• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Penafsiran Hukum

Dalam dokumen [DE] KONSTRUKSI HUKUM (Halaman 75-84)

LEGAL INTERPRETATION OF DECONSTRUCTION IN CRIMINAL OFFENSE OF POLYGAMY

B. Metode Penafsiran Hukum

Pertimbangan hukum majelis hakim PN Bangkinang seperti di atas tidak lepas dari kecenderungan pendekatan terhadap hukum yang dipilih, yakni memilih positivisme hukum. Pandangan ini mengarahkan bahwa hukum (dalam pengertian hukum negara) harus dibersihkan dari unsur non-hukum. Di sini hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami

positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin

kepastian mengenai apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun normative harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum (Wignjosoebroto, 2002: 96). Dalam perspektif positivisme hukum, ilmu hukum hanya membahas hukum positif saja. Gagasan ini sangat dualistis dengan memisahkan antara realitas ideal (idealisme metafisis: moral-agama) dan realitas material (hukum positif-command of

sovereign atau command of law-giver).

Dengan kecenderungan positivisme hukum, majelis hakim PN Bangkinang melakukan pembedaan antara keabsahan perkawinan dalam perspektif hukum agama dan keabsahan dalam perspektif hukum negara. Perkawinan antara IR dan H meskipun telah memiliki keabsahan secara agama, tetapi perkawinan tersebut belum dianggap memiliki keabsahan secara hukum negara. Oleh sebab itu, perkawinan tersebut dianggap tidak bisa dipidana dengan KUHP. Penggunaan dualisme atau pemisahan antara unsur hukum negara dengan unsur normatif non-hukum negara (seperti aspek agama) sangat kental dan memang selalu dilakukan oleh aliran positivisme. Hakim menganggap bahwa keabsahan agama tidak bisa menjadi keabsahan hukum negara karena agama, meminjam istilahnya Wignjosoebroto (2002: 96), “bukan terbilang hukum.”

Kecenderungan positivisme hukum tersebut selanjutnya mempengaruhi model penafsiran hukum yang dipilih, yakni model

subsumptif. Dalam hal ini, majelis hakim PN

Bangkinang hanya sekedar mencocokkan apa bunyinya undang-undang dengan realitas yang terjadi. Di sini, bunyi Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan adalah bahwa perkawinan harus tercatat. Ditinjau dari metode penafsiran

Penafsiran Hukum Dekonstruksi untuk Pelanggaran Poligami (Faiq Tobroni) | 295 membangun penafsiran bahwa perkawinan antara

IR dengan H –yang walaupun memenuhi unsur “halangan yang sah untuk melakukan perkawinan kembali”– tidak dianggap sah karena perkawinan tersebut tidak dicatat berdasarkan Undang-Undang Perkawinan terutama Pasal 2 ayat (2) (Putusan Nomor 341/Pid.B/2012/PN.Bkn: 14 alinea ke-2). Oleh sebab itu, majelis hakim PN Bangkinang menyimpulkan bahwa meskipun terdakwa IR telah terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya sebagaimana dalam dakwa melanggar Pasal 279 KUHP, akan tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana (onslag van recht vervolging) (Putusan Nomor 341/Pid.B/2012/PN.Bkn: 15 alinea ke-4). IR terbebas dari hukuman karena pelanggaran poligami yang dilakukannya (IR) dengan H tersebut tidak melalui proses perkawinan yang memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan (dicatatkan di KUA).

Sebaliknya, putusan kasasi menunjukkan majelis kasasi mempunyai pendekatan dan metode penafsiran yang berbeda. Menurut penulis, pendekatan hukum yang dipakai majelis kasasi mempunyai relevansi hubungan dengan keberadaan chaos theory of law. Sebelum menganalisis relevansi hubungan tersebut, terlebih dahulu penulis perlu memperjelas lebih lanjut mengenai keberadaan chaos theory

of law. Seperti pembahasan di atas, bahwa

teori tersebut dikembangkan oleh Sampford. Untuk penjelasannya lebih lanjut, Sudjito mengembangkannya menjadi dua kategori, yakni destruktif dan konstruktif (Sudjito, 2006: 165-166).

Kategori pertama adalah chaos destruktif (the negative chaos), yaitu chaos yang menjurus kepada kesesatan, kehancuran, dan kesengsaraan. Kemunculan chaos model ini dikarenakan

ada kesengajaan mereduksi keutuhan realitas hukum, baik yang terkait dengan pendekatannya (keutuhan akal-kalbu), ruang lingkupnya (keutuhan jasmani-rohani), objek kajiannya (keutuhan manusia-alam maupun keutuhan manusia-Tuhan). Dalam penjelasannya lebih lanjut, Sudjito menilai bahwa chaos model ini menjadikan hukum dalam keutuhannya sebagai tatanan kehidupan (order) direduksi menjadi konsep hukum yang sempit dan berkiblat untuk kepentingan yang sempit pula.

Sudjito mencontohkan ketika hukum diidentikkan sebagai hukum positif saja, ataupun ketika hukum dikonsepkan sebagai aparat penegak hukum saja, dan sebagainya. Kemungkinan pereduksian hukum seperti itu hanya bisa diselesaikan manakala hukum harus diimbangi dengan kalbu dan kecerdasan emosional (Emotional Quotient - EQ), serta kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient - SQ) (Sudjito, 2006: 165-166). Penjelasan Sudjito mengenai chaos kategori pertama ini sangat menarik. Chaos yang seperti ini justru menunjukkan bahwa Sudjito mengkritik keberadaan positivisme hukum itu sendiri sebagai chaos yang negatif. Kecenderungan positivisme hukum yang menolak entitas moral dan agama sebagai bagian dari hukum menunjukkan pandangan yang justru menciptakan chaos kekacauan dalam pengertian negatif. Pandangan Sudjito ini menawarkan keutuhan realitas hukum, yakni hukum positif harus bersama moral dan agama.

Kategori kedua adalah chaos konstruktif (the positive chaos), yaitu chaos yang berada pada track (jalur) menuju ke arah keutuhan sistem hukum yang religius transendental, yaitu sistem hukum yang menempatkan keutuhan antara akal-kalbu, jasmani-rohani, alam, manusia-Tuhan (Sudjito, 2006: 166). Penggunaan chaos

296 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 281 - 301

theory of law dimaksudkan dalam konteks

kategori chaos kedua ini. Dalam hal ini, majelis kasasi tidak membedakan keabsahan perkawinan antara hukum agama dan hukum negara. Majelis kasasi tidak mempermasalahkan tidak terpenuhinya Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan dalam perkawinan terdakwa IR dengan H. Sebaliknya, majelis kasasi sudah cukup mengapresiasi kepada sudah terpenuhinya Pasal 2 ayat (1) dalam perkawinan IR dengan H.

Majelis kasasi menyatakan bahwa perkawinan IR kepada H telah dilaksanakan dengan adanya wali nikah bersama dua orang saksi nikah dan telah memenuhi ketentuan prosedur perkawinan sesuai dengan hukum agama Islam serta memenuhi ketentuan Undang-Undang Perkawinan. Oleh sebab itu, perkawinan kembali yang dilakukan terdakwa IR adalah sah secara agama. Kesimpulan tentang keabsahan yang dibangun hakim tersebut menunjukkan sekaligus hakim tidak mempermasalahkan mengenai keabsahan secara hukum negara. Selanjutnya, metode penafsiran yang digunakan majelis kasasi mempunyai relevansi dengan metode dekonstruksi. Menurut Susanto, dekonstruksi sebagai metode penafsiran hukum adalah strategi untuk membantu melihat makna yang tersembunyi. Salah satu tahapan yang ditempuh adalah melakukan intertekstualitas makna (menemukan makna tidak terkatakan) (Susanto, 2010: 273).

Salah satu strategi penemuan makna tidak terkatakan ini adalah melakukan interpretasi suatu teks dengan bantuan teks lain.

Intertekstualitas dalam teks hukum menjelaskan

saling ketergantungan satu produk hukum positif dengan produk hukum positif lain maupun di luar hukum positif. Peraturan hukum positif sebagai salah satu entitas teks bukanlah sebuah fenomena

yang berdiri sendiri dan bersifat otonom, dalam pengertian teks tersebut eksis berdasarkan relasi-relasi atau kriteria-kriteria yang internal pada dirinya sendiri maupun kriteria eksternal. Tentang hal ini Susanto menjelaskan bahwa di dalam ruang teks tersebut, terdapat beraneka ragam ungkapan-ungkapan yang diambil dari teks-teks lain, silang menyilang dan saling menetralisir satu sama lain (Susanto, 2010: 202).

Interelasi teks pada dasarnya merupakan konsep dari bagaimana teks dapat memamah-biak. Namun interelasi ini tidak pernah mengurangi keorisinilan, tetapi sebaliknya memacu kreativitas untuk melahirkan keorisinilan. Artinya, interelasi dalam teks hukum pada dasarnya tidak berusaha untuk melemahkan hukum itu sendiri, tetapi sebaliknya memacu agar penerapan hukum melahirkan keadaan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Dalam kasus ini, strategi intertekstualitas dalam teks hukum yang sangat jelas dibutuhkan oleh majelis kasasi adalah ketika butuh untuk mengoperasionalkan Pasal 279 ayat (1) KUHP. Ternyata faktor utama yang dipergunakan hakim untuk mengkriminalisasi IR, selain karena masih adanya perkawinan sebelumnya (antara IR dengan SM) sebagai penghalang perkawinan selanjutnya (antara IR dengan H), adalah tidak adanya izin dari SM (istri pertama IR) kepada IR untuk menikah kembali (Putusan Nomor 937 K/ Pid/2013: 11-12).

Pada posisi ini, hakim tidak hanya mengambil kandungan pelanggaran dalam Pasal 279 ayat (1) KUHP (perkawinan yang telah ada bisa menjadi penghalang perkawinan setelahnya), tetapi juga terinspirasi makna yang tidak terkatakan atau di luar KUHP (suami tidak boleh menikah lagi tanpa adanya izin dari istri

Penafsiran Hukum Dekonstruksi untuk Pelanggaran Poligami (Faiq Tobroni) | 297 yang ada). Dengan demikian, sebenarnya hakim

bisa saja menegaskan bahwa pernikahan terlarang (Pasal 279 ayat (1) KUHP) yang dilakukan IR sebenarnya adalah bentuk pelanggaran poligami (Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan) yang dibuktikan dengan ketiadaan izin dari istri pertama (SM) bagi IR untuk menikah lagi dengan H. Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan menyatakan: “seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan.”

Perkawinan IR dengan H masuk kategori perkawinan terlarang sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan tersebut karena IR tidak bisa memenuhi Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4. Hal ini dibuktikan dengan pengungkapan oleh jaksa di muka persidangan yang sekaligus digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk memidana IR, bahwa tidak ada izin dari SM sebagai istri pertama kepada IR untuk menikah dengan H dan sekaligus begitu juga IR tidak meminta izin kepada SM untuk menikah dengan H. Walaupun keharusan suami mendapat izin dari istri pertama untuk melakukan poligami diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Perkawinan, yang sementara Pasal 5 tidak terkatakan dalam Pasal 9, pelanggaran yang dilakukan H tetap bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Pasal 9.

Sebenarnya ketentuan persyaratan poligami Pasal 5 telah secara otomatis diwakili ketentuan Pasal 3 ayat (2) (sebagai ketentuan yang terkatakan atau tercatat dalam Pasal 9). Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan mengatur tentang keharusan pelaku poligami untuk mendapatkan keputusan izin berpoligami dari pengadilan agama. Sementara, salah satu persyaratan untuk mendapatkan izin poligami

yang diterapkan oleh pengadilan agama adalah adanya izin tertulis dari istri lama. Jadi sama saja, melanggar Pasal 3 ayat (2) berarti sama dengan melanggar Pasal 5.

Berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, telah dengan jelas terbukti bahwa perkawinan terlarang antara IR dan H bisa dikatakan sebagai perkawinan poligami yang tidak memenuhi syarat (pelanggaran poligami). Perkawinan tersebut tidak memenuhi ketentuan persyararan poligami sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan sehingga masuk perkawinan terlarang dalam Pasal 9. Perkawinan terlarang model seperti ini juga bisa dikategorikan sebagai perkawinan terlarang sebagaimana diancam Pasal 279 KUHP.

Perbuatan terdakwa tersebut telah dilakukan dengan sengaja, yaitu terdakwa memang menghendaki untuk melakukan perkawinan kembali, walaupun terdakwa secara pasti mengetahui perkawinannya yang ada dengan SM dan masih berstatus absah menjadi halangan baginya untuk melakukan perkawinan tersebut. Perkawinan kembali seharusnya atas sepengetahuan dan seizin SM. Dengan demikian, perbuatan IR melakukan perkawinan kembali tersebut telah memenuhi pengertian dari sifat melawan hukum formil perbuatan tersebut, serta perbuatan terdakwa bertentangan dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat.

Metode penafsiran dekonstruksi bisa digunakan untuk menjustifikasi hubungan antara pemidanaan atas pelanggaran poligami (Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan) dengan pemidanaan pernikahan terlarang (Pasal 279 ayat (1) KUHP). Dengan langkah intertertekstualitas dalam hukum sebagai pelaksanaan metode penafsiran dekonstruksi, operasionalisasi Pasal

298 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 281 - 301

279 ayat (1) KUHP mendapati konkretisasi salah satu bentuk pernikahan terlarang yang bisa dipidana berupa pelanggaran poligami sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan (yang tidak terkatakan atau belum diatur KUHP). Begitu juga, langkah

intertekstualitas dalam hukum berguna untuk

membantu penegasan adanya sarana kriminalisasi yang legal (yang tidak terkatakan atau belum diatur Undang-Undang Perkawinan) untuk memidana pelaku pelanggaran poligami yang tidak mengikuti ketentuan Pasal 9 dengan atas nama delik perkawinan terlarang (yang sudah terkatakan atau diatur Pasal 279 ayat (1) KUHP).

Pilihan atas metode penafsiran hukum merupakan elemen yang sangat penting dalam konteks membicarakan hubungan pemidanaan atas pelanggaran poligami dengan pidana nikah terlarang. Kebijakan izin poligami harus benar-benar ditaati para pelaku poligami. Pelaksanaan poligami tanpa mengupayakan perolehan izin dari istri dan penetapan izin dari pengadilan agama sudah selayaknya dianggap sebagai poligami yang tidak memenuhi syarat. Konsekuensinya, praktik poligami seperti itu tidak hanya mendapatkan pembatalan tetapi juga sudah seharusnya mendapatkan sanksi hukuman yang tegas. Karena Undang-Undang Perkawinan belum menyediakan secara tegas hukuman atas pelaku pelanggaran poligami, sudah sepatutnya pelakunya dijerat dengan dakwaan telah melakukan tindak pidana berupa pernikahan terlarang.

Pengenaan dakwaan demikian sudah tepat diterapkan kepada pelaku yang berniat melakukan pelanggaran poligami. Berdasarkan penelitian Nurmila & Bennet (2014: 71), praktik poligami yang sesungguhnya ilegal tersebut ditempuh karena sebenarnya pelaku tidak bisa memenuhi persyaratan mendapatkan izin dari istri pertama

atau ketika pelaku tidak bisa membuktikan kemampuan berlaku adil bagi semua istrinya. Pengenaan dakwaan juga sudah sepantasnya dilakukan meskipun terhadap orang yang telah menalak istrinya secara agama, tetapi belum membawa talak tersebut ke pengadilan agama. Mereka yang hanya menalak secara agama, tetapi belum membawa talak tersebut ke pengadilan, hubungan mereka dengan istrinya masihlah bisa dikatakan sebagai suami istri yang sah sesuai Pasal 38-39 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 113-115 KHI.

Khusus kepada pertimbangan hukum dalam putusan kasasi tersebut, dakwaan melakukan pernikahan terlarang tidak saja patut dialamatkan kepada IR karena tidak memenuhi persyaratan poligami dalam Undang-Undang Perkawinan pada Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, dan Pasal 5; serta Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 55, 56, 57, 58, dan 59; tetapi juga karena tidak memenuhi persyaratan poligami sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah yang berlaku bagi diri pelaku sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebagai abdi negara yang berprofesi PNS, IR memiliki tanggung jawab memenuhi persyaratan poligami lebih berat dibandingkan dengan warga negara pada umumnya. Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

Pertimbangan hukum yang dipakai oleh majelis kasasi dalam memidanakan IR sebenarnya hanyalah pertimbangan pelanggaran hukum dalam kacamata IR sebagai warga negara biasa. Majelis kasasi belum menggunakan kacamata persyaratan poligami bagi PNS, karena memang majelis kasasi memfokuskan dakwaan kepada IR dalam konteks praktik pernikahan yang terlarang.

Penafsiran Hukum Dekonstruksi untuk Pelanggaran Poligami (Faiq Tobroni) | 299 IV. KESIMPULAN

1. Pertimbangan hukum majelis hakim PN Bangkinang dalam Putusan Nomor 341/Pid.B/2012/PN.Bkn menjadikan pelaksanaan perkawinan yang secara siri (tidak tercatat) antara IR dengan H sebagai faktor untuk membebaskan IR dari dakwaan Pasal 279 ayat (1) KUHP. Majelis hakim menganggap perkawinan tersebut tidak sah karena perkawinan tersebut tidak dicatat berdasarkan Undang-Undang Perkawinan terutama Pasal 2 ayat (2). Oleh sebab itu, majelis hakim menyimpulkan bahwa meskipun terdakwa IR telah terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya sebagaimana dalam dakwaan melanggar Pasal 279 KUHP (menikah lagi sedang pada saat bersamaan pernikahan yang ada menjadi penghalang), akan tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana (onslag van recht vervolging) karena perkawinan kembali terdakwa IR dengan H tersebut bukanlah sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan.

Sebaliknya, pertimbangan hukum majelis kasasi dalam Putusan Nomor 937 K/ Pid/2013 menyatakan bahwa perkawinan tersebut tetap sah meskipun tidak dicatat. Perkawinan tersebut telah sah secara agama karena telah memenuhi rukun perkawinan dalam hukum agama Islam. Majelis kasasi menilai judex facti telah salah menerapkan hukum, karena tidak mempertimbangkan dengan benar hal-hal yang relevan secara yuridis. Sesuai fakta yang terbuka selama persidangan, perkawinan yang dilakukan IR dengan H telah melibatkan adanya wali nikah dan dua orang saksi, sehingga telah memenuhi ketentuan prosedur perkawinan

sesuai dengan hukum Islam serta memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.

Kesesuaian dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan membuktikan bahwa sangatlah tidak benar bahwa perkawinan tersebut dilaksanakan tidak sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan. Perkawinan tersebut telah dilaksanakan dengan sesuai Pasal 2 ayat (1), yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Dengan begitu, IR pantas dijerat dengan Pasal 279 ayat (1) KUHP. 2. Metode penafsiran hukum majelis hakim

PN Bangkinang berakar pada positivisme hukum, sehingga hakim memisahkan hukum negara dari unsur non-hukum seperti agama. Kecenderungan tersebut memengaruhi pilihan metode penafsiran, yakni subsumptif. Dalam hal ini, majelis hakim PN Bangkinang hanya sekedar mencocokkan apa bunyinya undang-undang dengan realitas yang terjadi. Sementara, bunyi undang-undang yang dipilih adalah Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Dengan metode subsumptif, ketika perkawinan antara IR dan H tidak tercatat dan walaupun telah dilaksanakan sesuai ajaran agama, maka hakim menilai perkawinan tersebut adalah tidak sah karena tidak memenuhi Pasal 2 ayat (2).

Dengan demikian, IR juga tidak bisa dipidana atas nama tindak pidana pernikahan terlarang (Pasal 279 ayat (1) KUHP), lebih-lebih atas nama pelanggaran poligami (Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan). Sebaliknya, metode penafsiran hukum pada Putusan Nomor 937 K/

300 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 281 - 301

Pid/2013 bisa dikatakan berangkat dari chaos

theory of law dalam pengertian konstruktif, yakni

menggabungkan hukum dengan entitas agama. Walaupun tidak tercatat atau tidak memenuhi Pasal 2 ayat (2), majelis kasasi tetap menilai perkawinan antara IR dan H adalah sah karena telah dilaksanakan sesuai hukum agama sehingga memenuhi Pasal 2 ayat (1).

Metode penafsiran hukum sebagai pelajaran dari Putusan Nomor 937 K/Pid/2013 adalah metode dekonstruksi dalam pengertian melakukan

intertekstualitas dalam teks hukum (mencari

dan menemukan makna tidak terkatakan). Kegunaan intertekstualitas terlihat ketika hakim membangun argumentasi dakwaan kepada IR. Hakim tidak hanya mengambil kandungan pelanggaran dalam Pasal 279 ayat (1) KUHP (perkawinan yang telah ada bisa menjadi penghalang perkawinan setelahnya), tetapi juga terinspirasi makna yang tidak terkatakan atau dari luar KUHP (suami tidak boleh menikah lagi tanpa adanya izin dari istri yang ada). Di sinilah, sudah sepantasnya hakim menegaskan bahwa pernikahan terlarang (Pasal 279 ayat (1) KUHP) yang dilakukan IR sebenarnya adalah bentuk pelanggaran poligami (Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan) yang dibuktikan dengan ketiadaan izin dari istri pertama (SM) bagi IR untuk menikah lagi dengan H.

Langkah intertekstualitas tersebut juga

sebenarnya diperlukan untuk mempertegas posisi pelanggaran poligami bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dalam konkretisasi delik pernikahan terlarang (tidak terkatakan dalam KUHP), sekaligus mengkampanyekan sarana yang legal untuk mengkriminalisasi pelanggaran poligami (tidak terkatakan dalam Undang-Undang Perkawinan) atas nama delik pernikahan terlarang.

DAFTAR ACUAN

Afrianty, D. (2015). Women and sharia law in northern Indonesia: Local women’s NGOs and the reform of Islamic Law in Aceh. New York: Routledge.

Al-Jaziri, A. (2003). Al-fiqhu ‘ala mazhahib arba’ah. Beirut-Lebanon: Dar Kutub al-‘Ilmiyyah.

Anshori, A.G. (2011). Hukum perkawinan Islam perspektif fikih dan hukum positif. Yogyakarta: UII Press.

Dirdjosisworo, S. (2008). Pengantar ilmu hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Hartoko, D., & Rahmanto, B. (1986). Pemandu di dunia sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Lukito, R. (2013). Legal pluralism in Indonesia: Bridging the unbridgable. New York: Routledge.

Marzuki, P.M. (2014). Penelitian hukum. Jakarta: Prenadamedia Group.

Mughniyah, M.J. (2015). Fiqih lima mazhab: Ja‘fari, Hanafi, Maliki, Syafi‘i, Hambali (Gold Edition). Jakarta: Penerbit Lentera.

Nurmila, N., & Bennet, L.R. (2014). ‘The sexual politics of poligamy in Indonesian marriages’ dalam Bennet, L.R., & Davies, S.G. (Ed). Sex and sexualitues in contemporary Indonesia: Sexual politics, health. New York: Routledge. Rofiq, A. (2013). Hukum perdata Islam di Indonesia.

Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Sampford, C. (1989). The disorder of law, a critique of legal theory. UK: Blackwell.

Soekanto, S., & Mamudji, S. (2011). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.

Penafsiran Hukum Dekonstruksi untuk Pelanggaran Poligami (Faiq Tobroni) | 301

Sudjito. (2006, Juni). Chaos theory of law: Penjelasan atas keteraturan dan ketidakteraturan dalam hukum. Mimbar Hukum.18(2), 159-292.

Susanto, A.F. (2010). Ilmu hukum non sistematik; Fondasi filsafat pengembangan ilmu hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing. Wignjosoebroto, S. (2002). Hukum, paradigma,

metode, dan dinamika masalahnya. Jakarta: Elsam & Huma.

Witgens, L.J. (2012). Legisprudence; Practical reason in legislation. England: Ashgate Publishing Limited.

Zuhri, S. (2013). Sanksi pidana bagi pelaku nikah siri dan kumpul kebo. Semarang: Bima Sejati.

Problematika Penerapan Pasal 2 dan 18 Undang-Undang Pemberantasan (Maman Budiman) | 303

ABSTRAK

Problematika penerapan pasal dalam Putusan Nomor 54/ Pid.Sus/TPK/2012/PN.Bdg, jo. Nomor 11/Tipikor/2013/ PT.BDG, jo. Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013 menyebabkan timbulnya rasa ketidakadilan. Dalam ketiga putusan tersebut terdapat persoalan yang menarik untuk dikaji, terutama majelis kasasi yang mengubah pasal, dari Pasal 3 jo. Pasal 18 menjadi Pasal 2 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berimplikasi terhadap lamanya pemidanaan dan pengembalian kerugian negara. Analisis ini mengkaji tentang penerapan Pasal 2 dan 18

Dalam dokumen [DE] KONSTRUKSI HUKUM (Halaman 75-84)