• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2 Kajian Literatur

2.2.1 Theory of Reasoned Action (TRA)

Ajzen dan Fhisbein (1980) menciptakan theory of reasoned action (TRA), yang menjelaskan hubungan antara sikap dan perilaku. Model minat perilaku dan model minat perilaku mempengaruhi perilaku adalah dua model yang membentuk model TRA itu sendiri. Model minat perilaku, yang hanya memiliki satu variabel bebas dan satu variabel terikat, mempengaruhi perilaku dengan cara yang sangat lugas. Variabel dependen adalah perilaku, dan masing-masing niat berperilaku bertindak sebagai variabel independen.

Ketika suatu minat belum terwujud sebagai suatu perilaku, niat berperilaku tetap berupa keinginan atau minat untuk melakukan suatu perilaku. Mengenai tingkah laku, yaitu suatu kegiatan nyata yang dilakukan (Jogiyanto HM, 2007)

Theory of reasoned action (TRA) meyakini bahwa minat dapat memprediksi kegiatan-kegiatan yang beraneka ragam. Bahkan Jogiyanto menjelaskan lebih lanjut bahwa hubungan antara minat perilaku terhadap perilaku memiliki korelasi yang paling kuat bila dibandingkan dengan faktor-faktor lain. Dalam TRA, sikap seseorang terhadap perilaku mengacu pada penilaian pandangan dan perasaan seseorang, baik positif maupun negatif, yang dibuatnya saat terlibat dalam perilaku yang diinginkan. Jogiyanto juga berbicara tentang norma subyektif, yang berkaitan dengan bagaimana perasaan seseorang di bawah tekanan sosial dan bagaimana pengaruhnya terhadap motivasi mereka dalam berperilaku.

19

2.2.2 Risiko (Risk)

Di dunia ini, hampir semua usaha kita penuh dengan ketidakpastian.

Risiko pada akhirnya akan dihasilkan dari ambiguitas ini. Kebanyakan orang enggan mengambil risiko karena selalu ingin hidup aman dan tenteram.

Namun, risiko ada di setiap tahap kehidupan. Risiko sering digunakan untuk mengacu pada ketidakpastian. Dalam pengertian praktis, risiko menimbulkan masalah tetapi juga dapat menghadirkan peluang yang menguntungkan.

Karena kerugian yang ditimbulkannya tidak dapat diprediksi dengan pasti, risiko menjadi masalah yang signifikan (Sudarmanto, 2021).

Risiko didefinisikan sebagai hasil yang tidak menyenangkan (buruk, merugikan) dari suatu kegiatan atau tindakan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Adapun Suryanto mendefinisikan risiko pada tiga hal: pertama, adalah keadaan yang mengarah kepada sekumpulan hasil khusus, ketika hasilnya dapat diperoleh dengan kemungkinan yang telah diketahui oleh pengambil keputusan. Kedua, adalah variasi dalam keuntungan, penjualan, atau variabel keuangan lainnya. Dan ketiga, adalah kemungkinan dari sebuah masalah keuangan yang mempengaruhi kinerja operasi perusahaan atau posisi keuangan seperti risiko ekonomi, ketidakpastian politik, dan masalah industri (Suryanto, 2020).

Saat ini, trend perkembangan sistem pembayaran non tunai mengalami peningkatan baik dari sisi nominal maupun volume transaksi. Seperti halnya dua sisi mata uang, kemudahan tersebut diikuti pula oleh potensi risiko cyber crime yang senantiasa mengintai. Risiko keamanan informasi didefinisikan berbagai kemungkinan yang dapat disebabkan oleh ancaman informasi

selama melakukan pelanggaran keamanan informasi. Timbulnya risiko keamanan informasi merupakan akibat dari tindakan yang dilakukan tanpa pemberian hak pengelolaan.

Berdasarkan kesimpulan peneliti bahwa risiko adalah komponen yang pasti ada pada setiap tindakan dan merupakan jenis ketidakpastian tentang situasi yang akan terjadi nanti (di masa depan) sebagai akibat dari proses atau keputusan yang diambil saat ini.

Allah SWT berfirman dalam Al - Qur‘an Surah Al-Hasyr: ayat 18 sebagai berikut:

اَهُّيَآٰ ي َمِبۢ رْيِبَخ َ هاللّٰ َّنِاۗ َ هاللّٰوُقَّتا َو ٍۚ دَغِل ْتَمَّدَق اَّم ٌسْفَن ْرُظْنَتْل َو َ هاللّٰ اوُقَّتا اوُنَم ا َنْيِذَّلا

اَن ْوُلَمْعَت ا ٌ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Thabathaba'i mengartikan arahan untuk “memperhatikan apa yang telah dilakukan untuk hari esok” sebagai arahan untuk “menilai perbuatan yang telah dilakukan” (M. Quraish Shihab, 2012). Prinsip penting dari manajemen risiko Islam adalah gagasan ketidakpastian dalam ekonomi Islam. Maklum, tidak ada yang mau kehilangan uang atas investasi atau bisnis mereka dalam kegiatan bisnis. Suatu negara mengantisipasi neraca perdagangan yang baik bahkan pada tingkat makro. Al ghunmu bil ghurmi, atau risiko itu akan selalu menyertai pengembalian atau hasil yang diproyeksikan, adalah hukum syariah yang mengatur pengembalian dan bahaya (Adinugraha, 2017).

21

2.2.3 Risiko Penggunaan Uang Elektronik

Bahaya yang dihadapi pengguna uang elektronik dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu sebagai berikut:

1. Risiko uang elektronik hilang dan dapat digunakan oleh pihak lain.

Fungsi uang elektronik sama seperti mata uang yaitu tidak dapat diganti jika hilang. Aturan ini berlaku untuk mata uang digital yang tidak terkait langsung dengan informasi pengguna sehingga bisnis penerbit tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan oleh kelalaian pengguna. Hal ini memaksa pengguna untuk mempertimbangkan dengan hati-hati media penyimpanan dan media akses dana yang mereka gunakan saat menggunakan uang elektronik sesuai dengan kebijakan perusahaan penyedia layanan. Jika bisnis menggunakan kartu untuk penyimpanan, pengguna bertanggung jawab untuk mengisi kartu dengan uang yang cukup dan menyimpannya di lokasi yang aman agar tidak disalahgunakan atau diakses dengan mudah oleh orang lain. Di sisi lain, pengguna uang elektronik dituntut untuk dapat menjaga keamanan akses ke server melalui perangkat yang digunakannya jika perusahaan penyedia jasa uang elektronik menggunakan server.

2. Risiko masih kurang pahamnya pengguna.

Kurangnya kesadaran pengguna dalam memanfaatkan uang elektronik dapat menimbulkan risiko tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa literasi pengguna dalam penggunaan teknologi belum sejalan dengan pesatnya perkembangan teknologi akhir-akhir ini. Sebagai ilustrasi khusus, pengguna terkadang tidak menyadari bahwa nilai saldo uang elektronik

dapat berkurang lebih dari nilai transaksi jika uang elektronik yang digunakan ditempelkan 2 (dua) kali pada alat pembaca uang elektronik (electronic reader) untuk hal yang sama. Artinya pengguna dan petugas pedagang yang mengawasi transaksi harus melek finansial.

Pengguna uang elektronik harus siap menghadapi sejumlah risiko selain dua risiko yang baru saja disebutkan oleh Bank Indonesia diatas, seperti risiko terhadap keamanan data pengguna dan risiko terhadap hasil transaksi (Afdi & Hanifah, 2021).

1. Risiko keamanan data pengguna.

Salah satu tantangan yang perlu dibenahi adalah keamanan data bagi pengguna uang elektronik. Seperti diketahui, keamanan data belum menjadi masalah yang signifikan dalam pelayanan publik di Indonesia.

Beberapa outlet media utama telah menampilkan cerita tentang rilis informasi tentang pelanggan bisnis dan lembaga publik di situs web gelap di masa lalu. Karena teknologi manusia masih dalam tahap awal, uang elektronik rentan terhadap risiko malfungsi teknis dari berbagai penyedia layanan, termasuk peretasan aplikasi yang dapat mencegah pencatatan transaksi dan risiko peretasan data pengguna, seperti yang dialami oleh beberapa marketplace di Indonesia yang menerima uang elektronik sebagai alat pembayaran. Keamanan data dari penyedia layanan uang elektronik dan literasi pengguna dalam memanfaatkan uang elektronik secara aman dan nyaman dapat berlapis untuk mengantisipasi hal tersebut.

23

2. Risiko transaksi.

Potensi terjadinya misfire transaksi merupakan salah satu kelemahan teknologi yang dapat menghambat dan merugikan pengguna uang elektronik. Ketika pesan yang dikirim antara pihak yang berpartisipasi dalam transaksi terganggu, hal ini mungkin terjadi akibat gangguan pada mesin atau instrumen yang digunakan atau gangguan pada sinyal data elektronik. Hal ini dapat dihindari dengan melakukan modernisasi perangkat keras, perangkat lunak, data, dan teknologi yang digunakan dalam transaksi uang elektronik. Di sisi lain, mengingat uang elektronik banyak digunakan di Indonesia, banyak pelaku bisnis yang berlomba-lomba menawarkannya dengan fitur dan aplikasi yang beragam. Berbagai sistem pembayaran yang ditawarkan di pasar tidak diperbarui oleh semua pengecer. Jika ini tidak diperbaiki, pelanggan mungkin merasa kesulitan.

2.2.4 Quick Respond Indonesia Standard (QRIS)

QR code digunakan untuk menyatukan jenis QR yang berbeda dari Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No. 23/8/2021 tentang QRIS (Quick Response Code Indonesia Standard), disebut juga dengan QRIS (diucapkan KRIS ). Agar penggunaan kode QR untuk bertransaksi menjadi lebih sederhana, cepat, dan aman, Bank Indonesia dan industri sistem pembayaran menciptakan QRIS. Seluruh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang menggunakan pembayaran kode QR wajib mengimplementasikan QRIS (Bank Indonesia, 2019).

Istilah "Merchant Discount Rate" (MDR) yang mengacu pada tarif yang dikenakan bank kepada merchant digunakan dalam alat pembayaran QRIS.

Besaran MDR dan cara pendistribusiannya akan ditentukan sendiri oleh Bank Indonesia. Untuk setiap transaksi konsumen yang melibatkan pembelian jasa atau barang, MDR dibayarkan oleh merchant kepada acquirer (bank atau lembaga non-bank yang bekerja sama dengan merchant dan dapat memproses data uang elektronik yang dikeluarkan oleh pihak lain), yang juga merupakan penerbit berbasis Chip UE dan terlibat langsung dalam pemrosesan transaksi.

Dilarang membebankan MDR kepada konsumen karena merupakan tanggung jawab merchant yang dapat mengakibatkan harga barang dan jasa menjadi lebih tinggi.

2.2.5 UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah)

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan usaha komersial yang dapat meningkatkan lapangan kerja dan menawarkan berbagai layanan ekonomi kepada masyarakat sekitar. UMKM memiliki potensi untuk berkontribusi dalam pemerataan, meningkatkan pendapatan masyarakat, mendorong perluasan ekonomi, dan berkontribusi pada stabilitas nasional (Hastuti, 2020).

Pengertian UMKM dalam Pasal 1 didasarkan pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Usaha Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yaitu sebagai berikut:

1. Usaha Mikro adalah perusahaan yang menguntungkan milik perorangan atau badan usaha kecil yang memenuhi persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang Usaha Mikro ini.

25

2. Usaha kecil adalah usaha yang secara ekonomi beroperasi secara mandiri dan dijalankan oleh orang atau organisasi yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang dari usaha yang lebih besar tetapi secara langsung atau tidak langsung dimiliki, dikendalikan, atau diintegrasikan ke dalam perusahaan yang lebih besar tersebut.

3. Usaha ekonomi produktif yang dikenal dengan “Usaha Menengah” adalah usaha yang dijalankan oleh orang atau badan yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang usaha besar atau kecil, dan yang memiliki jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan yang sesuai dengan undang-undang yang mengatur tentang Usaha Kecil dan Bisnis Besar.

4. Usaha Besar yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, perusahaan patungan, dan perusahaan asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia, adalah usaha ekonomi produktif yang dijalankan oleh badan usaha dengan kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari Usaha Menengah.

Kriteria UMKM berupa permodalan lebih diperjelas dalam Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2008 sebagai berikut:

1. Berikut kriteria Usaha Mikro:

a) memiliki nilai bersih paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan usaha.

b) hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

2. Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut:

a) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha

b) menghasilkan hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00. (dua milyar lima ratus juta rupiah).

3. Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut:

a) memiliki nilai bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha

b) menghasilkan hasil penjualan tahunan lebih besar dari Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00. (lima puluh miliar rupiah).

Dokumen terkait