BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
B. Kajian Pustaka
a. Unsur-unsur pembentuk Film
Secara garis besar, film terdiri dari dua unsur pembentuk, yaitu unsur naratif dan unsur sinematik. Dua unsur tersebut saling melengkapi guna membentuk sebuah film. Unsur naratif adalah suatu rangkaian peristiwa yang berhubungan satu sama lain dan terikat oleh logika sebab-akibat (kausalitas) yang terjadi dalam suatu ruang dan waktu (Himawan Pratista, 2008:33). Unsur naratif berhubungan dengan aspek cerita atau tema film (Himawan Pratista, 2008:2). Setiap cerita tentunya memiliki unsur-unsur seperti konflik, lokasi, masalah, tokoh dan waktu. Unsur-unsur tersebut membentuk unsur naratif secara utuh. Unsur naratif juga berfungsi sebagai pembentuk jalinan peristiwa agar sesuai dengan maksud yang diharapkan. Seluruh jalinan peristiwa tersebut terikat oleh sebuah aturan yakni hukum kausalitas (logika sebab-akibat). Aspek kausalitas bersama unsur ruang dan waktu adalah elemen-elemen pokok pembentuk naratif (Himawan Pratista, 2008:2).
Unsur naratif memiliki lima elemen pokok, yaitu. 1) Ruang
Ruang adalah tempat dimana para pelaku cerita bergerak dan berkreatifitas. Film cerita pada umumnya mengambil latar atau lokasi yang nyata. Dalam sebuah adegan pembuka seringkali diberi keterangan teks di mana cerita film tersebut berlokasi untuk memperjelas penonton.
2) Waktu
Terdapat beberapa aspek waktu yang berhubungan dengan naratif sebuah film, yaitu urutan waktu, durasi waktu, dan frekuensi. Urutan waktu merupakan pola berjalannya waktu
cerita sebuah film. Durasi waktu merupakan rentang waktu yang dimiliki oleh sebuah film untuk menampilkan cerita. Frekuensi waktu merupakan munculnya kembali suatu adegan yang sama dalam waktu yang berbeda.
3) Pelaku cerita
Pelaku cerita terdiri dari karakter utama dan pendukung. Karakter utama adalah motivator utama yang menjalankan alur naratif sejak awal hingga akhir cerita. Karakter utama biasanya menduduki peran protagonis, sedangkan karakter pendukung lebih cenderung menjadi antagonis. Karakter pendukung juga sering bertindak sebagai pemicu konflik.
4) Konflik
Konflik atau permasalahan merupakan penghalang yang dihadapi tokoh protagonis untuk mencapai tujuannya. Konflik sering muncul dikarenakan pihak protagonis memiliki tujuan yang berbeda dengan pihak antagonis.
5) Tujuan
Tujuan merupakan harapan atau cita-cita yang dimiliki oleh pelaku utama. Tujuan dapat bersifat fisik (materi) dan nonfisik (non-materi). Tujuan fisik merupakan tujuan yang bersifat nyata, sedangkan tujuan nonfisik merupakan tujuan yang sifatnya abstrak (tidak nyata) (Himawan Pratista, 2008:35-44).
Unsur sinematik merupakan aspek-aspek teknis dalam produksi film. Unsur sinematik terbagi menjadi empat elemen pokok, yakni mise-en-scene, sinematografi, editing, dan suara. Masing-masing elemen sinematik tersebut juga saling berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk gaya sinematik secara utuh (Himawan Pratista, 2008:1-2).
1) Mise-en-c-scene
Mise-en-scene adalah segala hal yang terletak di depan kamera yang akan diambil gambarnya dalam sebuah produksi film (Himawan Pratista, 2008:61). Mise-en-scene terdiri dari empat aspek utama, yaitu: setting (latar), kostum dan tata rias wajah (make-up), pencahayaan (lighting), para pemain dan pergerakannya (akting).
a) Setting(latar)
Setting adalah seluruh latar bersama segala propertinya. Setting yang digunakan dalam sebuah film umumnya dibuat senyata mungkin dengan konteks ceritanya. Setting yang sempurna pada prinsipnya adalah setting yang otentik. Fungsi utama setting adalah sebagai penunjuk ruang dan waktu untuk memberikan informasi yang kuat dalam mendukung cerita filmnya. Selain berfungsi sebagai latar cerita, setting juga mampu membangun mood sesuai dengan tuntunan cerita. Fungsi lain dari setting adalah sebagai penunjuk status sosial, penunjuk motif tertentu dan pendukung aktif adegan. (Himawan Pratista, 2008:62-70).
Terdapat tiga jenis setting yaitu i) Set studio
Set studio cenderung digunakan untuk film-film aksi, drama, perang, western dan fantasi.
ii) Shot on location
Shot on location adalah produksi film dengan menggunakan lokasi aktual yang sesungguhnya.
iii) Set virtual
Set virtual hampir sama dengan shot on locatian, yaitu menggunakan lokasi yang sesungguhnya.
b) Kostum dan tata rias wajah (make-up)
Kostum dan tata rias wajah (make-up) merupakan unsur yang cukup penting dalam sebuah film. Kostum adalah segala hal yang dikenakan pemain bersama seluruh asesorisnya. Dalam sebuah film, busana tidak hanya sekedar sebagai penutup tubuh semata, namun juga memiliki beberapa fungsi sesuai dengan konteks naratifnya. Fungsi kostum adalah sebagai penunjuk ruang dan waktu, penunjuk status sosial, penunjuk kepribadian pelaku cerita, sebagai motif penggerak cerita, sebagai pembentuk image (citra), dan warna kostum juga
merupakan simbol tertentu. Tata rias wajah secara umum memiliki dua fungsi, yaitu untuk menunjukkan usia dan untuk menggambarkan wajah non-manusia. (Himawan Pratista, 2008:71-74).
c) Pencahayaan (lighting)
Pencahayaan (lighting) merupakan unsur yang juga cukup penting dalam sebuah film. Tanpa cahaya, film tidak akan pernah ada. Tata cahaya dalam film secara umum dapat dikelompokkan menjadi empat unsur, yakni, kualitas, arah, sumber, serta warna cahaya. Keempat unsur ini sangat mempengaruhi tata cahaya dalam membentuk suasana serta mood sebuah film (Himawan Pratista, 2008:75). Kualitas cahaya merujuk pada besar kecilnya intensitas pencahayaan. Arah cahaya merujuk pada posisi sumber cahaya terhadap objek yang dituju. Sumber cahaya merujuk pada karakter sumber cahaya, yakni pencahayaan buatan dan pencahayaan natural seperti apa adanya di lokasi setting. Warna cahaya merujuk pada penggunaan warna dari sumber cahaya (Himawan Pratista, 2008:76-78).
d) Pemain serta pergerakannya (akting).
Terdapat jenis-jenis karakter atau pelaku cerita, yaitu. i) Karakter manusia
Karakter manusia merupakan karakter yang paling umum ada dalam sebuah film. Karakter manusia biasanya selalu hadir dalam setiap peristiwa.
ii) Karakter non-manusia
Karakter non-manusia digunakan amat terbatas dan seringkali tampak dalam film-film drama keluarga, fiksi ilmiah, fantasi, dan horor.
iii) Karakter non-fisik
Karakter non-fisik muncul ketika karakter suatu cerita tidak memiliki wujud fisik yang nyata.
iv) Karakter animasi
Karakter animasi merupakan karakter yang mampu menghidupkan karakter commit to user
apapun, baik manusia, binatang, mekanik, maupun benda mati. Karakter animasi dapat berupa animasi dua dimensi maupun tiga dimensi. Selain jenis-jenis karakter, terdapat pula jenis-jenis pemain, yaitu
i) Pemain figuran
Karakter figuran adalah semua karakter di luar para pelaku cerita utama. ii) Aktor amatir
Aktor amatir biasanya digunakan bukan karena kemampuan akting mereka, namun karena otentitas mereka dengan karakter yang diperankan.
iii) Aktor profesional
Aktor profesional merupakan seorang aktor yang sangat terlatih dan mampu bermain dalam segala jenis peran yang diberikan pada mereka dengan berbagai macam gaya.
iv) Bintang
Bintang merupakan pemain yang dipilih karena nama besar yang dimilikinya. v) Superstar
Superstraadalah seorang bintang yang sangat populer. Film-film yang dibintangi superstarselalu sukses secara komersil.
vi) Cameo
Cameo adalah penampilan sesaat seorang bintang ternama atau seorang yang populer di mata publik (Himawan Pratista, 2008:80-84).
2) Sinematografi
Dalam sebuah produksi film ketika aspek mise-en-scene telah tersedia dan sebuah adegan telah siap untuk diambil gambarnya, pada tahap inilah unsur sinematografi mulai berperan. Sinematografi mencakup perlakuan sineas terhadap kamera serta stok filmnya. Unsur sinematografi secara umum dapat dibagi menjadi tiga aspek, yakni: kamera dan film, framing, serta durasi gambar.
a) Kamera dan film
Kamera dan film mencakup teknik-teknik yang dapat dilakukan melalui kamera dan stok filmnya, seperti warna, penggunaan lensa, kecepatan gerak gambar dan sebagainya. b) Framing
Framing adalah hubungan kamera dengan obyek yang diambil, seperti batasan wilayah atau frame, jarak, ketinggian, pergerakan kamera, dan seterusnya.
c) Durasi gambar
Durasi gambar mencakup lamanya sebuah obyek diambil gambarnya oleh kamera (Himawan Pratista, 2008:89).
3) Editing
Proses pengambilan gambar telah selesai dan setelahnya produksi film memasuki tahap editing. Dalam tahap ini shot-shot yang telah diambil dipilih, diolah dan dirangkai hingga menjadi satu rangkaian kesatuan yang utuh. Aspek editing bersama pergerakan kamera merupakan satu-satunya unsur sinematik yang murni dimiliki oleh seni film. Definisi editing pada tahap produksi adalah proses pemilihan serta penyambungan gambar-gambar yang telah diambil. Definisi editing setelah filmnya jadi (pasca produksi) adalah teknik-teknik yang digunakan untuk menghubungkan tiap shot-nya. Berdasarkan aspek temporal, editing dibagi menjadi dua jenis, yakni editing kontinu dan editing diskontinu. Editing kontinu adalah perpindahan shot langsung tanpa terjadi lompatan waktu. Sebaliknya editing diskontinu adalah perpindahan shot dengan terjadi lompatan waktu(Himawan Pratista, 2008:123-124).
4) Suara.
Fungsi suara secara umum adalah menjaga kesinambungan gambar, memberikan informasi melalui dialog dan narasi. Secara umum, suara dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yakni dialog, musik, dan efek suara.
a) Dialog
Dialog merupakan komunikasi verbal yang digunakan semua karakter di dalam commit to user
maupun di luar cerita (narasi). Terdapat beberapa jenis variasi dan teknik dialog, yakni monolog, overlapping dialog, dubbing, dan transisi bahasa.
i) Monolog
Monolog adalah bukan dialog percakapan, namun merupakan kata-kata yang diucapkan seorang karakter (atau nonkarakter) pada dirinya maupun pada kita (penonton) (Himawan Pratista, 2008:152).
ii) Overlapping dialog
Overlapping dialog adalah teknik menumpuk sebuah dialog dengan dialog lainnya dengan volume suara yang sama. Umumnya teknik ini digunakan untuk adegan pertengkaran mulut atau adegan-adegan di ruang publik (ramai) (Himawan Pratista, 2008:152).
iii) Dubbing
Dubbing merupakan proses pengisian suara dialog yang dilakukan setelah produsi film. Dubbing umumnya digunakan untuk menggantikan teks terjemahan atau subtitle (Himawan Pratista, 2008:153).
iv) Transisi bahasa
Transisi bahasa merupakan teknik terakhir dalam dialog yang keberadaannya sudah jarang ditemukan dalam sebuah film karena biasanya bahasa induk telah ditetapkan sejak awal.
b) Efek suara
Efek suara adalah semua suara yang dihasilkan oleh semua objek yang ada di dalam maupun di luar cerita film. Efek suara dalam film juga sering diistilahkan dengan noise. Semua suara tambahan selain suara dialog, lagu, serta musik adalah efek suara (Himawan Pratista, 2008:156). Adapun fungsi dari efek suara adalah sebagai pengisi suara latar. Keadaan di dalam film tersebut akan semakin hidup dengan adanya efek suara. Efek suara yang baik akan membuat penonton seakan-akan mendengar suara pada lokasi yang
sebenarnya. b. Klasifikasi Film
Metode yang paling mudah digunakan dalam mengklasifikasi film adalah berdasarkan genre, seperti aksi, drama, horor, musikal, western dan sebagainya. Berdasarkan genre induk primer, film dibagi atas film aksi, drama, epik sejarah, fantasi, fiksi ilmiah, horor, komedi, kriminal, musikal, petualangan, perang, dan western. Adapun berdasarkan genre induk sekunder, film dibagi atas film bencana, biografi, detektif, film noir, melodrama, olahraga, perjalanan, roman, superhero, supernatural, spionase, dan thriller (Himawan Pratista, 2008:13).
2. Pendekatan Semiotika
Teori Semiotika Umberto Eco
Umberto Eco merupakan salah satu tokoh semiotika yang juga merupakan seorang filosof dan novelis berkebangsaan Italia. Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest berpendapat bahwa semiotika Umberto Eco merupakan bidang kajian semiotika secara umum (generalsemiotic theory) yang mampu menjelaskan semua permasalahan fungsi tanda (sign-function) berdasarkan sistem hubungan antarunsur, yang terdiri atas satu kode atau lebih (1996:26). Umberto Eco berpendapat mengenai teori semiotika sebagai berikut.
Semiotika berurusan dengan segala sesuatu yang bisa dipandang sebagai tanda. Sebuah tanda adalah segala sesuatu yang dapat dipakai pengganti sesuatu yang lain secara signifikan. Sesuatu yang lain tidak perlu benar-benar eksis atau berada di suatu tempat agar tanda dapat menggantikannya. Oleh karena itu, semiotika secara prinsipiil adalah disiplin yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong. Jika sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengekspresikan kebohongan, maka dia juga tidak bisa dipakai untuk mengatakan apa-apa (Eco, 2009:7).
The theory of lie (teori ”dusta”) Umberto Eco menjelaskan bahwa semiotika pada prinsipnya adalah disiplin ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mendustai, mengelabui atau mengecoh. Jika sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengecoh, maka ia tidak dapat digunakan pula untuk mengatakan apapun. The theory of lie (teori ”dusta”) Umberto Eco bukan merupakan teori yang memiliki pengertian negatif. Kata-kata mengecoh, mendustai, dan mengelabui yang dikemukakan Umberto Eco hendaknya tidak diartikan secara denotatif. The
theory of lie (teori ”dusta”) hadir dalam lingkup sastra yang memiliki cara tersendiri untuk mengungkapkan sesuatu. Hal inilah yang sebenarnya terkandung dalam pemikiran Umberto Eco dalam the theory of lie (teori ”dusta”) miliknya.
Selain mengemukakan the theory of lie (teori ”dusta”), Umberto Eco juga memuat pemikirannya tentang batas-batas penelitian semiotika. Semiotika secara umum (generalsemiotic theory) Umberto Eco membagi batas-batas penelitian sesuai dengan objek dan kesepakatan sementara. Batas-batas penelitian yang dimaksudkan Umberto Eco adalah batas politis, batas-batas alami, dan batas-batas-batas-batas epistemologis.
Batas-batas alami adalah tapal batas yang tidak dapat dilampaui oleh pendekatan semiotika; karena wilayah di balik tapal batas itu adalah wilayah nonsemiotis, karena di situ tidak ada fenomena yang bisa dianggap sebagai fungsi tanda(Eco, 2009:5-6). Batas-batas epistemologis adalah batas yang tidak bergantung pada definisi objek semiotis, melainkan pada definisi kemurnian teoretis dari disiplin semiotika itu sendiri (Eco, 2009:40-41).Batas politis Umberto Eco juga dikenal sebagai batas budaya. Istilah budaya digunakan Umberto Eco untuk menghindari salah tafsir bagi kata politis itu sendiri. Dalam penelitian ini digunakan batas-batas politisnya saja. Hal ini dikarenakan objek yang digunakan hanya memungkinkan diteliti melalui batas-batas politisnya.
Batas-batas politis merupakan wilayah penelitian mulai dari proses komunikasi yang tampak lebih alami dan spontan hingga sampai pada sistem kultural yang sangat rumit. Batas-batas politis terdiri dari:
• Semiotika hewan (zoosemiotics): bidang kajian ini mewakili batas terendah semiotika karena menelaah perilaku komunikatif kawanan-kawanan bukan manusia.
• Tanda-tanda berupa bebauan (olfactory signs): jika terdapat bebauan dengan nilai konotatif yang dapat ditangkap oleh kepekaan emotif, maka pasti juga ada bebauan yang memiliki nilai referensial yang persis.
• Komunikasi rabaan (tactile communication): ini dikaji oleh psikologi. Dilibatkan dan disadari dalam komunikasi antar pihak-pihak yang tak dapat melihat dan dalam perilaku
dalam interaksi jarak. Bahkan jenis kajian ini cenderung melibatkan perilaku-perilaku yang jelas-jelas terkodifikasi secara sosial, semacam ciuman, pelukan, bantingan, tepukan di pundak, dan seterusnya.
• Kode-kode cecapan (codes af taste): yang terdapat dalam kegiatan masak-memasak, yang dikaji antropologi kultural.
• Paralinguistik (paralinguistics): bidang kajian ini mengkaji apa yang juga disebut dengan sisi-sisi suprasegmmental dan varian-varian bebas yang memungkinkan terjadinya komunikasi linguistik dan makin lama makin terinstitusionalisasi dan tersistematisasi.
• Semiotika medis (medical semiotics): sebagai sebuah studi tentang hubungan antara tanda atau gejala-gejala tertentu dengan penyakit yang diindikasikannya. Semiotika medis juga disebut sebagai sebuah studi tentang cara di mana pasien memverbalkan gejala yang dirasakannya.
• Kinesika dan proksemika (kinesics and proxemics): gestur bergantung pada kode-kode kultural sudah memperoleh pengertian antropologi budaya.
• Kode-kode musikal (musical codes): seluruh ilmu musikal berupaya mendeskripsikan medan komunikasi musikal sebagai sistem yang terstruktur secara ketat.
• Bahasa-bahasa formal (formalized languages): di antara studi-studi yang sesuai dengan penelitian-penelitian semiotis adalah studi atas struktur matematis. Juga termasuk ke dalam wilayah ini adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk menemukan suatu bahasa kosmis dan antarplanet.
• Bahasa tulis, alfabet yang tak dikenal, kode rahasia: studi atas alfabet yang tidak dikenal dan kode-kode rahasia adalah kampiun paling penting dalam arkeologi dan kriptografi, maka penelitian yang dicurahkan untuk tulisan sebagai sebuah fenomena yang berbeda dari hukum-hukum bahasa yang ditranskripsikan oleh tulisan masih relatif baru.
• Bahasa alami (natural languages): setiap acuan pustaka dalam bidang ini harus mengacu ke bibliografi umum mengenai linguistik, logika, filsafat bahasa, antropologi budaya dan
psikologi. Di sisi lain, kesempurnaannya hanya didapati secara utuh dalam kajian bahasa secara struktural.
• Komunikasi visual (visual communications): studi-studi tentang masalah ini mencakup wilayah yang merentang dari sistem yang memiliki taraf formalitas tinggi. Mulai dari sistem grafis, sistem warna, sampai pada studi tanda-tanda ikonik. Pada tataran tertinggi komunikasi visual meliputi kajian ikonigrafis yang cukup luas, yaitu fenomena visual dalam komunikasi masa.
• Sistem objek-objek (system of objects): objek sebagai sarana komunikatif masuk ke dalam ranah semiotika, yang merentang dari arsitektur sampai objek-objek pada umumnya.
• Struktur alur (plot structure): studi alur yang teramat penting berkembang pesat dalam kajian mitologi primitif. Namun studi ini masih berhubungan pula dengan komunikasi massa, dari lelucon hingga cerita detektif.
• Teori teks (text theory): perkembangan dalam analisis alur serta analisis bahasa puitik telah mengarahkan semiotika ke pemahaman arti teks sebagai unit makro, yang diatur oleh aturan-aturan generatif yang khusus.
• Kode-kode kultural (cultural codes): sistem sopan santun, hierarki-hierarki, dan sistem pemodelan sekunder, yaitu mencakup mitos, legenda, teori teologi primitif yang ditampilkan dalam wujud sebuah tatanan dunia yang dibayangkan sebuah masyarakat.
• Teks-teks estetis (aesthetic texts): bidang kajian semiotis juga meluas sampai ke wilayah yang secara tradisional juga bagian estetika. Estetika juga berkaitan dengan aspek-aspek nonsemiotis dari seni seperti psikologi daya cipta artistik, relasi antara bentuk artistik dan bentuk natural, definisi fisik-psikologis dari kenikmatan estetis, analisis hubungan seni dengan masyarakat, dan sebagainya.
• Komunikasi massa (mass communications): wilayah ini berkaitan dengan beragam disiplin, dari psikologi sampai sosiologi dan pedagogi. Studi komunikasi massa mengusung sebuah objek tunggal sejauh dia mengklaim bahwa industrialisasi komunikasi tidak hanya
mengubah kondisi-kondisi dan syarat-syarat bagi penerimaan dan pengiriman pesan.
• Retorika (rhetoric): retorika menawarkan sarana-sarana yang dapat dimanfaatkan oleh disiplin yang mencakupnya. Daftar kepustakaan tentang aspek-aspek semiotis dari retorika terlihat mirip dengan kepustakaan retorika. (Eco, 2009:10-18, Panuti Sudjiman, Zoest van,1996:34-42)