Yohanes Sumaryanto Laksmi Yasintus T. Runesi
Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas IndonesiaDepok, 16424
Abstrak
Paper ini dimaksudkan untuk melakukan investigasi terhadap perspektif multikultural yang dimiliki perpustakaan umum dalam layanan publiknya. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam dan focus group discussions dalam memeroleh data. Pesertanya terdiri dari para pustakawan BPAD di bagian Layanan dan Pengadaan. Data kemudian dianalisis berdasarkan kerangka konseptual yang dipakai.Studi ini menemukan pentingnya peran perpustakaan melalui layanan, program dan para pustakawannya memerkenalkan layanan berspektif multikultural dan meningkatkan kepekaan masyarakat terhadap isu multikultural melalui perluasan wawasan dan peningkatan pemahaman dalam rangka merajut kebersamaan dalam Negara yang multietnis dan multiagama seperti
Indonesia.Penemuan ini diharapkan menjadi bahan masukkan bagi pemerintah maupun dunia pendidikan untuk lebih
memerhatikan peran perpustakaan dalam meningkatkan pemahaman dan penerimaan multikulturalitas dalam masyarakat. Originalitas dari penelitian ini adalah karena berbicara tentang yang jarang dilakukan yakni refleksi pustakawan tentang pekerjaannya.
Kata kunci: perspektif multikultural, perpustakaan umum, layanan publik, multiculturalism, public library, library services, DKI Jakarta
Abstract
This paper is intended to investigate the public library multicultural perspective in its public services. It uses qualitative approach and depth interview as well as focus group discussion method to its data collection. The participants of the focus group discussion are the BPAD librarians working for the service and acquisition department. Data analysis is based on the conceptual framework used. The study identified the importance of libraries role through services, programs and their librarians to introduce services using multicultural perspectives and to sensitize the public on multicultural issues through the insight expansion and increased understanding in order to knit togetherness in a multiethnic and multireligious country like Indonesia. The result of the study is expected to be the material input to the government and education world to pay more attention to the role of libraries in improving the understanding and acceptance of multiculturalism within the society. The Originality of this study is due to its specialities on librarian work reflection. Keywords: multicultural perspective, pubic library, public service, multiculturalism, DKI Jakarta
Kajian terhadap Perspektif Multikultural Perpustakaan Umum di DKI Jakarta Dalam Praktik Layanan Publik
Pendahuluan
Relasi multikultural adalah satu kondisi manusiawi (la conditione humain) dan kondisi yang harus ada (conditione sine qua non) dalam suatu negara yang multietnis dan multiagama seperti Indonesia. Kondisi ini secara sosial menjadi potensi dalam upaya merajut kebersamaan yang semakin Indonesia. Salah satu sarana merajut perilaku multikulturalistik adalah melalui perpustakaan sebagai sumber pengetahuan. Perpustakaan umum sebagai suatu medan kerja dan pertemuan beragam masyarakat berbeda kultur memiliki kompleksitasnya sendiri. Hal ini berangkat dari fakta bahwa perpustakaan umum mengarahkan layanan terhadap segala lapisan masyarakat.
Alasan inilah yang mendorong kami mengadakan penelitian mengenai perspektif multikultural di perpustakaan Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) DKI Jakarta. Perpustakaan adalah tempat seseorang dapat memeroleh pengetahuan. Karena itu, dalam perspektif tertentu BPAD DKI Jakarta juga adalah wilayah sosial yang bersentuhan langsung dengan masalah keragaman budaya masyarakat. Tetapi dapat terjadi bahwa perpustakaan sebagai satu sistem informasi yang berada di bawah kendali suatu struktur politik yang lebih besar dalam suatu mayoritas tidak menjadi sarana penyadaran sikap multikultur, sebaliknya menjadi suatu tempat penanaman ideologi golongan tertentu saja. Tinjauan Literatur
Konsep Multikulturalisme
Manusia adalah makhluk budaya di mana ruang kebudayaan merupakan rumahnya untuk mengembangkan kemanusiaannya (Parekh: 2012). Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa kebudayaan merajut dan memberi struktur dunia, memberi sistem nilai yang berharga untuk hidup dan memberi apa yang bermakna bagi pilihan- pilihan hidup dan atas hidup itu sendiri. Selain itu, kebudayaan memberikan kepada setiap orang rasa dan kesadaran identitas yang memberinya
nilai dengan sesama, perekat hidup bersama serta menuntun setiap orang menuju hidup yang baik, sejahtera, damai dan manusiawi.
Maka, Parekh mengungkapkan bahwa multikulturalisme tidak boleh dibatasi hanya sebagai sebuah konsepsi kaku yang menuntut suatu kelompok untuk menyangkal suatu hal demi diakui sebagai pihak multikulturalis. Di sini, multikulturalisme dipandang sebagai suatu konstruksi sosial bersama yang memberi tempat bagi keragaman ketimbang keseragaman, heterogenitas ketimbang homogenitas. Sehingga ia mengusulkan sebuah bentuk multikulturalisme yang dibangun secara kreatif dan interaktif. Integrasi sosial berhubungan dengan situasi interaktif yang dibangun dan
berlangsung di antara individu dengan individu, kelompok, negara. Sedangkan regulasi moral menunjuk pada tataan-tataan normatif yang menentukan bagaimana seseorang seharusnya bertindak dalam relasi sosialnya ketika berhadapan dengan beragam kenyataan sosial kultural.
Parekh dan Taylor misalnya mengapropriasi multikulturalisme dalam bentuknya sebagai interaktif pluralisme. Interaktif pluralisme memberi tempat yang lebih utama pada pengakuan timbal-balik dan respek atas setiap perbedaan yang ada. Interaktif pluralisme memberi peluang bagi setiap kelompok untuk saling memasuki karena tidak ada batas-batas antara kelompok.
Multikulturalisme Indonesia
Di Indonesia, keragaman kultural maupun agama disatukan oleh moto
Bhineka Tunggal Ika. Gambaran sebagai negara multikultur secara politik dikonstruksi dengan bangunan Taman Mini Indonesia Indah. Berbeda- beda namun tetap satu jua. Multikultur di Indonesia berkaitan dengan budaya antaretnis dan antaragama, sehingga keragaman Indonesia lahir
dari rahim Indonesia. Maka multikulturalisme di Indonesia selalu berhubungan dengan kategori- kategori dalam teori politik seperti minoritas, masyarakat adat maupun rakyat.
John Bowen mengungkapkan bahwa dalam konteks Indonesia, pembicaraan mengenai multikulturalisme akan mengarahkan kita kepada tiga bentuk klaim mengenai pluralisme normatif. Yang pertama adalah klaim bahwa suatu kelompok sosialnya sudah ada lebih dahulu sebagai satu komunitas politis yang mampu mengurus diri sendiri sebelum terbentuknya negara ini. Karena itu, sudah seharusnya komunitas itu dilanjutkan atau dihidupkan kembali. Klaim ini kita lihat pada kasus Aceh dan beberapa daerah lainnya.
Yang kedua, menyangkut ide yang menyatakan bahwa norma-norma sosial dari masyarakat lokal sudah terintegrasi ke dalam komunitas dan dengan demikian menyediakan legitimasi bagi pemerintahan sendiri di dalam masyarakat bersangkutan.
Yang ketiga, norma-norma Islam menyangkut keluarga – perkawinan,
perceraiaan dan warisan – merupakan aturan- aturan yang sah tak terganggugugat karena diisi oleh status ilahi. Mengundangkan norma-norma tersebut menjadi hukum positif dapat berarti legitimasi norma-norma tersebut semakin diperkuat dengan hukum positif. Di sini, prinsip hukum Islam menyatakan bahwa norma adat dapat dimasukkan ke dalam hukum Islam, sebab keduanya dapat dipertemukan.
Multikulturalisme dalam Perpustakaan
Malone dalam tulisannya yang berjudul “Toward
a Multicultural American Public Library
History” mengungkapkan bahwa selama ini
perpustakaan umum ditafsirkan sebagai lembaga yang mengedepankan ideologi budaya dominan. Ia mengusulkan pendekatan baru yakni melihat masyarakat (Amerika) yang multikultural dan
dalam lingkungan masyarakat tersebut perpustakaan bertumbuhkembang. Dengan cara pandang seperti ini kita dapat melihat perpustakaan sebagai lembaga yang sifatnya lebih inklusif.
Malone berpendapat bahwa perpustakaan di Amerika Serikat tidak lain dari produk dan sekaligus sarana promosi dari tradisi dan nilai- nilai kelas menengah. Hal ini muncul sebagai akibat dari sejarah kelembagaan perpustakaan yang hanya menguraikan setengah dari kenyataan yakni penyebarluasan informasi. Sedangkan bagaimana informasi tersebut diterima masyarakat tidak dikemukakan. Fokus sejarah perpustakaan adalah pada tokoh seperti dosen sekolah perpustakaan, pustakawan praktisi dan manajemen perpustakaan. Dengan demikian menurut Malone jelas sekali terlihat bahwa sejarah perpustakaan dimaksudkan untuk melayani profesi perpustakaan dan mungkin ideologi dominannya.
Satu kontribusi yang signifikan dari tulisan tentang sejarah perpustakaan
adalah pengembangan pendekatan multikultural dalam memahami lembaga perpustakaan dan agen akses informasi dalam operasionalnya di masa lampau.
Dari toleransi ke apresiasi
“Multiculturalism in Libraries” ditulis oleh
Rosemary dan kawan-kawan dalam rangka menanggapi kebutuhan mendesak akan informasi yang berkaitan dengan perbedaan budaya dalam lingkup perpustakaan perguruan tinggi dan perpustakaan umum. Mereka menyarankan perpustakaan untuk bergerak dari toleransi perbedaan ke apresiasi proaktif. Dalam penulisan sejarah dengan pendekatan multikulturalisme, Rosemary dan kawan-kawan menyitir statistik yang merefleksikan perubahan demografi Amerika Serikat.
Kajian terhadap Perspektif Multikultural Perpustakaan Umum di DKI Jakarta Dalam Praktik Layanan Publik
Rosemary berpendapat bahwa usaha analisis mendasarkan pada perbedaan pertama-tama telah dipandang sebagai prinsip yang terpisah, khusus, atau opsional sebagaimana diperlawankan dengan prinsip esensial dari misi dan tujuan perpustakaan. Pada tingkat perbedaan holistic, menurut Rosemary analisis perpustakaan seharusnya tidak mendasarkan pada perbedaan melainkan pada keadaan dan perubahan yang terjadi saat ini. Hal ini mungkin menuntut perlunya reorganisasi sumberdaya, staf, jasa, struktur, pengetahuan dan skill.
Dalam lingkup yang lebih global pentingnya perspektif dan penerimaan atas multikulturalitas budaya sangat didorong oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) yang melihat bahwa perpustakaan umum merupakan tempat yang tepat bagi berkumpulnya seluruh bangsa di dunia, sebagai tempat tumbuhnya kesederajatan di antara mereka, dan tumbuhnya demokrasi. Pada tahun 1972, yang kemudian direvisi tahun 1994, lembaga tersebut mengeluarkan manifesto yang menyatakan bahwa perpustakaan umum sebagai kekuatan yang nyata bagi pendidikan, kebudayaan, informasi, dan sebagai agen penting untuk membina perdamaian dan kesejahteraan spiritual melalui pemikiran umat manusia. Tepatnya, manifesto tersebut menjelaskan bahwa perpustakaan umum berfungsi memberikan layanan kepada masyarakat umum tanpa memandang latar belakang pendidikan, agama, adat-istiadat, umur, jenis kelamin dan sebagainya.
Sayangnya, di Indonesia, manifesto tersebut belum sepenuhnya dirasakan di perpustakaan umum. Pada umumnya, pustakawan dan pemustaka belum memahami pentingnya perspektif multikultural dalam dunia perpustakaan umum. Menurut Sumaryanto dan Laksmi (2012), antara pustakawan dan kurator di lembaga museum yang sewajarnya bersinergi untuk meningkatkan layanan kepada publik
j u g a tidak terjadi. Tiadanya pemahaman mengenai pentingnya perspektif multikultural dalam layanan di perpustakaan umum, meskipun mungkin dalam praktiknya sudah dilaksanakan secara tidak sadar, akan menghambat terciptanya masyarakat multikultural yang bersedia menerima setiap perbedaan kultural maupun agama, sekaligus menghambat perkembangan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik.
Agency
Untuk mendukung penelitian ini, kami dibimbing oleh paradigma yang kami dasarkan pada teori strukturasi sebagaimana dikonsepkan oleh Giddens dan pluralisme normatif sebagaimana diulas oleh John Bowen. Giddens menunjukkan bahwa dalam suatu struktur, agensi yang terlibat di dalamnya dapat mengubah struktur dengan berani menghadapi risiko. Dengan mengangkat agensi yang mengubah struktur, Giddens ingin memerlihatkan bahwa antara manusia yang berada dalam suatu struktur sosial dan masyarakat terdapat proses yang saling menopang.
Selain teori strukturasi Giddens, kami juga mengambil pandangan John Bowen mengenai pluralisme normatif di Indonesia (Kymlicka & He, 2005) dan pandangan Andre Vltchek (2014) mengenai Indonesia sebagai sebuah Nusantara yang selalu diliputi ketakutan sebagai titik berangkat sekaligus pembanding bagi penelitian ini. Bowen dan Vltchek menunjukkan bahwa konstruksi sosial masyarakat cenderung mengarah kepada menguatnya kolektivisme kelompok sejak era reformasi terutama melalui penerapan otonomi daerah.
Paradigma tersebut dipakai mengingat pada umumnya konsep multikulturalisme dikaitkan dengan kenyataan pluralisme kebudayaan; agama dan identitas etnik dalam sistem politik demokrasi yang memberi ruang yang terbuka bagi ekspresi toleransi untuk tumbuh dan berbeda secara adil dan damai.
Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini ingin mengetahui bagaimana perpustakaan sebagai salah satu sarana merajut perilaku multikulturalistik sebagai sumber pengetahuan, tetapi dapat terjadi bahwa perpustakaan sebagai satu sistem informasi yang berada di bawah kendali suatu struktur politik yang lebih besar dalam suatu mayoritas tidak menjadi sarana penyadaran sikap multikultur, sebaliknya menjadi suatu tempat penanaman ideologi golongan tertentu saja.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan investigasi terhadap perspektif multikultural yang dimiliki perpustakaan umum dalam layanan publiknya. Alasan inilah yang mendorong kami mengadakan penelitian mengenai perspektif multikultural di perpustakaan Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) DKI Jakarta.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode FGD atau focus group discussion. Metode pengumpulan data mirip dengan metode wawancara mendalam, yang diperoleh dari beberapa orang sekaligus. Metode tersebut memungkinkan peneliti mengetahui tingkat pemahaman, pola pikir, dan reaksi peserta ketika mendiskusikan masalah dan praktik multikulturalistis di perpustakaan mereka. Dengan kata lain, metode FGD adalah teknik mengumplkan data untuk menemukan perspektif multikultural di perpustakaan umum tempat mereka bekerja dan bagi pemustaka sebagai tempat mereka mencari informasi.
Diskusi pertama-tama diarahkan pada bagaimana mereka mengindentifikasi isu-isu multikultural dalam praktik layanan dan pengadaan di perpustakaan. Lalu dilanjutkan dengan mendengarkan pengalaman setiap peserta dalam
berhadapan dengan praktik layanan perpustakaan dikaitkan dengan isu multikultural dan bagaimana mereka bereaksi terhadap masalah tersebut. Para informan dari bagian layanan diseleksi dari pustakawan perpustakaan BPAD-DKI Jakarta yang ada di Kuningan. Sedangkan dari bagian pengadaan, diseleksi dari pustakawan di kantor Pusat BPAD Pulomas. Peserta ditentukan dengan metode purposive sampling, dengan kriteria staf yang sudah bekerja selama 3 tahun atau lebih yang bekerja di bagian pengadaan dan pelayanan. Data yang diperoleh dianalisis dengan mengaitkan, mengelompokkan, membandingkan, dan memahami data dan informasi secara terintegrasi yang diperoleh dari hasil diskusi para peserta.
Temuan
Tiga tema yang dipilih untuk dianalisis adalah pemahaman para informan
mengenai konsep multikultural dan bagaimana mereka melihat itu dalam hubungannya dengan pekerjaan mereka serta pandangan mereka tentang fakta-fakta yang menunjukkan bahwa sering masih terjadi konflik disebabkan karena perbedaan budaya maupun agama. Yang kedua adalah tema mengenai agency sebagaimana dikonsepkan oleh teoritikus sosial Anthony Giddens, lalu peran perpustakaan dalam konteks multikulturalisme. Ketiga tema ini diangkat karena berkaitan dengan tujuan penelitian yakni mengkaji perspektif multikultural di lingkungan perpustakaan dalam hal ini di wilayah DKI Jakarta.
Pemahaman tentang Konsep Multikultural Beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Robert W. Hefner et al. (2001) menunjukkan bahwa secara umum masyarakat kita menyadari adanya beragam kelompok sosial masyarakat dengan tradisi dan kultur yang berbeda; bahwa perbedaan kultural selalu ada dalam interaksi masyarakat. Dalam konteks sekarang ini, tidak
Kajian terhadap Perspektif Multikultural Perpustakaan Umum di DKI Jakarta Dalam Praktik Layanan Publik
ada interaksi sosial yang tidak bersentuhan dengan perbedaan kultural. Seorang yang berasal dari Jawa misalnya, sudah pasti dalam kehidupannya pernah terlibat berhubungan dengan seseorang yang berasal dari daerah lain dalam suatu peristiwa yang dialami bersama, bahkan berinteraksi dengan orang dari negara lain.
Hal yang sama ditemui dalam penelitian ini. Para pustakawan adalah orang yang dalam kerja mereka selalu berhadapan dengan klien yang datang dari berbagai latar belakang sosial dan kultur yang berbeda. Sebagai orang yang berstatus pegawai negeri sipil, mereka umumnya menyadari adanya perbedaan kultural dalam konteks bernegara.
Hanya ketika ditanyakan mengenai konsep multikultural dan bagaimana
mereka melihat keragaman ini, para informan yang ada tidak dapat memberi jawaban. Namun ketika ditanya tentang bagaimana keragaman itu mereka lihat dalam layanan publik di perpustakaan, mereka menjawab dengan lancar.
“Layanan publik adalah layanan yang semaksimal
mungkin, seoptimal mungkin, semudah
mungkin,” demikian ungkap Sari. Bahkan ia
menjelaskan lebih lanjut bahwa proses menjadi anggota cukup lima menit saja.
Para informan mengungkapkan bahwa mereka tidak memandang perbedaan kultural sebagai hal yang harus menghalangi dalam melayani para pemustaka perpustakaan. Ini terungkap dalam salah satu pembicaraan mengenai layanan publik.
“Dari mulai tahun 2000 kita terbuka. PNS nya sudah mulai dari suku mana saja. itu sudah lewat. PNS nya sudah mulai banyak dari suku mana
saja.” (Kadir)
“Kalau menurut saya sih begini ya, sebenarnya
kan kita sebagai warga
negara kan suku dan agama punya hak yang sama, kalau pun ada pendapat seperti itu lebih ke personnya, tapi secara aturan sih siapa pun
berhak, tidak memandang agama atau suku”
(Susi).
“Kami melayani siapa saja, tanpa melihat siapa
dia, apa warna kulitnya, rasnya, sukunya atau asalnya, orang asing atau orang Jawa kalau mereka menanyakan yang sulit dijawab kita nanya teman. Kita bisa tahu dari kepuasan mereka. Hanya kadang logat mereka beda dari kita. Kalau saya, kalau mereka datang dengan baik kita layani dengan baik. Kita tidak bertanya anda dari suku apa? Kita berusaha bersikap baik.” (Norma)
Bagi mereka, melayani pemustaka mutlak dilakukan karena itulah tugas mereka. Tidak penting apakah pemustaka itu seseorang yang dari tampilannya menunjukkan bahwa dia tidak satu kultur maupun satu agama dengan diri mereka. Kalau ada yang memandang bahwa perbedaan kultur itu harus menentukan dalam sebuah kerja, menurut mereka hal itu lebih pada pandangan orang tertentu dan bukan berdasarkan aturan yang ada. Hal itu terungkap dalam salah satu wawancara dari bagian layanan.
Di bagian pengadaan nampak bahwa konsep multikultural sudah ada di benak pimpinan atau agen namun konsep multikultural yang ada di benak mereka itu belum muncul dalam kebijakan tertulis apalagi sebagai praktik pengadaan. Bahkan dapat dikatakan bahwa apa yang ada di benak mereka bertentangan dengan praktiknya di lapangan:
“Kalau secara… secara apa namanya SK
Gubernurnya saya belum baca ya Pak, tetapi selama saya menjadi Kepala Bidang Pengembangan Koleksi, saya belum temukan, cuman setiap tahunnya kita buatkan seperti kebijakan itu ya Pak, misalnya kita dapat masukan dari beberapa pihak, pokok kita pernah
buat semacam kuesioner begitu, kira-kira apa yang diminati, kemudian yang paling utama itu kita dapat masukan dari pelayanan. Kira-kira
sih… subjek apa sih yang diminati oleh pengunjung perpustakaan, kemudian kita melihat
tren di masyarakat… masyarakat itu seperti apa.
Kita buat setahun-setahun.” (Kepala Bidang Pengembangan Koleksi BPAD DKI Jakarta) Memang, secara umum kita tidak mempunyai kultur yang dapat kita sebut sebagai Kultur Indonesia. Yang ada adalah kultur lokal, seperti kultur Bali, Aceh, Madura dan sebagainya (Vltchek, 2012: 202). Kultur yang berbeda-beda ini berada dalam satu wilayah Negara yang karena disatukan oleh sebuah imajinasi tentang kesatuan, yang disebut sebagai kesatuan nasional. Kesatuan yang diimajinasikan dan dijaga melalui doktrin Bhineka Tunggal Ika.
Kebhinekaan ini nampaknya cukup disadari oleh PNS yang ditempatkan di lingkungan BPAD DKI Jakarta. Dari pengamatan yang kami lakukan, pemustaka tidak dibatasi hanya pada orang tertentu atau masyarakat dari kelompok tertentu saja. Bagi mereka menerima setiap orang yang datang dengan tujuan menggunakan sumber informasi yang tersedia di perpustakaan merupakan layanan yang sifatnya multikultural ditampakkan melalui praktik layanan yang melampaui ekslusivitas target layanan misalnya penduduk DKI Jakarta.
Menurut mereka, layanan tersebut tidak terbatas pada kelas menengah ke atas seperti pegawai negeri atau pegawai swasta, para mahasiswa dan pelajar, tetapi terbuka untuk siapa saja yang ingin memanfaatkan perpustakaan seperti sopir taksi, tukang ojek dan sebagainya. Bahkan ada anggota kehormatan.
“Biasa kita menerima kunjungan dari sesama
anggota BPAD, anggota dewan. Kita buatkan kartu. Tapi itu sebenarnya cuma cenderamata. Mereka juga belum tentu pinjam karena dari luar kota. Kita buatkan kartu tetapi tidak di database
keanggotaan Perpustakaan Umum Daerah (BPAD) DKI Jakarta. Selain memberikan layanan kepada pemustaka penduduk DKI juga kepada mereka yang bertempat tinggal di luar DKI termasuk orang asing. Mereka yang bertempat tinggal di luar DKI Jakarta juga diijinkan untuk membaca di tempat bahkan mendaftarkan diri
sebagai anggota istimewa.” (Kadir)
Menurut mereka, keanggotaan istimewa merupakan bentuk keterbukaan terhadap perbedaan. Hal ini diungkapkan oleh para informan. Bahkan ada yang menyatakan bahwa dengan memberi keanggotaan istimewa kepada orang dari luar DKI Jakarta, hal itu akan mempromosikan perpustakaan DKI Jakarta.
“Tidak hanya mempromosikan perpustakaan.
Ternyata perpustakaan di Jakarta itu cukup layak untuk dikenali orang asing, mungkin tidak sekedar cenderamata. Untuk gambaran mereka. DKI ini punya. Bisa mengakomodir keinginan mereka. Supaya mereka tertarik.” (Susi)
Secara umum, perpustakaan tempat penelitian berlangsung menyediakan sumber dan sarana informasi yang memadai sehingga mempermudah pemustaka serta memberi kenyamanan bagi pemustaka yang mau membaca. Ada beberapa komputer yang disediakan bagi pengguna internet di perpustakaan tersebut dengan jatah pemakaiannya 30 menit setiap pemakai.
Selain itu, di lantai 7 ada beberapa kemudahan yang bisa diperoleh seorang pemustaka atau anggota perpustakaan antara lain: peminjaman dan pengembalian buku secara mandiri secara online, layanan wifi secara gratis bila membawa laptop, tempat baca yang nyaman, dan pengelompokan buku yang memudahkan pencarian secara merawak maupun secara online. Di lantai 7 disimpan koleksi buku yang dapat dipinjam dan dibawa pulang. Sedangkan pada