• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Teori-teori yang Mendukung 2.1.1.1 Teori Perkembangan Anak

Supratiknya (2002: 26) mengungkapkan bahwa ada dua teori konstruktivisme sosial yang terkemuka yaitu teori konflik sosiokognitif Jean Piaget 1980) dan teori sosiokultural Lev Semenovich Vygotsky (1896-1934). Jean Piaget memiliki pendapat mengenai teori perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif tergantung pada empat faktor yaitu pertumbuhan biologis, pengalaman dengan lingkungan fisik, pengalaman dengan lingkungan sosial, dan ekuilibrasi (Piaget, dalam Schunk, 2012: 331). Ekuilibrasi merupakan faktor utama dan dorongan motivasi di belakang perkembangan kognitif. Ekuilibrasi mengkoordinasikan tindakan-tindakan dari tiga faktor lainnya dan membuat struktur-struktur mental dan realitas lingkungan eksternal. Ekuilibrasi mengacu pada dorongan biologis untuk menciptakan sebuah kondisi keseimbangan atau ekuilibrium yang optimal antara struktur-struktur kognitif dan lingkungan (Duncan, dalam Schunk, 2012: 331). Ekuilibrium adalah mekanisme yang diusulkan Piaget untuk menjelaskan bagaimana anak-anak berpindah dari satu tahap pemikiran ke pemikiran berikutnya. Pergeseran ini terjadi karena anak-anak mengalami konflik kognitif atau disEkuilibrium dalam mencoba memahami dunia (Piaget, dalam Santrock, 2014: 44).

9 Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa proses kognitif dapat dipangaruhi oleh ekuilibrasi yaitu dorongan untuk mencapai keseimbangan (Ekuilibrium) dan menyebabkan terjadinya pergeseran pemikiran sehingga anak mengalami konflik (disEkuilibrium). Konflik tersebut dapat diselesaikan dan mencapai keseimbangan (Ekuilibrium) dengan adanya asimilasi dan akomodasi.

Asimilasi adalah proses merespons lingkungan sesuai dengan struktur kognitif seseorang (Hergenhahn, 2010: 314). Asimilasi terjadi ketika orang memasukkan informasi baru ke dalam pengetahuan skema yang ada. Akomodasi terjadi ketika orang menyesuaikan skema pengetahuan mereka terhadap informasi baru. Skema adalah tindakan atau representasi mental yang mengorganisasikan pengetahuan (Piaget, dalam Santrock, 2014: 43). Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa asimilasi dan akomodasi sangat berkaitan erat dengan skema. Anak menggunakan skema mereka dengan cara asimilasi dan akomodasi.

Perkembangan kognitif seseorang akan berjalan seiring dengan bertambahnya usia. Perkembangan tersebut berlangsung melalui tahapan-tahapan yang berbeda dan semakin kompleks. Piaget (dalam Santrock, 2014: 45-52) mengusulkan empat tahapan perkembangan kognitif yakni sensorimotorik, pra operasional, operasional konkret, dan operasional formal. Keempat tahapan tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

1. Tahap Sensorimotorik

Tahap sensorimotor berlangsung dari lahir sampai dengan 2 tahun (0-2 tahun). Pada tahap ini bayi membangun pemahaman tentang dunia dengan mengoordinasikan pengalaman sensorik mereka (seperti melihat dan mendengar) dengan tindakan motorik mereka (mencapai, menyentuh). Pada awal tahap ini, bayi lebih menunjukkan pola refleksif untuk beradaptasi dengan dunia. Pada akhir tahap ini, mereka menampilkan pola sensorimotor yang jauh lebih kompleks (Piaget, dalam Santrock, 2014: 45).

2. Tahap Pra Operasional

Tahap pra operasional berlangsung dari anak usia 2 sampai 7 tahun. Tahap ini lebih simbolis dari cara berpikir sensorimotor, namun tidak melibatkan

10 pemikiran operasional. Pemikiran pra operasional dapat dibagi menjadi sub-tahap fungsi simbolis dan pikiran intuitif. Sub-sub-tahap fungsi simbolis terjadi antara usia 2 sampai 4 tahun. Sub-tahap ini, anak mendapatkan kemampuan untuk merepresentasikan secara mental benda yang tidak ada, namun mereka masih memiliki keterbatasan yakni egosentrisme. Sub-tahap pemikiran intuitif terjadi antara usia 4 sampai 7 tahun. Pada sub-tahap ini, anak mulai menggunakan penalaran primitif dan ingin mengetahui jawaban atas segala macam pertanyaan (Piaget, dalam Santrock, 2014: 46-48).

3. Tahap Operasional Konkret

Tahap operasional konkret berlangsung antara usia 7 sampai 11 tahun. Pemikiran operasional konkret melibatkan penggunaan operasi. Penalaran logis menggantikan penalaran intuitif, tetapi hanya dalam situasi konkret. Operasi konkret adalah tindakan mental yang dapat dibalik yang berkaitan dengan benda nyata (konkret). Pada tahap operasional konkret, anak-anak dapat melakukan secara mental yang dapat mereka lakukan sebelumnya dan dapat membalikkan operasi konkret. Tahap operasional konkret melibatkan penyusunan stimulus sepanjang dimensi kuantitatif (seriation) dan kemampuan untuk berpikir serta menggabungkan hubungan secara logis atau transitivitas (Piaget, dalam Santrock, 2014: 49).

4. Tahap Operasional Formal

Tahap operasional formal berlangsung antara usia 11 sampai 15 tahun. Pada tahap ini, individu bergerak melampaui penalaran tentang pengalaman konkret dan masuk berpikir dengan cara yang lebih abstrak, idealis, serta logis. Pada tahap ini, anak mulai mewujudkan konsep dan mengembangkan hipotesis mengenai cara untuk memecahkan masalah dan mencapai kesimpulan secara sistematis (Piaget, dalam Santrock, 2014: 50-52).

Setiap anak akan mengalami perkembangan seiring dengan bertambahnya usia anak. Perkembangan yang dialami setiap anak dapat berbeda-beda sesuai dengan kecepatan anak untuk berkembang. Tahap perkembangan kognitif yang digunakan peneliti adalah tahap operasional konkret yakni antara usia 7 sampai 11 tahun karena subjek penelitian ini adalah siswa kelas IV Sekolah Dasar. Anak dalam tahap operasional konkret dapat berpikir secara rasional yang dapat diterapkan

11 pada masalah-masalah yang konkret. Mereka dapat mengatasi atau menyelesaikan permasalahan berdasarkan hal-hal yang konkret atau nyata.

Pemikiran atau pengetahuan yang semakin kompleks tidak lepas dari peran lingkungan sosial yang berada disekeliling individu sehingga dapat dikatakan bahwa lingkungan sosial sebagai fasilitator perkembangan dan pembelajaran. Teori pembelajaran yang didasarkan pada gagasan tersebut adalah teori pembelajaran konstruktivis yang dikemukakan oleh Lev Vygotsky. Slavin (2011: 4) mengemukakan teori ini mempunyai implikasi terhadap pengajaran karena menjadikan siswa lebih aktif dalam mengikuti pembelajaran mereka sendiri sehingga dapat disebut pengajaran yang berpusat pada siswa. Vygotsky (dalam Slavin, 2011: 4) berpendapat bahwa siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu melalui proyek kooperasi.

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran konstruktivis adalah pembelajaran yang kooperatif yakni siswa saling berinteraksi dengan orang dewasa atau teman sebaya sehingga siswa secara aktif mengikuti pembelajaran. Interaksi memberikan peranan penting bagi perkembangan dan pemikiran manusia. Perbedaan perkembangan dan pemikiran manusia didasarkan pada kultur masing-masing individu.

Pandangan Vygotsky dikenal sebagai teori sosiokultural yang berarti bahwa teori ini menekankan pembelajaran berlangsung melalui interaksi anak dengan seseorang yang berpengetahuan, baik itu orang dewasa seperti orang tua atau guru dan teman sebaya (Vygotsky, dalam Salkind, 2009: 373). Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa teori Vygotsky menekankan pada perkembangan dipengaruhi oleh interaksi sosial dan kultural, yakni anak dapat berinteraksi dengan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu sehingga mereka dapat membangun pengetahuannya sendiri melalui pembelajaran yang aktif.

Vygotsky mengemukakan bahwa siswa paling baik memelajari konsep yang berada dalam zona perkembangan proksimal (zone of proximal development) atau ZPD. Zona perkembangan proksimal atau ZPD adalah jarak antara tingkatan perkembangan aktual yang berupa pemecahan masalah secara mandiri dan tingkatan perkembangan potensial yang berupa pemecahan masalah di bawah

12 bimbingan orang dewasa atau bekerja sama dengan teman sebaya yang mampu. ZPD dapat digambarkan sebagai perbedaan antara kemampuan anak untuk memecahkan masalah dengan dibantu. ZPD mencakup semua fungsi dan aktivitas yang bisa dilakukan anak hanya dengan bantuan orang lain. Orang lain dalam proses ini memberikan intervensi yang terstruktur yang disebut sebagai perancahan atau scaffolding (Vygotsky, dalam Salkind, 2009: 375-376).

Perancahan atau scaffolding dapat diartikan sebagai teknik-teknik yang digunakan oleh pendidik untuk membangun jembatan antara apa yang sudah diketahui oleh anak dan apa yang harus diketahui olehnya. Perancahan atau

scaffolding terdiri atas kegiatan-kegiatan yang disediakan oleh pendidik untuk

menopang dan menuntun anak melalui zona perkembangan proksimal. Perancahan dapat diberikan oleh guru atau teman sebaya. Teman sebaya yang tahu dapat menjadi pendidik bagi anak agar berhasil mempelajari apa yang harus diketahui (Vygotsky, dalam Salkind, 2009: 379-380).

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa ZPD merupakan daerah saat anak membutuhkan bantuan dari orang dewasa baik orang tua maupun guru serta teman sebaya yang lebih terampil dalam memecahkan suatu permasalahan. Bantuan yang diberikan oleh orang lain disebut sebagai perancahan atau

scaffolding. Perancahan atau scaffolding berarti upaya-upaya yang dilakukan guna

mengatasi permasalahan ketika anak berada pada daerah ZPD. Bantuan dari orang lain atau teman sebaya yang lebih terampil dapat menjadikan anak meraih ide berpikir yang baru.

Upaya dalam mengatasi permasalahan tidak terlepas dari teknik atau metode yang digunakan agar anak mencapai suatu keberhasilan sehingga pemilihan metode yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak sangat menentukan keberhasilan suatu pembelajaran.

2.1.1.2 Metode Pembelajaran

Setiap pembelajaran tidak terlepas dari metode yang digunakan untuk menyampaikan suatu materi kepada anak. Metode merupakan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran supaya tercapai dengan optimal dengan mengimplementasi suatu rencana yang telah disusun dalam suatu kegiatan yang nyata (Sanjaya, 2006: 145). Metode pembelajaran adalah seluruh

Dokumen terkait