• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian atas Putusan Kasasi Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013 Mengenai Penerapan

Dalam dokumen [DE] KONSTRUKSI HUKUM (Halaman 93-98)

PROBLEMATICS IN THE APPLICATION OF ARTICLE 2 AND 18 OF THE LAW ON CORRUPTION ERADICATION

B. Kajian atas Putusan Kasasi Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013 Mengenai Penerapan

Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Hakim tingkat kasasi telah keliru pula dalam penerapan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana poin 3 amar Putusan Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013, yang menyatakan: “Menghukum terdakwa membayar

uang pengganti sebesar Rp.196.950.000,- (seratus sembilan puluh enam juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah), dengan ketentuan jika terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu satu bulan sesudah keputusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dan dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka diganti dengan pidana penjara selama dua tahun.”

Penghukuman uang pengganti sebesar Rp.196.950.000,- (seratus sembilan puluh enam juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah) kepada terdakwa adalah suatu kekeliruan judex

juris, karena dalam perkara in casu, kerugian

negara yang dipertimbangkan oleh judex juris adalah sebesar Rp.815.850.000,- (delapan ratus lima belas juta delapan ratus lima puluh ribu rupiah) sesuai dengan laporan hasil audit investigasi BPKP Perwakilan Provinsi Jawa Barat Nomor LHAI-I0889/PW10/05/2011 tanggal 31 Desember 2011 (Putusan Nomor 1287 K/Pid.Sus/2013: 64). Adapun di lain pihak majelis kasasi/judex juris dalam Putusan Nomor 1287 K/Pid.Sus/2013 telah menjatuhkan pidana tambahan kepada AS (terpidana dalam berkas perkara terpisah) untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.132.700.000,- (seratus tiga puluh dua juta tujuh ratus ribu rupiah), dan kepada AR (terpidana dalam berkas perkara terpisah) untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.448.475.000,- (empat ratus empat puluh delapan juta empat ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).

Problematika Penerapan Pasal 2 dan 18 Undang-Undang Pemberantasan (Maman Budiman) | 313 Selain penghukuman uang pengganti yang

telah dijatuhkan kepada para terpidana (HS, AS, dan AR), judex juris dalam pertimbangannya, sebagaimana Putusan Nomor 1283 K/Pid. Sus/2013, telah mengakui adanya uang maupun barang yang telah dititipkan terpidana HS dan AS kepada jaksa penuntut umum, dengan rincian sebagai berikut:

a. Titipan uang untuk pengembalian kerugian negara sebesar Rp.25.000.000,- dari terdakwa AS kepada penuntut umum;

b. Setoran uang sebesar Rp.17.500.000,- dari saudara N ke rekening atas nama Kejaksaan Tinggi Jawa Barat - Asisten Tindak Pidana Khusus Nomor Rekening 00000754-01-00002-30-6 di BRI Unit Cihapit Bandung sebagaimana slip penyetoran tanggal 27 Desember 2012 dengan keterangan titipan pengembalian kerugian negara a.n. terdakwa AS;

c. Ada pengembalian kerugian negara berupa barang dari terdakwa AS dengan nilai total

Rp.96.750.000,-d. Titipan uang untuk pengembalian kerugian negara sebesar Rp.75.000.000,- dari terdakwa HS kepada penuntut umum sebagaimana berita acara penitipan barang bukti tanggal 29 Juni 2012.

Jumlah penitipan uang dari HS ke penuntut umum adalah sebesar Rp.75.000.000,- sedangkan penitipan uang dari terpidana AS kepada penuntut umum dan penyerahan barang lAIN Syekh Nurjati Cirebon adalah Rp.139.250.000,- (Rp.25.000.000,- ditambah Rp.17.500.000,- ditambah Rp.96.750.000,- ) sehingga jumlah penitipan uang dan barang tersebut adalah

Rp.214.250.000,-Dari perhitungan tersebut di atas maka total uang yang akan diterima oleh negara adalah Rp.992.375.000,- yaitu dari rincian sebagai berikut:

a. Uang Pengganti dari AS sebesar Rp.132.700.000,-

b. Uang Pengganti dari HS sebesar Rp.196.950.000,-

c. Uang Pengganti dari AR sebesar Rp.448.475.000,-

d. Jumlah penitipan uang dan barang sebesar Rp.214.250.000,-

e. Jumlah keseluruhan (a+b+c+d) adalah

Rp.992.375.000,-Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan:

a. Selain pidana tambahan sebagaimana

dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan.

b. Pembayaran uang pengganti yang

jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

Berdasarkan pengertian kerugian negara yang didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 ayat (22) dapat dikemukakan unsur-unsur dari kerugian negara yaitu bahwa kerugian negara merupakan berkurangnya keuangan negara berupa uang berharga, barang

314 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 303 - 315

milik negara dari jumlahnya dan/atau nilai yang seharusnya (Yuntho et.al, 2014: 24-25). Kekurangan dalam keuangan negara tersebut harus nyata dan pasti jumlahnya atau dengan perkataan lain kerugian tersebut benar-benar telah terjadi dengan jumlah kerugian yang secara pasti dapat ditentukan besarnya. Kerugian tersebut akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai, unsur melawan hukum harus dapat dibuktikan secara cermat dan tepat.

Putusan judex juris dalam perkara ini sama sekali tidak memperhatikan unsur jumlah kerugian negara yang pasti karena menyiratkan total jumlah kerugian negara yang berbeda yaitu sebesar Rp.992.375.000,- Maka apabila melihat unsur kerugian yang pasti, dihubungkan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan kata lain alih-alih kerugian negara, putusan

judex juris in casu justru akan menghasilkan

pendapatan negara senilai Rp.177.375.000,- Dengan memperhatikan pertimbangan di atas, maka apabila negara diuntungkan dengan adanya kelebihan pembayaran uang pengganti tersebut sehingga menurut penulis unsur dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara sebagaimana yang telah dibuktikan dalam Pasal 2 undang-undang a quo menjadi hilang dan tidak terpenuhi.

IV. KESIMPULAN

Dari uraian dalam pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Judex juris dalam Putusan Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013 telah keliru dalam membuktikan unsur “melawan hukum” sebagaimana yang tertera dalam Pasal 2

ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga pertimbangan judex juris tersebut menurut penulis mengandung kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata. Dikarenakan pencantuman unsur melawan hukum pada pasal tersebut mengharuskan pembuktian unsur melawan hukum formil dan melawan hukum materiil sebagaimana dalam Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006, tanggal 24 Juli 2006. Perbuatan terpidana tidak dapat dikategorikan sebagai cara-cara perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 karena dalam hal ini tidak ada undang-undang atau peraturan hukum formal (mengandung sanksi pidana) yang dilanggar oleh terpidana, dan sekalipun perbuatan terpidana telah melanggar Kepres Nomor 80 Tahun 2003 sebagaimana telah dirubah oleh Perpres 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.

2. Judex juris dalam perkara tingkat kasasi telah keliru dalam penerapan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terutama mengenai besaran uang pengganti dari kerugian negara dikarenakan

judex juris tidak cermat menghitung besaran

kerugian negara sebesar Rp.196.950.000,- (seratus sembilan puluh enam juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah) yang sama sekali tidak memperhatikan unsur jumlah kerugian negara yang pasti.

Problematika Penerapan Pasal 2 dan 18 Undang-Undang Pemberantasan (Maman Budiman) | 315 DAFTAR ACUAN

Asshiddiqie, J., & Safa’at, A. (2012). Teori Hans Kelsen tentang hukum. Jakarta: Konpres.

Muljatno. (2000). Asas-asas hukum pidana. Cet. Ketujuh. Jakarta: Rineka Cipta.

Rifai, A. (2010). Penemuan hukum oleh hakim “Dalam perspektif hukum progresif.” Jakarta: Sinar Grafika.

Soemantri, S. (1984). Perbandingan hukum tata negara. Bandung: Alumni.

Sutatiek, S. (2013). Menyoal akuntabilitas moral hakim pidana dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

Waluyo, B. (2004). Pidana dan pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika.

Wantu, F. (2011). Idée des recht kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan (Implementasi dalam proses peradilan perdata). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yuntho, E. et.al. (2014). Penerapan unsur merugikan keuangan negara dalam delik tindak pidana korupsi. Semarang: ICW-YLBHI Press.

Penjatuhan Pidana Penjara Bersyarat dalam Tindak Pidana Perbankan (Ramiyanto) | 317

ABSTRAK

Di Indonesia, tindak pidana perbankan diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Di dalam undang-undang tersebut diatur secara tegas mengenai ancaman sanksi berupa pidana bagi pelanggarnya. Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 telah mengatur ancaman pidana untuk tindak pidana perbankan dengan sistem minimum khusus, yaitu paling singkat tiga tahun penjara dan denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). Majelis hakim dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 menjatuhkan pidana penjara bersyarat. Putusan tersebut membatalkan putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang (judex facti) Nomor 437/Pid.Sus/2013 yang menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak). Majelis hakim dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 telah menjatuhkan pidana penjara di bawah ancaman minimum, yaitu selama enam bulan penjara dengan sistem bersyarat. Menurut Pasal 14 ayat (1) KUHP, pidana bersyarat hanya dapat dilakukan apabila majelis hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun. Analisis putusan ini berfokus pada pokok pertimbangan majelis hakim dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 terkait penjatuhan pidana penjara bersyarat, dilihat dari ketentuan lamanya ancaman pidana. Penelitian ini menggunakan metode

penelitian hukum normatif dan berkesimpulan bahwa penjatuhan pidana penjara bersyarat dalam kasus tersebut dapat dibenarkan dengan alasan demi keadilan serta fakta keseimbangan antara tingkat kesalahan pelaku dan keadaan yang melingkupinya.

Kata kunci: penjatuhan pidana, pidana penjara bersyarat, tindak pidana perbankan.

ABSTRACT

Banking Crime in Indonesia is regulated in Law Number 10 of 1998 on the amendment to Law Number 7 of 1992 on Banking. The law expressly set the criminal sanctions for any violation. Article 49 paragraph (2) point b of Law Number 10 of 1998, has been stipulated criminal sanctions for banking crime at a special minimum system, which is imprisonment a minimum for three years and fine for at least five billion rupiahs. In Decision Number 1554 K/Pid.Sus/2014 concerning banking crime, the panel of judges imposes unconditional imprisonment. Judex facti of the District Court of Tanjung Karang in the decision has overturned the Decision Number 437/Pid. Sus/2013 which is a judgment of acquittal (vrijspraak). The panel of judges in Decision Number 1554 K/Pid. Sus/2014 has dropped the sentence to six-month in prison term, which is placed under the minimum penalty of a criminal sentence. According to Article 14 paragraph (1) of the Criminal Code, conditional sentencing

PENJATUHAN PIDANA PENJARA BERSYARAT

Dalam dokumen [DE] KONSTRUKSI HUKUM (Halaman 93-98)