• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KONDISI MEDIS AWAL DAN FAKTOR EKSTERNAL PASIEN HIV/AIDS SAAT MULAI TERAPI ARV TAHUN DENGAN PENINGKATAN CD4 LEBIH DARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN KONDISI MEDIS AWAL DAN FAKTOR EKSTERNAL PASIEN HIV/AIDS SAAT MULAI TERAPI ARV TAHUN DENGAN PENINGKATAN CD4 LEBIH DARI"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

HUBUNGAN KONDISI MEDIS AWAL DAN FAKTOR

EKSTERNAL PASIEN HIV/AIDS SAAT MULAI

TERAPI ARV TAHUN 2002-2012 DENGAN

PENINGKATAN CD4 LEBIH DARI 350 cell/mm

3

DI KLINIK AMERTA YAYASAN KERTI PRAJA

DENPASAR

YUNETI OCTAVIANUS NYOKO

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

(2)

TESIS

HUBUNGAN KONDISI MEDIS AWAL DAN FAKTOR

EKSTERNAL PASIEN HIV/AIDS SAAT MULAI

TERAPI ARV TAHUN 2002-2012 DENGAN

PENINGKATAN CD4 LEBIH DARI 350 cell/mm

3

DI KLINIK AMERTA YAYASAN KERTI PRAJA

DENPASAR

YUNETI OCTAVIANUS NYOKO NIM 1292161005

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

ii

HUBUNGAN KONDISI MEDIS AWAL DAN FAKTOR

EKSTERNAL PASIEN HIV/AIDS SAAT MULAI

TERAPI ARV TAHUN 2002-2012 DENGAN

PENINGKATAN CD4 LEBIH DARI 350 cell/mm

3

DI KLINIK AMERTA YAYASAN KERTI PRAJA

DENPASAR

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana Universitas Udayana

YUNETI OCTAVIANUS NYOKO NIM 1292161005

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 6 JUNI 2014 Pembimbing I, Prof.dr.D.N. Wirawan, MPH Pembimbing II, dr.A.A.Sagung Sawitri, MPH NIP. 194810101977021001 NIP. 196809141999032001 Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat

Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof.dr.D.N.Wirawan, MPH Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Prof.Dr.dr.A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K)

(5)

iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS

Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 2 Juni 2014

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No: 1450/UN14.4/HK/2014

Ketua : Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH

Anggota :

1. dr. Anak Agung Sagung Sawitri, MPH 2. Prof. Dr. dr. Tuti Parwati Merati, Sp.PD

3. Prof. Dr. dr. Mangku Karmaya, M.Repro PA(K) 4. Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, M.Si

(6)

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Nama : Yuneti Octavianus Nyoko

NIM : 1292161005

Program Studi : Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Judul Tesis : Hubungan Kondisi Medis Awal dan Faktor Eksternal Pasien HIV/AIDS Saat Mulai Terapi ARV Tahun 2002-2012 dengan Peningkatan CD4 Lebih dari 350 cell/mm3 di Klinik Amerta Yayasan Kerti Praja Denpasar

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmuah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI Nomor 17, Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.

Denpasar,

(7)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat memyeselesaikan tesis yang berjudul “Hubungan Kondisi Medis Awal dan Faktor Eksternal Pasien HIV/AIDS Saat Mulai Terapi ARV Tahun 2002-2012 dengan Peningkatan CD4 Lebih dari 350 cell/mm3 di Klinik Amerta Yayasan Kerti Praja Denpasar” ini tepat pada waktunya.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof.dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH sebagai pembimbing I yang telah penuh perhatian telah memberi dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program magister, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Ibu dr.Anak Agung Sagung Sawitri, MPH sebagai pembimbing II yang telah dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Bapak Prof. Dr. dr. I Ketut Suatika, SpPD(KEMD) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana yang dijabat oleh Ibu Prof.Dr.dr. A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Prof.dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH selaku ketua PS MIKM UNUD. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada sekretariat PS MIKM UNUD, Kordinator Peminatan Epidemiologi Lapangan PS MIKM UNUD dan semua para dosen dan staf PS MIKM UNUD. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis ini, yaitu Ibu Prof. Dr. dr. Tuti Parwati Merati, Sp.PD, Bapak Prof. Dr. dr. Mangku Karmaya, M.Repro PA(K) dan Ibu Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, M.Si yang telah memberikan masukan dan koreksi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Direktur Klinik Amerta, Yayasan

(8)

vii

Kerti Praja Bali Bapak Prof.dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH yang telah memberi ijin untuk melakukan penelitian di tempat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Tim Kirby Institute, University of New South Wales, Sydney, Australia yang telah memberikan bimbingan dan bantuan finansial sehingga meringankan beban penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru, mulai dari SD sampai perguruan tinggi. Akhirnya penulis ucapkan terima kasih kepada orang tua penulis yang telah memberikan dukungan moral dan material kepada penulis untuk menyelesailan tesis ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Denpasar,

(9)

viii ABSTRAK

HUBUNGAN KONDISI MEDIS AWAL DAN FAKTOR EKSTERNAL PASIEN HIV/AIDS SAAT MULAI TERAPI ARV TAHUN 2002-2012

DENGAN PENINGKATAN CD4 LEBIH DARI 350 cell/mm3 DI KLINIK AMERTA YAYASAN KERTI PRAJA

DENPASAR

Tujuan terapi antiretroviral (ARV) adalah untuk menekan perkembangan replikasi HIV ketingkat yang tidak terdeteksi, mengembalikan dan memelihara kekebalan tubuh untuk meningkatkan kualitas hidup, mengurangi morbiditas serta mortalitas terkait HIV. Keberhasilan terapi ARV pada pasien di Indonesia dipantau dengan peningkatan CD4. Telah terdapat beberapa penelitian tentang peningkatan CD4 namun, masih adanya perbedaan hasil penelitian dan masih terbatasnya penelitian di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi peningkatan CD4 sehingga dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan terapi ARV.

Penelitian ini merupakan penelitian longitudinal dengan melakukan analisis data sekunder secara retrospektif pada kohort pasien HIV/AIDS yang mendapat terapi ARV Tahun 2002-2012 di Klinik Amerta Yayasan Kerti Praja (YKP) Denpasar. Klinik Amerta YKP adalah salah satu lembaga nirlaba yang melakukan sejumlah program mengenai HIV/AIDS. Sampel penelitian ini adalah semua pasien berumur >15 tahun dengan CD4 saat memulai terapi ARV ≤350 cells/mm3 dan minimal mempunyai satu kali hasil tes follow up CD4. Variabel yang dianalisis adalah kondisi medis awal pasien yaitu jenis kelamin, umur, kadar HB, BB, kadar CD4, jenis IO dan faktor eksternal yaitu pendidikan, pekerjaan, faktor risiko terinfeksi HIV, pengawas minum obat saat mulai terapi ARV. Semua variabel merupakan kondisi pasien pada saat memulai terapi ARV. Kenaikan CD4 >350 cell/mm3 adalah CD4 ketika pasien mencapai CD4 >350 cells/mm3 selama periode penelitian, CD4 ketika pasien meninggal sebelum mencapai CD4 >350 cells/mm3 atau CD4 pasien pada kunjungan terakhir (untuk pasien yang tidak mengalami peningkatan CD4 >350 cells/mm3,lost to follow up, dan pindah selama periode penelitian). Analisis data menggunakan metode Kaplan–Meier dan Cox proportional hazard model.

311 pasien dianalisis dan 46,0% pasien mengalami kenaikan CD4 >350 cells/mm3. Incidence rate kegagalan kenaikan CD4 >350 cells/mm3 adalah 219.71 per 1000 person years. Median time kenaikan CD4 >350 cells/mm3 adalah 1.4 tahun (IQR=0.7-3.0). Pasien yang memulai terapi ARV dengan kadar CD4 >200 cell/mm3 mempunyai kemungkinan lebih besar mengalami peningkatan CD4 >350 cell/mm3 dibandingkan pasien yang memulai terapi dengan CD4 <100 cell/mm3 (HR=3.83;95%CI=2.59-5.68;p=<0.01). Pasien dengan faktor risiko terlular HIV melalui heteroseksual dan homoseksual saat mulai terapi ARV mempunyai kemungkinan lebih besar mengalami kenaikan CD4 >350 cell/mm3

(10)

ix

dibandingkan pasien IDU (HR=1.85;95%CI=1.22-2.81;p=<0.001) dan (HR=1.94;95%CI=1.11-3.40;p=<0.001).

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam tatalaksana terapi dan dapat dipakai sebagai bukti tambahan untuk memperluas atau meningkatkan inisiasi dini terapi ARV di Indonesia serta meningkatkan perhatian yang lebih mendalam pada pasien IDU saat melakukan terapi ARV.

Kata Kunci : Terapi ARV, Longitudinal, Retrosprektif Kohort study, Peningkatan CD4.

(11)

x ABSTRACT

THE CORELATION OF BASELINE MEDICAL CONDITION AND EKSTERNAL FACTOR OF HIV/AIDS PATIENTS WHEN STARTING

RECEIVING ARV TREATMENT YEARS 2002-2012 WITH INCREASING CD4 MORE THAN 350 cells/mm3

IN CLINIC AMERTA YAYASAN KERTI PRAJA DENPASAR

The goal of antiretroviral therapy is to suppress HIV replication progression to undetectable levels, restore and maintain the immune system to improve the quality of life, reduce morbidity and mortality associated with HIV. The success of antiretroviral therapy in patients in Indonesia that monitored with increasing CD4. There have been several studies about increasing CD4 count however, the result was still contradictory and limited research about the predictore increasing CD4 in Indonesia. This study was aimed to identify predictore increasing CD4 so can improve the effectiveness of antiretroviral therapy.

A longitudinal retrospective cohort study with analysis data secondary of patients HIV/AIDS who receive antiretroviral therapy in Clinic Amerta Year 2002-2012 Kerti Praja Foundation (YKP) Denpasar. Clinic Amerta YKP is a nonprofit organization that has carried out a number program concering HIV/AIDS. The sample was all patients with age > 15 years, start of antiretroviral therapy with CD4 ≤ 350 cells/mm3 and have at least one follow-up CD4 test results. Variables included in the analyses were medical condition patients: sex, age, level of HB, BB, CD4 count, types of IO and external factors: education, employment, risk factors for HIV infection, supervisor taking medication at the start of antiretroviral therapy. All variables are variables at baseline. Increasing CD4 >350 cell/mm3 was defined as when patients achieved CD4 >350 cells/mm3 during the study period, CD4 when patients die before reaching CD4 >350 cells/mm3 or CD4 patients at the last visit (for patients who did not achieved an increase in CD4 >350 cells/mm3, lost to follow-up, and moved away during study period). Data analysis was performed using the Kaplan-Meier method and Cox proportional hazards models.

311 patients were analyzed and 46.0 % of patients had increased CD4 >350 cells/mm3. Median time to achieving CD4 > 350 cells/mm3 was 1.4 years (IQR=0.7-3.0). Incidence rate patients failed to achieving CD4 > 350 cells/mm3 was 219.71 per 1000 person years. In multivariate analysis patients that starting antiretroviral therapy with CD4 levels >200 cell/mm3 most likely achieving CD4 >350 cell/mm3 compared to patients that started therapy with a CD4 <100 cell/mm3 (HR=3.83;95%CI=2.59-5.68;p=<0.01). Patients that reporting heterosexual and homosexual contact most likely achieving CD4 >350 cell/mm3

(12)

xi

compared to patients with a history of injecting drugs (HR=1.85;95%CI=1.22-2.81;p=<0.001) and (HR=1.94;95%CI=1.11-3.40;p=<0.001), respectively.

The results can be used in therapeutic management of patients and can be used as additional evidence to expand or improve early initiation of antiretroviral therapy in Indonesia as well as increasing attention in patients IDU when ARV therapy.

Keywords : ARV therapy, Longitudinal, Retrosprektif Cohort Study, Increasing CD4 count.

(13)

xii DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Rumusan Masalah ... 7 1.3. Tujuan Penelitian ... 9 1.3.2. Tujuan Umum ... 9 1.3.2. Tujuan Khusus ... 9 1.4. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Kenaikan Jumlah CD4 11 2.2. Teori Klinis Imunologi ... 19

2.3. Kepatuhan Minum Obat ... 25

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir ... 28

3.2. Konsep ... 30

3.3. Hipotesis Penelitian ... 31

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian ... 32

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 32

4.3. Ruang Lingkup Penelitian ... 32

4.4. Penentuan Sumber Data ... 33

4.4.1. Populasi ... 33

(14)

xiii 4.5. Variabel Penelitian ... 35 4.5.1. Variabel Bebas ... 35 4.5.2. Variabel Terikat ... 36 4.5.3. Definisi Operasional ... 37 4.6. Instrumen Penelitian ... 42 4.7. Prosedur Penelitian ... 42

4.7.1. Jenis Data yang Dikumpulkan ... 42

4.7.2. Cara Pengumpulan Data ... 42

4.7.3. Tahap-Tahap Pengumpulan Data ... 43

4.8. Teknik Analisis Data ... 44

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1. Karakteristik Pasien ... 47

5.2. Hasil Analisis Bivariat Hubungan Kondisi Medis Awal dan Faktor Eksternal dengan Peningkatan CD4 >350 cell/mm3 ... 51

5.3. Hasil Analisis Multivariat Hubungan Kondisi Medis Awal dan Faktor Eksternal dengan Peningkatan CD4 >350 cell/mm3 ... 53

BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Variabel yang Tidak Berhubungan Signifikan dengan Peningkatan Kadar CD4 >350 cell/mm3 ... 57

6.2. Variabel yang Berhubungan Signifikan dengan Peningkatan Kadar CD4 >350 cell/mm3 ... 61

6.3. Keterbatasan Penelitian ... 66

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan ... 67

7.2. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69

(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1. Masalah yang Dihadapi Pasien Odha Berdasarkan Teori

Adaptasi Roy ... 22 Tabel 4.1. Perhitungan Sampel Penelitian ... 35 Tabel 4.2. Definisi Operasional ... 37 Tabel 5.1. Karakteristik Pasien HIV yang Menggunakan ARV di

Klinik Amerta YKP Tahun 2002-2012 ... 47 Tabel 5.2. Analisis Bivariat Hubungan Kondisi Medis Awal dan Faktor

Eksternal dengan Peningkatan CD4 >350 cell/mm3 ... 52 Tabel 5.3. Analisis Multivariat Hubungan Kondisi Medis Awal dan

(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 3.1. Konsep Faktor yang Mempengaruhi Kenaikan CD4 ... 30 Gambar 5.1. Kaplan-Meier Curve Survival Estimasi Median Time

Kenaikan CD4 >350 cells/mm3 ... 49 Gambar 5.2. Kaplan-Meier Curve Survival Estimasi Jumlah Pasien

(17)

xvi

DAFTAR SINGKATAN

AIDS : Acquired Immunodeficiency Sindrom ARV : Antiretroviral BB : Berat Badan CD4 : Cluster of Differentiation 4 HB : Hemoglobin HBV : Hepatitis B Virus HCV : Hepatitis C Virus

HIV : Human Immunodeficiency Virus

HTLV-III : Human T cell Lymphotropic Virus III IDU : Injecting Drugs Use

IO : Infeksi Oportunistik

LAV : Lymphadenopathy Associated Virus Odha : Orang dengan HIV/AIDS

PMO : Pengawas Minum Obat

PS : Pekerja Seks

VCT : Voluntary Counseling and Testing YKP : Yayasan Kerti Praja

RNA : Ribonucleic Acid (Asam Ribonukleat)

IMS : Infeksi Menular Seksual

(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Formulir Pengumpulan Data 2. Output STATA

3. Ethical Clearance dari Litbang FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar 4. Rekomendasi Penelitian dari Kesbangpol Provinsi Bali

(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan sejak tahun 1981 dan telah menjadi pandemi yang mengkhawatirkan masyarakat di seluruh dunia yang tidak hanya mengakibatkan kerugian di bidang kesehatan tetapi juga di bidang sosial, ekonomi, politik, budaya dan demografi (UNAIDS, 2013).

HIV (Human Immunodeficiency Virus) yaitu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS (Acquired

Immunodeficiency Sindrom) yang merupakan sekumpulan gejala abnormalitas

imunologis dan klinis yang diakibatkan oleh HIV (Price, 1992). HIV ditularkan melalui kontak seksual, melalui transfusi darah yang terkontaminasi dan pemakaian bersama jarum suntik/IDU (injecting drugs use) serta dari ibu yang positif HIV kepada bayinya selama masa kehamilan dan perinatal (Kemenkes RI, 2011).

Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS yang dilaporkan UNAIDS (2013) sampai akhir tahun 2012 sebanyak 35.3 juta orang dimana angka ini meningkat dibandingkan tahun 2001 yang dilaporkan sebanyak 29.4 juta orang. Peningkatan odha berkaitan dengan menurunnya kasus infeksi baru dan jumlah kematian akibat AIDS yang merupakan dampak dari terapi ARV pada beberapa tahun terakhir. Jumlah kasus infeksi HIV baru (new HIV infections sampai akhir 2012 dilaporkan sebanyak 2.3 juta orang dimana angka ini 33% menurun dibandingkan tahun 2001 yaitu 3.4 juta orang. Sub-Sahara Afrika merupakan wilayah dengan

(20)

kasus infeksi HIV baru (new HIV infections) yang paling tinggi yaitu mencapai 70% dari total kasus new HIV infections yang terjadi di dunia. Kawasan Asia dan Pasifik menduduki urutan kedua di dunia dengan kasus new HIV infections setelah Sub-Sahara dengan 500.000 kasus new HIV infections. Angka kematian oleh AIDS juga diperkirakan menurun menjadi 1.6 juta pada tahun 2012 dari 2.3 juta orang pada tahun 2005.

Kasus AIDS pertama kali yang dilaporkan di Indonesia pada tahun 1987 yaitu seorang wisatawan asing yang sedang berlibur dan meningggal di Bali (Mansjoer, 2001). Berdasarkan laporan Kemenkes RI (2013), secara kumulatif sejak tahun 1987 sampai Desember 2013 kasus yang dilaporkan sebanyak 127.416 kasus HIV dan 52.348 kasus AIDS yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia dengan prevalensi kasus AIDS secara nasional adalah 22.03 per 100.000 penduduk. Dari segi jumlah kasus yang dilaporkan, Provinsi Bali dengan kasus HIV: 8.059 dan AIDS: 3.985 kasus menduduki urutan kelima setelah Papua (HIV: 14.087 dan AIDS: 10.116 kasus), Jawa Timur (HIV: 16.253 dan AIDS: 8.725 kasus), DKI Jakarta (HIV: 28.790 dan AIDS: 7.477 kasus) dan Jawa Barat (HIV: 10.198 dan AIDS: 4.131 kasus). Di Bali, dari sekian kasus yang dilaporkan sebanyak 4483 odha pernah terapi ARV dimana 2729 kasus masih mengikuti terapi ARV, 898 loss to follow up, 535 meninggal, 308 dirujuk keluar dan 13 diketahui menghentikan terapi ARV. Persentase kasus HIV/AIDS berdasarkan kabupaten di Bali yaitu Kabupaten Denpasar (40,7%), Buleleng (18,3%), Badung (14,4%), Gianyar (6,8%), Tabanan (6,1%), Jembrana (5,2%), Karangasem (3,2%), Klungkung (2,4%), Bangli (1,9%) dan 1% terlapor berasal dari provinsi lain melakukan tes di Bali. Berdasarkan umur, paling banyak terjadi.

(21)

pada usia produktif (20-40 tahun) yaitu 75,0%. Kasus terbanyak terjadi pada laki-laki (63,9%) dibandingkan dengan perempuan (36,1%). Persentase faktor risiko terinfeksi HIV/AIDS yaitu kelompok heteroseksual (78,2%), IDU (9,5%), homoseksual (4,6%), perinatal (3,0%), biseksual (0,3%), tato (0,0%) dan 4,3 % yang tidak diketahui (Dinkes Provinsi Bali, 2013).

Klinik Amerta, Yayasan Kerti Praja (YKP) merupakan salah satu dari klinik Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Provinsi Bali yang merupakan lembaga nirlaba yang didirikan pada tahun 1992 dimana memiliki tujuan untuk melakukan penelitian, memberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang komprehensif bagi masyarakat lokal di Bali. YKP telah melakukan sejumlah program mengenai HIV & AIDS, pencegahan serta terapi IMS, seperti melakukan penjangkauan, memberikan layanan klinik untuk masyarakat yang berisiko, memberikan terapi ARV dan pemantauan CD4. Sampai 11 Januari 2014 YKP telah melayani terapi ARV untuk 787 pasien, dimana 52,99% masih mengikuti ART, 19,3% telah pindah, 17,28% berhenti terapi, dan 10,67% telah meninggal (YKP, 2014). Rekam medik di YKP relatif lebih mungkin untuk diekstraksi dibandingkan dengan tempat pelayanan VCT dan terapi ARV yang ada di Denpasar.

Tujuan terapi ARV adalah untuk menekan perkembangan replikasi HIV yaitu RNA HIV ke tingkat yang tidak terdeteksi (<50 cell/ml), mengembalikan dan memelihara kekebalan tubuh untuk meningkatkan kualitas hidup, mengurangi morbiditas serta mortalitas terkait HIV (Hoy et al., 2009). Berdasarkan pedoman nasional tatalaksana klinis HIV dan terapi ARV pada orang dewasa tahun 2007

(22)

terapi ARV dimulai apabila odha mempunyai CD4 ≤ 200 cell/mm3 atau pasien dengan stadium klinis 3 atau 4 berapapun jumlah CD4.

Pemeriksaan jumlah CD4 dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya bertujuan untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum (Kemenkes RI, 2011). Cluster of differentiation (CD) adalah sebutan untuk T cell yang diklasifikasikan berdasarkan glikoprotein dipermukaannya. CD yang paling banyak adalah CD4 dan CD8. T cell merupakan bagian yang penting dalam imunitas seluler. T cell tidak berkontribusi terhadap produksi antibodi tetapi berinteraksi lebih langsung dengan antigen. T cell secara umum dibagi menjadi dua jenis yaitu T helper cell (TH) dan T cytotoxic cell (TC). TH masuk kedalam jenis CD4 dan TC kedalam jenis CD8 (Tortora et al., 2010). CD4 merupakan target utama dari virus HIV, sel ini dapat ditemukan di berbagai jaringan sehingga menyebabkan kelainan multisistem dengan gejala dan tanda klinis yang bervariasi (Abuzaitoun et al., 2000). Pada orang sehat jumlah CD4 normal adalah 800 sampai 1000 cell/mm3 (Tortora et al., 2010). Pada tahun 2011, pedoman ini mengalami perubahan, dimana terapi ARV pada odha dimulai ketika odha mempunyai CD4 ≤ 350 cell/mm3 terlepas ada tidaknya gejala klinis atau odha dengan stadium klinis 3 atau 4 berapapun jumlah CD4 (Kemenkes RI, 2011). Hal ini didasarkan pada faktor klinis bahwa pengobatan dini menyebabkan peningkatan jumlah CD4 lebih cepat. Penelitian oleh Mariam (2010) menyatakan jika pasien dapat mempertahankan jumlah CD4 di atas 500 cell/mm3 selama lebih dari lima tahun kemampuan mereka untuk bertahan hidup adalah hampir sama dengan mereka yang tidak terinfeksi dengan HIV. Pedoman mengenai pemberian terapi ARV terus mengalami pembaharuan. Pada tahun 2013 dikeluarkan surat

(23)

edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pengendalian HIV-AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada bagian III (Upaya, Perawatan, Dukungan dan Pengobatan) point 4 disebutkan bahwa inisiasi dini terapi ARV tanpa melihat nilai CD4 dapat diberikan kepada mereka yang positif HIV yaitu ibu hamil, pasien koinfeksi TB, Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL), pasien koinfeksi Hepatitis B dan C, Pekerja Seks Perempuan (PSP), Pengguna Narkoba Suntik (Penasun), odha yang pasangan tetapnya masih memiliki status HIV negatif dan tidak menggunakan kondom secara konsisten.

Setelah terapi ARV dimulai, kegagalan terapi dapat didefinisikan berdasarkan kriteria klinis, imunologis maupun virologis. Pada tempat dimana tidak tersedia sarana pemeriksaan CD4 dan atau viral load, maka diagnosis kegagalan terapi menurut gejala klinis dapat dilakukan. Pada tempat yang mempunyai sarana pemeriksaan CD4 dan atau viral load, maka diagnosis kegagalan terapi ditegakkan dengan panduan pemeriksaan CD4 dan atau viral

load setelah pada pemeriksaan fisik dijumpai tampilan gejala klinis yang

mengarah pada kegagalan terapi. Untuk negara berkembang termasuk Indonesia, dimana sarana dan prasarana tidak memadai, pemantauan klinis dan pemeriksaan CD4 lebih mungkin dilakukan untuk memantau keberhasilan pengobatan karena kendala biaya pemeriksaan viral load yang mahal. Indikator kegagalan terapi dengan menggunakan pengukuran CD4 dapat dilihat dari beberapa hal yaitu jumlah CD4 pasien kembali pada nilai awal CD4 sebelum terapi atau nilai CD4 lebih rendah daripada awal terapi ARV atau CD4 menurun 50% dari nilai

(24)

tertinggi yang pernah dicapai selama terapi atau pasien tidak pernah mencapai jumlah CD4 >100 sel/mm3 (WHO, 2010).

Berbagai penelitian menyatakan kenaikan CD4 sebagai respon tubuh terhadap terapi ARV tergantung pada jumlah viral load dan CD4 awal. Pasien dengan CD4 yang lebih tinggi pada awal pengobatan ARV memiliki respon peningkatan jumlah CD4 yang baik. Studi yang dilakukan Viard et al. (2001) menyatakan semakin tinggi jumlah CD4 odha ketika memulai terapi ARV semakin tinggi kenaikan jumlah CD4 yang mereka diperoleh, hal ini sejalan dengan penelitian oleh Boris et al. (2012) yang menyatakan pasien yang memulai terapi dengan jumlah CD4 <50 cell/mm3 berisiko empat kali tidak mencapai CD4 >200 cell/mm3 dan berisiko dua kali tidak mencapai CD4 >500 cell/mm3 dibandingkan dengan pasien yang memulai terapi dengan CD4 >50 cell/mm3. Garcia et al. (2004) juga meyatakan pasien yang memulai terapi ARV dengan CD4 <500 cell/mm3 lebih cepat meningkat CD4-nya dibandingkan memulai terapi <200 cell/mm3.

Penelitian lain Gandhi et al. (2006) menyatakan faktor karakteristik mempengaruhi kenaikan CD4 dimana pasien yang memulai terapi ARV pada umur lebih muda mengalami peningkatan CD4 yang lebih tinggi dibandingkan yang usianya lebih tua. Dilaporkan juga bahwa jenis kelamin mempengaruhi peningkatan CD4, dimana perempuan mempunyai peningkatan CD4 yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Dilain pihak ada penelitian yang melaporkan bahwa tidak ada hubungan antara umur dan berat badan pada saat mulai terapi dengan peningkatan CD4 (Diego et al., 2008), jenis kelamin dan faktor risiko terinfeksi HIV pada saat mulai terapi dengan peningkatan CD4 (Garcia et al., 2004), anemia

(25)

pada saat mulai terapi dengan peningkatan CD4 (Muzah at al., 2012). Penelititian lain yang dilakukan dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Indonesia melaporkan bahwa variabel umur, infeksi oportunistik, CD4 awal dan obat IO tidak menunjukkan hubungan dengan kenaikan CD4 (Mariam, 2010).

Adanya perbedaan hasil penelitian yang ditemukan baik yang dilakukan di luar negeri maupun di Indonesia, serta masih terbatasnya penelitian tentang faktor yang mempengaruhi kenaikan CD4 di Indonesia khususnya di Bali sehingga diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberi kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang faktor yang berhubungan dengan kenaikan CD4 pada odha yang melakukan terapi ARV di Bali. Penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi oleh penentu kebijakan tentang tata laksana pengobatan pasien sehingga meningkatkan efektivitas pelaksanaan terapi ARV.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah penelitian pada pasien HIV/AIDS yang melakukan terapi ARV Tahun 2002-2012 di Klinik Amerta Yayasan Kerti Praja Denpasar seperti diuraikan dibawah ini.

1.2.1. Bagaimana kondisi awal dan faktor eksternal pasien?

1.2.2. Berapa median waktu kenaikan CD4 >350 cells/mm3 pasien? 1.2.3. Berapa incidence rate kenaikan CD4 >350 cells/mm3 pasien?

1.2.4. Berapa jumlah pasien yang mempunyai kesempatan mengalami peningkatan CD4 >350 cells/mm3 setiap tahun?

(26)

1.2.5. Apakah ada hubungan antara jenis kelamin dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3?

1.2.6. Apakah ada hubungan antara umur saat mulai terapi ARV dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3?

1.2.7. Apakah ada hubungan antara kadar hemoglobin saat mulai terapi ARV dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3?

1.2.8. Apakah ada hubungan antara berat badan saat mulai terapi ARV dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3?

1.2.9. Apakah ada hubungan antara kadar CD4 saat mulai terapi ARV dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3?

1.2.10. Apakah ada hubungan antara jenis infeksi oportunistik saat mulai terapi ARV dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3?

1.2.11. Apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3?

1.2.12. Apakah ada hubungan antara bekerja saat mulai terapi ARV dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3?

1.2.13. Apakah ada hubungan antara faktor risiko terinfeksi HIV saat mulai terapi ARV dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3?

1.2.14. Apakah ada hubungan antara adanya pengawas minum obat dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3?

(27)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan kondisi medis awal dan faktor eksternal pada pasien HIV/AIDS saat mulai melakukan terapi ARV Tahun 2002-2012 di Klinik Amerta Yayasan Kerti Praja Denpasar.

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian pada pasien HIV/AIDS yang melakukan terapi ARV Tahun 2002-2012 di Klinik Amerta Yayasan Kerti Praja Denpasar untuk mengetahui hal seperti diuraikan dibawah ini.

1.3.2.1. Kondisi awal dan faktor eksternal pasien

1.3.2.2. Median waktu kenaikan CD4 >350 cells/mm3 pasien 1.3.2.3. Incidece rate kenaikan CD4 >350 cells/mm3 pasien

1.3.2.4. Jumlah pasien yang mempunyai kesempatan mengalami peningkatan CD4 >350 cells/mm3 setiap tahun

1.3.2.5. Hubungan antara jenis kelamin dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3

1.3.2.6. Hubungan antara umur saat mulai terapi ARV dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3

1.3.2.7. Hubungan antara kadar hemoglobin saat mulai terapi ARV dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3

1.3.2.8. Hubungan anatar berat badan saat mulai terapi ARV dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3

(28)

1.3.2.9. Hubungan antara kadar CD4 saat mulai terapi ARV dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3

1.3.2.10. Hubungan antara jenis infeksi oportunistik saat mulai terapi ARV dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3

1.3.2.11. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3

1.3.2.12. Hubungan antara bekerja saat mulai terapi ARV dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3

1.3.2.13. Hubungan antara faktor risiko terinfeksi HIV saat mulai terapi ARV dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3

1.3.2.14. Hubungan antara adanya pengawas minum obat dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Praktis

1. Memberikan informasi klinis tentang tata laksana pengobatan pasien 2. Memberi informasi untuk pemegang kebijakan dalam membuat

kebijakan terkait terapi ARV. 1.4.2. Teoritis

Memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang faktor yang berhubungan dengan kenaikan CD4.

(29)

11 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Tujuan terapi ARV adalah untuk menekan perkembangan replikasi HIV yaitu RNA HIV ke tingkat yang tidak terdeteksi (<50 cell/ml), mengembalikan dan memelihara kekebalan tubuh untuk meningkatkan kualitas hidup serta mengurangi morbiditas dan mortalitas terkait HIV (Hoy et al., 2009). Kegagalan terapi pada pasien dapat dilihat setelah setidaknya pasien melakukan terapi ARV selama 6 bulan yang dapat didefinisikan secara klinis dengan melihat perkembangan penyakit (kegagalan secara klinis), secara virologis dengan mengukur viral load atau secara imunologis dengan penghitungan CD4. Kegagalan secara klinis dilihat berdasarkan indikasi terjadinya atau kambuhnya kondisi klinis WHO stadium 4. Kondisi ini harus dibedakan dari kondisi terjadinya immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS). Beberapa kondisi klinis WHO stadium 3 misalnya TB paru, infeksi bakteri berat bisa merupakan indikasi dari kegagalan terapi. Kegagalan imunologis dilihat berdasarkan jumlah CD4, dimana CD4 pasien kembali/lebih rendah daripada awal terapi ARV atau CD4 menurun 50% dari nilai tertinggi yang pernah dicapai selama terapi atau jumlah CD4 tidak pernah mencapai >100 cell/mm3. Kegagalan virologis dilihat berdasarkan jumlah viral load >5.000 copies/ml (WHO, 2010).

2.1. Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Kenaikan Jumlah CD4 Penelitian terkait faktor yang mempengaruhi CD4 telah dilakukan di luar negeri dan beberapa telah dilakukan di Indonesia. Penelitian-penelitian tersebut

(30)

menemukan berbagai hasil. Ada faktor yang ditemukan oleh peneliti berpengaruhterhadap kenaikan CD4, namun ada juga hasil penelitian yang menemukan hasil yang berbeda dengan penelitian yang lain. Berikut hasil analisis penelitian yang berkaitan dengan kenaikan CD4

1. Jenis Kelamin

Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa jenis kelamin odha yang melakukan terapi ARV memiliki hubungan dengan peningkatan jumlah CD4. Beberapa studi menyatakan median jumlah CD4 lebih tinggi peningkatannya pada perempuan dibandingkan laki-laki. Seperti studi dari Gandhi et al. (2006), menunjukkan bahwa perempuan memiliki median jumlah CD4 yang meningkat sebesar 346 cell/mm3 dibandingkan laki-laki dengan median jumlah CD4 yang meningkat hanya sebesar 282 cell/mm3 (p=0.02) pada minggu ke 144 terapi. Studi oleh Wolber et al. (2007), juga menyatakan median jumlah CD4 dalam periode 2-5 tahun terapi ARV secara signifikan lebih tinggi meningkat pada perempuan dibandingkan laki-laki (p=0.001).

Penelitian lain menemukan hasil yang berbeda, seperti penelitian oleh Diego et al. (2008) menemukan bahwa tidak ada hubungan jenis kelamin odha yang melakukan terapi ARV dengan rata-rata peningkatan jumlah CD4 (OR=0.8;95%CI=0.5-1.4;p=0.05). Penelitian Kaufmann et al. (2005) juga menunjukkan jenis kelamin perempuan tidak terkait dengan peningkatan CD4 >500 cell/mm3 selama 5 tahun terapi ARV (OR=1.07).

2. Umur

Banyak hasil penelitian yang mengatakan peningkatan umur berkaitan dengan pemulihan kekebalan. Umur yang lebih muda pada saat melakukan terapi

(31)

ARV mempunyai peningkatan CD4 yang lebih baik dibandingkan yang memulai terapi dengan umur yang lebih tua. Sebuah studi oleh Muzah et al. (2012) menemukan bahwa peningkatan usia berhubungan dengan rendahnya peningkatan CD4 >200 cell/mm3 (OR=1.02;p=0.028). Penelitian oleh Gandhi et al. (2006), juga menunjukkan bahwa odha yang yang memulai terapi pada usia ≤ 40 tahun (lebih muda) median jumlah CD4 meningkat sebesar 308 cell/mm3 sedangkan pada umur yang lebih tua (>40 tahun) median jumlah CD4 meningkat lebih rendah yaitu sebesar 264 cell/mm3 (p=0.03 pada minggu ke 144 terapi. Penelitian oleh Boris et al. (2012) juga menunjukkan bahwa pasien odha yang melakukan terapi ARV dengan umur ≥ 40 tahun (tua) lebih lambat mencapai CD4 >200 cell/mm3 selama 12 bulan terapi ARV (OR=2.22;95%CI:1.37-3.59;p=0.001) dan lebih lambat mencapai CD4 ≥ 500 cell/mm3 selama 30 bulan terapi ARV (OR=2,83;95%CI:1.35-5.92;p=0,0057) dibandingkan yang berumur <40 tahun (lebih muda). Hasil yang sama juga ditemukan oleh Garcia et al. (2004), yang menunjukkan bahwa pasien yang memulai terapi ARV pada usia ≥ 40 tahun memiliki peningkatan yang rendah untuk mencapai CD4 >500 cell/mm3 (RR=0.77;CI=0.61-0.85) dibandingkan yang berumur <40 tahun (lebih muda). Penelitian oleh Viard et al. (2001) juga menunjukkan bahwa, usia yang lebih tua, lebih lama untuk meningkatkan CD4 >200 cell/mm3 (OR=0,6) dibandingkan yang berusia muda.

Penelitian oleh Kaufmann et al. (2005) menemukan hasil yang berbeda yaitu usia yang lebih tua mempunyai hubungan yang sebaliknya mempengaruhi peningkatan jumlah CD4 >500 cell/mm3 selama 5 tahun terapi ARV (OR=1,71). Penelitian lain yang menyatakan hal yang berbeda yaitu penelitian oleh Diego et

(32)

al. (2008) yang menyatakan umur tua ataupun muda tidak mempengaruhi

peningkatan CD4 (OR=1.00). 3. Faktor risiko terinfeksi HIV

Faktor risiko terinfeksi HIV yang dimaksud yaitu heteroseksual, homoseksual dan juga IDU. Pekerja seks mempunyai risiko yang tinggi untuk terkena HIV karna pekerja seks mempunyai perilaku berganti-ganti pasangan baik secara heteroseksual, homoseksual dan kemungkinan pekerja seks juga merupakan pengguna IDU ataupun sebaliknya dimana, penggunan narkoba jarum suntik dapat menjadi pekerja seks untuk membeli narkotika yang akan digunakan.

Persentase kasus HIV paling besar terjadi pada pasien dengan orientasi seks heteroseksual dibandingkan faktor risiko terinfeksi HIV yang lainya (Kemenkes RI, 2013). Pada awal epidemi HIV/AIDS banyak diidentifikasi pada laki-laki homoseksual namun, menurut Gayle and Hill (2001) yang dikutip oleh Laksana dan Dyah (2010) saat ini heteroseksual dan IDU merupakan penyebab utama penularan HIV/AIDS di Asia Tenggara, termasuk Indonesia meskipun menurut Liu et al. (2005) hal ini disebabkan oleh data tentang HIV/AIDS pada kelompok homoseksual sangat terbatas karena masyarakat masih mempunyai stigma yang tinggi terhadap kelompok ini.

Faktor penularan HIV yang beragam diduga dapat berpengaruh terhadap kenaikan CD4, namun beberapa penelitian tidak menemukan hubungan antara faktor risiko terinfeksi HIV/AIDS saat pasien melakukan terapi ARV dengan peningkatan CD4 seperti penelitian oleh Garcia et al. (2004) menemukan bahwa pasien yang memulai terapi dengan faktor risiko IDU tidak memiliki hubungan dengan peningkatan CD4 (p=0.58). Hal ini sama dengan penelitian Kaufmann et

(33)

al. (2005) yang menunjukkan bahwa jenis faktor risiko penularan HIV saat pasien

melakukan terapi ARV tidak terkait dengan peningkatan CD4 >500 cell/mm3 selama 5 tahun terapi ARV dimana homoseksual (OR=1.0), heteroseksual (OR=0.85), IDU (OR=0.74). Studi oleh Smith et al. (2004) juga menemukan bahwa kelompok risiko yaitu homoseksual tidak terkait dengan peningkatan jumlah CD4 (p=0.6).

4. Pendidikan

Pendidikan seseorang diduga mempunyai hubungan dengan hasil pengobatan yang dilakukan seseorang. Berdasarkan penelitian Alvarez (2012) menemukan pendidikan yang rendah terkait dengan hasil akhir (peningkatan CD4) pada pasien yang melakukan pengobatan ARV.

5. Pekerjaan

Pekerjaan diduga berpengaruh terhadap hasil terapi ARV pada pasien dengan HIV/AIDS karena dengan bekerja diduga mempengaruhi kepatuhan pasien minum obat. Kepatuhan odha minum obat ARV akan mempengaruhi keberhasilan terapi ARV yaitu menekan viral load sehingga CD4 mengalami peningkatan (Kemenkes RI, 2011). Namun penelitian oleh Ubra (2012) menyatakan penderita yang tidak bekerja mempunyai risiko tidak patuh minum obat ARV 0.08 kali dibandingkan yang bekerja (95%CI=0.01-0.73;p =0.003).

6. Pengawas Minum Obat (PMO)

Pengawas minum obat merupakan program yang diadaptasi dari program pengawas minum obat di program DOTS TB. PMO merupakan orang yang mengingatkan pasien untuk selalu meminum obat ARV. PMO merupakan orang terdekat dengan pasien seperti keluarga maupun petugas kesehatan. Variabel ini

(34)

belum pernah diteliti sebagai faktor yang mempengaruhi kenaikan CD4 pada pasien odha yang melakukan terapi ARV, namun pengawas minum obat diduga dapat berpengaruh terhadap terapi ARV pada odha karena dengan adanya PMO, pasien diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien untuk minum obat secara teratur sesuai anjuran yang diberikan sehingga dengan keteraturan dan ketepatan minum obat dapat mempengaruhi fakmokologi dan farmokinetik pasien yang pada akhirnya berpengaruh terhadap penurunan viral load (Nursalam, 2009).

7. Kadar CD4 pada awal pengobatan

Kadar CD4 sel yang rendah pada awal odha melakukan terapi ARV dikaitkan dengan rendahnya peningkatan CD4. Sebuah studi oleh Boris et al. (2012) yang dilakukan si Afrika selatan selama 7 tahun menunjukkan bahwa orang dengan jumlah CD4 di bawah 50 cell/mm3 mempunyai risiko empat kali untuk tidak mengalami peningkatan CD4 >200 cell/mm3 (OR=4,12;95%CI:2.55-6.64;p<0,0001) dan berisiko dua kali tidak mengalami peningkatan CD4 >500 cell/mm3 (OR=2,06; 95%CI:1.08-3.94; p=0,0294 ) selama masa terapi 12 dan 30 bulan. Studi tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan di Swiss selama 5 tahun (Kaufmann et al., 2005) menunjukkan bahwa jumlah CD4 yang rendah pada awal terapi ARV berhubungan dengan peningkatan CD4 >500 cell/mm3 pada saat terapi ARV selama 5 tahun (OR=0.37; 95%CI=0.28-0.49; p<0.01).

Beberapa penelitian yang bertolak belakang yaitu penelitian yang dilakukan di Johannesburg selama 13 bulan oleh Muzah et al. (2012) menemukan bahwa memulai terapi ARV dengan CD4 yang tinggi yaitu ≥ 200 cell/mm3 justru mengakibatkan rendahnya peningkatan CD4 (OR=3,02;95%CI=2,08-4,38

(35)

;p<0,001). Studi yang dilakukan Smith et al. (2004) di London selama 24 bulan juga menemukan bahwa memulai terapi ARV dengan CD4 yang tinggi (>200 cell/mm3) berhubungan dengan rendahnya peningkatan jumlah CD4 yang lebih besar pada 3 bulan pertama terapi ARV (p=0.006). Muzah mengatakan hal ini dapat disebabkan karena dengan memulai terapi ARV pada jumlah CD4 yang tinggi akan membatasi peningkatan CD4 ke jumlah CD4 yang lebih tinggi lagi. Smith juga menjelaskan bahwa meskipun hasil penelitiannya signifikan secara statistik namun hasil penelitiannya ini mempunyai skala efek yang kecil sehingga implikasinya secara klinis mungkin akan terbatas.

8. Berat Badan

Faktor lain yang diduga memiliki hubungan dengan peningkatan CD4 adalah berat badan. Studi oleh Diego et al. (2008) menemukan bahwa berat badan yang rendah pada awal terapi berhubungan dengan penurunan jumlah CD4 (OR=0.96;95%CI=0.93-0.99). Penelitian yang dilakukan Ghate (2000) juga menemukan rendahnya berat badan pada pasien yang melakukan pengobatan ARV sangat prediktif terhadap jumlah CD4 yang rendah.

9. Kadar Hemoglobin

Pada pasien HIV/AIDS, anemia adalah kelainan hematologi yang biasa ditemui dan yang juga memiliki dampak signifikan pada hasil klinis dan kualitas hidup. Sebuah studi oleh Muzah et al. (2012) menemukan pasien dengan anemia sedang (8.0-9.4g/dl ) pada awal pengobatan berhubungan dengan rendahnya peningkatan CD4 mencapai >200 cell/mm3 (OR=2.30;95%CI=1.25-4.59;p=0.007). Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Balperio dan Rhew (2004) yang menyatakan anemia telah terbukti menjadi prediktor yang

(36)

signifikan dari rendahnya peningkatan CD4 pada odha yang melakukan terapi ARV.

10. Infeksi Oportunistik

Menurut Ghate (2000) yang melakukan penelitian di India mengatakan adanya infeksi oportunistik seperti kandidiasis oral merupakan faktor yang mempengaruhi rendahnya jumlah CD4 pada pasien yang mendapat ARV. Penelitian yang dilakukan Bonnet et al. (2005) juga menemukan infeksi oportunistik mempunyai hubungan dengan rendahnya peningkatan CD4 dibandingkan yang tidak mempunyai infeksi oportunistik (p=0.004). Tuberkulosis juga merupakan salah satu infeksi oportunistik. TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak dan penyebab utama kematian pada odha (Kemenkes RI, 2012). Berdasarkan laporan Kemenkes dari jumlah kasus AIDS kumulatif sejak April 1987 sampai Maret 2013 yaitu sebanyak 43.347 kasus AIDS, TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak (30,9%). Adanya koinfeksi TB-HIV merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terapi ARV pada odha. Sebuah penelitian oleh Kassa et al. (2012) menyatakan pasien HIV+TB+ mempunyai korelasi yang sangat kuat dengan jumlah CD4 (r=0,76;p=0,006). Di Indonesia sebuah penelitian juga menyatakan terdapat korelasi yang cukup antara jumlah CD4 dengan jenis TB pada pasien TB-HIV di Indonesia dengan r=0,353; p=0,000 (Fredy dkk., 2012).

2.2. Teori Klinis Imunologi

Pada umumnya penanganan pasien HIV memerlukan tindakan yang hampir sama, namun dari fakta klinis sewaktu pasien kontrol ke rumah sakit

(37)

menunjukkan ada perbedaan respons imunitas (CD4). Perbedaan respon imunitas tersebut menunjukkan ada faktor lain yang mempengaruh CD4. Beberapa ahli menyampaikan terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi status imunitas seseorang.

2.2.1. Faktor yang mempengaruhi imunulogi berdasarkan ahli biomedis

Dalam buku Imunologi dan Virologi oleh Radji (2010) yang di kutip oleh Sielma (2012) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi sistem imun yaitu : a. Keturunan

Genetis sangat berpengaruh terhadap sistem imun, hal ini dapat dibuktikan dangan suatu penelitian yang dibuktikan bahwa pasangan anak kembar homo zigot lebih rentan terhadap suatu alergi dibandingkan dengan pasangan anak kembar yang hetero zigot. Hal ini membuktikan bahwa faktor hereditas mempengaruhi sistem imun.

b. Umur

Umur juga mempengaruhi sistem imun, pada saat usia balita dan anak-anak sistem imun seseorang belum matang. Sistem imun akan menjadi matang di usia dewasa dan akan menurun kembali saat usia lanjut.

c. Jenis Kelamin

Pada saat sebelum masa reproduksi, sistem imun lelaki dan perempuan adalah sama, tetapi ketika sudah memasuki masa reproduksi, sistem imun antara keduanya sangatlah berbeda. Hal ini disebabkan mulai adanya beberapa hormon yang muncul. Pada wanita telah diproduksi hormon estrogen yang mempengaruhi sintesis IgG dan IgA menjadi lebih banyak (meningkat). Peningkatan produksi IgG dan IgA menyebabkan wanita lebih kebal terhadap infeksi. Sedangkan pada pria telah diproduksi hormon androgen yang bersifat imuno supresan sehingga

(38)

memperkecil risiko penyakit auto imun tetapi tidak membuat lebih kebal terhadap infeksi. Oleh karenanya, wanita lebih banyak terserang penyakit auto imun dan pria lebih sering terserang penyakit infeksi.

d. Olahraga berlebihan

Olahraga berlebihan bisa membakar lebih banyak oksigen dalam tubuh. Pembakaran yang berlebihan menghasilkan radikal bebas yang menyerang sel sistem kekebalan tubuh dan menurunkan jumlahnya.

e. Tidur

Studi yang dilakukan oleh Michael Irwin dari Universitas California menunjukkan bahwa kurang tidur menyebabkan perubahan dalam jaringan sitokin yaitu jaringan yang memepengaruhi produksi imun dalam tubuh.

2.2.2. Teori Adaptasi Roy

Teori Adaptasi Roy menjelaskan stres juga mempengaruhi respon sistem imun, namun sebelum terjadi stres terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya stres terutama pada odha yang pada akhirnya mempengaruhi respon sistem imun.

Teori ini dikembangkan oleh Roy seorang master keperawatan dan PhD Sosiologi dan temannya Dorothy E. Johnson pada tahun 1968. Teori ini menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk biopsikososial sebagai satu kesatuan yang utuh dimana dalam memenuhi kebutuhannya, manusia selalu dihadapkan dengan berbagai persoalan yang kompleks, sehingga dituntut untuk melakukan adaptasi untuk memelihara integritas diri terhadap keadaan rentan sehat sakit dari keadaan lingkungan sekitarnya.

Berdasarkan teori ini, seseorang yang terkena sakit secara otomatis dirinya akan melakukan adaptasi terhadap penyakit tersebut. Proses adaptasi ini dipengaruhi

(39)

oleh 4 faktor penting yaitu dari segi manusia, psikologi, keperawatan dan lingkungan. Pada saat proses adaptasi seseorang akan mengalami masa proses belajar dimana proses membentuk persepsi, belajar serta membentuk suatu keputusan terhadap penyakit tersebut apa menerima atau tidak. Seseorang yang tidak bisa melewati proses adaptasi terhadap keadaan yang dialaminya maka akan mengalami stress yang kemudian akan mempengaruhi tingkat kesembuhan yang dapat dilihat dari respon sitem imunnya (Nursalam, 2009).

Pada pasien yang didiagnosis dengan HIV/AIDS juga pasti akan mengalami masalah-masalah terkait penyakit tersebut. Masalah-masalah tersebut jika dikelompokkan berdasarkan teori Adaptasi Roy yaitu:

Tabel 2.1.

Masalah yang dihadapi pasien odha berdasarkan Teori Adaptasi Roy

Manusia Psikologi Keperawatan Lingkungan

1. Penurunan CD4 2. IO  sistem penapasan (batuk kronis, ISPA, TB, pneumonia)  sistem pencernaan (BB turun, diare kronis, malabsorbsi)  sistem persyarafan (neuralgia)  sistem integuamen (herpes, alergi, dll)  Perasaan tak berdaya/putus asa  Respon psikologis: Denial sampai depresi  Tenaga kesehatan  Treatment Regiment  Perasaan minder dan tak berguna dimasyarakat  Interaksi sosial Seperti perasaan terisolasi/ditolak  Dukungan masyarakat sekitar yang mempengaruhi pasien seperti perasaan memerlukan pertolongan orang lain dan distress spiritual stigma

Masalah-masalah tersebut mempengaruhi proses adaptasi yang dimana dalam proses tersebut pasien akan belajar untuk proses belajar untuk mengatur persepsi dan keputusannya terhadap penyakit HIV/AIDS yang dideritanya. Seorang pada saat

(40)

didiagnosis AIDS pasti mempunyai gejala fisik yang jelas seperti penurunan CD4 maupun terdapat penyakit infeksi oportunistik yang dideritanya. Pada saat pasien didiagnosis dengan keadaan seperti ini maka pasien tersebut secara otomatis akan melakukan proses adaptasi terhadap penyakit itu, namun apabila dalam proses belajarnya, pasien tersebut tidak bisa menerima keadaan tersebut (non-Adiktif) maka akan mengakibatkan tingkat stres meningkat.

Pasien juga akan dihadapkan dengan masalah psikologis seperti perasaan tak berdaya/putus asa, penolakan tehadap penyakit tersebut yang berlanjut sampai depresi yang apabila pasien tidak bisa beradaptasi dengan keadaan ini maka akan stres yang ditandai dengan menolak, marah, depresi, dan keinginan untuk mati (Nursalam, 2009). Masalah lain yang juga dihadapi odha yaitu masalah dari tenaga kesehatan serta treatment yang rasakan oleh pasien. Pasien yang merasa tidak nyaman dan tidak bisa beradaptasi dengan perawatan yang diterima baik itu dari obat yang diminum maupun petugas yang memberikan pengobatan terhadap dirinya bisa menimbulkan stress yang tinggi pada pasien tersebut. Odha juga dihadapkan dengan masalah lingkungan sosial dimana odha membutuhkan dukungan dari keluarga maupun dari lingkungan sekitarnya. Keluarga yang tidak mendukung atau tidak bisa menerima keluarganya odha akan berpengaruh pada tingkat stres pasien termasuk lingkungan yang tidak bisa menerima odha dilingkungan tersebut. Pasien yang merasa ditolak akan menjadi stres. Stres memberi dampak secara keseluruhan pada individu yang juga berpengaruh respons imun (Rasmun, 2004).

Dalam lingkungan masyarakat, penderita HIV cenderung dihakimi secara negatif, bahkan sering diikuti dengan tindakan diskriminasi terhadapnya (misalnya cenderung menjauhinya, bahkan bisa dipecat dari pekerjaannya). Diskriminasi tentu saja akan mengurangi kesempatan hidup yang lebih baik (life chance). Oleh karena

(41)

itu penderita bisa sangat menderita secara sosial, budaya, dan psikologis yang juga berpengaruh pada kesehatannya.

Pasien yang dapat melakukan adaptasi diri terhadap masalah-masalah yang ada, seperti kondisi fisik yang berbeda dengan orang sehat bisa diterima oleh pasien, pasien bisa menerima dirinya terkena penyakit AIDS, pasien yang merasa nyaman selama perawatan seperti lingkungan perawatan yang terapeutik, sikap perawat yang penuh dengan perhatian, serta dapat beradaptasi dengan obat-obatan HIV/AIDS yang harus diminum setiap hari serta adanya dukungan sosial keluarga, akan mempengaruhi sikap adaptif (mengurangi stress) pasien yang tentunya akan mempengaruhi respon imun (Nursalam, 2009). Dapat dikatakan adanya dukungan sosial dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu, hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana dukungan sosial mempengaruhi kejadian dan efek dari keadaan stress (Nurbani, 2009).

Stres dikaitkan dengan respon imun karena jika pasien adaptif (stres berkurang), maka akan dapat memodulasi respon imun. Pada kekebalan seluler, T-cell (CD4) yang masih belum terinfeksi HIV dipicu untuk menghasilkan Il-2 reseptor untuk mengaktivasi NK.cell (Natural Killing Cell); IFNχ yang berfungsi membunuh virus yang masuk (Ader, 1991); sistem kekebalan Humoral, IL.2 yang terbentuk mengaktivasi NK-cells; CTL; Ig-A, menghasilkan sel B membentuk sel plasma (anti virus), sehingga terjadi apoptosis/kerusakan sel yang terinfeksi HIV (Apasou dan Sitkorsy, 1999). Sebaliknya, jika pasien stress (mal-adaptif), maka akan meningkatkan kadar kortisol dalam darah, sehingga akan menghambat respon imun seluler & humoral. Apoptosis tidak terjadi, sehingga virus mengalami proliferasi, terjadi penyebaran yang cepat (Nursalam, 2009).

(42)

Pada konsep psikoneuroimunologi, stres psikologis akan berpengaruh pada hypotalamus, kemudian hypothalamus akan mempengaruhi hypofise sehingga hypofise akan mengekspresikan ACTH (adrenal cortico tropic hormone) yang akhirnya dapat mempengaruhi kelenjar adrenal, di mana kelenjar ini akan menghasilkan kortisol. Apabila stres yang dialami pasien sangat tinggi, maka kelenjar adrenal akan menghasilkan kortisol dalam jumlah banyak sehingga dapat menekan sistem imun (Clancy, 1998). Adanya penekanan sistem imun inilah nampaknya akan berakibat pada penghambatan proses penyembuhan. Sehingga memerlukan waktu perawatan yang lebih lama dan bahkan akan mempercepat terjadinya komplikasi-komplikasi selama perawatan (Nursalam, 2007).

2.3. Kepatuhan Minum Obat

Pada saat memulai terapi ARV, kepatuhan diakui sebagai faktor penting dalam keberhasilan terapi pada odha, dimana terdapat hubungan yang signifikan antara kepatuhan minum obat dengan supresi virus HIV, menurunkan resistensi, peningkatan jumlah CD4, meningkatkan harapan hidup dan memperbaiki kualitas hidup (Vujovic dan Anna, 2009).

Informasi yang diberikan mengenai penyakit HIV dan aturan khusus dalam menggunakan obat yang diberikan pada pasien yang akan memulai terapi ARV harus dipahami dan dimengerti pasien. Kejelasan tentang pentingnya kepatuhan meminum obat ARV adalah sangat penting. Kepatuhan minum obat berhubungan dengan karakteristik pasien, aturan dan dukungan yang kuat dari keluarga pasien. Sebuah penelitian kohort selama lima tahun mengenai kepatuhan odha dalam terapi ARV yang dilakukan di Amerika Serikat (The Multicentre AIDS Cohort Study and the Women’s Interagency HIV Study) pada wanita dan laki-laki Afrika-Amerika

(43)

menemukan faktor yang mempengaruhi peningkatan kepatuhan pada laki-laki adalah peningkatan umur dan bertambahnya jumlah obat yang harus diminum, sedangkan pada wanita faktor yang mempengaruhi penurunan kepatuhan adalah komsumsi alkohol dan penggunaan narkoba (Vujovic dan Anna, 2009). Faktor lain yang mempengaruhi kurangnya kepatuhan yang juga perlu di teliti lebih mendalam adalah menderita penyakit lain, tingkat pendidikan yang rendah, umur (kurang penglihatan, lupa), kondisi psikis (depresi, kurang dukungan sosial baik dari keluarga maupun masyarakat, dimensia, psikosis), kurangnya pemahaman tentang konsekuensi buruk kepatuhan, kesulitan menerima pengobatan (sulit menelan obat, jadwal minum obat harian), aturan pakai yang rumit (frekwensi pemberian obat, persyaratan makanan), efek obat yang tidak diinginkan, dan pengobatan yang melelahkan (WHO, 2008).

(44)

28 BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1. Kerangka Berpikir

Berdasarkan kajian teori di atas maka kerangka berpikir peneliti dalam penelitian ini yaitu:

Respon sistem imun odha yang melakukan terapi ARV dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kondisi medis awal dan faktor eksternal. Kondisi medis awal yang mempengaruhi peningkatan CD4 antara lain keturunan, jenis kelamin, umur, kadar hemoglobin, berat badan, kadar CD4 saat memulai terapi ARV dan infeksi oportunistik. Faktor-faktor ini mempengaruhi sistem tubuh yang lain yang pada akhirnya akan mempengaruhi respon sistem imun dalam tubuh. Apabila faktor-faktor medis tersebut memberi pengaruh positif seperti adanya genetik yang baik, sistem imun yang telah matang, hormon dalam tubuh yang baik, kadar hemoglobin yang baik, berat badan dan kadar CD4 pada awal terapi ARV yang normal maka mempengaruhi sistem tubuh dengan baik juga dan akhirnya akan meningkatkan sistem imun. Apabila faktor-faktor tersebut memberi pengaruh negatif pada sistem tubuh maka respon sistem imun tidak akan mengalami peningkatan.

Faktor eksternal juga mempengaruhi sistem imun dimana faktor eksternal ini yaitu faktor yang berasal dari luar yang juga mempengaruhi individu tersebut. Faktor eksternal yang mempengaruhi kenaikan CD4 pada odha antara lain pendidikan, pekerjaan, faktor risiko terinfeksi HIV, olaraga, psikologi odha, sikap perawat pada saat melakukan terapi, dan dukungan tenaga kesehatan serta

(45)

serta dukungan dari keluarga dengan adanya pengawas minum obat. Faktor-faktor ini mempengaruhi peningkatan CD4 secara tidak langsung, dimana bila faktor-faktor ini berpengaruh positif terhadap odha seperti adanya pendidikan yang baik, pekerjaan yang baik, odha tidak stres terhadap keadaannya, adanya dukungan baik dari tenaga kesehatan maupun keluarga, maka akan berdampak pada respon imun yang baik dalam hal ini yaitu peningkatan CD4.

Faktor eksternal odha yang melakukan terapi ARV juga akan mempengaruhi kepatuhan minum obat. Pasien yang mempunyai faktor eksternal yang baik seperti kondisi psikologi yang baik (tidak depresi, adanya dukungan sosial baik dari keluarga maupun masyarakat) akan berpengaruh pada tingkat kepatuhan yang baik. Odha yang melakukan terapi ARV dengan kepatuhan yang baik akan berdampak pada keberhasilan terapi yaitu penurunan viral load dan penurunan CD4.

(46)

3.2. Konsep

Berdasarkan kerangka berpikir diatas, maka yang menjadi kerangka konsep dalam penelitian ini yaitu :

Keterangan :

= Ditel = Diteliti

= Tidak Diteliti

Gambar 3.2. Konsep Faktor yang Berhubungan dengan Peningkatan CD4 Faktor Medis Faktor Eksternal Pendidikan Jenis Kelamin Umur Kadar Hemoglobin Berat Badan Kadar CD4 Infeksi Oportunistik Pendidikan Pekerjaan

Faktor risiko terinfeksi HIV Olahraga Psikologi Sikap perawat PMO Peningkatan CD4 >350 cell/mm3) Keturunan Terapi ARV Penurunan Viral Load Kepatuhan

(47)

3.3. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian pada pasien HIV/AIDS yang melakukan terapi ARV dari Tahun 2002-2012 di Klinik Amerta Yayasan Kerti Praja Denpasar seperti diuraikan dibawah ini.

3.3.1. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3

3.3.2. Ada hubungan antara umur saat mulai terapi ARV dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3

3.3.3. Ada hubungan antara kadar hemoglobin saat mulai terapi ARV dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3

3.3.4. Ada hubungan antara berat badan saat mulai terapi ARV dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3

3.3.5. Ada hubungan antara kadar CD4 saat mulai terapi ARV dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3

3.3.6. Ada hubungan antara jenis infeksi oportunistik saat mulai terapi ARV dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3

3.3.7. Ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3

3.3.8. Ada hubungan antara bekerja saat mulai terapi ARV dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3

3.3.9. Ada hubungan antara faktor risiko terinfeksi HIV saat mulai terapi ARV dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3

3.3.10. Ada hubungan antara adanya pengawas minum obat dengan peningkatan CD4 >350 cells/mm3

(48)

32 BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian logitudinal dengan melakukan analisis data sekunder secara retrospektif pada kohort pasien HIV/AIDS yang mendapat terapi ARV Tahun 200-2012 di Klinik Amerta Yayasan Kerti Praja Denpasar. Data yang digunakan merupakan data sekunder dari rekam medis (RM) pasien.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi Penelitan

Penelitian dilaksanakan di Klinik Amerta Yayasan Kerti Praja, Denpasar, Bali

4.2.2. Waktu Penelitan

Penelitan dilakukan pada bulan September 2013 – Maret 2014.

4.3. Ruang Lingkup Penelitian

Bidang Epidemiologi Penyakit Infeksi Menular yang menganalisis penyakit HIV/AIDS

(49)

4.4. Penentuan Sumber Data

4.4.1. Populasi dan Sampel Penelitian 4.4.1.1. Populasi

a) Populasi Target

Semua pasien HIV/AIDS yang menjalani terapi ARV yang berada di Provinsi Bali.

b) Populasi Studi

Semua pasien HIV/AIDS di Provinsi Bali yang menjalani terapi ARV Tahun 2002-2012 di Klinik Yayasan Kerti Praja.

4.4.1.2. Kriteria Inklusi dan Eksklusi a. Kriteria Inklusi

1. Pasien HIV/AIDS yang sedang menjalani terapi ARV 2. Mulai pengobatan ARV dari tahun 2002-2012

3. Berumur ≥ 15 tahun b. Kriteria Eksklusi

1. Pasien dengan CD4 saat mulai terapi ARV >350 cells/mm3 2. Pasien yang hanya mempunyai 1 hasil tes CD4

(50)

4.4.2. Sampel Penelitian

Sampel adalah populasi studi yang terpilih untuk menjadi subyek penelitian. Perhitungan besar sampel menggunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan:

n = besar sampel minimum

Z1-/2 = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada  tertentu Z1- = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada  tertentu

P1 = perkiraan probabilitas paparan pada populasi 1 (outcome +) P2 = perkiraan probabilitas paparan pada populasi 2 (outcome -)

Berdasarkan perhitungan rumus tersebut tersebut, dengan menggunakan α=5%, dan β=80%, P2=0,45. P2 berasal hasil survei kecil dengan menggunakan data YKP. Pada survei ini digunakan 20 sampel pasien dengan CD4 <100 cell/mm3. P

2 yaitu proporsi paparan pasien yang tidak didapat mengalami peningkatan CD4 >350 cell/mm3. Berdasarkan angka tersebut maka jumlah sampel minimal yang diperoleh dari OR hasil penelitian terdahulu yaitu :

) 1 ( ) ( ) ( ) ( ) ) 1 ( ) 1 ( ) 1 ( 2 ( 2 2 2 1 2 2 1 2 2 2 1 1 1 2 2 2 / 1 p p OR p OR p p p p p p p p p n              

(51)

Tabel 4.1

Perhitungan Sampel Penelitian

Nama Peneliti dan variabel Outcome OR P1 n1 2x n2 Boris et al. (2012) Umur CD4>200 2.22 0.64 107 214 CD4>500 2.83 0.70 61 122 Kadar CD4 CD4>200 4.12 0.77 30 60 CD4>500 2.06 0.63 120 240 Muzah al at. (2012) Anemia CD4>200 2.13 0.65 97 194

Untuk mengukur pengaruh variabel sampel minimal untuk penelitian ini yaitu 240 dengan asumsi 120 untuk kelompok yang mengalami peningkatan CD4 >350 cell/mm3 dan 120 untuk kelompok yang tidak mengalami peningkatan CD4 >350 cell/mm3. Namun dalam penelitian ini penulis akan menggunakan total

sampling dimana semua sampel yang memenuhi kriteria inklusi yang berjumlah

311 akan ikut dianalisis. Semua sampel digunakan karena terdapat beberapa data pasien yang missing dan data missing tersebut bukan pada variabel yang sama pada setiap pasien, sehingga untuk tidak mengurangi kekuatan dari penelitian ini maka semua sampel digunakan.

4.5. Variabel Penelitan

4.5.1. Variabel Bebas (Independen variabel)

Jenis kelamin, umur, kadar HB, BB, kadar CD4, jenis IO, pendidikan, pekerjaan, faktor risiko terinfeksi HIV, pengawas minum obat saat mulai terapi ARV.

(52)

4.5.2. Variabel Terikat (Dependen variabel) Status peningkatan CD4 >350 cells/mm3

(53)

4.5.3. Definisi Operasional

Tabel 4.2 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Instrumen Hasil

Pengukuran Skala Pengukuran Pengelompokan dalam Analisis Skala Analisis Variabel Independen - Jenis Kelamin

Jenis kelamin pasien HIV/AIDS yang melakukan terapi ARV yang bersumber dari rekam medik

Formulir pengumpulan data 1= Laki-laki 2=Perempuan Nominal 1= Laki-laki 2= Perempuan Nominal

- Umur Umur pasien

HIV/AIDS pada saat mulai terapi ARV yang bersumber dari rekam medik Formulir pengumpulan data Umur dalam tahun

Interval Median, IQR

1=<30 tahun 2=30-39 tahun 3= ≥ 40 tahun Interval dan Ordinal berdasarkan nilai median

- Hemoglobin Kadar hemoglobin pasien HIV/AIDS pada saat mulai terapi ARV

yang bersumber dari

Formulir pengumpulan data

Kadar hemoglobin

Interval Median, IQR

1=<10 gr% 2= ≥ 10 gr% 3= Missing Interval dan Ordinal Pada penderita HIV/AIDS kadar hemoglobin

(54)

Variabel Definisi Operasional Instrumen Hasil Pengukuran Skala Pengukuran Pengelompokan dalam Analisis Skala Analisis rekam medik 8,5-10,0 gr%=Anemia ringan, >10 gr% =normal (WHO, 2004)

- Berat Badan Berat badan pasien HIV/AIDS pada saat mulai terapi ARV yang bersumber dari rekam medik Formulir pengumpulan data Berat badan dalam kg

Interval Median, IQR

1=<50 kg 2=50-57 kg 3= ≥ 58 kg 4=Missing Interval dan Ordinal berdasarkan nilai median

-Kadar CD4 Kadar CD4 pasien HIV/AIDS pada saat mulai terapi ARV yang bersumber dari rekam medik

Formulir pengumpulan data

Jumlah CD4 Interval Median, IQR

1=<100 cells/mm3 2=100-200 cells/mm3 3=201-350 cells/mm3 4= Missing Interval dan Ordinal Pada orang HIV/AIDS kadar CD4 <100=berpotensi mengancam hidup 100-200=parah >200=ringan (WHO,2004)

Gambar

Gambar 3.2. Konsep Faktor yang Berhubungan dengan Peningkatan CD4 Faktor Medis  Faktor Eksternal  Pendidikan Jenis Kelamin  Umur  Kadar Hemoglobin  Berat Badan  Kadar CD4 Infeksi Oportunistik  Pendidikan  Pekerjaan
Tabel 5.1 juga menunjukkan, sebagian besar pasien memulai terapi ARV dengan  kadar  CD4  &lt;100  cell/mm 3  (47,6%),  berat  badan  ≥  58  kg  (35,7%)  dan  dengan  kadar hemoglobin  &gt;10g/dl (90,0%)
Gambar  5.2  Kaplan-Meier  Curve  Survival  Estimasi  Jumlah  Pasien  yang  Berisiko Mengalami Kenaikan CD4 &gt;350 cells/mm 3
Grafik Kaplan-Meier   Analisis Bivariat      total    764.6406571    .187016           311   1.475702  4.030116   6.30527                                                                               &gt;350 cel    278.0260096   .5143404           143   .6

Referensi

Dokumen terkait

Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Semarang dengan menggunakan dimensi kualitas, kuantitas, penggunaan waktu dalam bekerja, kerjasama dengan orang lain dalam

Sedangkan untuk sebuah informative summary , walaupun memiliki nilai Conciseness yang tinggi artinya terdiri dari group yang relatif banyak namun dapat memberikan

Website ini dibuat agar masyarakat lebih mengetahui segala informasi yang berhubungan dengan sekolah tersebut, bagi guru-guru agar lebih mudah melakukan penyampaian informasi

pelaksanaan diskusi dengan menggunakan lembar observasi yang memuat: Kejelasan dan kedalaman informasi yg diperoleh Keaktifan dalam diskusi Kejelasan dan kerapian

Dimana jika sebuah prodi memiliki sebuah website tersendiri, maka penyediaan informasi yang berhubungan dengan prodi tersebut lebih mudah dilakukan, sehingga dapat memberikan

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian laporan keuangan secara umum adalah informasi yang dibuat oleh pihak perusahaan tertentu dimana

Struktur kepemilikan dalam perusahaan dapat mempengaruhi seberapa besar tingkat kecenderungan perusahaan untuk melakukan agresivitas pajak, terutama perbandingan jumlah

Jumlah penduduk Indonesia yang semakin bertambah serta meningkatnya kesadaran akan kebutuhan gizi dan kesehatan menyebabkan bertambahnya permintaan akan sayuran,