• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

2.1 Kajian Pustaka

Hal-hal yang akan diuraikan dalam kajian pustaka yaitu tentang hakekat belajar, hasil belajar, pembelajaran matematika, metode Montessori, media pembelajaran, media decanomial bead bar box, serta penjumlahan dan pengurangan bilangan.

2.1.1 Hakekat Belajar

Uno dan Nurdin (2011: 139) mengatakan bahwa belajar dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil dari latihan pengalaman individu akibat interaksi dengan lingkungannya Suryabrata (dalam Rahyubi, 2014: 3) menambahkan bahwa belajar merupakan upaya yang sengaja dilakukan untuk memperoleh perubahan tingkah laku, baik yang berupa pengetahuan atau keterampilan. Menurut Mayer (dalam Rahyubi, 2014: 4), belajar diartikan sebagai perubahan perilaku sebagai hasil dari latihan atau pengalaman yang dialami siswa. Selain perubahan tingkah laku berupa pengetahuan atau keterampilan yang di dapat dari hasil latihan atau pengalaman, Hamalik (2011: 27-29) menegaskan belajar sebagai suatu perubahan perbuatan melalui aktivitas, praktek, dan

pengalaman. Menurut Slameto (2003: 2) belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Susanto (2013: 4-5) menegaskan bahwa belajar merupakan aktivitas yang dilakukan secara sengaja dan dalam keadaan sadar untuk memperoleh konsep, pemahaman, atau pengetahuan baru yang memungkinkan perubahan perilaku yang relatif tetap dalam berpikir, merasa, dan bertindak.

Berdasarkan uraian-uraian diatas maka dapat disimpulkan belajar yaitu kegiatan yang dilakukan guna mendapat pengetahuan dan keterampilan yang belum didapat sebelumnya melalui aktivitas, praktek, dan pengalaman. 2.1.2 Hasil Belajar

Susanto (2013: 5) mengatakan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada diri siswa, baik yang menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotor itulah yang dimaknai sebagai hasil dari kegiatan belajar (hasil belajar). Hasil belajar juga dapat diartikan sebagai kemampuan yang diperoleh siswa setelah melalui kegiatan belajar. Suprijono (2009: 5-7) juga mengatakan hal yang serupa dengan Susanto. Menurutnya hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan yang dapat berupa nilai-nilai, sikap, dan keterampilan. Widoyoko (2009: 25) juga mengartikan hasil belajar sebagai perubahan pada diri siswa yang berupa perubahan sikap, pengetahuan maupun kecakapan. Nawawi (dalam Susanto, 2013: 5) menyatakan bahwa hasil belajar dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam

mempelajari materi pelajaran di sekolah. Tingkat keberhasilan tersebut dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes sejumlah materi pelajaran tertentu.

Berdasarkan pengertian-pengertian tentang hasil belajar, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada diri siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang menyangkut aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dapat dinyatakan dalam skor.

2.1.3 Pembelajaran Matematika

Pembelajaran dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 diartikan sebagai proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (Susanto, 2013: 19). Pembelajaran di sekolah bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar baca, tulis hitung, pengetahuan, dan keterampilan dasar yang bermanfaat bagi siswa sesuai dengan tingkat perkembangannya (Susanto, 2013: 89). Siregar dan Hartini (2011: 13) mengatakan bahwa pembelajaran merupakan usaha yang dilaksanakan secara sengaja, terarah dan terencana, dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, serta pelaksanaannya terkendali. Salah satu pembelajaran yang diajarkan di sekolah dasar yaitu matematika. Susanto (2013: 183) mengatakan bahwa pembelajaran matematika bertujuan agar siswa tidak hanya terampil menggunakan matematika namun juga dapat memberikan bekal dalam penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Susanto (2013: 186) mengatakan

bahwa pembelajaran matematika merupakan suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru terhadap materi matematika.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika merupakan pembelajaran yang meningkatkan kemampuan berpikir siswa pada penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

2.1.4 Metode Montessori

Montessori (2013: 1-7) lahir pada 31 Agustus 1870, di Chiaravalle, provinsi Ancona, Italia. Montessori adalah anak tunggal dari seorang manajer perusahaan, Alessandro Montessori. Montessori bersekolah di sebuah sekolah menengah teknik dan melanjutkan ke sekolah kedokteran di Universitas Roma. Pada tahun 1896, Montessori menjadi perempuan Italia pertama yang meraih gelar doktor di bidang kedokteran. Montessori menjadi wakil dari Italia pada Kongres Perempuan Internasional di Berlin tahun 1896. Dalam sambutannya, Montessori menyerukan peningkatan status sosial dan ekonomi dari perempuan Italia. Montessori juga mendorong kaum perempuan untuk mengambil posisi di depan dalam reformasi pendidikan dan untuk bekerja sebagai sukarelawan pengentasan buta huruf di kalangan masyarakat miskin.

Montessori (2013: 12) mengatakan bahwa metode Montessori mendasarkan pembelajaran pada tahap-tahap perkembangan dengan menggunakan bahan-bahan pembelajaran dan melatih siswa-siswa untuk

membangun keterampilan-keterampilan praktis sehingga mereka dapat mencapai sebagian derajat kemandirian. Magini (2013: 54-55) menjelaskan langkah-langkah pembelajaran menggunakan media berbasis Montessori diawali dengan (1) direktris mengambil media berbasis Montessori yang akan digunakan, (2) direktris menunjukkan pada siswa cara menggunakan media berbasis Montessori tersebut, dan diakhiri dengan (3) siswa bekerja menggunakan media Montessori tersebut sesuai dengan cara yang ditunjukkan oleh direktris. Dalam rangka menjamin karakteristik Montessori yaitu auto-education dan auto-correction, direktris mengevaluasi kesesuaian tindakan siswa dalam menggunakan media dengan arahan sebelumnya. Jika tindakan siswa sudah sesuai dengan arahan sebelumnya maka siswa sudah bisa bekerja sendiri menggunakan media tersebut di lain waktu. Jika tindakan siswa belum sesuai dengan arahan sebelumnya maka direktris akan memberikan bimbingan kembali.

Montessori (dalam Magini, 2013: 55) mengatakan bahwa dengan mengalami dan melakukannya sendiri, siswa akan mendapat pengalaman belajar. Oleh karena itu, Montessori (2002: xvii) membela hak anak untuk aktif, untuk mengeksplorasi lingkungannya dan mengembangkan sumber daya sendiri melalui setiap penyelidikan dan usaha kreatif. Dengan demikian, Magini (2013: 54) mengatakan bahwa tujuan Montessori untuk membuat siswa-siswa mandiri dan melakukan segala sesuatunya sendiri dapat tercapai. 2.1.5 Media Pembelajaran

yang menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan peserta didik dapat memperoleh pengetahuan dan sikap baru. Sedangkan media pembelajaran menurut Hamdani (2011: 90) adalah alat yang digunakan dalam proses belajar mengajar. Sejalan dengan Hamdani, Anitah (2010: 5) juga mengemukakan bahwa media adalah setiap orang, bahan, alat, atau peristiwa yang dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan pembelajar untuk menerima pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Lain hal nya dengan Anitah, Munadi (2010: 7) berpendapat bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyampaikan dan menyalurkan pesan dari sumber secara terencana sehingga tercipta lingkungan belajar yang kondusif di mana penerimanya dapat melakukan proses belajar secara efisien dan efektif. Sedangkan Kustandi dan Sutjipto (2013: 8) mengatakan bahwa media pembelajaran adalah alat yang dapat membantu proses belajar mengajar dan berfungsi untuk memperjelas makna pesan yang disampaikan atau sarana meningkatkan kegiatan proses belajar mengajar. Hal ini dilakukan dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran dengan baik dan sempurna.

Berdasarkan uraian diatas maka media pembelajaran dapat disimpulkan sebagai suatu alat yang membantu proses belajar mengajar yang memungkinkan siswa mendapat pengetahuan, keterampilan, dan sikap baru. 2.1.6 Decanomial Bead Bar Box

Decanomial Bead Bar Box adalah salah satu media berbasis Montessori. Media ini berupa kotak yang di dalamnya terdapat 10 kotak kecil yang berisi manik-manik. Setiap kotak kecil berisi manik-manik dengan

warna yang berbeda. Berikut adalah tabel klasifikasi manik-manik media decanomial bead bar box.

Tabel 2.1.6.1 Klasifikasi manik-manik media decanomial bead bar box.

Kotak Kecil Rangkaian Warna Bilangan

Pertama -0- Merah 1

Kedua -00- Hijau 2

Ketiga -000- Merah jambu 3

Keempat -0000- Kuning 4

Kelima -00000- Biru muda 5

Keenam -000000- Ungu 6

Ketujuh -0000000- Putih 7

Kedelapan -00000000- Cokelat 8

Kesembilan -000000000- Biru tua 9

Kesepuluh -0000000000- Emas 10

Selain tabel klasifikasi manik-manik media decanomial bead bar box, berikut merupakan gambar media decanomial bead bar box.

Decanomial Bead Bar Box memiliki karakteristik media Montessori yaitu menarik, bergradasi, auto-education, auto-correction. Montessori, 2002: 169) menjelaskan ciri media yang menarik berarti media tersebut menimbulkan reaksi dari siswa yang membuat pembelajaran dapat terlaksana nantinya. Media berupa rangkaian manik-manik yang berwarna-warni ini dapat menarik perhatian siswa untuk menggunakan media decanomial bead bar box tersebut. Prasetya (2014: 18) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bergradasi dalam media Montessori berarti media tersebut mempunyai perbedaan warna yang menonjol agar siswa mudah membedakan media tersebut saat menggunakannya. Dengan kata lain, perbedaan warna pada setiap rangkaian manik-manik memudahkan siswa dalam membedakan jumlah bilangan berdasarkan warna manik-manik tersebut saat menggunakannya. Karakteristik media Montessori yang ketiga yaitu auto-education. Montessori (2002: 169) menjelaskan auto-education yang dimaksud adalah media tersebut dapat mendorong siswa untuk mempelajarinya sendiri berdasarkan pengamatan dan kebebasan. Media decanomial bead bar box ini memberikan pengetahuan baru dan pengalaman belajar pada siswa karena siswa sendiri yang menggunakan media decanomial bead bar box tersebut.

Karakteristik media Montessori yang selanjutnya adalah auto-correction. Montessori (2002: 171) mengatakan auto-correction yaitu ketika siswa menemukan kesalahan dalam penggunaan media dalam berbagai cara. Magini (2013: 54) menambahkan bahwa setiap media Montessori memiliki

unsur pengendali kesalahan. Dalam hal ini pengendali kesalahan decanomial bead bar box terletak pada jawaban dibalik kartu soal. Prasetya (2014: 18) menambahkan ciri media Montessori yaitu kontekstual. Lillard (2005: 32) mengatakan bahwa prinsip pembelajaran Montessori yaitu disesuaikan pada konteks dan material. Siswa dalam pembelajaran Montessori belajar dari melakukan sesuatu sesuai dengan konteks. Prasetya (2014: 20) menambahkan bahwa ciri kontekstual merujuk pada pemanfaatan benda-benda atau barang-barang yang merupakan potensi lokal sebagai bahan dasar dalam pembuatan media. Dalam hal ini yaitu penggunaan benda konkret dalam pembelajaran siswa usia Sekolah Dasar sesuai dengan tahap perkembangan belajar siswa dan bahan pembuatan media yang terdapat di lingkungan sekitar. Dari uraian yang telah disebutkan, media decanomial bead bar box memberikan pengetahuan baru dan pengalaman belajar pada siswa. Media tersebut juga merangsang indera penglihatan dan peraba siswa sehingga memudahkan siswa dalam membedakan jumlah bilangan dalam rangkaian manik-manik berdasarkan warna manik-maniknya. Oleh sebab itu, media ini dapat membantu siswa mempelajari materi penjumlahan dan pengurangan bilangan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa media Decanomial Bead Bar Box merupakan salah satu media berbasis Montessori berupa kotak yang berisi manik-manik dan memiliki karakteristik menarik, bergradasi, auto-education, auto-correction, dan kontekstual.

2.1.7 Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan

matematika yang diajarkan di sekolah. Runtukahu dan Selpius (2014: 111) mengatakan bahwa urutan pembelajaran terkait dengan operasi penjumlahan maupun operasi pengurangan harus diperkenalkan dengan pengalaman konkret. Kemudian pembelajaran didasarkan pada tingkat kesulitan yang harus dikerjakan oleh siswa yaitu berdasarkan jumlah digit bilangan yang terlibat (menggunakan simbol). Tung (2015: 285) mengatakan bahwa siswa perlu belajar sistem perhitungan berbasis sepuluh. Kata sepuluh mempresentasikan satu entitas tunggal atau sepuluh unit terpisah (10 satuan). Representasi ini dapat ditukarkan, artinya sepuluh unit terpisah (10 satuan) dapat ditukarkan dengan satu puluhan (sepuluh). Oleh karena itu Goenawan dan Alexander, (2014: 15) mengatakan bahwa dalam belajar penjumlahan bilangan, siswa belajar mulai dari penjumlahan satuan, puluhan, ratusan dan seterusnya. Siswa perlu berlatih secara terus-menerus dan atau berulang-ulang pada penjumlahan salah satu bilangan agar nantinya siswa dapat menguasai dengan mahir. Barulah siswa dapat belajar pada penjumlahan dengan tingkat yang lebih tinggi.

Negoro dan Harahap (2010: 260) mengatakan bahwa penjumlahan adalah operasi yang dipergunakan untuk memperoleh jumlah dari dua bilangan. Schwartzman (1994:19) menegaskan bahwa penjumlahan yaitu ketika kita menambahkan suatu bilangan ke sesuatu, kita memberi lebih pada sesuatu tersebut. Dengan kata lain penjumlahan adalah ketika kita menambahkan suatu bilangan ke bilangan lain, maka kita memberi lebih pada bilangan lain tersebut. Goenawan dan Alexander (2014: 16) mengatakan

bahwa dalam belajar penjumlahan, siswa juga mempelajari masa transisi dari bentuk pembelajaran verbal (dengan kata-kata) ke bentuk pembelajaran tertulis. Contohnya yaitu pada pengucapan dua (2) ditambah (+) enam (6) sama dengan (=) delapan (8). Bentuk yang ditulis dari pengucapan tersebut yaitu 2 + 6 = 8. Bentuk pembelajaran ini akan terus dipakai pada penjumlahan di tingkat selanjutnya.

Schwartzman (1994: 2011) mengatakan bahwa pengurangan adalah mengurangkan bilangan kedua dari bilangan pertama. Pengurangan ditulis dengan simbol pengurangan (-). Goenawan dan Alexander (2014: 23-24) menjelaskan bahwa urutan pembelajaran terkait dengan pengurangan sama halnya dengan penjumlahan yaitu berdasarkan banyaknya digit bilangan yang terlibat. Oleh karena itu dalam pengurangan bilangan, siswa diajarkan mulai dari pengurangan satuan, puluhan, ratusan dan seterusnya.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penjumlahan merupakan kegiatan menjumlahkan dua bilangan. Pengurangan adalah mengurangkan bilangan kedua dari bilangan pertama.

Dokumen terkait