• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna Tato pada Anggota Komunitas Tato (Studi Fenomenologi Makna Tato Pada Anggota Komunitas Black Cat Tattoo)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Makna Tato pada Anggota Komunitas Tato (Studi Fenomenologi Makna Tato Pada Anggota Komunitas Black Cat Tattoo)"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

MAKNA TATO PADA ANGGOTA KOMUNITAS TATO ( STUDI FENOMENOLOGI MAKNA TATO PADA ANGGOTA

KOMUNITAS BLACK CAT TATTOO)

SKRIPSI

ENDANG MURDANINGSIH 100904013

PROGRAM STUDI HUBUNGAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI MEDAN

(2)

MAKNA TATO PADA ANGGOTA KOMUNITAS TATO (STUDI FENOMENOLOGI MAKNA TATO PADA ANGGOTA

KOMUNITAS BLACK CAT TATTOO)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

ENDANG MURDANINGSIH

100904013

PROGRAM STUDI HUBUNGAN MASYARAKAT

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Endang Murdaningsih

NIM : 100904013

Departemen : Ilmu Komunikasi (HUMAS)

Judul Skripsi : Makna Tato Pada Anggota Komunitas Tato (Studi

Fenomenologi Makna Tato Pada Anggota Komunitas Black

Cat Tattoo)

Medan, September 2014

Dosen Pembimbing A.n Ketua Departemen,

Sekretaris

Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm Dra. Dayana, M. Si

NIP.197711062005011001 NIP. 196007281987032002

Dekan FISIP-USU,

Prof.Dr.Badaruddin, M.Si

(4)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip

Maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika kemudian

hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat), maka saya bersedia diproses

sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : Endang Murdaningsih

NIM : 100904013

Tanda Tangan :

(5)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh:

Nama : Endang Murdaningsih

NIM : 100904013

Departemen : Ilmu Komunikasi (HUMAS)

Judul Skripsi : Makna Tato Pada Anggota Komunitas Tato (Studi

Fenomenologi Makna Tato Pada Anggota Komunitas Black

Cat Tattoo)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji : ( )

Penguji : ( )

Penguji Utama : ( )

Ditetapkan di :

Tanggal :

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti ucapkan kehadirat Allah SWT, Rabb semesta

alam, Pemilik Diri yang telah melimpahkan rahmat dan Hidayah-Nya, telah

merancang skenario terindah dalam hidup peneliti, sehingga peneliti dapat

menyelesaikan skripsi ini. Serta tidak lupa shalawat dan salam kepada Rasulullah

Muhammad SAW yang telah menjadi teladan bagi kehidupan.

Penelitian skripsi ini berjudul “Makna Tato Pada Anggota Komunitas Tato

(Studi Fenomenologi Makna Tato Pada Anggota Komunitas Black Cat Tattoo),

merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan

program sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera

Utara.

Peneliti menyadari bahwa belajar adalah sebuah proses berkelanjutan yang

tak kenal henti hingga akhir hidup. Begitupun dengan skripsi ini adalah bagian

dari proses belajar peneliti, oleh karena itu peneliti menerima kritik dan saran

yang membangun agar skripsi ini menjadi lebih baik.

Peneliti berterima kasih kepada orang tua peneliti, ayahanda Ismail, yang

semangatnya dalam menghidupi keluarga menjadi motivasi terbesar bagi peneliti

untuk menyelesaikan jenjang pendidikan. Ibunda Sri Fhitri Yani, yang tidak hanya

menjadi Ibu bagi peneliti, tapi juga menjadi teman bercanda dan tempat berkeluh

kesah. Terima kasih atas dukungan, nasehat, semangat dan do’a yang tiada

putus-putusnya menemani peneliti hingga sampai di titik ini. Ucapan terima kasih juga

peneliti sampaikan untuk adik-adik peneliti, Ella Dwi Yana dan si lucu Meisya

Amanda Azahra, atas semangat yang telah banyak diberikan pada peneliti selama

ini.

Pada akhirnya, skripsi ini juga tidak akan selesai dengan baik tanpa uluran

tangan dan keikhlasan setiap hati yang telah terikat karena-Nya. Terima Kasih

sedalam-dalamnya peneliti haturkan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan FISIP Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu

(7)

3. Ibu Dra. Dayana, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu

Komunikasi FISIP USU.

4. Bapak Drs. Mukti Sitompul, M.Si selaku Dosen Pembimbing

Akademik peneliti.

5. Abangda Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm selaku Dosen Pembimbing

Skripsi yang dengan sabar telah membimbing, meluangkan waktu dan

memberi nasehat, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan baik.

6. Kak Emilia Ramadhani, S.Psi, S.Sos, MA sebagai kepala stasiun radio

USUKOM, yang telah bersedia menjadi tempat diskusi peneliti dan

banyak memberi saran serta nasehat kepada peneliti.

7. Seluruh Dosen Ilmu Komunikasi yang telah menuangkan ilmu,

memberi pengajaran, membuka mata dan wawasan, tidak hanya di

bangku kuliah, tetapi juga dalam diskusi sederhana.

8. Seluruh sahabat peneliti. Elta Mala Sari dan Sartini, yang senantiasa

memberikan semangat kepada peneliti saat peneliti, memberikan

banyak saran, nasehat serta motivasi. Semoga persahabatan ini tidak

lekang oleh waktu.

9. Kak Windi, Icha, Cessi, Wanda, Agus, Melany, Audy, Wisnu, Apung,

Endang, Pita, Ghina, Susan, Marjul, Adhe, Adin, Yasmine, Nana,

Nani, Addina, Meiliza, Ray beserta rekan-rekan USUKOM lainnya

yang telah menjadi keluarga kedua bagi peneliti. Terima kasih atas

tawa, omelan dan dukungan kalian.

10. Kak Puan, terima kasih untuk diskusi singkat mengenai skripsi, atas

saran dan nasehat yang diberikan kepada peneliti.

11.Untuk Kak Dwi dan Kak Wina, terima kasih atas diskusi singkat yang

pernah kita lakukan, atas saran dan semangat yang diberikan. Semoga

Kakak berdua selalu diberikan kebaikan oleh Allah SWT.

12. Kak Maya dan seluruh staf departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU

(8)

13.Seluruh anggota Komunitas Black Cat Tattoo yang telah mengizinkan

dan bersedia menjadi informan untuk penelitian ini, dengan berbagi

pengalaman hidup kalian yang luar biasa.

14.Teman-teman Ilmu Komunikasi 2010, para senior dan junior. Terima

kasih atas kebersamaan yang telah dibangun. Semoga ilmu kita

benar-benar diaplikasikan di dunia nyata, bukan sekedar penghias ijazah saja.

15.Sahabat, keluarga, teman yang tidak mungkin disebutkan satu per satu,

tapi yakinlah, setiap kebaikan dan keikhlasan, Allah akan

membalasnya dan mengumpulkan kita kembali, Insya Allah, di

syurga-Nya kelak. Amin.

Akhir kata peneliti panjatkan doa dan syukur ke hadirat Allah SWT

atas segala kekuatan dan kemudahan yang telah diberikan. Peneliti

berharap penelitian ini dapat bermanfaat dan menjadi inspirasi agar

pendidikan di Indonesia lebih baik di masa yang akan datang.

Medan, September 2014

Peneliti

(9)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan

di bawah ini :

Nama : Endang Murdaningsih

NIM : 100904013

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas : Sumatera Utara

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Sumatera Utara Hak bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exclusive

Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Makna Tato Pada

Anggota Komunitas Tato (Studi Fenomenologi Makna Tato Pada Anggota

Komunitas Black Cat Tattoo), beserta perangkat yang ada jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak

menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data

(database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin

dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis atau pencipta

dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada Tanggal : September 2014

Yang Menyatakan

(10)

ABSTRACT

This research entitled Phenomenological study of Meaning of Tattoos toward Tattoos Community members. The aims are to describe and express about the action from tattoo user in reflecting on their experiences, what the motive in using tattoo and meaning of tattoo from tattoo user in the community.There are six people that become informant and they all are members from Black Cat Tattoo Community.

This research using the trancendental phenomenological method that are on the paradigm of constructivism where the method be used four phase, bracketing, phenomenological reduction, imagine of variation, and synthesis meaning and essence. Researchers used four processes for recording the conditions in the field at the time of the research. Through the processes, it can be seen how the informant gave an overview of the action taken for reflecting on their experiences about tattoo, what their motive in using tattoo and subjective meanings of their tattoo to themselves. Data was collected through observation method, depth interview, documentation, and literature study.

Based on these research, researchers have obtained the result that the first that all of the informants have more or less same action on the meaning their experience. Three of the six informants choose to become a tattoo users only, while others are not just a user tattoos, but also a tattoo artist as their bussiness opportunities. The second, all of the informants have a different motive in using tattoos and obtained three categories of motives, for motive by reason of beautifulness, motive by reason of emulate his idol, and motive by reason of society. The third, all of the informants have rouhgly the same meaning with each other. Five of the six informants have the meaning that a tattoo is an expression of art and beautifullness, while the informants have the meaning that a tattoo is an identity.

(11)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Studi Fenomenologi Makna Tato pada Anggota Komunitas Tato. Tujuannya adalah menggambarkan dan mengungkapkan tindakan individu pengguna tato dalam merefleksikan pengalamannya, motif dalam menggunakan tato serta makna tato dari individu pengguna tato di komunitas tersebut. Terdapat enam orang yang menjadi informan dan mereka semua adalah anggota komunitas Black Cat Tattoo.

Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi transendental yang berada pada paradigma konstruktivisme di mana dalam metode tersebut digunakan empat fase, yaitu fase epoche, reduksi fenomenologi, variasi imajinasi, dan sintesis makna dan esensi. Keempat proses tersebut dijadikan peneliti untuk merekam kondisi di lapangan pada saat penelitian. Lewat proses tersebut dapat diketahui bagaimana informan memberi gambaran mengenai tindakan yang dilakukan untuk mereflesikan pengalamannya tersebut, apa motif mereka dalam menggunakan tato serta pemaknaan subjektif mereka terhadap tato itu sendiri. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara mendalam, dokumentasi dan studi kepustakaan.

Berdasarkan penelitian tersebut, peneliti telah memperoleh hasil yaitu, yang pertama bahwa seluruh informan memiliki tindakan yang kurang lebih sama dalam memaknai pengalamannya. Tiga dari enam informan memilih menjadi pengguna tato saja, sementara sebagian lainnya tidak sekedar menjadi pengguna tato, tetapi juga menjadi seniman tato sebagai peluang bisnis mereka. Kedua, seluruh informan memiliki motif tindakan yang berbeda dalam menggunakan tato dan diperoleh tiga kategori motif yaitu motif dengan alasan keindahan, motif dengan alasan meniru idola serta motif dengan alasan pergaulan. Ketiga, seluruh informan memiliki pemaknaan yang kurang lebih sama satu dengan yang lain. Lima dari enam informan memiliki pemaknaan bahwa tato merupakan ekspresi seni dan keindahan, sementara satu orang informan memiliki pemaknaan bahwa tato merupakan identitas.

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

LEMBAR PENGESAHAN... ii

KATA PENGANTAR... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... vi

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian... 9

(13)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil... 49

4.1.1 Komunitas Black Cat Tattoo... 49

4.1.2 Epoche... 50

4.1.3 Reduksi Fenomenologi... 52

4.1.4 Variasi Imajinasi... 63

4.1.5 Sintesis Makna dan Esensi... 66

4.1.6 Tindakan Anggota Komunitas “Black Cat Tattoo” Dalam Memaknai Pengalamannya Terkait Tato... 69

4.1.7 Motif Anggota Komunitas Menggunakan Tato... 70

4.1.8 Kesimpulan Tindakan, Motif Dan Pemaknaan Tato Pada Anggota Komunitas... 71

4.1.9 Kompilasi Epoche, Reduksi Fenomenologi, Variasi Imajinasi, dan Sintesis dan Esensi Makna Tindakan, Motif dan Pemaknaan Tato pada Anggota Komunitas BCT... 72

4.2 Pembahasan... 73

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan... 80

5.2 Saran... 82

5.2.1 Saran dalam Kaitan Bidang Akademis... 82

5.2.2 Saran dalam Kaitan Bidang Praktis... 82

DAFTAR REFERENSI LAMPIRAN

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

(15)

DAFTAR TABEL

1. Tabel I : Tindakan Anggota Komunitas “Black Cat Tattoo”

Dalam Merefleksikan Pengalamannya... 69

2. Tabel II : Motif Anggota Komunitas Menggunakan Tato... 70

3. Tabel III : Kesimpulan Tindakan, Motif Dan Pemaknaan Tato

Pada Anggota Komunitas... 71

4. Tabel IV : Kompilasi Epoche, Reduksi Fenomenologi, Variasi Imajinasi,

dan Sintesis dan Esensi Makna Tindakan, Motif dan Pemaknaan

(16)

DAFTAR LAMPIRAN • Transkrip Wawancara

• Dokumentasi

• Biografi Peneliti

(17)

ABSTRACT

This research entitled Phenomenological study of Meaning of Tattoos toward Tattoos Community members. The aims are to describe and express about the action from tattoo user in reflecting on their experiences, what the motive in using tattoo and meaning of tattoo from tattoo user in the community.There are six people that become informant and they all are members from Black Cat Tattoo Community.

This research using the trancendental phenomenological method that are on the paradigm of constructivism where the method be used four phase, bracketing, phenomenological reduction, imagine of variation, and synthesis meaning and essence. Researchers used four processes for recording the conditions in the field at the time of the research. Through the processes, it can be seen how the informant gave an overview of the action taken for reflecting on their experiences about tattoo, what their motive in using tattoo and subjective meanings of their tattoo to themselves. Data was collected through observation method, depth interview, documentation, and literature study.

Based on these research, researchers have obtained the result that the first that all of the informants have more or less same action on the meaning their experience. Three of the six informants choose to become a tattoo users only, while others are not just a user tattoos, but also a tattoo artist as their bussiness opportunities. The second, all of the informants have a different motive in using tattoos and obtained three categories of motives, for motive by reason of beautifulness, motive by reason of emulate his idol, and motive by reason of society. The third, all of the informants have rouhgly the same meaning with each other. Five of the six informants have the meaning that a tattoo is an expression of art and beautifullness, while the informants have the meaning that a tattoo is an identity.

(18)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Studi Fenomenologi Makna Tato pada Anggota Komunitas Tato. Tujuannya adalah menggambarkan dan mengungkapkan tindakan individu pengguna tato dalam merefleksikan pengalamannya, motif dalam menggunakan tato serta makna tato dari individu pengguna tato di komunitas tersebut. Terdapat enam orang yang menjadi informan dan mereka semua adalah anggota komunitas Black Cat Tattoo.

Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi transendental yang berada pada paradigma konstruktivisme di mana dalam metode tersebut digunakan empat fase, yaitu fase epoche, reduksi fenomenologi, variasi imajinasi, dan sintesis makna dan esensi. Keempat proses tersebut dijadikan peneliti untuk merekam kondisi di lapangan pada saat penelitian. Lewat proses tersebut dapat diketahui bagaimana informan memberi gambaran mengenai tindakan yang dilakukan untuk mereflesikan pengalamannya tersebut, apa motif mereka dalam menggunakan tato serta pemaknaan subjektif mereka terhadap tato itu sendiri. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara mendalam, dokumentasi dan studi kepustakaan.

Berdasarkan penelitian tersebut, peneliti telah memperoleh hasil yaitu, yang pertama bahwa seluruh informan memiliki tindakan yang kurang lebih sama dalam memaknai pengalamannya. Tiga dari enam informan memilih menjadi pengguna tato saja, sementara sebagian lainnya tidak sekedar menjadi pengguna tato, tetapi juga menjadi seniman tato sebagai peluang bisnis mereka. Kedua, seluruh informan memiliki motif tindakan yang berbeda dalam menggunakan tato dan diperoleh tiga kategori motif yaitu motif dengan alasan keindahan, motif dengan alasan meniru idola serta motif dengan alasan pergaulan. Ketiga, seluruh informan memiliki pemaknaan yang kurang lebih sama satu dengan yang lain. Lima dari enam informan memiliki pemaknaan bahwa tato merupakan ekspresi seni dan keindahan, sementara satu orang informan memiliki pemaknaan bahwa tato merupakan identitas.

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Konteks Masalah

Banyaknya pemberitaan kriminal di berbagai media massa yang menyorot

tajam pelaku kriminal dan berbagai tampilan yang dikenakannya, membuat publik

semakin meyakini bahwa orang yang termasuk jahat adalah orang-orang yang

ciri-ciri fisiknya seperti apa yang ditampilkan media massa tersebut. Salah satu

yang banyak orang tahu adalah bahwa orang-orang kriminal itu dicirikan dengan

adanya tato yang menempel di tubuh si pelaku kriminal. Hal tersebut menjadikan

tato sebagai suatu yang buruk di mata publik. Tidak mengherankan bahwa pada

akhirnya “masberto” alias manusia bertato yang hidup di suatu lingkungan

masyarakat, mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan, seperti dikucilkan,

dicemooh, bahkan diusir dari lingkungan tersebut.

Pada era Soeharto misalnya, di mana tato pernah mendapatkan citra yang

negatif dari masyarakat. Pasalnya, saat itu operasi “Petrus” (penembakan

misterius) sedang giat-giatnya dilakukan oleh aparat negara. Sasaran dari operasi

“Petrus” ini adalah para preman, gali (gabungan anak liar), orang-orang yang

dianggap berpotensi melakukan tindakan kriminal dan umumnya mereka yang

bertato. Mereka diculik, dihajar, ditembak kemudian mayatnya di buang di

berbagai tempat seperti di sungai, di tepi jalan, di perempatan dan ada juga di

dekat pos siskamling. Tato yang awalnya merupakan wujud ekspresi diri dari

penggunanya berubah menjadi sesuatu yang “lain” bagi negara. Negara pada saat

itu beralasan bahwa penumpasan mereka didasari tujuan dari kontrol negara

dalam rangka stabilitas keamanan yang dapat berdampak pada kontinuitas

pembangunan negara.

Masyarakat yang sangat memegang kuat norma-norma sosial dan budaya,

seperti masyarakat tradisional umumnya bertentangan dengan kenyataan yang

dianggap “tidak normal”, dalam hal ini adalah manusia bertato. Ketidaksamaan

maupun ketidakserasian nilai dan ideologi di antara mereka, menjadi pendorong

munculnya deviasi. Deviasi memiliki arti sebagai tindakan penyimpangan

(20)

Tidak hanya dianggap bertentangan dengan norma-norma sosial

masyarakat, ternyata tato juga mendapat tentangan keras dari agama. Misalnya

dalam islam, mengubah sesuatu pemberian Allah SWT cenderung dikutuk

misalnya tato, operasi plastik, menyambung rambut dan mencukur alis. Namun

banyaknya larangan dari berbagai pihak, tak menyurutkan hasrat muda-mudi masa

kini untuk menghiasi tubuhnya dengan tato.

Dijelaskan bahwa kata tato berasal dari bahasa Tahiti yakni “tattau” yang

berarti menandai, dalam arti bahwa tubuh ditandai dengan menggunakan alat

berburu yang runcing untuk memasukkan zat pewarna di bawah permukaan kulit.

Proses penusukan jarum dengan tangan (manual) hingga kini masih terdapat di

beberapa kebudayaan dunia seperti Samoa, Maori, Mentawai, Burma dan

Thailand. Dalam bahasa Jawa, tato mempunyai makna yang nyaris sama

meskipun berbeda, yakni kata “tatu” yang juga memiliki kesejajaran makna

“luka” atau “bekas luka” yang menjadi sebuah tanda tertentu dengan kulit lainnya

baik di tubuh sendiri maupun perbedaan tanda dengan tubuh milik orang lain

(Olong, 2006: 84-85).

Di Indonesia tato muncul dari masyarakat yang ada di pedalaman, biasa

disebut dengan masyarakat primitif. Masyarakat primitif ini masih sangat dekat

dengan unsur-unsur magis yang dipercaya lewat leluhurnya, misalnya suku

Mentawai, suku Dayak dan masih banyak lagi. Bagi mereka tato memiliki makna,

tanda, simbol dan fungsi yang berbeda-beda.

Tato pada kaum perempuan suku Belu di Pulau Timor misalnya, tato

dianggap sebagai simbol kecantikan yang diyakini dapat menarik lawan jenis.

Karena penatoan yang dilakukan memakan biaya prosesi yang tidak sedikit,

perayaan yang diadakan tersebut merupakan prestise tersendiri bagi yang mampu

melakukannya. Uniknya, kaum perempuan suku Belu ini akan merasa malu jika

tidak mentato tubuhnya karena kaum lelaki hanya akan memilih perempuan yang

telah ditato.

Seiring berjalannya waktu dan arus informasi yang semakin deras dengan

segala macam perkembangan zaman yang selalu up to date, lambat laun eksistensi maupun identitas tato yang sesungguhnya mulai terkikis dan berubah menjadi

(21)

Anak-anak muda yang notabene selalu merasa penasaran dengan hal-hal baru,

selalu ingin diperhatikan oleh lingkungan sekitarnya dengan apa yang ia miliki,

sangat mudah terpengaruh oleh sesuatu yang belum dikenalnya dan dorongan

untuk mencoba sering kali tidak terbendung. Pergaulan juga menjadi faktor

penting dalam hal ini, biasanya bermula dari teman sebaya yang lebih dahulu

mentato, akhirnya terpersuasi untuk mengikuti jejak temannya tersebut.

Erikson menyebutkan, dalam siklus kehidupan manusia akan mengalami

delapan siklus. Pertama, tahap sensor mulut. Kedua, tahap otot anal. Ketiga, tahap locomotus genetis. Keempat, periode laten. Kelima, pubertas atau remaja.

Keenam, dewasa muda/akil baligh. Ketujuh, dewasa. Kedelapan, dewasa dan

masa tua. Dalam setiap peralihan yang disebut di atas, setiap manusia akan

mengalami krisis identitas yang menimbulkan adanya kebutuhan dasar yang baru,

kecemasan, kekhawatiran, resah, hingga ketakutan yang menyelimuti. Hal-hal

tersebut jika tidak segera diatasi akan menyebabkan rusaknya kepribadian (Olong,

2006: 41).

Telah disinggung di atas bahwa peran media massa dalam membentuk

opini negatif masyarakat tentang tato sangat kuat. Namun di sisi lain, melalui

media massa anak-anak muda juga menyerap, meniru gaya idolanya yang bertato.

Artis ataupun band-band metal luar negeri misalnya, mereka kerap menunjukkan

bagian tubuhnya yang bertato saat tampil di depan publik. Idola dalam hal ini

adalah seseorang yang menjadi sumber inspirasi untuk menunjukkan jati diri.

Tidaklah mengherankan jika mereka begitu keranjingan sehingga rela

memperlakukan tubuh sebagai kanvas tato merupakan pengorbanan. Mereka rela

menderita sakit demi menyerupai penampilan idolanya.

Seperti yang diketahui bahwa mentato tubuh tidak hanya cukup

bermodalkan rasa kesenangan dan keberanian. Hal yang terpenting saat akan

memutuskan bertato adalah komitmen yang kuat pada diri sendiri. Tidak bisa

begitu saja memperlakukan tubuh tanpa didasari rasa tanggung jawab. Setiap

pengguna tato harusnya memikirkan secara matang mengenai keputusannya untuk

bertato. Calon pengguna tato juga harus siap dengan resiko kesehatan yang akan

dihadapi. Resiko itu bisa berupa iritasi kulit bahkan dalam jangka waktu lama bisa

(22)

apabila suatu saat nanti timbul permasalahan karena tatonya itu. Pertimbangan

ataupun keputusan yang tidak matang akan berujung pada penyesalan semata.

Mulai dari desain tato yang harus benar-benar cocok, siapa tattoo artist nya, studio tatonya, alat-alatnya steril atau tidak, semua tidak bisa lepas dari perhatian

calon pengguna tato.

Perubahan tato ternyata tidak hanya pada identitasnya saja. Tato

dahulunya mungkin hanya dimiliki oleh suku-suku primitif yang telah disebutkan

di atas dan sejak era Orde Baru tato mengalami pergeseran nilai dan makna. Jika

kembali ke masa lalu, Tato pada bagian tubuh mumi yang ditemukan di Mesir

bermotifkan pola grafis yang sederhana dengan titik-titik yang saling

berhubungan membentuk desain elips terletak di bagian bawah perut. Desain ini

dimungkinkan bermakna sebagai lambang kesuburan pada seorang perempuan.

Mumi perempuan tersebut bernama Amunet. Diperkirakan ia seorang pendeta

perempuan yang bermadzhab pemuja Dewi Athor yang berkediaman di daerah

Thebes. Tato pada masa lampau dalam setiap budaya yang berlainan, memiliki

makna dan fungsi yang berbeda-beda pula (Olong, 2006: 99).

Suku Maori di New Zealand misalnya, membuat tato yang berbentuk

ukir-ukiran spiral pada wajah dan pantat. Menurut budaya mereka ini adalah tanda bagi

keturunan yang baik. Pada abad 300-900 SM, tato dan berbagai perhiasan tubuh

(body adornment) lainnya berkembang pesat pada suku Maya, Inca dan Aztec.

Perhiasan tubuh ini pada umumnya berfungsi sebagai ritual. Di Sudan suku Nuer

menggunakan tato untuk menandai ritus laki-laki. Pada perempuan masyarakat

suku bangsa Kirdi dan Lobi, Afrika Tengah, terdapat tato berukuran kecil di

bagian wajah, tepatnya di mulut membentuk desain segitiga yang disebut

wobaade. Tato ini bertujuan menghindarkan diri dari gangguan setan. Penatoan

pada bibir bagian atas bertujuan menghindarkan diri dari perdagangan budak.

Suku Dai kuno percaya bahwa warna hitam dapat menghindarkan mereka dari

serangan berbagai macam makhluk asing sehingga mereka menempatkan warna

tersebut pada wajah sebagai rajah. Rajah pada laki-laki dianggap sebagai simbol

keberanian, karena itu diletakkan di bagian tubuh yang mempunyai otot terkuat

(23)

Namun saat ini, tato menjadi lebih dianggap moderen dan jauh dari kesan

kuno. Mulai dari desain, alat, proses penatoannya dan makna tato itu pun turut

berubah. Tato dalam masyarakat kekinian, terutama muda-mudi dimaknai sebagai

kebebasan tanpa ada aturan yang membelenggu mereka (campur tangan

pemerintah), sebagai ajang ekspresi diri dan sebagai wujud kecintaan kepada

idolanya yang menggunakan tato. Tato semakin populer manakala peralatan yang

digunakan untuk mentato semakin canggih dan mampu meminimalisir rasa sakit,

kemudian teknik penghilangan tato muncul sebagai pilihan bagi mereka yang

ingin menghapus ataupun mengganti tato yang sebelumnya dengan tato yang

baru.

Menjamurnya studio tato di kota-kota besar menunjukkan bahwa

eksistensi tato perlahan sudah diterima oleh sebagian kalangan. Seiring dengan

itu, bermunculan berbagai macam komunitas tato yang di dalamnya adalah para

pengguna tato, baik seniman ataupun partisipan. Melalui komunitas yang mereka

bentuk, mereka mampu menampilkan kreativitas yang dimiliki. Melalui

kegiatan-kegiatan event, exhibition dan lain sebagainya, eksistensi mereka semakin terlihat dan sembari menegaskan bahwa tato saat ini bukan sesuatu yang negatif, bukan

sesuatu yang kuno lagi, melainkan sebuah industri kreatif yang harus

terus-menerus dikembangkan.

Komunitas tato juga menjadi wadah untuk berinteraksi dengan pengguna

tato lainnya. Berbagi ilmu, berbagi pengalaman serta menguatkan solidaritas di

antara sesamanya. Dalam komunitas, mereka bebas menuangkan karya tanpa ada

pengendalian dan pengawasan dari siapapun. Dijelaskan dalam buku Olong,

komunitas merupakan sebuah fase logis dari keadaan/fase liminalitas, karena

setiap orang pasti mengalami masuk menjadi sebuah entitas komunitas. Keadaan

ini membuat subjek mengalami hubungan antarpribadi yang antistruktur. Menurut

Turner, antistruktur merupakan fenomena di mana tidak hadirnya sebuah struktur

sosial yang berlaku, dalam arti bahwa di dalam komunitas tersebut justru berlaku

nilai-nilai kesamaan antarindividu (egalitarian). Hubungan yang terjadi adalah

antar subjek, bukan antara subjek dan objek, bergerak ke satu tujuan dan

(24)

Meskipun memiliki visi misi yang sama tentang tato, tidak berarti setiap

individu yang merupakan anggota komunitas memiliki makna dan pengalaman

yang sama tentang tato. Setiap individu memiliki kisahnya tersendiri, bagaimana

akhirnya ia bisa menjadi “masberto”. Pengalaman tersebut yang pada akhirnya

menuntun mereka ingin seperti apa merefleksikannya. Perbedaan yang ada di

antara mereka, lantas tidak menjadi masalah ketika bergabung menjadi suatu

kelompok yang solid dalam suatu komunitas.

Salah satu komunitas tato di Kota Medan yaitu Black Cat Tattoo. Black

Cat Tattoo adalah sebuah studio tato, distro anak muda dan sebuah komunitas.

Awalnya studio tato tempat mereka biasa berkumpul ini, memiliki tempat/ruangan

yang kecil dan hanya bisa digunakan untuk tempat membuat tato. Namun seiring

berjalannya waktu, sang pemilik studio tato, tattoo artist, sekaligus pendiri komunitas BCT ini, memutuskan membuka sebuah distro anak muda yang

mengharuskan mereka untuk pindah ke tempat yang lebih luas lagi pada 2010

lalu, yang tidak jauh dari studio tato yang dulu.

Menariknya, Black Cat Tattoo sudah cukup lama berdiri, tepatnya dari

tahun 2002 hingga sekarang. Dalam kurun waktu tersebut, Black Cat Tattoo telah

banyak memperoleh pengalaman serta perkembangan seputar tato yang selalu

diikuti komunitas ini sehingga dengan itu peneliti yakin memperoleh data yang

dibutuhkan dari masing-masing individu/anggota komunitas. Dengan lokasi yang

cukup strategis yaitu di simpang jalan Dr. Mansyur dekat lampu merah, di mana

juga banyak tempat tongkrongan anak-anak muda Kota Medan.

Black Cat Tattoo juga termasuk komunitas yang aktif mengikuti tattoo

event. Black Cat Tattoo sendiri, tergabung dalam komunitas besar bernama Sumut

Tattoo Artist atau disingkat STA, di mana tak hanya komunitas mereka saja yang

ada di situ. Komunitas tato lain yang ada di Sumut seperti Siong Bali Tattoo

Studio, Topan Tattoo, Hen’z Tattoo Arts, Kevinto Tattoo, Sam Tattoo, Taurus

Tattoo Binjai, Reno Tattoo, Dod Tattoo, Riveth Tattoo, Apin Tattoo, Inqbal

Bastardx Tattoo, Jack Bandits Tattoo serta masih banyak lagi

(www.medanmagazine.com).

Saat peneliti melakukan pra penelitian ke sana, peneliti langsung berjumpa

(25)

bahwa ia sudah terjun ke dunia tato sejak tahun 1996. Ia juga memberi informasi

kepada peneliti bahwa komunitas ini tidak memiliki jumlah anggota yang tetap,

karena pada dasarnya komunitas ini tidak bersifat mengikat layaknya sebuah

organisasi. Komunitas ini dibentuk atas dasar kesamaan hobi, minat dan

pandangan terhadap tato itu sendiri. Komunitas tersebut merupakan tempat yang

cocok untuk menyalurkan jiwa seni dan kreatif para pecinta tato.

Peneliti dalam hal ini tidak memiliki tujuan untuk memberikan sebuah

solusi terkait masalah tato, hanya penggambaran wacana dirasa peneliti jauh lebih

penting untuk dapat dilihat masyarakat luas dalam memahami tato. Pemahaman

yang baik mengenai tato, sedikitnya akan memberikan pengertian baru bagi

orang-orang yang sadar bahwa tato ada dalam lingkungannya memiliki

kandungan tersendiri untuk dimengerti. Baik buruknya pengguna tato, sebenarnya

bukan menjadi sebuah tolok ukur. Pemahaman mengenai tato akan membantu

masyarakat dan para pengguna tato untuk lebih memahami tato. Hanya yang perlu

diingat, mentato adalah keputusan seumur hidup, untuk itu tato akan menceritakan

mengenai apa, mengapa dan bagaimana makna tato tersebut melekat.

1.2 Fokus Masalah

Masalah merupakan pokok dari suatu penelitian. Tujuan dari fokus

masalah adalah untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas,

supaya masalah yang diteliti tidak meluas ke mana-mana. Dalam penelitian ini,

peneliti ingin mengetahui lebih jauh pengalaman pengguna tato terhadap

fenomena tato dan makna tato pada diri penggunanya di komunitas tersebut.

Berdasarkan pemaparan konteks masalah di atas, maka peneliti merumuskan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana individu pengguna tato di komunitas “Black Cat Tattoo”

merefleksikan pengalamannya ?

2. Bagaimana pemaknaan tato pada individu pengguna tato di komunitas

(26)

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan adalah apa yang hendak kita capai. Dalam penelitian ini, peneliti memiliki

tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan mengungkapkan

tindakan individu pengguna tato di komunitas “Black Cat Tattoo” dalam

merefleksikan pengalamannya.

2. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan mengungkapkan motif

ataupun alasan dalam menggunakan tato.

3. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan mengungkapkan

makna tato dari individu pengguna tato di komunitas “Black Cat Tattoo”.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan serta

memperluas wawasan peneliti mengenai studi fenomenologi dalam

meneliti fenomena sosial yang ada dalam suatu komunitas.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menarik peneliti lain

untuk meneruskan penelitian di bidang Ilmu Komunikasi, khususnya

mengenai makna tato pada penggunanya di suatu komunitas.

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan

pikiran dan masukan kepada pihak-pihak yang membutuhkan pengetahuan

(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1Paradigma

Paradigma penelitian kualitatif dilakukan melalui proses induktif, yaitu

berangkat dari konsep khusus ke umum, konseptualisasi, kategorisasi dan

deskripsi yang dikembangkan berdasarkan masalah yang terjadi di lokasi

penelitian. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dapat dilakukan secara

simultan dengan analisis data selama penelitian berlangsung. Selanjutnya, Patton

mendefenisikan paradigma sebagai berikut (Patton dalam Ghony, 2012: 73):

“A paradigm is a world view, a general perspective, a way of breaking down the complexity of the real world. As much paradigms are deeply embedded in the socialization of adherents and practicioners telling them what is important, what is legitimate, what is reasonable. Paradigms are normative; they tell the practicioner what to do with out the necessity of long existencial or epistemological consideration. But it is this aspect of a paradigms that constitutes both its strength and its weakness-its strength in that it make action possible, its weakness in that very reason for action is hidden in the unquestioned assumptions of the paradigm.”

Jadi, menurut Patton yang dimaksud dengan paradigma dalam penelitian

adalah suatu perspektif umum atau cara untuk memisah-misahkan dunia nyata

yang kompleks, kemudian memberikan arti atau makna dan penafsiran-penafsiran.

Paradigma itu lebih dari sekadar orientasi metodologi.

Paradigma bukan saja memungkinkan suatu disiplin ilmu dapat

menjadikan berbagai fenomena menjadi masuk akal, melainkan juga memberikan

suatu kerangka di mana fenomena tersebut dapat ditunjukkan sebagai sesuatu

yang memang ada. Dalam arti yang paling nyata, untuk memahami paradigma,

kita harus memahami proses bagaimana paradigma itu ditemukan. Artinya,

bagaimana paradigma itu menjadi cara untuk melihat fenomena tertentu.

Paradigma kualitatif mencanangkan pendekatan humanistik untuk

memahami realitas sosial para idealis, yang memberikan suatu tekanan pada

pandangan yang terbuka tentang kehidupan sosial. Paradigma kualitatif

memandang kehidupan sosial sebagai kreativitas bersama individu-individu.

(28)

objektif dan dapat diketahui oleh semua peserta yang melakukan interaksi sosial.

Dasar dalam paradigma kualitatif dalam mengonseptualisasikan dunia sosial

adalah pengembangan konsep-konsep dan teori-teori grounded dalam data. Artinya, konsep dan teori dibentuk berdasarkan data sehingga data merupakan

sumber sekaligus verifikasi teori atau konsep tersebut. Konsep-konsep itu disebut

sebagai first order concepts yang sangat penting untuk mengembangkan second

order concepts, yaitu konsep-konsep yang muncul pada saat mencoba

menerangkan fenomena sosial. Fokus pada makna-makna sosial dan penekanan

bahwa makna-makna sosial tersebut hanya dapat dipahami dalam konteks

interaksi antarindividu sehingga hal tersebut membedakan paradigma sosial ini

dengan model ilmu pengetahuan alam.

Pendekatan kualitatif mempunyai asumsi bahwa pemahaman tingkah laku

manusia itu tidak cukup diperoleh hanya dari surface behaviour, tetapi tidak kalah pentingnya adalah inner perspective of human behaviour, sebab dari sini akan diperoleh gambaran yang utuh tentang manusia dan dunianya. Secara singkat,

paradigma kualitatif memiliki ciri-ciri fenomenologis, induktif, inner behaviour dan holistik.

Penelitian kualitatif yang baik menyediakan pemerhatian deskriptif yang

sistematis dan berdasarkan konteks. Pendekatan ini memberikan ruang bagi

peneliti untuk mempelajari suatu sistem serta hubungan semua aktivitas dalam

sistem tersebut yang dapat dilihat secara total dan bukan secara bagian saja.

Paradigma penelitian kualitatif adalah pendekatan sistematis dan subjektif dalam

menjelaskan pengalaman hidup berdasarkan kenyataan lapangan (empiris),

bahkan terus berkembang di dunia sains dan pendidikan. Proses penelitian ini

dijalankan melalui pemahaman tentang pengalaman manusia dalam aneka bentuk.

Penelitian kualitatif lebih berorientasi pada upaya memahami fenomena

secara menyeluruh. Pendekatan semacam ini lebih konsisten dengan filosofi

holistik di bidang sains sosial dan pendidikan. Penelitian kualitatif berangkat dari

ilmu perilaku manusia dan ilmu sosial, hakikat dari holistik bagi manusia melalu

penelahaannya terhadap orang-orang dalam interaksinya dengan latar sosial.

Menurut pendapat Maxwell (1996), kelebihan paradigma kualitatif antara

(29)

a. Pemahaman makna, makna merujuk pada kognisi, afeksi, intensi dan apa

saja yang berada di bawah payung participant’s perspectives (perspektif partisipan). Perspektif para informan tidak terbatas pada laporan mereka

ihwal satu kejadian/fenomena, tetapi juga pada apa yang ada di balik

perspektif itu. Peneliti bukan saja tertarik pada satu aspek fisik dari

kejadian itu, melainkan juga bagaimana mereka memaknai semua itu dan

bagaimana makna itu mempengaruhi tingkah laku informan. Fokus pada

makna seperti itu sangatlah mendasar bagi mazhab interpretatif dalam

studi ilmu sosial.

b. Pemahaman konteks tertentu, dalam penelitian kualitatif perilaku informan

dilihat dalam konteks tertentu dan pengaruh konteks terhadap tingkah

laku. Peneliti kualitatif lazimnya berkonsentrasi pada sejumlah orang atau

situasi yang relatif sedikit dan perhatiannya terkuras habis-habisan pada

analisis kekhasan kelompok atau situasi itu saja. Pengumpulan data dari

banyak informan atau situasi tidaklah menarik bagi peneliti kualitatif.

Justru dengan pisau kualitatif para peneliti mampu membedah kejadian,

situasi, perilaku dan bagaimana semua itu dipengaruhi oleh sang situasi

yang perkasa.

c. Identifikasi fenomena dan pengaruh yang tidak terduga. Bagi peneliti

kualitatif, setiap informasi, kejadian, perilaku, suasana dan pengaruh baru

adalah terhormat dan berpotensi sebagai data untuk menyokong hipotesis

kerja.

d. Kemunculan teori berbasis data (grounded theory). Teori yang sudah jadi, pesanan atau apriori tidak mengesankan kaum naturalis karena teori ini

akan kewalahan apabila disergap oleh informasi, kejadian, perilaku,

suasana dan pengaruh baru dalam konteks baru.

e. Pemahaman proses, para peneliti naturalis berupaya untuk lebih

memahami proses daripada produk kejadian atau kegiatan yang sedang

diamati. Proses yang membantu perwujudan fenomena itulah yang paling

(30)

2.1.1 Paradigma Konstruktivisme

Pemikiran konstruktivis bukan sesuatu yang baru. Ada yang merunutnya

sampai pada Glambatista Vico (1710), seorang epistemolog dari Italia yang

meyakini bahwa manusia adalah pencipta makna. Ia mengatakan “mengetahui

berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu.” Hal ini bermakna bahwa

mengetahui adalah merekonstruksi. Kant juga dianggap sebagai penggagas

konstruktivis karena meyakini pengetahuan manusia adalah hasil olah rasio

memanfaatkan bahan mentah dari indra. Manusialah yang secara aktif

membangun dan merumuskan pengetahuan. Pemikiran ini dilanjutkan oleh Piaget

dalam teori perkembangan kognitif. Ini tidak mengherankan karena Piaget adalah

penganut NeoKanianisme. Psikologi Rusia, Vygotsky menajamkan

konstruktivisme ini menjadi konstruktivisme sosial karena meyakini pemikiran

dan perilaku anak turut ditentukan oleh relasi-relasi sosial di mana ia dibesarkan

dan peran bahasa sangat penting di sini (Putra, 2013: 48))

Paradigma ini hampir merupakan antitesis terhadap paham yang

menempatkan pentingnya pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu

realitas atas ilmu pengetahuan. Secara tegas paham ini menyatakan bahwa

positivisme dan post-postivisme keliru dalam mengungkapkan realitas dunia dan

harus ditinggalkan serta digantikan oleh paham yang bersifat konstruktif. Secara

ontologis, aliran ini menyatakan bahwa realitas itu ada dalam beragam bentuk

konstruksi mental yang didasarkan pada pengalaman sosial, bersifat lokal dan

spesifik, serta tergantung pada sikap yang melakukannya. Karena itu, realitas

yang diamati oleh seseorang tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang

sebagaimana yang biasa dilakukan di kalangan positivis atau post-positivis. Atas

dasar filosofis ini, aliran ini menyatakan bahwa hubungan epistemologis antara

pengamat dan objek merupakan satu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil

perpaduan di antar keduanya (Salim, 2006: 71).

Secara metodologis, aliran ini menerapkan metode hermenautika dan

dialektika dalam proses mencapai kebenaran. Metode pertama dilakukan melalui

identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat orang per orang yang diperoleh

melalui metode pertama, untuk memperoleh suatu konsensus kebenaran yang

(31)

merupakan perpaduan pendapat yang bersifat relatif, subjektif dan spesifik

mengenai hal-hal tertentu.

Tabel 1.1

TIGA PARADIGMA ILMU SOSIAL Positivisme dan

Post-seperti ilmu alam, yaitu

metode terorganisir untuk

mengkombinasikan

‘deductive logic’ melalui

pengamatan empiris, agar

atas “socially meaningfull

action” melalui pengamatan

langsung terhadap aktor

sosial dalam setting yang

alamiah, agar dapat

memahami dan menafsirkan

bagaimana aktor sosial

mencipta dan memelihara

dunia sosial.

Mentakrifkan ilmu sosial

sebagai proses kritis

mengungkap ‘the real

structure’ di balik ilusi dan

kebutuhan palsu yang

Contoh Teori Contoh Teori Contoh Teori

Ekonomi Politik Liberal

construction of reality Peter

L. Berger).

(Sumber: Salim, 2006: 72)

Pada tradisi ilmu sosial interpretivisme, manusia lebih dipandang sebagai

(32)

sehari-hari bukanlah “berperilaku” melainkan “bertindak”. Sebab istilah “perilaku”

berkonotasi mekanistik alias bersifat otomatis. Padahal, “tingkah laku sosial”

manusia senantiasa melibatkan niat tertentu, pertimbangan tertentu atau

alasan-alasan tertentu. Dengan kata lain “tingkah laku sosial” manusia melibatkan

kesadaran sosial tertentu. Itulah sebabnya (mengapa) Weber memunculkan istilah

tindakan sosial (social action), dan buka perilaku sosial (social behavior). Manusia itu bertindak, bukan berperilaku. Istilah bertindak (action) mempunyai konotasi tidak otomatis/mekanistik, melainkan melibatkan niat, kesadaran dan

alasan-alasan tertentu. Ia bersifat intensional. Ia melibatkan makna dan

interpretasi yang tersimpan di dalam diri sang manusia pelaku sesuatu tindakan

(Bungin, 2003: 27)

2.1.2 Studi Fenomenologi

Sebuah penelitian fenomenologi adalah penelitian yang mencoba

memahami persepsi masyarakat, perspekstif dan pemahaman dari situasi tertentu

(atau fenomena). Dengan kata lain, sebuah penelitian fenomenologi mencoba

untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana rasanya mengalami hal ini dan itu?”.

Dengan melihat berbagai perspektif dari situasi yang sama, peneliti dapat

memulai membuat beberapa generalisasi atas sebuah pengalaman dari perspektif

insider.

Fenomenologi sebagai metode penelitian dapat dipandang sebagai studi

tentang fenomena, studi tentang sifat dan makna. Penelitian semacam ini terfokus

pada cara bagaimana kita mempersepsi realitas yang tampak melalui pengalaman

atau kesadaran. Jadi, tugas peneliti fenomenologi bertujuan menggambarkan

tekstur pengalaman sehingga pengalaman itu sendiri makin kaya. Penelitian

fenomenologi murni lebih menekankan pada penggambaran (deskripsi) daripada

penjelasan atas semua hal, tetapi tetap memperhatikan sudut pandang yang bebas

dari hipotesis atau praduga (Fouche dalam Sobur, 2013: 11).

Menurut Scheglof dan Sacks, dalam melakukan penelitian fenomenologi

tugas peneliti adalah merekam kondisi sosial, sehingga memungkinkan untuk

pendemonstrasian cara-cara yang dilakukan informan. Pada saat inilah peneliti

(33)

keadaan. Analisis terhadap tindakan informan ini merupakan teknik yang sering

digunakan fenomenologi untuk menggambarkan bagaimana manusia berpikir

tentang dirinya sendiri melalui pembicaraan. Selain itu juga untuk mengetahui

bagaimana manusia berpikir tentang pembicaraan mereka berdasarkan

pengetahuan yang dimiliki. Dengan demikian analisis fenomenologi mempunyai

prosedur yang sifatnya individual (Kuswarno, 2013: 48).

Berikut akan dikemukakan tahapan-tahapan penelitian fenomenologi

transedental dari Husserl:

a. Epoche

Epoche berasal dari bahasa Yunani yang berarti “menjauh dari” dan “tidak

memberikan suara”. Husserl menggunakan epoche untuk term bebas dari

prasangka. Dengan epoche, kita menyampingkan penilaian, bias dan

pertimbangan awal yang kita miliki terhadap suatu objek. Dengan kata lain,

epoche adalah pemutusan hubungan dengan pengalaman dan pengetahuan, yang

kita miliki sebelumnya.

Dalam penelitian fenomenologi, epoche ini harus mutlak ada. Terutama

ketika menempatkan fenomena dalam tanda kurung (bracketing method). Memisahkan fenomena dari keseharian dan dari unsur-unsur fisiknya dan ketika

mengeluarkan “kemurnian” yang ada padanya. Jadi epoche adalah cara untuk

melihat dan menjadi, sebuah sikap mental yang bebas.

Oleh karena epoche memberikan cara pandang yang sama sekali baru

terhadap objek, maka dengan epoche kita dapat menciptakan ide, perasaan,

kesadaran dan pemahaman yang baru. Epoche membuat kita masuk ke dalam

dunia internal yang murni, sehingga memudahkan untuk pemahaman akan diri

dan orang lain. Dengan demikian tantangan terbesar ketika melakukan epoche ini

adalah terbuka atau jujur dengan diri sendiri. Terutama ketika membiarkan objek

yang ada di depan kesadaran memasuki area kesadaran kita dan membuka dirinya

sehingga kita dapat melihat kemurnian yang ada padanya. Tanpa dipengaruhi oleh

segala hal yang ada dalam diri kita.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan orang lain, seperti persepsi,

pilihan, penilaian dan perasaan orang lain harus dikesampingkan juga dalam

(34)

menemukan makna, pengetahuan dan kebenaran. Sehingga pada praktiknya,

epoche memerlukan kehadiran, perhatian dan konsentrasi, demi mencapai cara

pandang yang radikal.

b. Reduksi Fenomenologi

Ketika epoche adalah langkah awal untuk “memurnikan” objek dari

pengalaman dan prasangka awal, maka tugas dari reduksi fenomenologi adalah

menjelaskan dalam susunan bahasa bagaimana objek itu terlihat. Tidak hanya

dalam term objek eksternal, namun juga kesadaran dalam tindakan internal,

pengalaman, sedangkan tantangan ada pada pemenuhan sifat-sifat alamiah dan

makna dari pengalaman.

Reduksi akan membawa kita kembali kepada bagaimana kita mengalami

sesuatu. Memunculkan kembali sifat-sifat alamiahnya. Reduksi fenomenologi

tidak hanya sebagai cara untuk melihat, namun juga cara untuk mendengar suatu

fenomena dengan kesadaran hati-hati. Singkatnya reduksi adalah cara untuk

melihat dan mendengar fenomena dalam tekstur dan makna aslinya.

c. Variasi Imajinasi

Tugas dari variasi imajinasi adalah mencari makna-makna yang mungkin

dengan memanfaatkan imajinasi, kerangka rujukan, pemisahan dan pembalikan,

serta pendekatan terhadap fenomena dari perspektif, posisi, peranan dan fungsi

yang berbeda. Tujuannya tiada lain untuk mencapai deskripsi struktural dari

sebuah pengalaman.

Target dari fase ini adalah makna dan bergantung dari intuisi sebagai jalan

untuk mengintegrasikan struktur ke dalam esensi fenomena. Dalam berpikir

imajinatif, kita dapat menemukan makna-makna potensial yang dapat membuat

sesuatu yang asalnya tidak terlihat menjadi terlihat jelas. Membongkar hakikat

fenomena dengan memfokuskannya pada kemungkinan-kemungkinan yang murni

adalah inti dari variasi imajinatif.

Pada tahap ini, dunia dihilangkan, segala sesuatu menjadi mungkin. Segala

(35)

makna dan hakikatnya. Dalam kondisi seperti ini, intuisi tidak lagi empiris namun

murni imajinatif.

d. Sintetis Makna dan Esensi

Merupakan tahap akhir dalam penelitian fenomenologi. Fase ini adalah

integrasi intuitif dasar-dasar deskripsi tekstural dan struktural ke dalam suatu

pernyataan yang menggambarkan hakikat fenomena secara keseluruhan.

Husserl mendefinisikan esensi sebagai sesuatu yang umum dan berlaku

universal, kondisi atau kualitas menjadi sesuatu tersebut. Esensi tidak pernah

terungkap secara sempurna. Sintesis struktur tekstural yang fundamental akan

mewakili esensi ini dalam waktu dan tempat tertentu dan sudut pandang imajinatif

dan studi reflektif seseorang terhadap fenomena.

2.2Uraian Teoritis 2.2.1 Fenomenologi

Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomai yang berarti “menampak”. Phainomenon merujuk pada “yang menampak”. Fenomena tiada lain adalah fakta yang disadari, dan masuk ke dalam pemahaman manusia. Jadi

suatu objek itu ada dalam relasi dengan kesadaran. Fenomena bukanlah dirinya

seperti tampak secara kasat mata, melainkan justru ada di depan kesadaran, dan

disajikan dengan kesadaran pula. Berkaitan dengan hal ini, maka fenomenologi

merefleksikan pengalaman langsung manusia, sejauh pengalaman itu secara

intensif berhubungan dengan suatu objek (Kuswarno, 2013: 1).

Menurut The Oxford English Dictionary, yang dimaksud dengan

fenomenologi adalah (a) the science which describes and classifies as distinct for

being (ontology), dan (b) division of any science which describes and classifies its

phenomena. Jadi, fenomenologi adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan

dari sesuatu yang sudah menjadi, atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan

mengklasifikasikan fenomena atau studi tentang fenomena. Dengan kata lain,

fenomenologi mempelajari fenomena yang tampak di depan kita dan bagaimana

(36)

Dewasa ini fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode

berpikir, yang mempelajari fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa mempertanyakan penyebab dari fenomena itu, relitas objektifnya dan

penampakannya. Fenomenologi tidak beranjak dari kebenaran fenomena seperti

yang tampak apa adanya, namun sangat meyakini bahwa fenomena yang tampak

itu, adalah objek yang penuh dengan makna transedental. Oleh karena itu, untuk

mendapatkan hakikat kebenaran, maka harus menerobos melampaui fenomena

yang tampak itu.

Tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena

dialami kesadaran, pikiran dan dalam tindakan, seperti bagaimana fenomena

tersebut bernilai atau diterima secara estetis. Fenomenologi mencoba mencari

pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep-konsep

penting, dalam kerangka intersubjektivitas. Intersubjektivitas karena pemahaman

kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain. Walaupun

makna yang kita ciptakan dapat ditelusuri dalam tindakan, karya dan aktivitas

yang kita lakukan, tetap saja ada peran orang lain di dalamnya (Kuswarno, 2013:

2).

2.2.2 Sejarah Fenomenologi

Dewasa ini, fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode

berpikir yang mempelajari fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa mempertanyakan penyebab dari fenomena tersebut serta realitas objektif dan

penampakannya.

Fenomenologi sebagai salah satu cabang filsafat pertama kali

dikembangkan di universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I,

khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian dilanjutkan oleh Martin

Heidegger dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre

memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme.

Adapun yang menjadi fokus eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia

makhluk sadar atau jalan kehidupan subjek-subjek sadar (Kuswarno, 2009: 3).

Fenomenologi tidak dikenal setidaknya sampai menjelang abad 20. Abad

(37)

tentang penampakan yang menjadi dasar pengetahuan empiris atau penampakan

yang diterima secara inderawi. Istilah tersebut diperkenalkan oleh Johan Heinrich

Lambert. Sesudah itu, filosofi Immanuel Kant mulai sesekali menggunakan istilah

fenomenologi dalam tulisannya. Pada tahun 1889, Franz Brentano menggunakan

fenomenologi untuk psikologi deskriptif, di mana menjadi awalnya Edmund

Husserl mengambil istilah fenomenologi untuk pemikirannya mengenai

“kesengajaan”.

Sebelum abad ke-18, pemikiran filsafat terbagi menjadi dua aliran yang

saling bertentangan. Adalah aliran empiris yang percaya bahwa pengetahuan

muncul dari penginderaan. Dengan demikian kita mengalami dunia dan melihat

apa yang sedang terjadi. Bagi penganut empiris, sumber pengetahuan yang

memadai itu adalah pengalaman. Akal yang dimiliki manusia bertugas untuk

mengatur dan mengolah bahan-bahan yang diterima oleh panca indera. Sedangkan

di sisi lain terdapat aliran rasionalisme yang percaya bahwa pengetahuan timbul

dari kekuatan pikiran manusia atau rasio. Hanya pengetahuan yang dipeoleh

melalui akal lah yang memenuhi syarat untuk diakui sebagai pengetahuan ilmiah.

Aliran ini juga mempercayai pengalaman hanya dapat dipakai untuk

mengukuhkan kebenaran yang telah diperoleh oleh rasio. Akal tidak memerlukan

pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang benar sebab akal dapat

menurunkaan kebenaran tersebut dari dirinya sendiri (Kuswarno, 2009: 3-4).

Dari dua pemikiran yang berbeda tersebut, Immanuel Kant muncul untuk

menjembatani keduanya. Menurutnya, pengetahuan adalah apa yang tampak

kepada kita atau fenomena. Sedangkan fenomena sendirinya dan merupakan hasil

sintesis antara penginderaan dan bentuk konsep dari objek. Sejak pemikiran

tersebut menyebar luas, fenomena menjadi titik awal pembahasan para filsuf pada

abad ke-18 dan 19 terutama tentang bagaimana sebuah pengetahuan dibangun.

Fenomenologi bagi seorang Husserl adalah gabungan antara psikologi dan

logika. Fenomenologi membangun penjelasan dan analisis psikologi tentang

tipe-tipe aktivitas mentalsubjektif, pengalaman dan tindakan sadar. Namun, pemikiran

Husserl tersebut masih membutuhkan penjelasan yang lebih lanjut khususnya

mengenai “model kesengajaan”. Pada awalnya, Husserl mencoba untuk

(38)

pengetahuan dan pengalaman. Hal ini didorong oleh ketidakpercayaan

terhadap aliran positivistik yang dinilai gagal memanfaatkan peluang membuat

hidup lebih bermakna karena tidak mampu mempertimbangkan masalah nilai dan

makna. Fenomenologi berangkat dari pola pikir subjektivisme yang tidak hanya

memandang dari suatu objek yang tampaknamun berusaha menggali makna di

balik setiap gejala tersebut (Kuswarno, 2009: 6).

Pada tahun-tahun berikutnya, pembahasan fenomenologi berkembang

tidak hanya pada tataran “kesengajaan”, namun juga meluas kepada kesadaran

sementara, intersubjektivitas, kesengajaan praktis dan konteks sosial dari tindakan

manusia. Tulisan-tulisan Husserl memainkan peran yang amat besar dalam hal ini.

Saat ini fenomenologi dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang kompleks,

karena memiliki metode dan dasar filsafat yang komprehensif dan mandiri.

Fenomenologi juga dikenal sebagai pelopor pemisah antara ilmu sosial dari ilmu

alam, yang mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran dalam pengalaman pada

akhirnya membuat makna dan menentukan isi dari penampakannya.

2.2.3 Perkembangan Fenomenologi saat ini

Saat ini fenomenologi lebih dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang

kompleks, karena memiliki metode dan dasar filsafat yang komprehensif dan

mandiri. Fenomenologi juga dikenal sebagai pelopor pemisahan ilmu sosial dan

ilmu alam. Harus diakui, fenomenologi telah menjadi tonggak awal dan sandaran

bagi perkembangan ilmu sosial hingga saat ini. Tanpanya, ilmu sosial masih

berada di bawah cengkraman positivistik yang menyesatkan tentang pemahaman

manusia dan realitas.

Sebagai disiplin ilmu, fenomenologi adalah studi yang mempelajari

fenomena, seperti penampakan segala hal yang muncul dalam pengalaman kita,

cara kita mengalami sesuatu dan makna yang kita miliki dalam pengalaman kita.

Kenyataannya, fokus perhatian fenomenologi lebih luas dari sekedar fenomena

yakni pengalaman sadar dari sudut pandang orang pertama (yang mengalaminya

secara langsung).

Pada dasarnya fenomenologi mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran,

(39)

sampai tindakan, baik itu tindakan sosial maupun dalam bentuk bahasa.

Struktur dalam bentuk-bentuk kesadaran inilah yang oleh Husserl dinamakan

dengan “kesengajaan” yang terhubung langsung dengan sesuatu. Struktur

kesadaran dalam pengalaman ini yang pada akhirnya membuat makna dan

menentukan isi dari pengalaman (content of experience). “Isi” ini sama sekali berbeda dengan “penampakannya” , karena sudah ada penambahan makna

padanya. Adapun dasar struktur kesadaran yang disengaja, dapat ditemukan dalam

analisis refleksi, termasuk menemukan bentuk-bentuk yang lebih jauh dari

pengalaman (Kuswarno, 2013: 22).

Berikut adalah bentuk-bentuk laporan yang dapat dibangun melalui

pendekatan fenomenologi:

1. Kesadaran temporal

2. Ruang kesadaran (persepsi)

3. Perhatian (misalnya kegiatan memfokuskan sesuatu dari hal kecil atau

hal umum yang ada di sekelilingnya)

4. Kesadaran dari seseorang

5. Pengalaman sadar seseorang

6. “Diri” dalam peranan yang berbeda-beda (ketika berpikir atau

bertindak)

7. Kesadaran akan gerakan dan kehadiran orang lain

8. Tujuan dan kesengajaan dari tindakan

9. Kesadaran akan orang lain (dalam bentuk empati, intersubjektif dan

kolektivitas).

10.Aktivitas berbahasa (memahami makna orang lain dan komunikasi).

11.Interaksi sosial dan aktivitas sehari-hari dalam lingkungan budaya

tertentu.

Berkaitan dengan “kesengajaan”, diperlukan suatu kondisi atau latar

belakang, yang memungkinkan bekerjanya struktur kesadaran dalam pengalaman.

Kondisi tersebut mencakup perwujudan, keterampilan jasmani, konteks budaya,

bahasa, praktek sosial dan aspek-aspek demografis dari sebuah aktivitas yang

(40)

Fenomenologi akan membawa pemahaman dari pengalaman sadar, pada

kondisi yang akan membantu memberi pengalaman “kesengajaan” tersebut.

Dengan demikian, fenomenologi tradisional telah memfokuskan pada pengalaman

subjektif, pengalaman praktis dan kondisi-kondisi sosial dari pengalaman tersebut.

Fokus fenomenologi ini berbeda dengan Philosophy of Mind, yang menggarisbawahi kajiannya pada neural subtrate dari sebuah pengalaman. Yaitu bagaimana cara kerja pengalaman sadar, representasi mental atau kesengajaan

dalam otak manusia. Oleh karena itu banyak juga kajian Philosophy of Mind yang justru adalah kajian dari fenomenologi. Misalnya saja kondisi kultural yang

sepertinya lebih dekat dengan pengalaman dan merupakan konsep yang tidak

asing dalam pemahaman diri, ketimbang kerja elektro kimia otak (Kuswarno,

2013: 23).

Walau demikian banyak sedikitnya ketergantungan manusia pada

mekanika kuantum, ditentukan oleh kondisi fisik seseorang. Simpulan yang dapat

diambil, sebagai sebuah disiplin ilmu, fenomenologi mempelajari struktur

pengalaman sadar (dari sudut pandang orang pertama). Bersama dengan

kondisi-kondisi yang relevan. Sehingga fenomenologi akan memimpin kita semua pada

latar belakang dan kondisi-kondisi di balik sebuah pengalaman. Pusat dari struktur

kesadaran adalah “kesengajaan”, yakni bagaimana makna dan isi pengalaman

terhubung langsung dengan objek.

Berkenaan dengan sangat luasnya bidang kajian fenomenologi ini, maka

kemudian tipe-tipe fenomenologi didefinisikan berdasarkan bidang kajian utama,

metode dan hasilnya. Pengalaman sadar itu memiliki ciri-ciri yang istimewa,

seperti harus mengalaminya sendiri, hidup bersama mereka dan memainkannya.

Jadi tidak semua hal yang ada di dunia ini termasuk ke dalam pengalaman sadar.

Hanya hal-hal yang kita alami dan kita kerjakan saja yang menjadi pengalaman

sadar kita.

Fenomenologi tidak membuat karakteristik dari pengalaman, ketika

pengalaman itu sedang dialami. Karena ketika sebuah pengalaman sedang

dialami, maka ia akan menyita seluruh perhatian pada saat itu dan membuat bias

kondisi-kondisi yang melatarbelakanginya. Pada hakikatnya kita

(41)

ketika mendengar suatu lagu dan melihat matahari terbenam, kita langsung ingat

dengan pengalaman-pengalaman romantis bersama dengan orang yang kita

sayangi. Dengan demikian pada prakteknya, fenomenologi mengasumsikan

“kesamaan” sebagai unsur utama dalam membuat klasifikasi pengalaman. Jadi

fenomenologi lebih mencari kesamaan-kesamaan pengalaman yang bertahan,

ketimbang pengalaman yang dengan cepat/mudah dilupakan (Kuswarno, 2013:

24).

Untuk menemukan berbagai kesamaan pengalaman itu, tentu saja

memerlukan alat pengamatan yang khusus. Tidak bisa dengan pendekatan

positivistik. Inilah awal mulanya fenomenologi berkembang, tidak hanya sebuah

pemikiran filsafat, namun juga metode berpikir dan sebagai metode penelitian.

Pada awalnya, fenomenologi klasik menggunakan tiga metode yang berbeda

antara satu dengan yang lainnya. Ketiga metode tersebut adalah:

1. Mendeskripsikan tipe-tipe pengalaman di masa lampau. Hal ini oleh

Husserl dan Merleau-Ponty dinamakan dengan deskripsi murni dari

pengalaman yang hidup (pure description of lived experience).

2. Menginterpretasikan tipe-tipe pengalaman tersebut, dengan

menghubungkannya dengan aspek-aspek istimewa dari konteks yang

melatarbelakanginya. Heidegger dan pengikutnya menyebut metode ini

sebagai hermeneutik (seni memahami konteks, terutama konteks sosial

dan bahasa).

3. Menganalisis bentuk dari setiap tipe pengalaman, untuk dielaborasi lebih

lanjut.

Pada perkembangan fenomenologi selanjutnya, ketiga metode yang sudah

disebutkan di atas pun mengalami penambahan, yakni:

4. Model logika semantik fenomenologi (logico sematinc model of

phenomenology). Yaitu metode membuat spesifikasi kondisi-kondisi benar

dari tipe-tipe berpikir (misalnya ketika mengatakan anjing mengejar

kucing, bukan sebaliknya), atau kepuasan dari tipe-tipe kesengajaan

(misalnya ketika berniat atau bermaksud untuk melompat).

5. Paradigma eksperimental syaraf kognitif (experimental paradigm of

(42)

6. mengkonfirmasikan atau menyangkal aspek-aspek dalam pengalaman.

Misalnya dengan percobaan khusus, otak bisa menghasilkan gelombang

elektromagnetis tertentu bila disentuh pada area tertentu. Area-area dalam

otak itulah yang langsung berhubungan dengan emosi dan pengalaman.

Dengan demikian neurofenomenologi ini mengasumsikan bahwa

pengalaman sadar itu terletak dalam aktivitas syaraf yang akan

menghasilkan tindakan dalam situasi yang tepat. Jadi, neurofenomenologi

ini adalah gabungan fenomenologi murni, biologi dan ilmu fisika.

2.2.4 Pendekatan Kualitatif Penelitian Fenomenologis

Pada dasarnya fenomenologi cenderung untuk menggunakan paradigma

penelitian kualitatif sebagai landasan metodologisnya. Berikut ini perlu diuraikan

sifat-sifat dasar penelitian kualitatif yang relevan menggambarkan posisi

metodologis fenomenologi dan membedakannya dari penelitian kuantitatif

(Kuswarno, 2013: 36):

(1) Menggali nilai-nilai dalam pengalaman dan kehidupan manusia.

(2) Fokus penelitian adalah pada keseluruhannya, bukan pada perbagian

yang membentuk keseluruhan itu.

(3) Tujuan penelitian adalah menemukan makna-makna dan hakikat dari

pengalaman, bukan sekedar mencari penjelasan atau mencari

ukuran-ukuran dari realitas.

(4) Memperoleh gambaran kehidupan dari sudut pandang orang pertama,

melalui wawancara formal dan nonformal.

(5) Data yang diperoleh adalah dasar dari pengetahuan ilmiah untuk

memahami perilaku manusia.

(6) Pertanyaan yang dibuat merefleksikan kepentingan, keterlibatan dan

komitmen pribadi dari peneliti.

(7) Melihat pengalaman dan perilaku sebagai satu kesatuan yang tidak

dapat dipisahkan, baik itu kesatuan antara subjek dan objek, maupun

(43)

Sifat-sifat penelitian kualitatif tersebut, akan sejalan dengan ciri-ciri

penelitian fenomenologi berikut ini:

(1) Fokus pada suatu yang nampak, kembali kepada yang sebenarnya

(esensi), keluar dari rutinitas dan keluar dari apa yang diyakini

sebagai kebenaran dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari,

(2) Fenomenologi tertarik dengan keseluruhan, dengan mengamati

entitas dari berbagai sudut pandang dan perspektif, sampai didapat

pandangan esensi dari pengalaman atau fenomena yang diamati.

(3) Fenomenologi mencari makna dan hakikat dari penampakan,

dengan intuisi dan refleksi dalam tindakan sadar melalui

pengalaman. Makna ini yang pada akhirnya membawa kepada ide,

konsep, penilaian dan pemahaman yang hakiki.

(4) Fenomenologi mendeskripsikan pengalaman, bukan menjelaskan

atau menganalisisnya. Sebuah deskripsi fenomenologi akan sangat

dekat dengan kealamiahan (tekstur, kualitas dan sifat-sifat

penunjang) dari sesuatu. Sehingga deskripsi akan mempertahankan

fenomena itu seperti apa adanya dan menonjolkan sifat alamiah

dan makna di baliknya. Selain itu, deskripsi juga akan membuat

fenomena “hidup” dalam term yang akurat dan lengkap dengan kata lain sama “hidup”-nya antara yang tampak dalam kesadaran

dengan yang terlihat oleh panca indra.

(5) Fenomenologi berakar pada pertanyaan-pertanyaan yang langsung

berhubungan dengan makna dari fenomena yang diamati. Dengan

demikian penelitian fenomenologi akan sangat dekat dengan

fenomena yang diamati. Analoginya penelitian itu menjadi salah

satu bagian puzzle dari sebuah kisah biografi.

(6) Integrasi dari subjek dan objek. Persepsi penelitian akan

sebanding/sama dengan apa yang dilihatnya/didengarnya.

Pengalaman akan suatu tindakan akan membuat objek menjadi

subjek dan subjek menjadi objek.

(7) Investigasi yang dilakukan dalam kerangka intersubjektif, realitas

Gambar

Tabel 1.1
Gambar 2.1
No. Tabel I Nama Informan

Referensi

Dokumen terkait

menyampaikan SPT secara e-Filling, wajib menyampaikan induk SPT yang memuat tanda tangan basah dan Surat Setoran Pajak (bila ada) serta bukti penerimaan secara elektronik ke

(1) DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), diumumkan oleh Panitia Pemilihan Kepala Desa pada tempat-tempat yang mudah dijangkau oleh masyarakat desa

 Today, DB2, Oracle, and SQL Server are the most prominent commercial DBMS products based on the relational model.. Personal

(2) Musyawarah pemilihan Anggota BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara terbuka dengan dihadiri oleh Kepala Desa, Perangkat Desa, dan

Desa mempunyai sumber pendapatan Desa yang terdiri atas pendapatan asli Desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota, bagian dari dana

Hasil penelitian menyatakan ada hubungan riwayat anemia dengan kejadian KEK pada ibu hamil di Puskesmas Jetis II Bantul Yogyakarta, berdasarkan Uji Chi Square didapat

Thus, the chemical modification using NPC-PEG has shown to increase the enzyme stability of modified enzyme 2.5 – 3.2 times compared to the native enzyme, although no change of

Untuk memenuhi diskripsi kerja dari suatu rangkaian terprogram (misal untuk mengendalikan beberapa motor dengan waktu kerja yang berbeda / berurutan), maka diperlukan alat