum, akan tetapi juga kemampuan untuk mengemukakan pendapat, melakukan kegiatan kolektif atau bergabung dalam berbagai asosiasi politik, gerakan sosial atau kelompok kepentingan, dan (c) Pemberdayaan psikologis difokuskan pada upaya membangun kepercayaan diri bagi setiap rumah tangga yang lemah. Kepercayaan diri pada hakrkatnya merupakan hasil dari proses pemberdayaan sosial ekonomi dan pemberdayaaan politik.

Pemberdayaan dapat berarti menumbuhkan kekuasaan dan wewenang yang lebih besar kepada si miskin. Hal senada diberikan oleh Freire (1995) yang menyatakan bahwa pemberdayaan bukanlah sekedar memberi kesempatan pada rakyat untuk menggunakan sumber-sumber alam dan dana pembangunan saja, akan tetapi lebih dari itu, pemberdayaan merupakan upaya untuk mendorong masyarakat untuk mencari cara menciptakan kebebasan dari struktur-struktur yang represif (bersifat menekan). Dengan kata lain, pemberdayaan berarti partisipasi masyarakat dalam politik.

Friedmann juga mengingatkan bahwa sangatlah tidak realistis apabila kekuatan-kekuatan ekonomi dan struktur-struktur di luar masyarakat madani diabaikan. Oleh karena itu, menurut Friedmann pemberdayaan masyarakat tidak hanya sebatas ekonomi saja namun juga secara politis, sehingga pada akhirnya masyarakat akan memiliki posisi tawar menawar yang kompetitif. Paradigma pemberdayaan ingin mengubah kondisi yang serba sentralistik ke situasi yang lebih otonom dengan cara member kesempatan pada kelompok orang miskin untuk merencanakan dan kemudian melaksanakan program pembangunan yang mereka pilih sendiri, kelompok orang miskin ini, juga diberi kesempatan untuk mengelola pembangunan, baik yang berasal dari pemerintah maupun pihak luar. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri masyarakat sendiri merupakan unsur yang sungguh penting dalam hal ini. Dengan dasar pandang demikian, maka pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan dan pengalaman demokrasi. Dalam konteks dan alur pikir ini Friedmann menyatakan : “The empowerment approach, which is fundamental to alternative development, places the emphasis on autonomy in decesion making of territotially organized communities, local self-reliance (but not autarchy) democracy and experiental

social learning”.

Dengan demikian pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi dan politik yang merangkum berbagai nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni bersifat “people

centered,participatory, empowering, and sustainable” (Chambers 1985). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net).

Alternatif konsep pertumbuhan ini oleh Friedman disebut sebagai pembangunan alternatif yang menghendaki demokrasi inklusif, pertumbuhan ekonomi yang memadai, kesetaraan gender dan persamaan antara generasi. Konsep ini tidak mempertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan, karena

67 keduanya tidak harus diasumsikan sebagai “incompatible and anthithetical” (tidak cocok dan antitetis). Ia bertitik tolak dari pandangan bahwa dengan pemerataan tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan serta akan menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan.

Upaya pemberdayaan dapat juga dilakukan melalui tiga pendekatan (Kartasasmita 1996) yaitu:

1. Menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi (daya) yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkan.

2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah yang lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya dalam memanfaatkan peluang.

3. Memberdayakan mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi semakin lemah, dan menciptakan kebersamaan serta kemitraan antara yang sudah maju dan yang belum maju/ berkembang. Secara khusus perhatian harus diberikan dengan keberpihakan melalui pembangunan ekonomi rakyat, yaitu ekonomi usaha kecil termasuk koperasi, agar tidak makin tertinggal jauh, melainkan justru dapat memanfaatkan momentum globalisasi bagi pertumbuhannya.

Definisi pemberdayaan yang dikemukakan para pakar sangat beragam dan kontekstual. Akan tetapi dari berbagai definisi tersebut, dapat ditarik suatu benang merah bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memampukan dan memandirikan masyarakat. Atau dengan kata lain adalah bagaimana menolong masyarakat untuk mampu menolong dirinya sendiri.

Indikator Keberdayaan Masyarakat

Slamet (2003) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, faham, termotivasi, berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi, dan mampu bertindak sesuai dengan situasi. Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat seperti yang diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab.

Schuler, Hashemi dan Riley mengembangkan beberapa indikator pemberdayaan, yang mereka sebut sebagai empowerment index atau indeks pemberdayaan (Suharto 2004), yaitu : (1) Kebebasan mobilitas, (2) Kemampuan membeli komoditas „kecil‟, (3) Kemampuan membeli komoditas „besar‟, (4) Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga, (5) Kebebasan relatif dari dominasi keluarga, (6) Kesadaran hukum dan politik, (7) Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes, dan (8) Jaminan ekonomi dan kontribusi

68

terhadap keluarga.. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya

Ukuran keberhasilan suatu program pemberdayaan masyarakat tidak bisa diukur hanya dari keberhasilan pembangunan fisik semata, namun yang lebih penting adalah apakah program-program pemberdayaan masyarakat tersebut mampu memberdayakan dalam arti mengembangkan kemandirian masyarakat. Kemandirian masyarakat ini antara lain dapat diukur dari penguatan organisasi lokal dan pengembangan kepeloporan masyarakat, penguatan kemandirian masyarakat di bidang ekonomi, dan kemandirian masyarakat di bidang sosial- politik. Kemudian proses partisipatif yang dikembangkan program-program pemberdayaan masyarakat juga harus mampu mendorong terjadinya internalisasi perilaku partisipatif di kalangan masyarakat, yang tercermin dari pengetahuan, keterampilan dan sikap masyarakat dalam praktek partisipasi di institusi lokal dan lingkungannya.

Dari sudut pandang Penyuluhan Pembangunan, keberdayaan merupakan hasil dari proses pembelajaran. Sulistiyani (2004) menyatakan bahwa proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat akan berlangsung secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui tersebut meliputi :

1. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri.

2. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapanketrampilan agar terbuka wawasan dan pemberian ketrampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan.

3. Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-ketrampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan untuk mengantarkan pada kemandirian.

Selanjutnya dikemukakan serangkaian tahapan yang harus ditempuh melalui pemberdayaan tersebut dalam Tabel 1 berdasarkan ranah tujuan pembelajaran, yaitu ranah afektif, ranah kognitif, ranah psikomotorik dan ranah konatif.

Tabel 4.1 Tahapan Tingkat Keberdayaan Masyarakat (Sulistiyani 2004)

Tahapan Afektif Tahapan Kognitif Tahapan Psikomotorik Tahapan Konatif Belum merasa sadar

dan peduli Belum memiliki wawasan penge- tahuan Belum memiliki ketrampilan dasar Tidak berperilaku membangun Tumbuh rasa kesa-

daran dan kepeduli- an Menguasai penge- tahuan dasar Menguasai kete- rampilan dasar Bersedia terlibat dalam pembangun- an Memupuk semangat kesadaran dan kepe- dulian Mengembangkan pengetahuan dasar Mengembangkan ketrampilan dasar Berinisiatif meng-

ambil peran dalam pembangunan Merasa membutuh-

kan kemandi irian

Mendalami penge- tahuan pada tingkat lebih tinggi

Memperkaya variasi ketrampilan

Berposisi secara

mandiri untuk mem-

bangun diri dan

69 Peran Penyuluhan Pembangunan dalam Pemberdayaan Masyarakat

Perubahan paradigma pembangunan pertanian dan perdesaan ke arah desentralisasi, peningkatan daya saing, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, membawa konsekuensi terhadap paradigma penyuluhan. Memasuki era otonomi daerah, terjadi perubahan kelembagaan penyuluhan dan peran penyuluh. Di sisi lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam beberapa dekade ini telah berpengaruh terhadap perubahan perilaku masyarakat. Meningkatnya aksesibilitas kawasan dan keterdedahan masyarakat atas informasi yang ada juga sangat mendukung percepatan perubahan perilaku tersebut. Di bidang pertanian, perubahan perilaku petani digerakkan melalui upaya penyuluhan pertanian. Akan tetapi, dalam dekade terakhir ini model penyuluhan konvensional sebagai bagian strategis dalam proses pembangunan mulai dipertanyakan relevansinya.

Konsep Penyuluhan (terutama penyuluhan pertanian) yang diadopsi di Indonesia datang dari “barat”. Van den Bann dan Hawkins (1988) mengemu- kakan istilah university extension atau extension of the university pertama kali muncul di Inggris pada 1840-an yang tergabung dalam usulan Royal Commission on the University and Colleges of Oxford (1852) untuk turut membawa masyarakat sekitar kampus “keluar dari kegelapan,” misalnya dengan menghapuskan buta huruf. Kegiatan penyuluhan di Inggris pada masa itu relatif mirip dengan upaya-upaya pembangunan masyarakat (community development). Di Amerika Serikat, penyuluhan dilakukan pula oleh land grant universities, dan untuk melakukan penyuluhan, pihak universitas dalam melaksanakan penyuluhan sebagai ajang diskusi dan belajar orang dewasa bekerja sama dengan kelompok yang bernama lyceum. Dalam perkembangan selanjutnya, di Amerika Serikat dikenal istilah extension worker (penyuluh). Di Amerika Serikat, penyuluhan di perguruan tinggi tidak semata di bidang pertanian, tetapi juga dicakup misalnya dalam perkuliahan tentang home economic, youth organization, dan public health.

Istilah penyuluhan di Indonesia berasal dari kata “suluh” yang berarti untuk menerangi, sebagai terjemahan dari istilah Belanda voorichting, yang berarti memberi penerangan untuk menolong seseorang menemukan jalannya. Pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan penyuluhan pertanian pertama kali pada tahun 1908, ketika Departemen Pertanian (Van Landbouw) menyelenggarakan kegiatan pendidikan pertanian kepada petani. Kegiatan penyuluhan dilakukan lewat Pangreh Praja dengan cara “perintah-perintah keras maupun lunak”. Tujuannya semata-mata untuk meningkatkan produksi pertanian guna memenuhi kebutuhan pemerintah kolonial.

Penyuluhan pertanian berkembang sejak awal pemerintahan Orde Baru mulai periode tahun 1960-an, dengan dilaksanakannya Bimbingan Massal (Bimas) yang diikuti dengan Demonstrasi Massal (Denmas). Program ini mampu meningkatkan produksi padi sampai 6-7 ton per hektar dari sebelumnya 3-4 ton per hektar. Hal ini sejalan dengan konsep Revolusi Hijau yang bertujuan memperbesar produksi pertanian sehingga mampu mengimbangi pertumbuhan penduduk (Pretty 1995). Pada era Orde Baru, melalui pencanangan target “Swasembada Beras”, maka kegiatan penyuluhan dimaknai lebih kepada “transfer of technology” untuk mencapai peningkatan produksi. Peran Negara dalam kegiatan penyuluhan menjadi sangat dominan. Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) sebagai agen-agen pembangunan “memaksa” petani menerapkan suatu

70

inovasi/teknologi, sehingga meskipun “terpaksa”, lama kelamaan petani menjadi “terbiasa” menerapkan teknologi baru.

Memperhatikan sejarah penyuluhan pertanian pada masa Orde Baru, maka penyuluhan pertanian sejalan dengan konsep “development” dengan ukuran- ukuran yang berlaku di negara barat, sehingga dipersamakan maknanya dengan proses modernisasi ala westernisasi. Orientasi dalam pelaksanaan penyuluhan sangat berkaitan dengan paradigma yang dianut oleh masing-masing organisasi penyuluhan bahkan rezim pemerintahan. Selama para pihak pemegang kebijakan masih berpegang pada paradigma linier, orientasi teknologi, belum bergesar pada prinsip mengutamakan manusia, dan memposisikan penyuluhan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan, maka penyuluhan pembangunan akan ditinggalkan oleh kliennya sendiri.

Leeuwis (2004) mengkritisi pemaknaan penyuluhan dan mencoba menawarkan komunikasi inovasi sebagai kata kunci penyuluhan. Menurut Leeuwis, manusia merupakan sentral dari penyuluhan. Karenanya, pendekatan penyuluhan yang berfokus pada pendekatan linier yang mengutamakan tujuan, menjejali partisipan penyuluhan dengan inovasi-teknologi yang belum tentu diperlukan, pendekatan koersif dan sebagainya perlu direkonstruksi. Artinya penyuluhan lebih kepada upaya partisipatif melalui komunikasi inovasi yang dikembangkan sesuai dengan kondisi masyarakat. Leeuwis mengusulkan untuk me-reinventing extension, menjadi sebuah praktik profesional. Hal ini merupakan peluang bagi pengembangan ilmu penyuluhan.

Istilah penyuluhan sangat berkaitan dengan aksi-aksi perubahan perilaku menuju situasi yang lebih baik. Seseorang belum tentu berubah secara sadar, jika tidak didukung oleh pengetahuan yang memadai tentang sesuatu. Kesadaran akan muncul jika ada proses-proses komunikasi dialogis, bukan yang linier. Akan tetapi, sadar saja belum cukup untuk menggerakkan orang untuk mau berubah, seseorang harus merasakan kebutuhan untuk berubah, dan tahu serta mampu untuk melakukan perubahan. Penyuluhan merupakan ilmu yang sangat berkaitan

Dokumen terkait