• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.1Paradigma

Paradigma penelitian kualitatif dilakukan melalui proses induktif, yaitu berangkat dari konsep khusus ke umum, konseptualisasi, kategorisasi dan deskripsi yang dikembangkan berdasarkan masalah yang terjadi di lokasi penelitian. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dapat dilakukan secara simultan dengan analisis data selama penelitian berlangsung. Selanjutnya, Patton mendefenisikan paradigma sebagai berikut (Patton dalam Ghony, 2012: 73):

“A paradigm is a world view, a general perspective, a way of breaking down the complexity of the real world. As much paradigms are deeply embedded in the socialization of adherents and practicioners telling them what is important, what is legitimate, what is reasonable. Paradigms are normative; they tell the practicioner what to do with out the necessity of long existencial or epistemological consideration. But it is this aspect of a paradigms that constitutes both its strength and its weakness-its strength in that it make action possible, its weakness in that very reason for action is hidden in the unquestioned assumptions of the paradigm.”

Jadi, menurut Patton yang dimaksud dengan paradigma dalam penelitian adalah suatu perspektif umum atau cara untuk memisah-misahkan dunia nyata yang kompleks, kemudian memberikan arti atau makna dan penafsiran-penafsiran. Paradigma itu lebih dari sekadar orientasi metodologi.

Paradigma bukan saja memungkinkan suatu disiplin ilmu dapat menjadikan berbagai fenomena menjadi masuk akal, melainkan juga memberikan suatu kerangka di mana fenomena tersebut dapat ditunjukkan sebagai sesuatu yang memang ada. Dalam arti yang paling nyata, untuk memahami paradigma, kita harus memahami proses bagaimana paradigma itu ditemukan. Artinya, bagaimana paradigma itu menjadi cara untuk melihat fenomena tertentu.

Paradigma kualitatif mencanangkan pendekatan humanistik untuk memahami realitas sosial para idealis, yang memberikan suatu tekanan pada pandangan yang terbuka tentang kehidupan sosial. Paradigma kualitatif memandang kehidupan sosial sebagai kreativitas bersama individu-individu. Kebersamaan inilah yang menghasilkan suatu realitas yang dipandang secara

objektif dan dapat diketahui oleh semua peserta yang melakukan interaksi sosial. Dasar dalam paradigma kualitatif dalam mengonseptualisasikan dunia sosial adalah pengembangan konsep-konsep dan teori-teori grounded dalam data. Artinya, konsep dan teori dibentuk berdasarkan data sehingga data merupakan sumber sekaligus verifikasi teori atau konsep tersebut. Konsep-konsep itu disebut sebagai first order concepts yang sangat penting untuk mengembangkan second

order concepts, yaitu konsep-konsep yang muncul pada saat mencoba

menerangkan fenomena sosial. Fokus pada makna-makna sosial dan penekanan bahwa makna-makna sosial tersebut hanya dapat dipahami dalam konteks interaksi antarindividu sehingga hal tersebut membedakan paradigma sosial ini dengan model ilmu pengetahuan alam.

Pendekatan kualitatif mempunyai asumsi bahwa pemahaman tingkah laku manusia itu tidak cukup diperoleh hanya dari surface behaviour, tetapi tidak kalah pentingnya adalah inner perspective of human behaviour, sebab dari sini akan diperoleh gambaran yang utuh tentang manusia dan dunianya. Secara singkat, paradigma kualitatif memiliki ciri-ciri fenomenologis, induktif, inner behaviour dan holistik.

Penelitian kualitatif yang baik menyediakan pemerhatian deskriptif yang sistematis dan berdasarkan konteks. Pendekatan ini memberikan ruang bagi peneliti untuk mempelajari suatu sistem serta hubungan semua aktivitas dalam sistem tersebut yang dapat dilihat secara total dan bukan secara bagian saja. Paradigma penelitian kualitatif adalah pendekatan sistematis dan subjektif dalam menjelaskan pengalaman hidup berdasarkan kenyataan lapangan (empiris), bahkan terus berkembang di dunia sains dan pendidikan. Proses penelitian ini dijalankan melalui pemahaman tentang pengalaman manusia dalam aneka bentuk.

Penelitian kualitatif lebih berorientasi pada upaya memahami fenomena secara menyeluruh. Pendekatan semacam ini lebih konsisten dengan filosofi holistik di bidang sains sosial dan pendidikan. Penelitian kualitatif berangkat dari ilmu perilaku manusia dan ilmu sosial, hakikat dari holistik bagi manusia melalu penelahaannya terhadap orang-orang dalam interaksinya dengan latar sosial.

Menurut pendapat Maxwell (1996), kelebihan paradigma kualitatif antara lain (Ghony, 2012: 77):

a. Pemahaman makna, makna merujuk pada kognisi, afeksi, intensi dan apa saja yang berada di bawah payung participant’s perspectives (perspektif partisipan). Perspektif para informan tidak terbatas pada laporan mereka ihwal satu kejadian/fenomena, tetapi juga pada apa yang ada di balik perspektif itu. Peneliti bukan saja tertarik pada satu aspek fisik dari kejadian itu, melainkan juga bagaimana mereka memaknai semua itu dan bagaimana makna itu mempengaruhi tingkah laku informan. Fokus pada makna seperti itu sangatlah mendasar bagi mazhab interpretatif dalam studi ilmu sosial.

b. Pemahaman konteks tertentu, dalam penelitian kualitatif perilaku informan dilihat dalam konteks tertentu dan pengaruh konteks terhadap tingkah laku. Peneliti kualitatif lazimnya berkonsentrasi pada sejumlah orang atau situasi yang relatif sedikit dan perhatiannya terkuras habis-habisan pada analisis kekhasan kelompok atau situasi itu saja. Pengumpulan data dari banyak informan atau situasi tidaklah menarik bagi peneliti kualitatif. Justru dengan pisau kualitatif para peneliti mampu membedah kejadian, situasi, perilaku dan bagaimana semua itu dipengaruhi oleh sang situasi yang perkasa.

c. Identifikasi fenomena dan pengaruh yang tidak terduga. Bagi peneliti kualitatif, setiap informasi, kejadian, perilaku, suasana dan pengaruh baru adalah terhormat dan berpotensi sebagai data untuk menyokong hipotesis kerja.

d. Kemunculan teori berbasis data (grounded theory). Teori yang sudah jadi, pesanan atau apriori tidak mengesankan kaum naturalis karena teori ini akan kewalahan apabila disergap oleh informasi, kejadian, perilaku, suasana dan pengaruh baru dalam konteks baru.

e. Pemahaman proses, para peneliti naturalis berupaya untuk lebih memahami proses daripada produk kejadian atau kegiatan yang sedang diamati. Proses yang membantu perwujudan fenomena itulah yang paling berkesan, bukan fenomena itu sendiri.

2.1.1 Paradigma Konstruktivisme

Pemikiran konstruktivis bukan sesuatu yang baru. Ada yang merunutnya sampai pada Glambatista Vico (1710), seorang epistemolog dari Italia yang meyakini bahwa manusia adalah pencipta makna. Ia mengatakan “mengetahui berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu.” Hal ini bermakna bahwa mengetahui adalah merekonstruksi. Kant juga dianggap sebagai penggagas konstruktivis karena meyakini pengetahuan manusia adalah hasil olah rasio memanfaatkan bahan mentah dari indra. Manusialah yang secara aktif membangun dan merumuskan pengetahuan. Pemikiran ini dilanjutkan oleh Piaget dalam teori perkembangan kognitif. Ini tidak mengherankan karena Piaget adalah penganut NeoKanianisme. Psikologi Rusia, Vygotsky menajamkan konstruktivisme ini menjadi konstruktivisme sosial karena meyakini pemikiran dan perilaku anak turut ditentukan oleh relasi-relasi sosial di mana ia dibesarkan dan peran bahasa sangat penting di sini (Putra, 2013: 48))

Paradigma ini hampir merupakan antitesis terhadap paham yang menempatkan pentingnya pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atas ilmu pengetahuan. Secara tegas paham ini menyatakan bahwa positivisme dan post-postivisme keliru dalam mengungkapkan realitas dunia dan harus ditinggalkan serta digantikan oleh paham yang bersifat konstruktif. Secara ontologis, aliran ini menyatakan bahwa realitas itu ada dalam beragam bentuk konstruksi mental yang didasarkan pada pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik, serta tergantung pada sikap yang melakukannya. Karena itu, realitas yang diamati oleh seseorang tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang sebagaimana yang biasa dilakukan di kalangan positivis atau post-positivis. Atas dasar filosofis ini, aliran ini menyatakan bahwa hubungan epistemologis antara pengamat dan objek merupakan satu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil perpaduan di antar keduanya (Salim, 2006: 71).

Secara metodologis, aliran ini menerapkan metode hermenautika dan dialektika dalam proses mencapai kebenaran. Metode pertama dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat orang per orang yang diperoleh melalui metode pertama, untuk memperoleh suatu konsensus kebenaran yang disepakati bersama. Dengan demikian, hasil akhir dari suatu kebenaran

merupakan perpaduan pendapat yang bersifat relatif, subjektif dan spesifik mengenai hal-hal tertentu.

Tabel 1.1

TIGA PARADIGMA ILMU SOSIAL Positivisme dan

Post-positivisme

Konstruktivisme (Interpretif)

Teori Kritis

Menempatkan ilmu sosial seperti ilmu alam, yaitu metode terorganisir untuk mengkombinasikan

‘deductive logic’ melalui

pengamatan empiris, agar mendapatkan konfirmasi tentang hukum kausalitas yang dapat digunakan memprediksi pola umum gejala sosial tertentu.

Memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis atas “socially meaningfull

action” melalui pengamatan

langsung terhadap aktor sosial dalam setting yang alamiah, agar dapat memahami dan menafsirkan bagaimana aktor sosial mencipta dan memelihara dunia sosial.

Mentakrifkan ilmu sosial sebagai proses kritis

mengungkap ‘the real

structure’ di balik ilusi dan

kebutuhan palsu yang ditampakkan dunia materi, guna mengembangkan kesadaran sosial untuk memperbaiki kondisi kehidupan subjek penelitian.

Contoh Teori Contoh Teori Contoh Teori

Ekonomi Politik Liberal Teori Modernisasi, teori pembangunan negara.

Interaksionisme simbolik (Iowa School).

Agenda Setting, Teori Fungsi Media.

Konstruktivisme Ekonomi Politik (Golding dan Murdock).

Fenomenologi, Etnometodologi.

Interaksi Simbolik (Chicago School).

Konstruksionisme (Social

construction of reality Peter

L. Berger).

Struktualisme Ekonomi Politik (Schudson).

Instrumentalisme Ekonomi Politik (Chomsky, Gramsci, dan Adorno).

Teori Tindakan Komunikasi (Jurgen Habermas).

(Sumber: Salim, 2006: 72)

Pada tradisi ilmu sosial interpretivisme, manusia lebih dipandang sebagai makhluk rohaniah. Dalam pandangan ini, manusia selaku makhluk sosial,

sehari-hari bukanlah “berperilaku” melainkan “bertindak”. Sebab istilah “perilaku” berkonotasi mekanistik alias bersifat otomatis. Padahal, “tingkah laku sosial” manusia senantiasa melibatkan niat tertentu, pertimbangan tertentu atau alasan-alasan tertentu. Dengan kata lain “tingkah laku sosial” manusia melibatkan kesadaran sosial tertentu. Itulah sebabnya (mengapa) Weber memunculkan istilah tindakan sosial (social action), dan buka perilaku sosial (social behavior). Manusia itu bertindak, bukan berperilaku. Istilah bertindak (action) mempunyai konotasi tidak otomatis/mekanistik, melainkan melibatkan niat, kesadaran dan alasan-alasan tertentu. Ia bersifat intensional. Ia melibatkan makna dan interpretasi yang tersimpan di dalam diri sang manusia pelaku sesuatu tindakan (Bungin, 2003: 27)

2.1.2 Studi Fenomenologi

Sebuah penelitian fenomenologi adalah penelitian yang mencoba memahami persepsi masyarakat, perspekstif dan pemahaman dari situasi tertentu (atau fenomena). Dengan kata lain, sebuah penelitian fenomenologi mencoba untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana rasanya mengalami hal ini dan itu?”. Dengan melihat berbagai perspektif dari situasi yang sama, peneliti dapat memulai membuat beberapa generalisasi atas sebuah pengalaman dari perspektif insider.

Fenomenologi sebagai metode penelitian dapat dipandang sebagai studi tentang fenomena, studi tentang sifat dan makna. Penelitian semacam ini terfokus pada cara bagaimana kita mempersepsi realitas yang tampak melalui pengalaman atau kesadaran. Jadi, tugas peneliti fenomenologi bertujuan menggambarkan tekstur pengalaman sehingga pengalaman itu sendiri makin kaya. Penelitian fenomenologi murni lebih menekankan pada penggambaran (deskripsi) daripada penjelasan atas semua hal, tetapi tetap memperhatikan sudut pandang yang bebas dari hipotesis atau praduga (Fouche dalam Sobur, 2013: 11).

Menurut Scheglof dan Sacks, dalam melakukan penelitian fenomenologi tugas peneliti adalah merekam kondisi sosial, sehingga memungkinkan untuk pendemonstrasian cara-cara yang dilakukan informan. Pada saat inilah peneliti membuat interpretasi tentang makna perbuatan dan pikiran mereka akan struktur

keadaan. Analisis terhadap tindakan informan ini merupakan teknik yang sering digunakan fenomenologi untuk menggambarkan bagaimana manusia berpikir tentang dirinya sendiri melalui pembicaraan. Selain itu juga untuk mengetahui bagaimana manusia berpikir tentang pembicaraan mereka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Dengan demikian analisis fenomenologi mempunyai prosedur yang sifatnya individual (Kuswarno, 2013: 48).

Berikut akan dikemukakan tahapan-tahapan penelitian fenomenologi transedental dari Husserl:

a. Epoche

Epoche berasal dari bahasa Yunani yang berarti “menjauh dari” dan “tidak memberikan suara”. Husserl menggunakan epoche untuk term bebas dari prasangka. Dengan epoche, kita menyampingkan penilaian, bias dan pertimbangan awal yang kita miliki terhadap suatu objek. Dengan kata lain, epoche adalah pemutusan hubungan dengan pengalaman dan pengetahuan, yang kita miliki sebelumnya.

Dalam penelitian fenomenologi, epoche ini harus mutlak ada. Terutama ketika menempatkan fenomena dalam tanda kurung (bracketing method). Memisahkan fenomena dari keseharian dan dari unsur-unsur fisiknya dan ketika mengeluarkan “kemurnian” yang ada padanya. Jadi epoche adalah cara untuk melihat dan menjadi, sebuah sikap mental yang bebas.

Oleh karena epoche memberikan cara pandang yang sama sekali baru terhadap objek, maka dengan epoche kita dapat menciptakan ide, perasaan, kesadaran dan pemahaman yang baru. Epoche membuat kita masuk ke dalam dunia internal yang murni, sehingga memudahkan untuk pemahaman akan diri dan orang lain. Dengan demikian tantangan terbesar ketika melakukan epoche ini adalah terbuka atau jujur dengan diri sendiri. Terutama ketika membiarkan objek yang ada di depan kesadaran memasuki area kesadaran kita dan membuka dirinya sehingga kita dapat melihat kemurnian yang ada padanya. Tanpa dipengaruhi oleh segala hal yang ada dalam diri kita.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan orang lain, seperti persepsi, pilihan, penilaian dan perasaan orang lain harus dikesampingkan juga dalam epoche ini. Hanya persepsi dan tindakan sadar kitalah yang menjadi titik untuk

menemukan makna, pengetahuan dan kebenaran. Sehingga pada praktiknya, epoche memerlukan kehadiran, perhatian dan konsentrasi, demi mencapai cara pandang yang radikal.

b. Reduksi Fenomenologi

Ketika epoche adalah langkah awal untuk “memurnikan” objek dari pengalaman dan prasangka awal, maka tugas dari reduksi fenomenologi adalah menjelaskan dalam susunan bahasa bagaimana objek itu terlihat. Tidak hanya dalam term objek eksternal, namun juga kesadaran dalam tindakan internal, pengalaman, sedangkan tantangan ada pada pemenuhan sifat-sifat alamiah dan makna dari pengalaman.

Reduksi akan membawa kita kembali kepada bagaimana kita mengalami sesuatu. Memunculkan kembali sifat-sifat alamiahnya. Reduksi fenomenologi tidak hanya sebagai cara untuk melihat, namun juga cara untuk mendengar suatu fenomena dengan kesadaran hati-hati. Singkatnya reduksi adalah cara untuk melihat dan mendengar fenomena dalam tekstur dan makna aslinya.

c. Variasi Imajinasi

Tugas dari variasi imajinasi adalah mencari makna-makna yang mungkin dengan memanfaatkan imajinasi, kerangka rujukan, pemisahan dan pembalikan, serta pendekatan terhadap fenomena dari perspektif, posisi, peranan dan fungsi yang berbeda. Tujuannya tiada lain untuk mencapai deskripsi struktural dari sebuah pengalaman.

Target dari fase ini adalah makna dan bergantung dari intuisi sebagai jalan untuk mengintegrasikan struktur ke dalam esensi fenomena. Dalam berpikir imajinatif, kita dapat menemukan makna-makna potensial yang dapat membuat sesuatu yang asalnya tidak terlihat menjadi terlihat jelas. Membongkar hakikat fenomena dengan memfokuskannya pada kemungkinan-kemungkinan yang murni adalah inti dari variasi imajinatif.

Pada tahap ini, dunia dihilangkan, segala sesuatu menjadi mungkin. Segala pendukung dijauhkan dari fakta dan entitas yang dapat diukur dan diletakkan pada

makna dan hakikatnya. Dalam kondisi seperti ini, intuisi tidak lagi empiris namun murni imajinatif.

d. Sintetis Makna dan Esensi

Merupakan tahap akhir dalam penelitian fenomenologi. Fase ini adalah integrasi intuitif dasar-dasar deskripsi tekstural dan struktural ke dalam suatu pernyataan yang menggambarkan hakikat fenomena secara keseluruhan.

Husserl mendefinisikan esensi sebagai sesuatu yang umum dan berlaku universal, kondisi atau kualitas menjadi sesuatu tersebut. Esensi tidak pernah terungkap secara sempurna. Sintesis struktur tekstural yang fundamental akan mewakili esensi ini dalam waktu dan tempat tertentu dan sudut pandang imajinatif dan studi reflektif seseorang terhadap fenomena.

2.2Uraian Teoritis 2.2.1 Fenomenologi

Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomai yang berarti “menampak”. Phainomenon merujuk pada “yang menampak”. Fenomena tiada lain adalah fakta yang disadari, dan masuk ke dalam pemahaman manusia. Jadi suatu objek itu ada dalam relasi dengan kesadaran. Fenomena bukanlah dirinya seperti tampak secara kasat mata, melainkan justru ada di depan kesadaran, dan disajikan dengan kesadaran pula. Berkaitan dengan hal ini, maka fenomenologi merefleksikan pengalaman langsung manusia, sejauh pengalaman itu secara intensif berhubungan dengan suatu objek (Kuswarno, 2013: 1).

Menurut The Oxford English Dictionary, yang dimaksud dengan fenomenologi adalah (a) the science which describes and classifies as distinct for

being (ontology), dan (b) division of any science which describes and classifies its

phenomena. Jadi, fenomenologi adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan

dari sesuatu yang sudah menjadi, atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan mengklasifikasikan fenomena atau studi tentang fenomena. Dengan kata lain, fenomenologi mempelajari fenomena yang tampak di depan kita dan bagaimana penampakannya.

Dewasa ini fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode berpikir, yang mempelajari fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa mempertanyakan penyebab dari fenomena itu, relitas objektifnya dan penampakannya. Fenomenologi tidak beranjak dari kebenaran fenomena seperti yang tampak apa adanya, namun sangat meyakini bahwa fenomena yang tampak itu, adalah objek yang penuh dengan makna transedental. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hakikat kebenaran, maka harus menerobos melampaui fenomena yang tampak itu.

Tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena dialami kesadaran, pikiran dan dalam tindakan, seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau diterima secara estetis. Fenomenologi mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep-konsep penting, dalam kerangka intersubjektivitas. Intersubjektivitas karena pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain. Walaupun makna yang kita ciptakan dapat ditelusuri dalam tindakan, karya dan aktivitas yang kita lakukan, tetap saja ada peran orang lain di dalamnya (Kuswarno, 2013: 2).

2.2.2 Sejarah Fenomenologi

Dewasa ini, fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode berpikir yang mempelajari fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa mempertanyakan penyebab dari fenomena tersebut serta realitas objektif dan penampakannya.

Fenomenologi sebagai salah satu cabang filsafat pertama kali dikembangkan di universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian dilanjutkan oleh Martin Heidegger dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme. Adapun yang menjadi fokus eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia makhluk sadar atau jalan kehidupan subjek-subjek sadar (Kuswarno, 2009: 3).

Fenomenologi tidak dikenal setidaknya sampai menjelang abad 20. Abad ke-18 menjadi awal digunakannya istilah fenomenologi sebagai nama teori

tentang penampakan yang menjadi dasar pengetahuan empiris atau penampakan yang diterima secara inderawi. Istilah tersebut diperkenalkan oleh Johan Heinrich Lambert. Sesudah itu, filosofi Immanuel Kant mulai sesekali menggunakan istilah fenomenologi dalam tulisannya. Pada tahun 1889, Franz Brentano menggunakan fenomenologi untuk psikologi deskriptif, di mana menjadi awalnya Edmund Husserl mengambil istilah fenomenologi untuk pemikirannya mengenai “kesengajaan”.

Sebelum abad ke-18, pemikiran filsafat terbagi menjadi dua aliran yang saling bertentangan. Adalah aliran empiris yang percaya bahwa pengetahuan muncul dari penginderaan. Dengan demikian kita mengalami dunia dan melihat apa yang sedang terjadi. Bagi penganut empiris, sumber pengetahuan yang memadai itu adalah pengalaman. Akal yang dimiliki manusia bertugas untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan yang diterima oleh panca indera. Sedangkan di sisi lain terdapat aliran rasionalisme yang percaya bahwa pengetahuan timbul dari kekuatan pikiran manusia atau rasio. Hanya pengetahuan yang dipeoleh melalui akal lah yang memenuhi syarat untuk diakui sebagai pengetahuan ilmiah. Aliran ini juga mempercayai pengalaman hanya dapat dipakai untuk mengukuhkan kebenaran yang telah diperoleh oleh rasio. Akal tidak memerlukan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang benar sebab akal dapat menurunkaan kebenaran tersebut dari dirinya sendiri (Kuswarno, 2009: 3-4).

Dari dua pemikiran yang berbeda tersebut, Immanuel Kant muncul untuk menjembatani keduanya. Menurutnya, pengetahuan adalah apa yang tampak kepada kita atau fenomena. Sedangkan fenomena sendirinya dan merupakan hasil sintesis antara penginderaan dan bentuk konsep dari objek. Sejak pemikiran tersebut menyebar luas, fenomena menjadi titik awal pembahasan para filsuf pada abad ke-18 dan 19 terutama tentang bagaimana sebuah pengetahuan dibangun.

Fenomenologi bagi seorang Husserl adalah gabungan antara psikologi dan logika. Fenomenologi membangun penjelasan dan analisis psikologi tentang tipe-tipe aktivitas mentalsubjektif, pengalaman dan tindakan sadar. Namun, pemikiran Husserl tersebut masih membutuhkan penjelasan yang lebih lanjut khususnya mengenai “model kesengajaan”. Pada awalnya, Husserl mencoba untuk mengembangkan filsafat radikal atau aliran filsafat yang menggali akar-akar

pengetahuan dan pengalaman. Hal ini didorong oleh ketidakpercayaan terhadap aliran positivistik yang dinilai gagal memanfaatkan peluang membuat hidup lebih bermakna karena tidak mampu mempertimbangkan masalah nilai dan makna. Fenomenologi berangkat dari pola pikir subjektivisme yang tidak hanya memandang dari suatu objek yang tampaknamun berusaha menggali makna di balik setiap gejala tersebut (Kuswarno, 2009: 6).

Pada tahun-tahun berikutnya, pembahasan fenomenologi berkembang tidak hanya pada tataran “kesengajaan”, namun juga meluas kepada kesadaran sementara, intersubjektivitas, kesengajaan praktis dan konteks sosial dari tindakan manusia. Tulisan-tulisan Husserl memainkan peran yang amat besar dalam hal ini. Saat ini fenomenologi dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang kompleks, karena memiliki metode dan dasar filsafat yang komprehensif dan mandiri. Fenomenologi juga dikenal sebagai pelopor pemisah antara ilmu sosial dari ilmu alam, yang mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran dalam pengalaman pada akhirnya membuat makna dan menentukan isi dari penampakannya.

2.2.3 Perkembangan Fenomenologi saat ini

Saat ini fenomenologi lebih dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang kompleks, karena memiliki metode dan dasar filsafat yang komprehensif dan mandiri. Fenomenologi juga dikenal sebagai pelopor pemisahan ilmu sosial dan

Dokumen terkait