• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2 Kajian Pustaka

2.2.1 Komunikasi Intrapersonal

Komunikasi intrapersonal merupakan keterlibatan internal secara aktif dari individu dalam pemrosesan simbolik dari pesan-pesan. Seorang individu menjadi pengirim sekaligus penerima pesan, memberikan umpan balik bagi dirinya sendiri dalam proses internal yang berkelanjutan. Komunikasi intrapersonal dapat menjadi pemicu bentuk komunikasi yang lainnya. Pengetahuan mengenai diri pribadi melalui proses-proses psikologis seperti persepsi dan kesadaran (awareness) terjadi saat berlangsungnya komunikasi intrapribadi oleh komunikator (http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_intrapersonal).

i) Untuk memahami apa yang terjadi ketika kita melakukan komunikasi intrapersonal, maka seseorang perlu untuk mengenal diri mereka sendiri. Karena pemahaman ini diperoleh melalui proses persepsi. Maka pada dasarnya letak persepsi adalah pada orang yang mempersepsikan, bukan pada suatu ungkapan ataupun obyek. Dalam ilmu komunikasi kita berkata, pesan diberi makna berlainan oleh orang yang berbeda. Words don’t mean; people mean. Kata-kata tidak memiliki makna; tapi oranglah yang memberikan makna (Rakhmat, 1985: 49).

Komunikasi intrapersonal juga dapat didefinisikan sebagai sebuah proses yang terjadi di dalam diri individu mulai dari kegiatan menerima pesan atau informasi, mengolah, menyimpan, dan menghasilkan kembali. komunikasi intrapersonal adalah proses pengolahan informasi. Proses ini melewati empat tahap yaitu:

1. Sensasi

Tahap paling awal penerimaan informasi ialah sensasi. Sensasi berasal dari kata “sense”, alat pengindraan. Dengan demikian sensasi adalah proses penangkapan stimuli. Stimuli adalah apa saja yang menyentuh panca indra baik dari dalam maupun dari luar diri. Dan kemudian stimuli yang sudah di tangkap melalui proses sensasi akan diberikan makna. Alat pengindra akan segera mengubah stimuli menjadi energi saraf untuk

disampaikan ke otak melalui proses transduksi (proses mengubah suatu bentuk ke bentuk lain).

Agar dapat diterima alat indra, stimuli harus cukup kuat. Batas minimal intensitas stimuli disebut ambang mutlak (absolute threshold). Mata, misalnya hanya dapat menangkap stimuli yang mempunyai panjang gelombang 380 sampai 780 nanometer. Telinga hanya mampu mendeteksi gelombang suara berkisar antara 20 sampai 20.000 hertz. 2. Persepsi

Persepsi adalah pemberian makna dari pada sensasi. Dengan kata lain persepsi juga dapat diartikan sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi juga ditentukan oleh faktor personal dan juga faktor situasional. Selain itu perhatian adalah faktor lain yang juga sangat mempengaruhi persepsi. Kenneth E. Andersen dalam Rakhmat mendefenisikan, “Perhatian adalah proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah”.

3. Memori

Dalam komunikasi intrapersonal, memori memegang peranan paling penting dalam mempengaruhi persepsi maupun berpikir. Schlessinger dan Groves dalam Rakhmat mendefenisikan, “memori adalah sistem yang sangat berstruktur, yang menyebabkan organisme sanggup merekam fakta tentang dunia dan munggunakan pengetahuannya untuk membimbing perilakunya”. Mussen dan Rosenzweig dalam Rakhmat menyatakan Memori melewati tiga proses: perekaman, penyimpanan, dan pemanggilan. Perekaman (encoding) adalah pencatatan informasi melalui reseptor indra dan sirkuit saraf internal. Penyimpanan (storge) proses menentukan berapa lama informasi berada beserta kita, dalam bentuk apa, dan dimana. Penyimpanan bisa bersifat aktif (sengaja menyimpan) atau pasif (tidak sengaja tersimpan). Pemanggilan (Retrieval) adalah menggunakan informasi yang sudah dismipan (mengingat kembali).

4. Berpikir

Dalam berpikir kita melihat semua proses yang kita sebut di muka: sensasi, persepsi, dan memori. Berpikir menunjukkan berbagai kegiatan yang melibatkan penggunaan konsep dan lambang, sebagai pengganti objek dan peristiwa. Jadi berpikir adalah mengolah dan memanipulasikan informasi untuk memenuhi kebutuhan atau memberikan respon (Rakhmat, 1985).

2.2.2 S – O – R

Teori S – O – R atau Stimulus-Organism-Response memiliki Objek materialnya yaitu manusia yang jiwanya meliputi komponen-komponen : sikap, opini, perilaku, kognisi, afeksi dan konasi. Teori S – O – R beranggapan bahwa organisme menghasilakan perilaku tertentu jika ada stimulus tertentu pula. Jadi efek yang ditimbulkan adalah reaksi khusus terhadap stimulus khusus sehingga seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi yang ditimbulkan oleh komunikan (Effendi, 2003).

Teori ini dikenal sebagai model Stimulus – Organisme – Respon dimana unsur-unsur dasar ini terdiri dari:

1. Pesan atau stimulus 2. Komunikan

3. Efek atau Respon

Dalam proses perubahan sikap tampak bahwa sikap dapat berubah hanya jika stimulus yang menerpa melebihi semula. Prof.Dr.mar’at dalam bukunya “Sikap Manusia, Perubahan serta Pengukurannya”, mengutip pendapat Hovland, Janis dan Kelley yang menyatakan bahwa dalam menelaah sikap yang baru ada tiga variabel penting, yaitu perhatian, pengertian dan penerimaan.

Respon atau perubahan sikap/perilaku bergantung pada proses terhadap individu. Stimulus yang merupakan pesan yang disampaikan kepada komunikan dapat diterima atau ditolak oleh komunikan, komunikasi dapat berjalan apabila komunikan memberikan perhatian khusus terhadap stimulus yang disampaikan kepadanya. Ketika komunikan tersebut memikirkannya maka timbul pengertian dan penerimaan atau sebaliknya. Dengan demikian Perubahan sikap dapat yaitu, perubahan kognitif, afektif atau behavioral.

Stimulus atau pesan adalah rasangan atau dorongan berupa pesan, organisme adalah manusia atau seorang penerima (proses yang terjadi di dalam diri seseorang), Respon adalah reaksi, efek, pengaruh atau tanggapan (feed back). Menurut Effendy, unsur-unsur teori S – O – R dapat digambarkan sebagai berikut:

Sumber: Effendy, 2003. 2.2.3 Konsep Diri

Menurut William D. Brooks bahwa konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Sedangkan Centi mengemukakan konsep diri ( self concept) tidak lain tidak bukan adalah gagasan tentang diri sendiri, konsep diri terdiri dari bagaimana kita melihat diri sendiri sebagai pribadi, bagaimana kita merasa tentang diri sendiri, dan bagaimana kita meninginkan diri sendiri menjadi manusia sebagaimana kita harapkan.

Konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Menurut Rogers konsep diri merupakan konseptual yang terorganisasi dan konsisten yang terdiri dari persepsi-persepsi tentang sifat-sifat dari ’diri subjek’ atau ’diri objek’ dan persepsi-persepsi-persepsi-persepsi tentang hubungan-hubungan antar ’diri subjek’ diri objek’ dengan orang lain dan dengan berbagai aspek kehidupan beserta nilai-nilai yang melekat pada persepsi-perseepsi ini (Mulya, 2009).

Konsep diri memberikan motif penting untuk perilaku. pemikiran bahwa keyakinan, nilai, perasaan, penilaian-penilaian mengenai diri mempengaruhi perilaku adalah sebuah prinsip penting pada teori interaksionisme simbolik. Mead

Stimulus

Organisme:

Perhatian Pengertian Penerimaan

Respon

(Perubahan Perilaku)

berpendapat bahwa kerena manusia memiliki diri, manusia memiliki mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri. Mekanisme ini digunakan untuk menuntun perilaku dan sikap. Mead juga melihat diri sebagai sebuah proses, bukan struktur (West, Turner, 2008).

Konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan tingkah laku seseorang. Bagaimana seseorang memandang dirinya akan tercermin dari keseluruhan perilakunya. Artinya, perilaku individu akan selaras dengan cara individu memandang dirinya sendiri. Apabila individu memandang dirinya sebagai orang yang tidak mempunyai cukup kemampuan untuk melakukan suatu tugas, maka seluruh perilakunya akan menunjukkan ketidakmampuannya tersebut. Menurut Felker (1974), terdapat tiga peranan penting konsep diri dalam menentukan perilaku seseorang, yaitu:

1. Konsep diri memainkan peranan dalam mempertahankan keselarasan batin seseorang. Individu senantiasa berusaha untuk mempertahankan keselarasan batinnya. Bila individu memiliki ide, perasaan, persepsi atau pikiran yang tidak seimbang atau saling bertentangan, maka akan terjadi situasi psikologis yang tidak menyenangkan. Untuk menghilangkan ketidakselarasan tersebut, individu akan mengubah perilaku atau memilih suatu sistem untuk mempertahankan kesesuaian antara individu dengan lingkungannya. Cara menjaga kesesuaian tersebut dapat dilakukan dengan menolak gambaran yang diberikan oleh lingkungannya mengenai dirinya atau individu berusaha mengubah dirinya seperti apa yang diungkapkan lingkungan sebagai cara untuk menjelaskan kesesuaian dirinya dengan lingkungannya.

2. Konsep diri menentukan bagaimana individu memberikan penafsiran atas pengalamannya. Seluruh sikap dan pandangan individu terhadap dirinya sangat memengaruhi individu tersebut dalam menafsirkan pengalamannya. Sebuah kejadian akan ditafsirkan secara berbeda antara individu yang satu dengan individu lainnya, karena masing-masing individu mempunyai sikap dan pandangan yang berbeda terhadap diri mereka. Tafsiran negatif terhadap pengalaman hidup disebabkan oleh pandangan dan sikap negatif

terhadap dirinya sendiri. Sebaliknya, tafsiran positif terhadap pengalaman hidup disebabkan oleh pandangan dan sikap positif terhadap dirinya.

3. Konsep diri juga berperan sebagai penentu pengharapan individu. Pengharapan ini merupakan inti dari konsep diri. Bahkan McCandless sebagaimana dikutip Fellcer (1974) menyebutkan bahwa konsep diri seperangkat harapan-harapan dan evaluasi terhadap perilaku yang merujuk pada harapan-harapan tersebut. Siswa yang cemas dalam menghadapi ujian akhir dengan mengatakan "saya sebenarnya anak bodoh, pasti saya tidak akan mendapat nilai yang baik", sesungguhnya sudah mencerminkan harapan apa yang akan terjadi dengan hasil ujiannya. Ungkapan tersebut menunjukkan keyakinannya bahwa ia tidak mempunyai kemampuan untuk memperoleh nilai yang baik. Keyakinannya tersebut mencerminkan sikap dan pandangan negatif terhadap dirinya sendiri. Pandangan negatif terhadap dirinya menyebabkan individu mengharapkan tingkah keberhasilan yang akan dicapai hanya pada taraf yang rendah. Patokan yang rendah tersebut menyebabkan individu bersangkutan tidak mempunyai motivasi untuk mencapai prestasi yang gemilang (Pudjijogyanti, 1988).

Komponen-komponen konsep diri menurut Hurlock (1976:22) antara lain : 1. The perceptual component

Gambaran dan kesan seseorang tentang penampilan tubuhnya dan kesan yang dibuat pada orang lain atau sering disebut konsep diri fisik. Tercakup didalamnya gambaran yang dipunyai seseorang tentang daya tarik tubuhnya (attractiveness) dan keserasian jenis kelamin (sex approriateness). Komponen ini sering disebut physical self concept. 2. The conseptual component

Pandangan tentang karakteristik yang berbeda dengan orang lain baik tentang kemampuan dan kekurangannya serta disusun dari kualitas penyesuaian hidupnya tentang kepercayaan diri tergantung keberanian, kegagalan dan kelemahannya. Komponen ini sering disebut psychological self concept.

3. The attitudinal component

Perasaan tentang kebanggaan dan rasa malunya. Yang termasuk dalam komponen ini adalah keyakinan nilai, aspirasi dan komitmen yang membentuk dirinya.

Sedangkan menurut Pudjijogyanti (1988:3) komponen-komponen konsep diri ada dua yaitu :

1. Komponen kognitif

Komponen kognitif merupakan pengetahuan individu tentang keadaan dirinya, misalnya “saya anak bodoh” atau “saya anak nakal”. Jadi komponen kognitif merupakan penjelasan dari “siapa saya” yang akan memberi gambaran tentang diri saya. Gambaran diri (self-picture) tersebut akan membentuk citra diri (self- image).

2. Komponen afektif

Komponen afektif merupakan penilaian individu terhadap diri. Penilaian tersebut akan membentuk penerimaan terhadap diri (self acceptance), serta harga diri (self-esteem) individu.

Fitts (Agustiani 2006:139-142) membagi konsep diri dalam dua dimensi pokok, yaitu sebagai berikut:

a. Dimensi Internal

Dimensi internal atau kerangka acuan internal (internal Frame of reference) adalah penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia didalamnya. Dimensi ini terdiri atas tiga bentuk

1. Identitas diri (identity self)

Merupakan bagian aspek paling mendasar untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya. mengacu pada pertanyaan, "siapakah saya?".

2. Diri pelaku (behavioral self)

Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya yang berisikan segala kesadaran mengenai "apa yang dilakukan diri".

3. Diri penerimaan/penilai (judging self)

Berfungsi sebagai penguat, penentu standar dan elevator. Kedudukannya sebagai perantara (mediator) antara diri dan identitas pelaku.

b. Dimensi Eksternal

Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain di luar dirinya. Dimensi eksternal terbagi atas lima bentuk, yaitu:

1. Diri Fisik (physical self)

Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik (cantik, jelek, menarik, tinggi, pendek, gemuk, kurus, dsb). 2. Diri etik-moral (moral-ethical self)

Bagian ini merupakan persepsi seorang terhadap dirinya dilihat dari pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut keberadaan seseorang dengan kehidupan keluarganya, Agama dan Tuhan yang meliputi aspek batasan baik dan buruk.

3. Diri Pribadi (personal self)

Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan orang lain tapi dipengaruhi oleh sejauhmana ia merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat.

4. Diri Keluarga (family self)

Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan sejauhmana seseorang merasa dekat terhadap dirinya dari suatu keluarga. 5. Diri Sosial (social self)

Diri sosial maupun bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan sekitarnya. Seluruh bagian ini, baik eksternal maupun internal saling berkaitan dan berinteraksi dan membentuk satu kesatuan yang utuh. (Rahmat 1971:7-8).

2.2.4 Teori Disonansi Kognitif

Teori konsistensi mengemukakan bahwa pikiran beroperasi seperti sebuah penengah antara rangsangan (stimulus) dan respons. Teori ini menyatakan jika seseorang menerima rangsangan, maka pikiran akan memprosesnya menjadi sebuah pola dengan rangsangan lainnya yang sudah diterima atau sudah ada

sebelumnya. Jikalau rangsangan baru tersebut tidak sesuai dengan pola yang ada atau tidak konsisten, maka orang tersebut akan mengalami ketidaknyamanan. Ketidaknyamanan tersebut timbul ketika seseorang menemukan diri mereka sendiri melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui, atau menemui pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat lain yang mereka pegang (inkonsisten). Konsistensi merupakan prinsip penting dan teratur yang ada dalam proses kognitif manusia, dan perubahan respon terjadi sebagai akibat adanya informasi yang menggangu keteraturan tersebut.

Menurut Festinger dalam Morissan (2013), manusia membawa berbagai unsur (elemen) dalam kognitifnya. Elemen tersebut adalah sikap, persepsi, pengetahuan dan tingkah laku (behavior). Elemen-elemen tersebut barada dalam suatu sistem yang tidak terpisah dan saling mempengaruhi. Ada tiga jenis hubungan yang mungkin terjadi antar elemen-elemen tersebut. Pertama, hubungan yang tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap elemen-elemen yang ada, disebut sebagai hubungan nihil atau tidak relevan (irrelevant). Kedua, hubungan konsisten atau hubungan konsonan, yaitu hubungan antar elemen yang saling menguatkan. Ketiga adalah hubungan yang menimbulkan ketidaksesuaian (inkonsisten) atau disonansi.

Terdapat dua ide penting yang menjadi dasar teori disonansi kognitif ini yaitu: pertama, adanya disonansi akan menimbulkan ketegangan dan stress yang membuat seseorang tertekan dan mencari jalan untuk berubah. Kedua, kondisi disonansi membuat seseorang tidak hanya berupaya untuk menguranginya tetapi juga menghindarinya.

Festinger dalam Morissan (2013) membayangkan sejumlah merode yang digunakan manusia untuk mengatasi ketidaksesuaian kognitif.

1. Mengubah satu atau lebih elemen kognitif yang ada. Misal elemen tingkah laku (tindakan) dan atau elemen sikap

2. Menambahkan elemen baru dalam hubungan yang inkonsisten guna menetralkan disonansi.

3. Mempertimbangkan kembali disonansi yang terjadi. Melalui pertimbangan tersebut seseorang memahami disonansi yang terjadi bukanlah hal terpenting jika dibandingkan dengan hal yang lain.

Di ku ra ng i d eng an

4. Mencari informasi yang dapat mendukung suatu tindakan agar seseorang punya penguatan atas tindakannya yang dilakukannya.

5. Menguarangi disonansi yang terjadi dengan mendistorsi atau menyalah artikan informasi yang ada sehingga terbentuk pemahaman yang dapat diterima oleh kognisinya.

Banyak teori dan riset mengenai teori disonanasi kognitif yang mengemukakan berbagai situsasi atau keadaan yang memungkinkan disonansi dapat terjadi kondisi. Situasi atau keadaan yang dapat mendorong timbulnya disonansi adalah sebagai berikut: saat membuat keputusan (decision making), kepatuhan yang dipaksakan (forced compliance), memasuki kelompok baru (initiation), dukungan sosial (social support), dan usaha atau daya upaya (effort) (Morissan, 2013).

Menurut Leon Festinger (1957) dalam West & Turner perasaan ketidakseimbangan kognisi yang timbul atas ketidaksesuaian rangsangan dengan pola rangsangan yang sudah ada sebelumnya disebut sebagai disonansi kognitif. Ia juga berpendapat inti dari teori disonansi kognitif adalah adanya sebuah perasaan tidaknyaman yang memotivasi orang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut.

Dapat digambarkan proses disonansi kognitif sebagai berikut:

      Sumber: Festinger, 1957. Perubahan yang menghilangkan inkonsistentsi Rangsangan yang tidak menyenangkan Mulainya disonansi

Sikap, pemikiran dan prilaku yang tidak konsisten

Berakibat pada

Festinger menyatakan bahwa ketidaknyamanan yang disebabkan oleh disonansi akan mendorong terjadinya perubahan, pernyataan ini sangat penting bagi para peniliti komunikasi. Dengan berdasar dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa disonansi kognitif dapat memotivasi perilaku komunikasi saat orang melakukan persuasi kepada orang lainnya dan saat orang berjuang untuk mengurangi disonansi kognitifnya. Dengan kata lain, ketika seseorang menemui orang lain dalam rangka mengurangi disonansi maka hal tersebut merupakan cara dan usahanya untuk mempengaruhi dirinya sendiri demi mengalami perubahan dalam dirinya (West, Turner, 2008).

Sebagian besar pandangan teori kognitif percaya bahwa manusia memperoleh informasi yang diterima melalui lima tahap berikut:

1. Sensory input, yaitu tahap dimana terjadinya proses pengindraan terhadap stimulus yang ada di lingkungan

2. Central processing, yaitu tahap proses pemberian makna terhadap informasi yang masuk

3. Information storage, yaitu tahap dimana informasi dimasukkan dan dikumpulkan dalam memori manusia

4. Information retrieval, yakni tahap memori tersebut dipanggil kembali 5. Utilization pada tahap ini terjadi proses bagaimana cara kita memanggil

dan mentransformasikan informasi akan mempengaruhi perilaku non-verbal dan pembicaraan yang akan dilakukan (Griffin,2003)

Dalam upaya mengurangi disonansi, seseorang akan secara aktif menolak situasi-situasi dan informasi yang memungkinkan meningkatnya disonansi yang dialaminya (Severin dan Tankard, 2008). Tingkat disonansi akan menentukan tindakan yang akan di ambil seseorang dan kognisi yang mungkin ia gunakan untuk mengurangi disonansi. Tindakan yang diambil oleh seseorang ini adalah upaya seseorang untuk mencapai perubahan yang mengembalikan konsistensi 2.2.5 Teori Penilaian Sosial

Teori penilaian sosial memberikan penjelasan bagaimana orang memberikan penilaian mengenai segala informasi atau pernyataan yang didengarnya. Dengan kata lain teori ini juga dapat menjelaskan bagaimana

seseorang beropini terhadap sesuatu hal. Tiga hal yang mempengaruhi seseorang dalam memberi penilaian yaitu:

1. Keterlibatan ego

Menurut Sherif keterlibatan ego mengacu pada seberapa penting suatu isu dalam kehidupan seseorang. Dengan kata lain, jika suatu isu berdampak atau berakibat secara langsung pada seseorang maka orang tersebut akan menganggap isu itu sebagai sesuatu yang sangat penting. Sebaliknya, jika suatu isu tidak berdampak secara langsung bagi seseorang maka isu tersebut tidaklah penting bagi dirinya.

2. Jangkar sikap

Sherif mengatakan orang cenderung menggunakan acuan atau jangkar sikap sebagai pembanding ketika menerima sejumlah pesan yang berbeda-beda atau bahkan bertentangan. Dalam kehidupan sosial, acuan yang seseorang gunakan saat menduga sesuatu (memberikan penilaian) tanpa alat ukur pasti adalah referensi serta pengalaman yang sudah ada sebelumnya. Dengan kata lain seseorang cenderung memberikan penilaian dengan acuan internal yang dimilikinya.

3. Efek kontras

Dengan berdasar pada pemahaman yang Sherif kemukakan maka dapat diketahui bahwa seseorang memberikan penilaian untuk menerima atau menolak pesan berdasarkan dua hal yaitu keterlibatan ego dan acuan internal. Namun demikian, proses penilian ini tetap dapat menimbulkan distorsi (penyimpangan). Distorsi ini terjadi jika seseorang menilai suatu pesan menjadi lebih jauh atau bertentangan dengan pandangannya sendiri dari pada yang seharusnya, penilaian yang menjadi lebih jauh dari yang seharusnya ini di sebut sebagai efek kontras. Sebaliknya, distorsi juga terjadi ketika seseorang memberi penilaian terhadap suatu pesan menjadi lebih dekat dengan pandangannya sendiri dari pada yang seharusnya, penilaian ini disebut dengan efek asimilasi,

2.2.6 Emosi

Emosi adalah perasaan yang ditujukan kepada seseorang, atau reaksi terhadap seseorang atau kejadian. Rasa sedih, senang, bahagia, marah, dan depresi

merupakan rasa yang berbeda dan diungkapkan dengan cara yang berbeda pula. Emosi dan perasaan adalah dua konsep yang berbeda, tetapi perbedaan keduanya tidak dapat dinyatakan secara tegas. Emosi dan perasaan merupakan gejala emosional yang secara kualitatif berkelanjutan tetapi tidak jelas batasannya. Walgito 1997 dalam Khodijah memahami emosi dari beberapa teori emosi berikut:

1. Teori Emosi Sentral

Menurut teori Emosi sentral, jasmani merupakan akibat dari emosi yang dialami oleh individu. Untuk memahami teori ini kita bisa memperhatikan orang yang menangis. Pada orang yang menangis tentu akan merasakan adanya emosi, baik itu berupa rasa sakit ataupun kesedihan yang mendalam, setelah itu muncul perubahan-perubahan yang pada akhirnya memunculkan tetesan air mata yang dikeluarkan. Jadi, individu mengalami emosi terlebih dahulu, baru kemudian mengalami perubahan-perubahan.

2. Teori Emosi Peripheral

Teori emosi ini dikemukakan oleh William James (1842 – 1910). Teori emosi peripheral berbanding terbalik dengan teori emosi sentral. Menurut teori peripheral, gejala pada kejasmanian bukanlah merupakan akibat dari emosi yang dialami oleh individu. Menurut teori ini orang tidak menangis karena susah, tetapi sebaliknya, ia susah karena menangis. 3. Teori Emosi Kepribadian

Teori emosi yang ketiga adalah teori emosi kepribadian. Menurut teori ini, emosi merupakan suatu aktivitas pribadi. Antara pribadi dan jasmaniah tidak bisa dipisah-pisahkan. Oleh karena itu, emosi meliputi pola perubahan-perubahan jasmaniah (Khodijah, 2006)

Fungsi Emosi

Martin dalam Khodijah menyatakan bahwa emosi bukan hanya berfungsi untuk mempertahankan hidup (survival), untuk mengungkapkan ekspresi dan mempertegas perasaan saja. Emosi juga berfungsi sebagai energi atau pembangkit energi yang bisa memberi semangat hidup dalam kehidupan manusia. Selain itu, emosi juga bisa berperan sebagai pembawa pesan atau messenger. Artinya, emosi

mampu memberi tahu diri kita mengenai kondisi atau keadaan seseorang yang berada di sekitar kita (Khodijah, 2006).

Ada dua jenis emosi yaitu:

1. Emosi Positif adalah emosi menyenangkan yang bisa menimbulkan perasaan positif pada orang yang mengalaminya, yaitu jatuh cinta, senang, gembira, kagum dan sebagainya.

2. Emosi Negatif adalah emosi tidak menyenangkan, yaitu emosi yang menimbulkan perasaan negatif, di antaranya sedih, marah, benci, takut, dan sebagainya.

Emosi positif atau negatif sebenarnya tidak memaksa kita untuk

Dokumen terkait