• Tidak ada hasil yang ditemukan

Langkah Progresif Negara dalam Mengembalikan Kedaulatan Migas dan

Dalam dokumen [DE] KONSTRUKSI HUKUM (Halaman 56-62)

CONSTITUTIONAL COURT’S INTERPRETATION REGARDING LAW ON OIL AND GAS

B. Langkah Progresif Negara dalam Mengembalikan Kedaulatan Migas dan

Hak Asasi Manusia

Putusan Nomor 36/PUU/2012 terkait dengan pengujian Undang-Undang Migas merupakan sebuah kemenangan konstitusional penting bagi penguasaan negara atas sumber daya alam. Hasil keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang membatalkan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 yang berimplikasi pembubaran BP Migas merupakan langkah negara dalam mengembalikan kedaulatan negara atas migas.

Upaya negara dalam mengembalikan kedaulatan negara di bidang migas, pemerintah membentuk Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang pada pokoknya menentukan, Pasal 1, pelaksanaan tugas, fungsi, dan organisasi Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, sampai dengan diterbitkannya peraturan yang baru. Pasal 2, segala kontrak kerja sama yang ditandatangani antara Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir. Pasal 3, seluruh proses pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, dilanjutkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi.

Selain Peraturan Presiden tersebut diterbitkan pula Keputusan Menteri ESDM Nomor 3135K/08/MEM/2012 yang pada

276 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 259 - 279

pokoknya mengatur mengenai pengalihan tugas, fungsi, dan organisasi dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dan membentuk Satuan Kerja Sementara kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Fungsi dan tugas Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan oleh pemerintah c.q. Kementerian ESDM, sampai diundangkannya undang-undang baru yang mengatur tentang hal tersebut.

Penyalahgunaan wewenang kekuasaan di bidang migas telah berdampak terhadap kerugian negara, khususnya penderitaan rakyat Indonesia. Kekayaan melimpah hasil minyak dan gas bumi Indonesia yang seharusnya dikelola oleh pemerintah dengan baik kemudian dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia tidak dapat terwujud dengan baik. Akibatnya rakyat Indonesia mengalami penderitaan, kemiskinan, dan kebodohan. Hal ini jelas bertentangan dengan hak-hak rakyat Indonesia. Oleh karena itu, jelaslah bahwa ketika kedaulatan negara Indonesia di bidang BP Migas digerogoti oleh negara lain, ini telah melanggar hak asasi manusia yang seharusnya merupakan kewajiban negara bagi pemenuhannya.

Pembiaran terhadap pemenuhan hak asasi manusia rakyat Indonesia khususnya kaitannya dengan BP Migas adalah sebuah bentuk pengingkaran terhadap konvensi internasional di bidang ekonomi, social, dan budaya, atau disebut dengan hak EKOSOB. Migas di Indonesia merupakan kategori sumber daya alam, yang mana sumber daya alam masuk dalam konvensi internasional di bidang EKOSOB tersebut.

Kepedulian negara dalam perlindungan hak asasi manusia warga negaranya khususnya dalam konteks migas, maka dapat dilihat dari besar tidaknya negara menyediakan instrumen

hukum terhadap persoalan hak asasi manusia, minimal diukur dengan banyaknya regulasi tentang hak asasi manusia, baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah maupun dalam bentuk putusan-putusan pengadilan.

IV. KESIMPULAN

Mahkamah Konstitusi menafsirkan/ interpretasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, menggunakan metode pendekatan penafsiran “taalkundige interpretatie” atau biasa disebut dengan pendekatan “arti kata atau istilah.” Kalimat atau kata “pengertian dikuasai oleh

negara” tidak dapat dipisahkan dengan makna

untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang menjadi tujuan Pasal 33 UUD NRI 1945. “… dengan adanya anak kalimat “dipergunakan

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” maka

sebesar-besar kemakmuran rakyat itulah yang menjadi ukuran bagi negara dalam menentukan tindakan pengurusan, pengaturan, atau pengelolaan atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya...”

Hasil analisis hukum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tertuang dalam Putusan Nomor 36/PUU/2012. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau BP Migas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 bertentangan dengan UUD NRI 1945 (inskonstitusional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga harus dibubarkan. Mahkamah Konstitusi menilai keberadaan BP Migas sangat berpotensi untuk terjadinya inefisiensi dan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga menilai

Undang-Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Migas (Habib Shulton Asnawi) | 277 Undang Migas tersebut membuka liberalisasi

pengelolaan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing.

Peran negara dalam mengembalikan kedaulatan migas di Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara membatalkan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 yang berimplikasi pembubaran BP Migas. Selain itu, pemerintah membentuk Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Selain itu diterbitkan pula Keputusan Menteri ESDM Nomor 3135K/08/MEM/2012 yang pada pokoknya mengatur mengenai pengalihan tugas, fungsi, dan organisasi dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dan membentuk Satuan Kerja Sementara kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Fungsi dan tugas Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan oleh pemerintah c.q. Kementerian ESDM, sampai diundangkannya undang-undang baru yang mengatur tentang hal tersebut.

Langkah-langkah pemerintah tersebut merupakan upaya untuk melindungi hak-hak rakyat. Pembiaran terhadap pemenuhan hak asasi manusia rakyat Indonesia khususnya kaitannya dengan BP Migas adalah sebuah bentuk pengingkaran terhadap konvensi internasional di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

V. SARAN

Dari kesimpulan tersebut di atas menurut asumsi penulis maka perlu diupayakan

deliberalisasi tata kelola migas melalui revisi

terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 dan semua peraturan di bawahnya yang berpotensi melanggar Pasal 33 UUD NRI 1945. Ada beberapa substansi yang harus direvisi pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 agar selaras dengan Pasal 33 UUD NRI 1945, yaitu: 1. Mengembalikan komoditas migas dari

komoditas pasar menjadi komoditas strategis sehingga memungkinkan bagi pemerintah untuk melakukan intervensi dalam penetapan harga dan pemanfaatan komoditas strategis untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

2. Mengembalikan penguasaan negara dengan menyerahkan pengelolaan migas dari hulu sampai hilir kepada BUMN. Untuk itu, perlu memberikan prioritas dalam setiap penawaran pengelolaan blok migas yang baru kepada Pertamina. Sedangkan blok migas lama yang sudah habis masa kontraknya harus diberikan pengelolaannya kepada Pertamina sebagai operator tunggal. Dengan pengelolaan secara langsung, dipastikan seluruh hasil dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan negara. Hal ini akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat. Pengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara. Pada sisi lain, jika negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam untuk dikelola oleh perusahaan swasta atau badan hukum lain di luar negara, keuntungan bagi negara akan terbagi sehingga manfaat bagi rakyat juga akan berkurang.

278 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 259 - 279

BP Migas diharapkan dapat fokus melaksanakan tujuan pengendalian kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi tanpa dibebani kewajiban untuk mencari keuntungan untuk diri sendiri, tetapi lebih fokus untuk kepentingan negara serta menghindari terjadinya pembebanan terhadap keuangan negara melalui APBN. Oleh karena itu, fungsi pengendalian dan pengawasan dalam kegiatan hulu migas yang sebelumnya dilakukan oleh Pertamina dialihkan menjadi fungsi BP Migas selaku representasi pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan yang menyelenggarakan penguasaan negara atas sumber daya alam migas. BP Migas adalah badan hukum milik negara yang tidak merupakan institusi bisnis, melainkan institusi yang mengendalikan dan mengawasi bisnis migas di sektor hulu. BP Migas oleh pemerintah dimaksudkan sebagai ujung tombak bagi pemerintah agar secara langsung tidak terlibat bisnis migas, sehingga pemerintah tidak dihadapkan secara langsung dengan pelaku usaha.

DAFTAR ACUAN

Adi, R. (2004). Metodologi penelitian sosial dan hukum. Jakarta: Granit Press.

Arianto, S. (2003). Hak asasi manusia dalam transisi politik di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Asplund, K.D., Marzuki, S., & Riyadi, E. (Ed.). (2008). Hukum hak asasi manusia. Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, PUSHAM UII.

Asshiddiqie, J. (1994). Gagasan kedaulatan rakyat dalam Konstitusi dan pelaksanaannya di Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta: PT Ictiar Baru Van Hoeve.

____________. (2005). Model-model pengujian Konstitusional di berbagai Negara. Jakarta: Konstitusi Press.

____________. (2008). Menuju negara hukum yang demokratis. Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Astawa, I.G.P., & Na’a, S. (2012). Memahami ilmu negara dan teori Negara. Bandung: Refika Aditama.

Bakhri, S. (2012). Pembubaran BP Migas. Makalah yang disampaikan dalam seminar Nasional di Fakultas Hukum Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta pada Tanggal 28 November.

Budiardjo, M. (1980). Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta: Gramedia.

Cranston, M. (1973). What are human rights? New York: Taplinger.

Donnely, J. (2003). Universal human rights in theory and practice. Cornell University Press, Ithaca and London.

El-Muhtaj, M. (2007). “HAM, DUHAM, RANHAM, Indonesia” dalam Riyadi, E., & Supriyanto (Ed.) Mengurai kompleksitas hak asasi manusia: Kajian multi perspektif. Yogyakarta: PUSHAM UII.

Hadjon, P.M. (1987). Perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia. Surabaya: PT Bina Ilmu.

Halwani, H. (2000). Globalisasi ekonomi. Jakarta: Center for Global Studies.

Huda, N. (2009). Hukum tata negara Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Migas (Habib Shulton Asnawi) | 279

Mahfud MD, Moh. (2001). Dasar dan struktur ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

_____________. (2012). Negara hukum Indonesia: Gagasan dan realita di era reformasi. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Dinamika Implementasi Negara Hukum Indonesia dan Tantangannya di Era Reformasi,” yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Mertokusumo, S. (1995). Mengenal hukum: Suatu

pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Radhi, F. (2012). “Merebut kembali kedaulatan MIGAS: Mencapai kedaulatan energi dengan mewujudkan tata kelola minyak dan gas bumi yang berlandaskan Konstitusi.” Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan Pusat Studi Energi UGM. Rahardjo, S. (1991). Ilmu hokum. Bandung: Citra

Aditiya Bakti.

Santoso, H.B. (2002). Kedaulatan negara: Tinjauan, kajian hukum internasional. Jakarta: Mitra Penna.

Suseno, F.M. (2001). Etika politik: Prinsip-prinsip moral dasar kenegaraan modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Utrecht, (1959). Pengantar dalam hukum Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru.

Wahjono, P. (1977). Ilmu negara suatu sistematika dan penjelasan 14 teori ilmu Negara. Jakarta: Melati Studi Grup.

Penafsiran Hukum Dekonstruksi untuk Pelanggaran Poligami (Faiq Tobroni) | 281

ABSTRAK

Putusan Nomor 937 K/Pid/2013 menunjukkan bahwa pelanggaran poligami yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam dapat dipidana dengan dihubungkan kepada pemidanaan atas pernikahan terlarang. Analisis ini menitikberatkan pada dua hal yaitu: pertama, bagaimana perbedaan pertimbangan hukum antara dua putusan; kedua, perbedaan metode penafsiran hukum dari setiap putusan dan implikasinya untuk menghubungkan pemidanaan atas pernikahan terlarang dengan pelanggaran poligami. Putusan Nomor 341/Pid.B/2012/PN.BKN menganggap perkawinan IR dengan H (yang dianggap terlarang) adalah tidak sah, sementara Putusan Nomor 937 K/ Pid/2013 menganggap sebaliknya. Metode penafsiran hukum dalam Putusan Nomor 341/Pid.B/2012/PN.BKN adalah subsumptif, sehingga menyimpulkan bahwa IR tidak dapat dipidana. Sementara metode penafsiran hukum dalam Putusan Nomor 937 K/Pid/2013 adalah metode dekonstruksi dalam pengertian melakukan intertekstualitas teks hukum (menemukan makna tidak terkatakan). Putusan kasasi menunjukkan bahwa pidana oleh IR atas Pasal 279 ayat (1) KUHP (perkawinan yang telah ada dapat menjadi penghalang perkawinan

setelahnya) justru mendapatkan justifikasi dari makna yang tidak terkatakan atau di luar KUHP (suami tidak boleh menikah lagi tanpa adanya izin dari istri yang ada; Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) yang dibuktikan dengan ketiadaan izin istri pertama (SM) bagi IR untuk menikah dengan H.

Kata kunci: poligami, pernikahan terlarang, metode penafsiran.

ABSTRACT

Decision Number 937 K/Pid/2013 shows that the criminal offense of polygamy which are not in accordance with Law Number 1 of 1974 on Marriage and Presidential Instruction Number 1 of 1991 on the Dissemination of Islamic Law Compilation may be subject to criminal with relation to the offense of illicit marriage. The focus of the discussion in this analysis is tantamount to explaining how two decisions have differences in the legal considerations and different methods of legal interpretation, and its implications related to criminal prosecution for illicit marriage with polygamy offense. Decision Number 341/ Pid.B/2012/PN.BKN discusses the marriage of IR to H (which is considered illicit) is unlawful, while Decision Number 937 K /Pid/2013 assumes otherwise. The legal interpretation of Decision Number 341/Pid.B/2012/

PENAFSIRAN HUKUM DEKONSTRUKSI

Dalam dokumen [DE] KONSTRUKSI HUKUM (Halaman 56-62)