• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAIDAH PENAFSIRAN MAKNA ALQURAN

Dalam dokumen KAIDAH TAFSIR ALQURAN (Halaman 83-189)

Makna yang Berkaitan dengan Keimanan

Seorang mufassir dituntut untuk memperhatikan cakupan pengertian dan keserasian makna yang ditunjuk oleh redaksi ayat- ayat Alquran. Ia juga harus tetap memelihara dan memperhatikan semua konsekuensi (al-lawazim) makna yang terkandung dalam redaksi ayat, yaitu makna lain yang mengarah kepadanya atau makna yang tidak terjangkau oleh penyebutan redaksi ayat tetapi relevan dengannya. Makna ayat itu dapat menjadi landasan penetapan hukum (al~istidlal). Pedoman ini merupakan bagian terpenting untuk menafsirkan Alquran karena selain dapat merangsang ketajaman berpikir, juga agar dapat mencerahkan pandangan dan meluruskan tujuan.

Langkah pertama yang harus ditempuh untuk menerapkan pedoman tersebut ialah memahami pengertian yang ditunjuk oleh redaksi suatu ayat. Setelah itu, pikirkanlah masalah-masalah yang berkaitan dengan makna tersebut. Pikirkan pula hal-hal yang

menjadi dasar dan prasarat terwujudnya masalah tersebut. Kembangkan lebih jauh

tentang berbagai kemungkinan masalah yang timbul dari makna itu dan makna yang berdasarkan atasnya. Lalu, lakukanlah perenungan terhadap hai itu secara berulang dan berkesinambungan sampai Anda memiliki kepekaan dalam menyelami makna-makna yang pelik dan sukar.

Konten Alquran adalah kebenaran. Berkecipung dalam kebenaran berarti kebenaran itu sendiri. Sesuatu yang bergantung dan timbul dari kebenaran tentu saja kebenaran juga. Hasil akhir dari semua itu adalah kebenaran belaka. Itulah sebuah keniscayaan. Barangsiapa yang menekuni cara-cara tersebut dan mendapat tawfiq dan nur Allah, ia akan menemukan “pintu-pintu” masuk yang sangat luas untuk memahami Alquran dengan benar. Ia akan mendapatkan ma‟rifah yang jelas serta memiliki akhlak dan perilaku yang terpuji.

1. Penafsiran al-Asma al-Husna: ar-Rahman dan ar-Rahim

Lafal ar-Rahman dan ar-Rahim menunjukkan bahwa Allah menyifati diri-Nya dengan kasih sayang yang Mahaluas. Kita tahu bahwa tak seorang pun yang memiliki

sifat menyerupai kedua sifat-Nya itu— karena rahmat-Nya ditaburkan kepada semua makhluk dan tak satu pun makhluk yang tidak menerima rahmat-Nya walaupun sekejap— sehingga kita dapat memahami konsekuensi-konsekuensi makna yang timbul dari keduanya.

a. Kedua sifat itu menunjukkan kesempurnaan hidup Allah, kekuasaan-Nya, cakupan ilmu-Nya, keberlakuan kehendak- Nya, dan kebijaksanaan-Nya karena rahmat-Nya terikat pada sifat-sifat tersebut secara utuh.

b. Syariat yang diturunkan Allah merupakan nur dan bukti rahmat-Nya. Itulah sebabnya Alquran selalu mengaitkan hukum-hukum syara‟ dengan rahmat dan kebaikan-Nya. Bukankah hukum-hukum syara' itu merupakan kepanjangan dan penjabaran dari sifat rahmat-Nya itu?

2. Amanah dan Adil

Sesungguhnya Allah menyeuruh kamu untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil... (QS an-Nisa, 4: 58).

Perintah menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dari ayat di atas memunculkan konsekuensi, antara lain, wajib memelihara dan menjaga amanah; tidak boleh menyia-nyiakan dan menganggap kecil masalah amanah dan tidak pula boleh mengingkarinya; orang yang tidak amanah dan tidak menyampaikan amanah kepada yang berhak tidak akan mencapai keridhoan Allah.

Demikian pula perintah berlaku adil dalam menetapkan hukum tentang suatu perkara di antara manusia dari ayat diatas pun memunculkan konsekuensi, antara lain, berikut ini.

a. Setiap hakim yang memutuskan perkara wajib dipersyaratkan untuk mengetahui dan memiliki kualifikasi tertentu. Ia mengerti dengan baik seluk-beluk perkara yang dihadapkan kepadanya, baik perkara itu berat maupun ringan (summir). Jika perkara yang akan diputuskan hanya bersifat ad hoc—seperti masalah syiqaq (ketidakcocokan antara suami-istri), Allah memerintahkan agar masing-masing pihak mengutus kakam (juru darrrai)—seorang hakim semestinya mengetahui dengan baik masalah-masalah yang akan diputuskannya. Hakim juga harus mengetahui dengan baik langkah-langkah yang dilakukannya agar ia dapat memutuskan perkara itu dengan benar.

b. Karena memiliki pengetahuan merupakan syarat mutlak untuk dapat melaksanakan perintah dengan baik, menuntut ilmu itu hukumnya wajib. Menuntut ilmu yang sesuai dengan kebutuhan seseorang bersifat fardu „ain.

c. Karena sesuatu yang wajib tidak dapat terlaksana jika tidak ada sesuatu yang lain, sesuatu yang lain itu pun menjadi wajib pula untuk dilaksanakan. Sebaliknya, bila sesuatu yang dilarang tidak dapat ditinggalkan, kecuali dengan meninggalkan sesuatu yang lain, sesuatu yang lain itu pun menjadi wajib untuk ditinggalkan. Karena itu, pengetahuan tentang iman dan amal shaleh harus lebih dahulu dikuasai daripada pelaksanaannya. Demikian pula pengetahuan tentang hal-hal yang dilarang dan bertentangan dengan iman dan amal shaleh. Bukan perkara mustahil bahwa seorang hamba bisa meninggalkan dengan sengaja pekerjaan yang dilarang karena ia hendak mendekatkan diri dan mengabdi kepada Allah tanpa lebih dahulu mengetahui seluk beluk larangan itu dan dapat membedakan dari yang lainnya?

3. Perintah dan Anjuran Berjihad

Beberapa ayat Alquran memerintahkan kita untuk berjihad di jalan Allah. Di isi lain, ada pula perintah untuk melakukan berbagai persiapan jihad.

Dan, persiapkanlah kekuatan apa saja yang kamu sanggupi untuk mengahadapi mereka (musuh)... (Q_S al-Anfal, 8: 60).

Konsekuensi makna yang lahir dari redaksi ayat tersebut ialah kewajiban untuk mempersiapkan segala sesuatu tentang jihad agar perintah itu dapat terlaksana dengan baik. Persiapan yang dimaksud adalah persiapan fisik (kemahiran untuk menggunakan berbagai senjata, kendaraan perang, kelengkapan dukungan logistik) dan nonfisik (disiplin militer, kemampuan menyusun taktik dan strategi perang, kekuatan pilitik, dan diplomasi).

4. Doa untuk Menjadi Pemimpin

Dengan menerapkan pedoman itu, kita dapat memahami nahwa dalam doa seorang hamba.

Dan, jadikankah kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa (QS

al-Furqon, 25: 74).

Ungkapan di atas mengandung makna bahwa selain para pendoa itu memohon agar ia dijadikan sebagai pemimpin orang yang bertakwa, mereka juga memohon (sekaligus mengusahakan dan melakukan) segala sesuatu yang dapat menyempurnakan jiwa kepemimpinannya dalam agama. Usaha yang dimaksud adalah mencari berbagai ilmu da

ma‟rifah, beramal shaleh dan memperaktekan akhlak utama. Doa seorang hamba kepada

Tuhannya berarti memohon sesuatu kepada- Nya dengan mengupayakan apayagn dimintanya itu. Ia juga melakukan segala hal yang berkaitan erat dengan hal yang dimohonkannya.

Konsekuensi makna yang sama dapat diterapkan pada pengertian doa seorang hamba agar dapat dimasukkan ke dalam Jannah dan dijauhkan dari Neraka. Ia memohon kepada Allah apa yang menjadi harapannya, sekaligus mengusahakan dan melakukan segala sesuatu yang dapat mendekatkannya kepada Jannah dan menjauhkannya dari Neraka.

5. Perintah Berbuat Baik dan yang Terbaik

Allah memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik dan meraih yang terbaik. Allah memuji mereka yang melakukan perbuatan baik dan juga memberitahukan perbuatan yang menimbulkan kerusakan atau perbuatan tidak pernah terpuji. Informasi tersebut memunculkan beberapa konsekuensi makna.

a. Di dalam semua yang diperintahkan Allah pasti terdapat kebaikan, kehidupan dunia, dan akhirat.

b. Segala sesuatu yang merupakan kebajikan pasti termasuk dalam kategori perintah dan disukai Allah. Sebaliknya, segala sesuatu yang memuat kerusakan, kebinasaan, kemudharatan, dan kejahatan pasti termasuk katagori larangan dan dibenci Allah. c. Manusia wajib berusaha untuk melakukan kebaikan dan yang terbaik dalam

bermaksud, kecuali melakukan perbaikan seberapa kesanggupan saya... (QS Hud,

11: 88).

6. Mengobarkan Semangat Perang

^ ^ a ^ ^ ^ * *

0 j* (J*_/vaj CS

Dan, karunia lain yang kamu sukai, (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang sudah dekat (waktunya). Sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman (QS ash-Shaff, 61: 13).

Jisjf jp tp t&'

Hai Nabi, kobarkanlah semangat orang-orang yang beriman untuk berperang... (QS al-Anfal, 8: 65).

Perintah mengobarkan semangat berperang dari dua ayat di atas memuncukan beberapa konsekuensi makna, yaitu perintah melaukan segala sesuatu yang menjadi syarat bagi pengobaran semangat berperang. Aktivitas itu dimulai dari persiapan angkatan perang dengan latihan-latihan fisik dan mental, peralatan tempur hingga kesatuan pandangan, kesetiakawanan korps tentara, dan show of force.

7. Perintah untuk Menyampaikan Hukum Syara‟

Allah memerintahkan setiap muslim untuk menyampaikan (tabligh), mengingatkan (tadzkirah), dan mengajarkan (ta‟lim) hukum- hukum syara‟. Konsekuensi makna yang timbul dari perintah itu sebagai berikut.

a. Segala sesuatu yang dapat menyukseskan pelaksanaan itu termasuk dalam kategori perintah.

b. Menyampaikan berita yang berkaitan dengan hukum syariat untuk kepentingan umum, seperti waktu shalat, awal dan akhir Ramadhan, dan haji.

c. Menggunakan alat komunikasi yang bisa mengefektifkan penyampaian pesan-pesan hukumnya wajib. Karena itu, ia merupakan bagian dari penyempurnaan pelaksanaan perintah tersebut.

d. Usaha untuk melakukan penemuan alat komunikasi dengan teknologi yang lebih canggih bukan saja tidak pernah dihalangi dan dilarang oleh Alquran, bahkan bersifat perintah. Bukankah menemukan sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia termasuk dalam kategori perintah Alquran, dan sejalan dengan pemahaman ayat di atas?

Sebagian dari tanda kebenaran dan kebesaran Alquran ialah tidak pernah dan tidak mungkin ada penemuan modern (sains) yang bertentangan dengan Alquran bila berdasarkan dan berpijak pada epistemologi keilmuan yang benar. Alquran berisi dan membawakan hal-hal yang sejalan dengan penemuan akal, baik melalui penjelasan yang umum maupun rinci. Bahkan, Alquran membawa hal-hal yang belum bisa dicapai oleh

akal.

Alquran juga tidak pernah memustahilkan penemuan-penemuan yang bisa dicapai oleh kemampuan akal manusia. Kenyataan dan pengalaman menunjukkan bahwa setiap kali muncul perkembangan dan penemuan baru yang dulu dianggap mustahil, misalnya bidang ilmu dan teknologi, oleh Alquran tidak pernah dipandang sebagai sesuatu yang mustahil. Sebaliknya, kita banyak menemukan ayat Alquran, baik secara tegas maupun isyarat, yang menunjuk pada penemuan itu.

Makna yang Berkaitan dengan Hukum

Patokan memahami ayat Alquran harus berdasarkan redaksi yang bersifat umum, bukan khusus, terhadap kasus yang menjadi sebab-turunnya sebuah ayat. Bila kita menemukan ayat Alquran yang kontekstual pembicaraannya bersifat khusus terhadap kasus tertentu dan berkaitan dengan hukum, ketentuan itu tidak terbatas pada kasus itu, tetapi berlaku secara umum. Ini ditujukan kepada setiap kasus yang mempunyai persamaan dengan kasus khusus tersebut.

Berdasarkan kaidah ini, kita dapat melihat salah satu keistimewaan Alquran dari segi keindahan susunan kalimatnya. Dalam memahami kaidah tersebut, perlu diperhatikan bahwa asbabun nuzul, pada hakikatnya, hanyalah salah satu alat bantu berupa contoh untuk menjelaskan makna redaksi-redaksi ayat Alquran. Namun, cakupannya tidak terbatas pada ruang lingkup sebab-turunnya ayat itu. Karena itu, biasanya ada ungkapan yang berbunyi ‟‟ayat ini turun tentang peristiwa begini atau

begitu”. Ini berarti bahwa peristiwa itu termasuk salah satu pengertian ayat yang

dimaksud. Tetapi, uyat itu pun mencakup sejumlah makna lain yang dikandungnya. Jadi, makna ayat itu tidak dikhususkan hanya kepada pengertian yang terkait dengan peristiwa turunnya ayat. Kita akan dapat membuktikan pernyataan bahwa Alquran itu diturunkan untuk menjadi petunjuk (hidayah) bagi setiap generasi—sejak masa turunnya sampai hari kiamat, di setiap tempat dan situasi—bila kita memahami Alquran dengan baik.

Dan, orang-orang yang menuduh istrinya (berbuat zina) padahal mereka tidak memiliki saksi-saksi selain diri mereka sendiri, persaksian orang itu adalah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya.ia adalah termasuk orang-orang yang benar (QS an-Nur, 24: 6).

Ayat di atas turun berkaitan erat dengan tuduhan yang dijatuhkan Hilal ibn Umayyah kepada istrinya. Tetapi, bunyi ayat itu bersifat umum. Ketentuan hukumnya bukan saja berlaku bagi Hilal, melainkan juga bagi semua orang yang menuduh istrinya

berbuat zina padahal tidak ada saksi yang memperkuat tuduhan itu.

Contoh lain, ketika Alquran berbicara tentang orang-orang munafik dan kecaman terhadapnya pada surat an-Nisa (4) ayat 146, di antara mereka ada yang dikecualikan oleh Allah.

Kecuali, orang-orang yang bertobat dan mengadakan perbaikan, berpegang teguh pada Allah, dan ikhlas mengerjakan agama karena Allah, itulah orang-orang yang bersama-sama orang yang beriman.

Berdasarkan kaidah di atas dapat dipahami bahwa setiap kali menemukan kasus yang sama dengan yang disebutkan pada ayat itu, kita dapat menerapkan ketentuan ayat itu. Tetapi, ketika Allah menjelaskan orang-orang munafik yang telah dikecualikan di atas akan diberi pahala, Allah tidak menggunakan kata-kata ”dan, kelak Allah akan

memberikan pahala yang besar kepada mereka”, tetapi kalimat yang digunakan ialah

“dan, kelak Allah akan memberikan pahala yang besar kepada orang-orang yang

beriman”.

Tujuan penggunaan istilah al-mu‟minin itu selain untuk memotivasi kaum munafik agar segera bertobat dan ikhlas-beriman sehingga bisa dikelompokkan ke dalam orang-orang yang beriman, juga untuk menghilangkan anggapan ketentuan yang mendapat pahala tersebut khusus untuk mereka yang dibicarakan dalam konteks ayat. Ketentuan Allah itu berlaku umum, yakni kepada setiap orang yang benar-benar memiliki sifat sebagai mukmin. Beberapa di antaranya ialah orang- orang yang telah dikecualikan melalui ayat di atas.

Ada juga ayat membicarakan tentang orang-orang yang beriman setengah-setengah. Misalnya, surat an-Nisa (4) ayat 150.

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud untuk membeda-bedakan antara (beriman kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, serta mengatakan: Kami beriman kepada sebagian (rasul-rasul itu) dan kafir kepada sebagian yang lain, serta bermaksud mengambil jalan tengah di antaranya, merekalah orang-orang kafir yang sebenarnya. Kami telah menyediakan untuk

orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan (QS an-Nisa, 4: 150).

Terbukti bahwa untuk menunjuk orang-orang yang dimaksud, Alquran tidak menggunakan istilah mereka, tetapi orang-orang yang kafir (al-kafirun). Penggunaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa siksaan Allah itu bukan hanya untuk mereka yang beriman setengah- setengah, melainkan juga semua orang kafir.

Contoh lain, ketika Alquran mempertanyakan siapakah yang akan menyelamatkan orang dari bencana, baik di darat maupun di laut? Surat al-An‟am (6) ayat 64 menjawab:

Katakanlah: “Allahlah yang akan menyelamatkanmu dari bencana itu dari segala bentuk kesusahan.

Sesuai dengan konteks pembicaraan ayat sebelumnya (QS al- An‟am, 6: 63), Allah menegaskan bahwa Dialah yang menyelamatkan manusia dari bencana apa pun bentuknya, bukan hanya bencana yang disebutkan ayat sebelumnya. Itulah sebabnya kalimat berikutnya dalam ayat itu menyatakan dan dari segala bentuk bencana.

1. Hukum Bergantung pada Kondisi yang Dipersyaratkan

Pada prinsipnya, semua ayat Alquran yang di dalamnya memuat berbagai persyaratan atau kaitan keadaan (quyud'), hukum-hukumnya tidak berlaku kecuali jika di dalam kasus yang hendak ditentukan hukumnya tersebut terdapat persyaratan atau kaitan keadaan. Penyimpangan atau pengecualian dari ketentuan ini hanya terjadi pada ayat-ayat tertentu, yang sangat sedikit jumlahnya.

Banyak mufassir yang berpendapat bahwa persyaratan atau kaitan yang terdapat di dalam suatu ayat tidak dimaksudkan sebagai syarat atau kaitan berlakunya suatu hukum. Dalam hai ini, setiap kata dalam

Alquran pasti memuat maksud dan faidah, meskipun tidak berkaitan langsung dengan masalah hukum. Terkadang masalah itu langsung bisa dipahami oleh mufassir, meskipun tidak jarang pula yang terlewati. Jadi, apabila seorang mufassir menafsirkan ayat-ayat yang merupakan pengecualian dari kaidah di atas dan berkata hadzal qaydu

ghairu murad, keterkaitan yang terdapat pada ay^t ini tidak menjadi tujuan. Maksudnya,

kaitan atau persyaratan memberkalukan hukum yang dijelaskan dalam ayat itu tidak mesti ada.

Perlu ditegaskan kembali bahwa ketika menjelaskan hukum- hukum syara, baik yang berupa prinsip-prinsip masalah, Alquran selalu menyebutkannya dengan bentuk keadaan yang paling maksimal. Tujuannya, agar kita mengetahhui dengan jelas nila-nilai positif yang terdapat dalam suatu perintah atau akibat-akibat negatif dari sesuatu yang dilarang. Bila kita memperhatikan dengan serius, ayat-ayat yang berkaitan erat dengan konteks pembicaraan akan ditemukan kenyataan-kenyataan yang disebutkan itu. Untuk memudahkan pembaca mengingat kaidah di atas akan dikemukakan hanya ayat-ayat

yang merupakan pengecualian. 2. Alasan Perbuatan Syirik

Barangsiapa yang menyembah Tuhan selain Allah, padahal tidak ada satu dalil pun bagi mereka tentang hai itu, sesungguhnya perhitungannya di sisi Allah... (QS

al-Mu‟minun, 23: 117).

Dari nas-nas yang ada, dengan jelas dapat kita keetahui bahwa barangsiapa yang menyembah sesuatu selain Allah, orang tersebut adalah kafir dan musyrik. Tentang alasannya pun kita tahu bahwa tindakan itu tidak mempunyai dalil atau alasan yang dapat dibenarkan. Tetapi, dalam ayat diatas, Allah mengaitkan tindakan syirik dengan kalimat (yang tidak ada alasannya) sehingga, seolah-olah, jikaberalasan, perbuatan syirik dapat dibenarkan. Padahal, sebenarnya, tidaklah demikian. Tujuan pengaitan antara perbuatan syirik dan alasan adalah untuk menjelaskan tentang betapa keji dan tercelanya perbuatan syirik.

bukan untuk bersikap toleran terhadapnya. Dengan kata lain, kalimat tersebut merupakan celaan yang sangat tajam terhadapa orang-orang musyrik karena kebodohan mereka yang melakukkan taklid buta dan menyimpang dari argumen-argumen syara‟ dan logika. Sekiranya mau berpikir sedikit saja, mereka tentu akan menyadari bahwa sikapnya tidak akan dapat dibenarkan, walaupun hanya oleh orang yang memilki akal dan nalar minimal.

3. Membunuh para Nabi Tanpa Hak

I t ^

Dan, mereka (Bani Israil) membunuh para Nabi dengan tanpa hak ... (QS

al-Baqorah, 2: 61).

Ayat ini sebanding dengan makna surat (al-Mu‟minun, 23: 117) sebelumnya, yaitu seolah-olah ada alasan pembunuhan terhadap para nabi yang dilakukan dengan sah, padahal semua pembunuhan terhadap nabi adalah tanpa hak. Ayat ini menegaskan bahwa perbuatan membunuh para nabi itu sangat tercela dan sangat jelas kesalahannya. Ditegaskan pula bahwa pelaku pembunuhan tersebut adalah orang- orang yang sangat jahat dan berdosa. Berbeda dengan ayat di atas, firman Allah pada surat al-Isra ayat 33 termasuk yang dikecualikan dari kaidah umum tersebut.

* ^ | l 4jj| (JjJI I 1 *)lj

(membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang hak (benar)... (QS al-Isra, 17: 33).

Pengertian al-haq (alasan yang sah) yang dikaitkan di dalam ayat ini dijelaskan lebih lanjut oleh hadis-hadis Nabi Saw. yang berkaitan dengan hukum qishash, hukum terhadap pezina muhsan, pemecah belah persatuan, dan hukum terhadap murtadin.

4. Mengawini Anak Tiri

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.. .dan anak-anak tirimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri... (QS an-Nisa, 4: 23).

Larangan mengawini anak tiri yang masih di bawah pemeliharaan seorang ayah tiri sama sekali tidak berhubungan dengan dibolehkan mengawininya. Seorang laki-laki, secara mutlak, haram mengawini anak tirinya, baik saat anak itu berada dalam pemeliharaannya maupun tidak. Penyebutan kaitan itu adalah untuk menegaskan betapa keji tindakan seorang ayah tiri yang mengawini anak tirinya yang posisi dan kedudukannya sama dengan anak kandungnya.

5. Alasan Membunuh Anak

Dan, janganlah kamu membunuh anak-anak karena takut kemiskinan ...

(QS al-Isra, 17: 31).

Kita tahu bahwa membunuh anak, dalam keadaan bagaimanapun, adalah tindakan terlarang. Karena itu, pengaitan antara pembunuhan anak dan kemiskinan adalah untuk menyatakan adanya akumulasi kejahatan yang akan terjadi, yaitu kejahatan membunuh karena tanpa alasan yang sah; kejahatan membunuh orang, padahal Allah menciptakan hati manusia untuk menyayanginya dengan kasih saying yang tiada bertara; dan kejahatan membunuh karena menentang takdir dan berperasangka negatif kepada Allah.

Orang yang membunuh anak karena takut mennghadapi kemiskinan sebenarnya ia merasa putus asa. Ia tidak ridha terhadap ketentuan Allah. Seseorang yang tega membunuh anaknya seolah-olah telah memastikan bahwa jika anak-anaknya tetap hidup, keadaannya akan semakin miskin. Selain itu, pengaitan antara membunuh anak dan kemiskinan juga berfungsi untuk menjelaskan keadaan yanngs sering terjadi di kalangan masyarakat Arab masa turunya Alquran. Penyebutan fungsi ini akan semakin memperjelas bahwa membunuh anak adalah tindakan terlarang.

Kita juga bisa mengatakan bahwa penyebutan kaitan tersebut untuk menegaskan bahwa membunuh anak dalam keadaan miskin pun sangat terlarang apalagi jika dalam keadaan ekonomi orang tua membaik.

Kita tahu bahwa melakukan penggadaian untuk mendapatkan uang adalah sah hukumnya, baik dilakukan pada waktu berada di wilayah tempat tinggal kedua pihak yang bertransaksi maupun ketika sedang bepergian (musafir). Atas dasar itu, tujuan Alq uran menyebutkan kaitan transaksi gadai dengan keadaan dalam perjalanan adalah untuk menegaskan bahwa transaksi itu tetap sah walaupun dilakukan dalam keadaan yang paling rawan. Biasanya, dalam keadaan seperti itu, kepercayaan seseorang untuk meminjamkan sejumlah uang kepada orang lain sangatlah tipis, kecuali adanya jaminan tertentu dalam bentuk gadai.

Demikian pula, penyebutan kaitan kata maqbullah (diterima, diserahterimakan) pada ayat itu bukanlah syarat sah transaksi gadai. Ia hanya untuk menegaskan bahwa, dengan cara itu, kedua pihak akan lebih berhati-hati dan saling percaya. Jadi, kaitan ketiadaan katib (penulis, notaris) tidak termasuk syarat sah transaksi gadai.

jd^ll

(j! JOAJL »L-OL^= j^Lu 4=li

AIIP (_£A]I ^Ji-L*Jj C.«.".,.^s»y1& <Ujl 4»lip l.oi-=3 (__*J$sL)

£ X ^ ,, <, ^ ^ } 9 s s "" ) S sl£^ S'

4-jIp (_£Uji Jo -Ol^ Lis-^J 4jw« Vj ^4JJ 4jl)l JjxJj

,, -»Tc" < 1 .»

(_J-LxJU .jaJj (2)^ _jt Lc-jju^s ! t g +6 “■ -

^ is*

& f i s ' »'' ^ ^ w X- > ^ 9 ^ ✓ » Jl 9 / *"

J-K/ c^j 0}^ "^=^yrj ^jA ^^hX^-Cw lj wL^*UIL*4> lj

/ ^ S % S -9 tf , y f - ,. ^ ^ ^ ^ ^ ^ ''^ y

-«*-LA3 t -ft. ^ J I ^J-yO J(^JI£ I taLpw I L) 1^*lj

(2)1 Vj 1j-P3 L* )ij ^1 jlpiJl *bfj ^ L L - ^

J

i

Jika kamu dalam perjalanan, sedangkan kamu tidak

Dalam dokumen KAIDAH TAFSIR ALQURAN (Halaman 83-189)

Dokumen terkait