• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

Tujuan terapi ARV adalah untuk menekan perkembangan replikasi HIV yaitu RNA HIV ke tingkat yang tidak terdeteksi (<50 cell/ml), mengembalikan dan memelihara kekebalan tubuh untuk meningkatkan kualitas hidup serta mengurangi morbiditas dan mortalitas terkait HIV (Hoy et al., 2009). Kegagalan terapi pada pasien dapat dilihat setelah setidaknya pasien melakukan terapi ARV selama 6 bulan yang dapat didefinisikan secara klinis dengan melihat perkembangan penyakit (kegagalan secara klinis), secara virologis dengan mengukur viral load atau secara imunologis dengan penghitungan CD4. Kegagalan secara klinis dilihat berdasarkan indikasi terjadinya atau kambuhnya kondisi klinis WHO stadium 4. Kondisi ini harus dibedakan dari kondisi terjadinya immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS). Beberapa kondisi klinis WHO stadium 3 misalnya TB paru, infeksi bakteri berat bisa merupakan indikasi dari kegagalan terapi. Kegagalan imunologis dilihat berdasarkan jumlah CD4, dimana CD4 pasien kembali/lebih rendah daripada awal terapi ARV atau CD4 menurun 50% dari nilai tertinggi yang pernah dicapai selama terapi atau jumlah CD4 tidak pernah mencapai >100 cell/mm3. Kegagalan virologis dilihat berdasarkan jumlah viral load >5.000 copies/ml (WHO, 2010).

2.1. Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Kenaikan Jumlah CD4 Penelitian terkait faktor yang mempengaruhi CD4 telah dilakukan di luar negeri dan beberapa telah dilakukan di Indonesia. Penelitian-penelitian tersebut

menemukan berbagai hasil. Ada faktor yang ditemukan oleh peneliti berpengaruhterhadap kenaikan CD4, namun ada juga hasil penelitian yang menemukan hasil yang berbeda dengan penelitian yang lain. Berikut hasil analisis penelitian yang berkaitan dengan kenaikan CD4

1. Jenis Kelamin

Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa jenis kelamin odha yang melakukan terapi ARV memiliki hubungan dengan peningkatan jumlah CD4. Beberapa studi menyatakan median jumlah CD4 lebih tinggi peningkatannya pada perempuan dibandingkan laki-laki. Seperti studi dari Gandhi et al. (2006), menunjukkan bahwa perempuan memiliki median jumlah CD4 yang meningkat sebesar 346 cell/mm3 dibandingkan laki-laki dengan median jumlah CD4 yang meningkat hanya sebesar 282 cell/mm3 (p=0.02) pada minggu ke 144 terapi. Studi oleh Wolber et al. (2007), juga menyatakan median jumlah CD4 dalam periode 2-5 tahun terapi ARV secara signifikan lebih tinggi meningkat pada perempuan dibandingkan laki-laki (p=0.001).

Penelitian lain menemukan hasil yang berbeda, seperti penelitian oleh Diego et al. (2008) menemukan bahwa tidak ada hubungan jenis kelamin odha yang melakukan terapi ARV dengan rata-rata peningkatan jumlah CD4 (OR=0.8;95%CI=0.5-1.4;p=0.05). Penelitian Kaufmann et al. (2005) juga menunjukkan jenis kelamin perempuan tidak terkait dengan peningkatan CD4 >500 cell/mm3 selama 5 tahun terapi ARV (OR=1.07).

2. Umur

Banyak hasil penelitian yang mengatakan peningkatan umur berkaitan dengan pemulihan kekebalan. Umur yang lebih muda pada saat melakukan terapi

ARV mempunyai peningkatan CD4 yang lebih baik dibandingkan yang memulai terapi dengan umur yang lebih tua. Sebuah studi oleh Muzah et al. (2012) menemukan bahwa peningkatan usia berhubungan dengan rendahnya peningkatan CD4 >200 cell/mm3 (OR=1.02;p=0.028). Penelitian oleh Gandhi et al. (2006), juga menunjukkan bahwa odha yang yang memulai terapi pada usia ≤ 40 tahun (lebih muda) median jumlah CD4 meningkat sebesar 308 cell/mm3 sedangkan pada umur yang lebih tua (>40 tahun) median jumlah CD4 meningkat lebih rendah yaitu sebesar 264 cell/mm3 (p=0.03 pada minggu ke 144 terapi. Penelitian oleh Boris et al. (2012) juga menunjukkan bahwa pasien odha yang melakukan terapi ARV dengan umur ≥ 40 tahun (tua) lebih lambat mencapai CD4 >200 cell/mm3 selama 12 bulan terapi ARV (OR=2.22;95%CI:1.37-3.59;p=0.001) dan lebih lambat mencapai CD4 ≥ 500 cell/mm3 selama 30 bulan terapi ARV (OR=2,83;95%CI:1.35-5.92;p=0,0057) dibandingkan yang berumur <40 tahun (lebih muda). Hasil yang sama juga ditemukan oleh Garcia et al. (2004), yang menunjukkan bahwa pasien yang memulai terapi ARV pada usia ≥ 40 tahun memiliki peningkatan yang rendah untuk mencapai CD4 >500 cell/mm3 (RR=0.77;CI=0.61-0.85) dibandingkan yang berumur <40 tahun (lebih muda). Penelitian oleh Viard et al. (2001) juga menunjukkan bahwa, usia yang lebih tua, lebih lama untuk meningkatkan CD4 >200 cell/mm3 (OR=0,6) dibandingkan yang berusia muda.

Penelitian oleh Kaufmann et al. (2005) menemukan hasil yang berbeda yaitu usia yang lebih tua mempunyai hubungan yang sebaliknya mempengaruhi peningkatan jumlah CD4 >500 cell/mm3 selama 5 tahun terapi ARV (OR=1,71). Penelitian lain yang menyatakan hal yang berbeda yaitu penelitian oleh Diego et

al. (2008) yang menyatakan umur tua ataupun muda tidak mempengaruhi

peningkatan CD4 (OR=1.00). 3. Faktor risiko terinfeksi HIV

Faktor risiko terinfeksi HIV yang dimaksud yaitu heteroseksual, homoseksual dan juga IDU. Pekerja seks mempunyai risiko yang tinggi untuk terkena HIV karna pekerja seks mempunyai perilaku berganti-ganti pasangan baik secara heteroseksual, homoseksual dan kemungkinan pekerja seks juga merupakan pengguna IDU ataupun sebaliknya dimana, penggunan narkoba jarum suntik dapat menjadi pekerja seks untuk membeli narkotika yang akan digunakan.

Persentase kasus HIV paling besar terjadi pada pasien dengan orientasi seks heteroseksual dibandingkan faktor risiko terinfeksi HIV yang lainya (Kemenkes RI, 2013). Pada awal epidemi HIV/AIDS banyak diidentifikasi pada laki-laki homoseksual namun, menurut Gayle and Hill (2001) yang dikutip oleh Laksana dan Dyah (2010) saat ini heteroseksual dan IDU merupakan penyebab utama penularan HIV/AIDS di Asia Tenggara, termasuk Indonesia meskipun menurut Liu et al. (2005) hal ini disebabkan oleh data tentang HIV/AIDS pada kelompok homoseksual sangat terbatas karena masyarakat masih mempunyai stigma yang tinggi terhadap kelompok ini.

Faktor penularan HIV yang beragam diduga dapat berpengaruh terhadap kenaikan CD4, namun beberapa penelitian tidak menemukan hubungan antara faktor risiko terinfeksi HIV/AIDS saat pasien melakukan terapi ARV dengan peningkatan CD4 seperti penelitian oleh Garcia et al. (2004) menemukan bahwa pasien yang memulai terapi dengan faktor risiko IDU tidak memiliki hubungan dengan peningkatan CD4 (p=0.58). Hal ini sama dengan penelitian Kaufmann et

al. (2005) yang menunjukkan bahwa jenis faktor risiko penularan HIV saat pasien

melakukan terapi ARV tidak terkait dengan peningkatan CD4 >500 cell/mm3 selama 5 tahun terapi ARV dimana homoseksual (OR=1.0), heteroseksual (OR=0.85), IDU (OR=0.74). Studi oleh Smith et al. (2004) juga menemukan bahwa kelompok risiko yaitu homoseksual tidak terkait dengan peningkatan jumlah CD4 (p=0.6).

4. Pendidikan

Pendidikan seseorang diduga mempunyai hubungan dengan hasil pengobatan yang dilakukan seseorang. Berdasarkan penelitian Alvarez (2012) menemukan pendidikan yang rendah terkait dengan hasil akhir (peningkatan CD4) pada pasien yang melakukan pengobatan ARV.

5. Pekerjaan

Pekerjaan diduga berpengaruh terhadap hasil terapi ARV pada pasien dengan HIV/AIDS karena dengan bekerja diduga mempengaruhi kepatuhan pasien minum obat. Kepatuhan odha minum obat ARV akan mempengaruhi keberhasilan terapi ARV yaitu menekan viral load sehingga CD4 mengalami peningkatan (Kemenkes RI, 2011). Namun penelitian oleh Ubra (2012) menyatakan penderita yang tidak bekerja mempunyai risiko tidak patuh minum obat ARV 0.08 kali dibandingkan yang bekerja (95%CI=0.01-0.73;p =0.003).

6. Pengawas Minum Obat (PMO)

Pengawas minum obat merupakan program yang diadaptasi dari program pengawas minum obat di program DOTS TB. PMO merupakan orang yang mengingatkan pasien untuk selalu meminum obat ARV. PMO merupakan orang terdekat dengan pasien seperti keluarga maupun petugas kesehatan. Variabel ini

belum pernah diteliti sebagai faktor yang mempengaruhi kenaikan CD4 pada pasien odha yang melakukan terapi ARV, namun pengawas minum obat diduga dapat berpengaruh terhadap terapi ARV pada odha karena dengan adanya PMO, pasien diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien untuk minum obat secara teratur sesuai anjuran yang diberikan sehingga dengan keteraturan dan ketepatan minum obat dapat mempengaruhi fakmokologi dan farmokinetik pasien yang pada akhirnya berpengaruh terhadap penurunan viral load (Nursalam, 2009).

7. Kadar CD4 pada awal pengobatan

Kadar CD4 sel yang rendah pada awal odha melakukan terapi ARV dikaitkan dengan rendahnya peningkatan CD4. Sebuah studi oleh Boris et al. (2012) yang dilakukan si Afrika selatan selama 7 tahun menunjukkan bahwa orang dengan jumlah CD4 di bawah 50 cell/mm3 mempunyai risiko empat kali untuk tidak mengalami peningkatan CD4 >200 cell/mm3 (OR=4,12;95%CI:2.55-6.64;p<0,0001) dan berisiko dua kali tidak mengalami peningkatan CD4 >500 cell/mm3 (OR=2,06; 95%CI:1.08-3.94; p=0,0294 ) selama masa terapi 12 dan 30 bulan. Studi tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan di Swiss selama 5 tahun (Kaufmann et al., 2005) menunjukkan bahwa jumlah CD4 yang rendah pada awal terapi ARV berhubungan dengan peningkatan CD4 >500 cell/mm3 pada saat terapi ARV selama 5 tahun (OR=0.37; 95%CI=0.28-0.49; p<0.01).

Beberapa penelitian yang bertolak belakang yaitu penelitian yang dilakukan di Johannesburg selama 13 bulan oleh Muzah et al. (2012) menemukan bahwa memulai terapi ARV dengan CD4 yang tinggi yaitu ≥ 200 cell/mm3 justru mengakibatkan rendahnya peningkatan CD4 (OR=3,02;95%CI=2,08-4,38

;p<0,001). Studi yang dilakukan Smith et al. (2004) di London selama 24 bulan juga menemukan bahwa memulai terapi ARV dengan CD4 yang tinggi (>200 cell/mm3) berhubungan dengan rendahnya peningkatan jumlah CD4 yang lebih besar pada 3 bulan pertama terapi ARV (p=0.006). Muzah mengatakan hal ini dapat disebabkan karena dengan memulai terapi ARV pada jumlah CD4 yang tinggi akan membatasi peningkatan CD4 ke jumlah CD4 yang lebih tinggi lagi. Smith juga menjelaskan bahwa meskipun hasil penelitiannya signifikan secara statistik namun hasil penelitiannya ini mempunyai skala efek yang kecil sehingga implikasinya secara klinis mungkin akan terbatas.

8. Berat Badan

Faktor lain yang diduga memiliki hubungan dengan peningkatan CD4 adalah berat badan. Studi oleh Diego et al. (2008) menemukan bahwa berat badan yang rendah pada awal terapi berhubungan dengan penurunan jumlah CD4 (OR=0.96;95%CI=0.93-0.99). Penelitian yang dilakukan Ghate (2000) juga menemukan rendahnya berat badan pada pasien yang melakukan pengobatan ARV sangat prediktif terhadap jumlah CD4 yang rendah.

9. Kadar Hemoglobin

Pada pasien HIV/AIDS, anemia adalah kelainan hematologi yang biasa ditemui dan yang juga memiliki dampak signifikan pada hasil klinis dan kualitas hidup. Sebuah studi oleh Muzah et al. (2012) menemukan pasien dengan anemia sedang (8.0-9.4g/dl ) pada awal pengobatan berhubungan dengan rendahnya peningkatan CD4 mencapai >200 cell/mm3 (OR=2.30;95%CI=1.25-4.59;p=0.007). Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Balperio dan Rhew (2004) yang menyatakan anemia telah terbukti menjadi prediktor yang

signifikan dari rendahnya peningkatan CD4 pada odha yang melakukan terapi ARV.

10. Infeksi Oportunistik

Menurut Ghate (2000) yang melakukan penelitian di India mengatakan adanya infeksi oportunistik seperti kandidiasis oral merupakan faktor yang mempengaruhi rendahnya jumlah CD4 pada pasien yang mendapat ARV. Penelitian yang dilakukan Bonnet et al. (2005) juga menemukan infeksi oportunistik mempunyai hubungan dengan rendahnya peningkatan CD4 dibandingkan yang tidak mempunyai infeksi oportunistik (p=0.004). Tuberkulosis juga merupakan salah satu infeksi oportunistik. TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak dan penyebab utama kematian pada odha (Kemenkes RI, 2012). Berdasarkan laporan Kemenkes dari jumlah kasus AIDS kumulatif sejak April 1987 sampai Maret 2013 yaitu sebanyak 43.347 kasus AIDS, TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak (30,9%). Adanya koinfeksi TB-HIV merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terapi ARV pada odha. Sebuah penelitian oleh Kassa et al. (2012) menyatakan pasien HIV+TB+ mempunyai korelasi yang sangat kuat dengan jumlah CD4 (r=0,76;p=0,006). Di Indonesia sebuah penelitian juga menyatakan terdapat korelasi yang cukup antara jumlah CD4 dengan jenis TB pada pasien TB-HIV di Indonesia dengan r=0,353; p=0,000 (Fredy dkk., 2012).

2.2. Teori Klinis Imunologi

Pada umumnya penanganan pasien HIV memerlukan tindakan yang hampir sama, namun dari fakta klinis sewaktu pasien kontrol ke rumah sakit

menunjukkan ada perbedaan respons imunitas (CD4). Perbedaan respon imunitas tersebut menunjukkan ada faktor lain yang mempengaruh CD4. Beberapa ahli menyampaikan terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi status imunitas seseorang.

2.2.1. Faktor yang mempengaruhi imunulogi berdasarkan ahli biomedis

Dalam buku Imunologi dan Virologi oleh Radji (2010) yang di kutip oleh Sielma (2012) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi sistem imun yaitu : a. Keturunan

Genetis sangat berpengaruh terhadap sistem imun, hal ini dapat dibuktikan dangan suatu penelitian yang dibuktikan bahwa pasangan anak kembar homo zigot lebih rentan terhadap suatu alergi dibandingkan dengan pasangan anak kembar yang hetero zigot. Hal ini membuktikan bahwa faktor hereditas mempengaruhi sistem imun.

b. Umur

Umur juga mempengaruhi sistem imun, pada saat usia balita dan anak-anak sistem imun seseorang belum matang. Sistem imun akan menjadi matang di usia dewasa dan akan menurun kembali saat usia lanjut.

c. Jenis Kelamin

Pada saat sebelum masa reproduksi, sistem imun lelaki dan perempuan adalah sama, tetapi ketika sudah memasuki masa reproduksi, sistem imun antara keduanya sangatlah berbeda. Hal ini disebabkan mulai adanya beberapa hormon yang muncul. Pada wanita telah diproduksi hormon estrogen yang mempengaruhi sintesis IgG dan IgA menjadi lebih banyak (meningkat). Peningkatan produksi IgG dan IgA menyebabkan wanita lebih kebal terhadap infeksi. Sedangkan pada pria telah diproduksi hormon androgen yang bersifat imuno supresan sehingga

memperkecil risiko penyakit auto imun tetapi tidak membuat lebih kebal terhadap infeksi. Oleh karenanya, wanita lebih banyak terserang penyakit auto imun dan pria lebih sering terserang penyakit infeksi.

d. Olahraga berlebihan

Olahraga berlebihan bisa membakar lebih banyak oksigen dalam tubuh. Pembakaran yang berlebihan menghasilkan radikal bebas yang menyerang sel sistem kekebalan tubuh dan menurunkan jumlahnya.

e. Tidur

Studi yang dilakukan oleh Michael Irwin dari Universitas California menunjukkan bahwa kurang tidur menyebabkan perubahan dalam jaringan sitokin yaitu jaringan yang memepengaruhi produksi imun dalam tubuh.

2.2.2. Teori Adaptasi Roy

Teori Adaptasi Roy menjelaskan stres juga mempengaruhi respon sistem imun, namun sebelum terjadi stres terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya stres terutama pada odha yang pada akhirnya mempengaruhi respon sistem imun.

Teori ini dikembangkan oleh Roy seorang master keperawatan dan PhD Sosiologi dan temannya Dorothy E. Johnson pada tahun 1968. Teori ini menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk biopsikososial sebagai satu kesatuan yang utuh dimana dalam memenuhi kebutuhannya, manusia selalu dihadapkan dengan berbagai persoalan yang kompleks, sehingga dituntut untuk melakukan adaptasi untuk memelihara integritas diri terhadap keadaan rentan sehat sakit dari keadaan lingkungan sekitarnya.

Berdasarkan teori ini, seseorang yang terkena sakit secara otomatis dirinya akan melakukan adaptasi terhadap penyakit tersebut. Proses adaptasi ini dipengaruhi

oleh 4 faktor penting yaitu dari segi manusia, psikologi, keperawatan dan lingkungan. Pada saat proses adaptasi seseorang akan mengalami masa proses belajar dimana proses membentuk persepsi, belajar serta membentuk suatu keputusan terhadap penyakit tersebut apa menerima atau tidak. Seseorang yang tidak bisa melewati proses adaptasi terhadap keadaan yang dialaminya maka akan mengalami stress yang kemudian akan mempengaruhi tingkat kesembuhan yang dapat dilihat dari respon sitem imunnya (Nursalam, 2009).

Pada pasien yang didiagnosis dengan HIV/AIDS juga pasti akan mengalami masalah-masalah terkait penyakit tersebut. Masalah-masalah tersebut jika dikelompokkan berdasarkan teori Adaptasi Roy yaitu:

Tabel 2.1.

Masalah yang dihadapi pasien odha berdasarkan Teori Adaptasi Roy

Manusia Psikologi Keperawatan Lingkungan

1. Penurunan CD4 2. IO  sistem penapasan (batuk kronis, ISPA, TB, pneumonia)  sistem pencernaan (BB turun, diare kronis, malabsorbsi)  sistem persyarafan (neuralgia)  sistem integuamen (herpes, alergi, dll)  Perasaan tak berdaya/putus asa  Respon psikologis: Denial sampai depresi  Tenaga kesehatan  Treatment Regiment  Perasaan minder dan tak berguna dimasyarakat  Interaksi sosial Seperti perasaan terisolasi/ditolak  Dukungan masyarakat sekitar yang mempengaruhi pasien seperti perasaan memerlukan pertolongan orang lain dan distress spiritual stigma

Masalah-masalah tersebut mempengaruhi proses adaptasi yang dimana dalam proses tersebut pasien akan belajar untuk proses belajar untuk mengatur persepsi dan keputusannya terhadap penyakit HIV/AIDS yang dideritanya. Seorang pada saat

didiagnosis AIDS pasti mempunyai gejala fisik yang jelas seperti penurunan CD4 maupun terdapat penyakit infeksi oportunistik yang dideritanya. Pada saat pasien didiagnosis dengan keadaan seperti ini maka pasien tersebut secara otomatis akan melakukan proses adaptasi terhadap penyakit itu, namun apabila dalam proses belajarnya, pasien tersebut tidak bisa menerima keadaan tersebut (non-Adiktif) maka akan mengakibatkan tingkat stres meningkat.

Pasien juga akan dihadapkan dengan masalah psikologis seperti perasaan tak berdaya/putus asa, penolakan tehadap penyakit tersebut yang berlanjut sampai depresi yang apabila pasien tidak bisa beradaptasi dengan keadaan ini maka akan stres yang ditandai dengan menolak, marah, depresi, dan keinginan untuk mati (Nursalam, 2009). Masalah lain yang juga dihadapi odha yaitu masalah dari tenaga kesehatan serta treatment yang rasakan oleh pasien. Pasien yang merasa tidak nyaman dan tidak bisa beradaptasi dengan perawatan yang diterima baik itu dari obat yang diminum maupun petugas yang memberikan pengobatan terhadap dirinya bisa menimbulkan stress yang tinggi pada pasien tersebut. Odha juga dihadapkan dengan masalah lingkungan sosial dimana odha membutuhkan dukungan dari keluarga maupun dari lingkungan sekitarnya. Keluarga yang tidak mendukung atau tidak bisa menerima keluarganya odha akan berpengaruh pada tingkat stres pasien termasuk lingkungan yang tidak bisa menerima odha dilingkungan tersebut. Pasien yang merasa ditolak akan menjadi stres. Stres memberi dampak secara keseluruhan pada individu yang juga berpengaruh respons imun (Rasmun, 2004).

Dalam lingkungan masyarakat, penderita HIV cenderung dihakimi secara negatif, bahkan sering diikuti dengan tindakan diskriminasi terhadapnya (misalnya cenderung menjauhinya, bahkan bisa dipecat dari pekerjaannya). Diskriminasi tentu saja akan mengurangi kesempatan hidup yang lebih baik (life chance). Oleh karena

itu penderita bisa sangat menderita secara sosial, budaya, dan psikologis yang juga berpengaruh pada kesehatannya.

Pasien yang dapat melakukan adaptasi diri terhadap masalah-masalah yang ada, seperti kondisi fisik yang berbeda dengan orang sehat bisa diterima oleh pasien, pasien bisa menerima dirinya terkena penyakit AIDS, pasien yang merasa nyaman selama perawatan seperti lingkungan perawatan yang terapeutik, sikap perawat yang penuh dengan perhatian, serta dapat beradaptasi dengan obat-obatan HIV/AIDS yang harus diminum setiap hari serta adanya dukungan sosial keluarga, akan mempengaruhi sikap adaptif (mengurangi stress) pasien yang tentunya akan mempengaruhi respon imun (Nursalam, 2009). Dapat dikatakan adanya dukungan sosial dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu, hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana dukungan sosial mempengaruhi kejadian dan efek dari keadaan stress (Nurbani, 2009).

Stres dikaitkan dengan respon imun karena jika pasien adaptif (stres berkurang), maka akan dapat memodulasi respon imun. Pada kekebalan seluler, T-cell (CD4) yang masih belum terinfeksi HIV dipicu untuk menghasilkan Il-2 reseptor untuk mengaktivasi NK.cell (Natural Killing Cell); IFNχ yang berfungsi membunuh virus yang masuk (Ader, 1991); sistem kekebalan Humoral, IL.2 yang terbentuk mengaktivasi NK-cells; CTL; Ig-A, menghasilkan sel B membentuk sel plasma (anti virus), sehingga terjadi apoptosis/kerusakan sel yang terinfeksi HIV (Apasou dan Sitkorsy, 1999). Sebaliknya, jika pasien stress (mal-adaptif), maka akan meningkatkan kadar kortisol dalam darah, sehingga akan menghambat respon imun seluler & humoral. Apoptosis tidak terjadi, sehingga virus mengalami proliferasi, terjadi penyebaran yang cepat (Nursalam, 2009).

Pada konsep psikoneuroimunologi, stres psikologis akan berpengaruh pada hypotalamus, kemudian hypothalamus akan mempengaruhi hypofise sehingga hypofise akan mengekspresikan ACTH (adrenal cortico tropic hormone) yang akhirnya dapat mempengaruhi kelenjar adrenal, di mana kelenjar ini akan menghasilkan kortisol. Apabila stres yang dialami pasien sangat tinggi, maka kelenjar adrenal akan menghasilkan kortisol dalam jumlah banyak sehingga dapat menekan sistem imun (Clancy, 1998). Adanya penekanan sistem imun inilah nampaknya akan berakibat pada penghambatan proses penyembuhan. Sehingga memerlukan waktu perawatan yang lebih lama dan bahkan akan mempercepat terjadinya komplikasi-komplikasi selama perawatan (Nursalam, 2007).

2.3. Kepatuhan Minum Obat

Pada saat memulai terapi ARV, kepatuhan diakui sebagai faktor penting dalam keberhasilan terapi pada odha, dimana terdapat hubungan yang signifikan antara kepatuhan minum obat dengan supresi virus HIV, menurunkan resistensi, peningkatan jumlah CD4, meningkatkan harapan hidup dan memperbaiki kualitas hidup (Vujovic dan Anna, 2009).

Informasi yang diberikan mengenai penyakit HIV dan aturan khusus dalam menggunakan obat yang diberikan pada pasien yang akan memulai terapi ARV harus dipahami dan dimengerti pasien. Kejelasan tentang pentingnya kepatuhan meminum obat ARV adalah sangat penting. Kepatuhan minum obat berhubungan dengan karakteristik pasien, aturan dan dukungan yang kuat dari keluarga pasien. Sebuah penelitian kohort selama lima tahun mengenai kepatuhan odha dalam terapi ARV yang dilakukan di Amerika Serikat (The Multicentre AIDS Cohort Study and the Women’s Interagency HIV Study) pada wanita dan laki-laki Afrika-Amerika

menemukan faktor yang mempengaruhi peningkatan kepatuhan pada laki-laki adalah peningkatan umur dan bertambahnya jumlah obat yang harus diminum, sedangkan pada wanita faktor yang mempengaruhi penurunan kepatuhan adalah komsumsi alkohol dan penggunaan narkoba (Vujovic dan Anna, 2009). Faktor lain yang mempengaruhi kurangnya kepatuhan yang juga perlu di teliti lebih mendalam adalah menderita penyakit lain, tingkat pendidikan yang rendah, umur (kurang penglihatan, lupa), kondisi psikis (depresi, kurang dukungan sosial baik dari keluarga maupun masyarakat, dimensia, psikosis), kurangnya pemahaman tentang konsekuensi buruk kepatuhan, kesulitan menerima pengobatan (sulit menelan obat, jadwal minum obat harian), aturan pakai yang rumit (frekwensi pemberian obat, persyaratan makanan), efek obat yang tidak diinginkan, dan pengobatan yang melelahkan (WHO, 2008).

28

Dokumen terkait