• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Putusan Kasasi Nomor 1283 K/ Pid.Sus/2013 mengenai penerapan Pasal

Dalam dokumen [DE] KONSTRUKSI HUKUM (Halaman 90-93)

PROBLEMATICS IN THE APPLICATION OF ARTICLE 2 AND 18 OF THE LAW ON CORRUPTION ERADICATION

A. Kajian Putusan Kasasi Nomor 1283 K/ Pid.Sus/2013 mengenai penerapan Pasal

2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Hakim agung dalam perkara tingkat kasasi telah menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa HS dengan menerapkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Menurut penulis, majelis hakim agung tingkat kasasi tersebut telah keliru dalam membuktikan unsur “melawan hukum” sebagaimana yang tertera dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Putusan Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013: 66-68).

Judex juris pada intinya telah

mempertimbangkan unsur “secara melawan hukum” sebagaimana yang tertera dalam Pasal 2 ayat (1). Pertimbangan tersebut menurut penulis mengandung kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata, karena ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 a quo yang merumuskan: “setiap

orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang

310 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 303 - 315

lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”

Perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi juga mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana (Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

Pencantuman unsur melawan hukum pada pasal tersebut mengharuskan pembuktian unsur melawan hukum formil dan melawan hukum materiil sebagaimana dalam penjelasannya. Namun, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006, tanggal 24 Juli 2006 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD NRI 1945, telah menyatakan pada pokoknya bahwa: “Penjelasan Pasal 2 ayat (1) frasa yang berbunyi ‘yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana’ bertentangan

dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”

Fakta hukum yang telah terbukti mengenai unsur “perbuatan melawan hokum,” menurut penulis, judex facti telah mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang benar karena mengambil dari keterangan saksi-saksi, ahli, bukti surat maupun keterangan terdakwa yang terungkap di persidangan, bahwa perbuatan materiil terpidana yang teridentifikasi adalah telah meminjamkan bendera perusahaan PT HD kepada saksi AR. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, sekalipun apa yang dilakukan terpidana merupakan yang tidak bisa dibenarkan dan merupakan perbuatan yang tidak semestinya dilakukan oleh terpidana dalam kapasitasnya sebagai direktur PT HD, akan tetapi penulis tidak melihat dalam perbuatan terpidana ini adanya hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai cara-cara perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Tipikor.

Dalam hal ini tidak ada undang-undang atau peraturan hukum formal (mengandung sanksi pidana) yang dilanggar oleh terpidana, dan sekalipun perbuatan terpidana telah melanggar Kepres Nomor 80 Tahun 2003 sebagaimana telah dirubah oleh Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, menurut penulis tidak dapat dikategorikan telah melawan hukum karena melanggar Kepres bukan berarti melawan hukum seperti yang dimaksud oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/ PUU-IV/2006, apalagi dalam Kepres tidak ada muatan ketentuan pidana sebagaimana produk legislasi. Kalau dicermati dengan cermat atas amar putusan judex juris tersebut, telah nampak bahwa judex juris tidak menerapkan dan/atau lalai tidak mencantumkan syarat yang disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf h.

Problematika Penerapan Pasal 2 dan 18 Undang-Undang Pemberantasan (Maman Budiman) | 311 Isi dari Pasal 197 ayat (1) dan (2) KUHAP

adalah surat putusan pemidanaan memuat pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan l pasal ini, mengakibatkan putusan batal demi hukum (Waluyo, 2004: 20). Juga menyatakan bahwa, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum kecuali huruf a, e, f, dan h Pasal 197 ayat (2) KUHAP, ini harus/wajib ada dalam suatu putusan. Tidak dimuatnya amar putusan yang menyatakan pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan, maka mengakibatkan putusan batal demi hukum (Pasal 197 ayat (2) KUHAP).

Pertimbangannya judex juris telah mempertimbangkan dan membuktikan kesalahan terpidana dengan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18, tetapi dalam amar putusannya judex juris yaitu:

Menyatakan terdakwa HS terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “BEBERAPA PERBUATAN KORUPSI YANG DILAKUKAN BERSAMA-SAMA.” Dalam

artian judex juris dalam amar putusannya tidak mencantumkan dan/atau menyatakan kesalahan diri terdakwa sebagaimana kualifikasi pasal yang telah dilanggar terpidana. Dengan tidak dicantumnya pasal yang telah dilanggar dan telah terbukti dilakukan oleh terpidana dalam suatu amar putusan, menyebabkan kegamangan bagi diri terpidana tentang kesalahan yang mana yang telah terbukti, serta pasal berapa yang diterapkan

dalam kesalahannya tersebut. Mengingat dalam perkara a quo, terpidana dihadapkan di persidangan Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Bandung, dengan dakwaan subsider oleh jaksa penuntut pmum sebagai berikut:

1. Primer: Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undnag-Undnag Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.

2. Subsider: Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.

3. Lebih Subsider: Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Putusan judex facti (Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung Nomor 54/Pid.Sus/ TPK/2012/PN.Bdg dan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 12/TIPIKOR/2013/PT.Bdg), di mana masing-masing pengadilan tersebut telah dengan rinci dan jelas memuat persyaratan

312 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 303 - 315

pemidanaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1), khususnya Pasal 197 huruf h, yaitu: 1. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Bandung Nomor 54/Pid.Sus/TPK/2012/ PN.Bdg, memuat putusan: Menyatakan

terdakwa HS tersebut di atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI SECARA BERSAMA” sebagaimana dakwaan subsidair.

2. Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 12/ TIPIKOR/2013/PT.Bdg, (vide: halaman 54), memuat putusan: Menyatakan

terdakwa HS tersebut di atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI SECARA BERSAMA” sebagaimana dakwaan subsidair.

Dengan melihat alasan-alasan sebagaimana di atas, menurut penulis Putusan Nomor 1283 K/ Pid.Sus/2013, yang diputus pada tanggal 30 Juli 2013 telah melanggar persyaratan/ketentuan dalam memuat persyaratan pemidanaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 huruf h, sehingga putusan tersebut batal demi hukum (vide Pasal 197 ayat (2) KUHAP).

B. Kajian atas Putusan Kasasi Nomor 1283

Dalam dokumen [DE] KONSTRUKSI HUKUM (Halaman 90-93)