• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

6.2. Variabel yang Berhubungan Signifikan dengan Peningkatan

Pada penelitian ini ditemukan pasien yang memulai terapi dengan kadar CD4 201-350 cell/mm3 mempunyai peluang 3.83 kali mengalami kenaikan CD4 >350 cell/mm3 dibandingkan dengan pasien yang memulai terapi ARV dengan kadar CD4 <100 cell/mm3. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang menunjukkan pasien yang memulai terapi dengan kadar CD4 yang rendah mempunyai peningkatan CD4 yang rendah (Viard et al., 2001; Garcia et al., 2004; Kaufmann et al., 2005; Wolbers et al., 2007; Boris et al,. 2012; Diego et al., 2008; Muzah et al., 2012). Namun, hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian lain yang menyatakan memulai terapi dengan kadar CD4 tinggi (>200 cell/mm3) berhubungan dengan rendahnya kenaikan CD4 selama masa terapi 3 bulan dan seterusnya. Tetapi penelitian ini menjelaskan pengaruh faktor ini mempunyai

magnitude yang kecil sehingga implikasi klinis dari temuan ini mungkin akan

terbatas (Smith et al., 2004). Meskipun hasil penelitian ini masih terdapat perbedaan dengan penelitian lain, namun data ini menunjukkan pentingnya mengidentifikasi dan mengobati pasien HIV pada saat CD4 masih tinggi. Temuan ini dapat digunakan untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan terapi ARV di Indonesia seperti dapat digunakan menjadi bukti untuk mendukung atau memperluas rekomendasi national dalam melakukan inisiasi awal terapi ARV.

Variabel lain yang mempunyai hubungan signifikan yaitu faktor risiko terinfeksi HIV, dimana pasien IDU mempunyai kemungkianan kenaikan CD4 >350 cell/mm3 lebih rendah dibandingkan pasien heteroseksual dan homoseksual. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara faktor risiko terinfeksi HIV (heteroseksual, homoseksual dan IDU) dengan peningkatan CD4 (Smith et al., 2004; Kaufmann et al., 2005). Ada beberapa kemungkinan penyebab pasien IDU mempunyai kenaikan CD4 yang lebih rendah dibandingkan heteroseksual dan homoseksual yaitu kadar CD4 awal saat mulai terapi yang rendah pada pasien IDU, adanya penyakit penyerta Hepatits C, pasien IDU lebih cenderung loss to follow up, berhenti menggunakan ARV, pindah dan meninggal dan adanya terapi ARV yang dilakukan bersamaan dengan rumatan metadon pada pasien IDU.

Kemungkinan pertama dibuktikan dengan hasil analisis yang lebih rinci, menunjukkan bahwa diantara pasien yang memulai terapi ARV dengan CD4 <100 cell/mm3 terdapat sebanyak 59% adalah pasien IDU. Rendahnya kadar CD4 saat memulai terapi mempunyai hubungan dengan rendahnya peningkatan CD4.

Kemungkinan kedua yaitu adanya penyakit penyerta pada IDU seperti Hepatis C yang dapat dilihat dari nilai SGOT dan SGPT yang merupakan salah satu tes laboratorium untuk mendiagnosis kerusakan liver dan untuk memantau orang dengan Hepatitis C (Spiritia, 2005). Kadar SGOT normal yaitu 5-40 unit/ml dan SGPT yaitu 5-35 unit/ml (Depkes RI, 2007b). Pasien IDU mempunyai mean kadar SGOT dan SGPT (SGOT=42,62 dan SGPT=39,68) yang lebih tinggi dibandingkan kelompok heteroseksual (SGOT=32,89 dan SGPT=32,71) dan

homoseksual (SGOT=27,30 dan SGPT=31,26). Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat pasien IDU mempunyai kadar SGOT dan SGPT diatas normal yang menunjukkan adanya kerusakan hati pada kelompok IDU dibandingkan kelompok lain. Selain itu pada pasien IDU kadar SGOT lebih tinggi dibandingkan kadar SGPT yang menunjukkan bahwa terjadinya sirosis yang menunjukkan kerusakan hati bertambah buruk. Hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan IDU yang memakai jarum suntik dan alat suntik lain secara bergantian berisiko tinggi terkena infeksi Hepatitis C dan 50-90% pasien HIV-IDU terinfeksi Hepatits C (Spiritia, 2005). Adanya penyakit Hepatitis C pada IDU dapat berpengaruh pada proses terapi ARV yang dijalani. Asumsi ini didukung oleh penelitian yang melaporkan Hepatitis C dan riwayat penasun secara bermakna mempengaruhi perbaikan CD4 pada 3 bulan setelah terapi ARV (Hutton et al., 2006). Penelitian oleh Braitstein et al. (2006) juga menunjukkan terdapat perbedaan perubahan kadar CD4 setelah terapi ARV antara pasien koinfeksi Hepatitis C dan tanpa koinfeksi Hepatitis C, dimana pada pasien koinfeksi Hepatitis C terjadi peningkatan kadar CD4 rerata 5,3 cell/mm3 per hari sedangkan pada tanpa koinfeksi HCV terjadi peningkatan rerata CD4 33,5 cell/mm3 per hari (p< 0,001). Demikian juga penelitian oleh Greub et al. (2000) melaporkan pasien dengan koinfeksi Hepatitis C menyebabkan rendahnya peningkatan kadar CD4 dibandingkan pasien dengan tidak Hepatitis C.

Kemungkinan ketiga yaitu berdasarkan analisis lebih detail juga menunjukkan pasien IDU lebih cenderung loss to follow up, berhenti menggunakan ARV, pindah dan meninggal dibandingkan dengan pasien

heteroseksual dan homoseksual, yaitu 34,4% pada pasien IDU, 21,1% pada pasien heteroseksual dan 16,8% pada pasien homoseksual. Tingginya persentase tersebut dapat disebabkan karena adanya risiko kambuh, overdosis yang menyebabkan kematian pasien IDU maupun risiko ditangkap pihak kepolisian. Risiko kambuh pada pasien IDU memang tinggi, terutama pasien yang telah mengalami ketergantungan. Perhentian penggunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya(napza) dapat menyebabkan gejala putus obat yang jika tidak bisa diatasi maka pasien akan kambuh menggunakan narkoba suntik lagi (Handayani, 2008). Risiko pasien IDU ditangkap kepolisian juga dapat berpengaruh terapi ARV. Di Bali, dari Agustus 2008 sampai Juli 2009 polisi mencatat terdapat 151 penangkapan obat dimana sebanyak 56 (37,1%) diidentifikasi sebagai IDU (Sawitri, 2010). Penangkapan oleh polisi dapat berpengaruh terhadap tingginya

loss to follow up dan berhenti menggunakan ARV pada pasien IDU. Faktor

berikutnya yaitu adanya kemungkinan overdosis yang menyebabkan kematian pada pasien IDU. Dalam penelian Mathers et al. (2012) menyatakan overdosis merupakan penyebab utama kematian pada pasien IDU selain penyakit HIV/AIDS. Hal ini didukung oleh penelitian kualitatif dengan partisipan berjumlah 6 oleh Handayani (2008) yang menyatakan overdosis sering terjadi pada IDU yang menyebabkan kematian. Dalam penelitian Handayani, dijelaskan lebih dari setengah IDU melaporkan bahwa mereka pernah mengalami overdosis sedikitnya sekali selama sebagai IDU.

Kemungkinan keempat pasien IDU mempunyai kenaikan CD4 yang lebih rendah dibandingkan heteroseksual dan homoseksual yaitu adanya terapi ARV

yang dilakukan bersamaan dengan rumatan metadon pada pasien IDU dapat berpengaruh pada kepatuhan dan keteraturan minum obat ARV. Dalam penelitian Handayani (2008) melaporkan adanya pengurangan dosis metadon sampai 50% pada saat terapi ARV (Depkes RI, 2007a) menyebabkan timbulnya beberapa gejala-gejala yang menyebakan kesakitan pada pasien. Salah satu gejala yaitu mual pada pagi hari yang menyebabkan pasien sulit makan pagi seperti orang normal. Mual merupakan efek samping dari terapi ARV dan juga merupakan gejala putus obat selain sakit kepala, tulang merasa sakit, lemah letih lesu (WHO, 2008). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menyatakan pemberian metadon besamaan dengan evafirenz, nevirapine, atau ritonavir pada pasien IDU dapat menurunkan kadar metadon dalam plasma darah yang menyebabkan munculnya gejala putus obat (Elinore, 2007). Adanya gejala kesakitan dan mual pada pagi hari yang menyebabkan pasien IDU sulit untuk makan pagi berdampak pada pasien menjadi sulit untuk minum obat ARV dan juga berpengaruh kepada kebutuhan gizi pasien karena keapatuhan terapi ARV tidak hanya ketepatan jadwal minum obat tetapi juga terpenuhinya gizi yang baik. Selain itu gejala putus obat juga berpengaruh kepada psikologi pasien dimana pasien IDU akan mengalami stres karena setiap minum obat ARV akan merasa mual yang membuat ketidaknyamanan fisik yang akan berpengaruh juga pada tingkat kepatuhan minum obat ARV.

Selain keempat kemungkinan tersebut, peneliti juga berasumsi bahwa adanya perbedaan tingkat kepatuhan antara kelompok heteroseksual, homoseksual dan IDU namun tingkat kepatuhan pasien tidak diteliti karena keterbatasan data.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perhatian yang lebih mendalam dan penanganan pasien saat melakukan terapi ARV sangat diperlukan terutama pada pasien IDU saat memulai terapi ARV.

Dokumen terkait