MAKNA TATO PADA ANGGOTA KOMUNITAS TATO ( STUDI FENOMENOLOGI MAKNA TATO PADA ANGGOTA
KOMUNITAS BLACK CAT TATTOO)
SKRIPSI
ENDANG MURDANINGSIH 100904013
PROGRAM STUDI HUBUNGAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI MEDAN
MAKNA TATO PADA ANGGOTA KOMUNITAS TATO (STUDI FENOMENOLOGI MAKNA TATO PADA ANGGOTA
KOMUNITAS BLACK CAT TATTOO)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
ENDANG MURDANINGSIH
100904013
PROGRAM STUDI HUBUNGAN MASYARAKAT
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:
Nama : Endang Murdaningsih
NIM : 100904013
Departemen : Ilmu Komunikasi (HUMAS)
Judul Skripsi : Makna Tato Pada Anggota Komunitas Tato (Studi
Fenomenologi Makna Tato Pada Anggota Komunitas Black
Cat Tattoo)
Medan, September 2014
Dosen Pembimbing A.n Ketua Departemen,
Sekretaris
Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm Dra. Dayana, M. Si
NIP.197711062005011001 NIP. 196007281987032002
Dekan FISIP-USU,
Prof.Dr.Badaruddin, M.Si
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip
Maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika kemudian
hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat), maka saya bersedia diproses
sesuai dengan hukum yang berlaku.
Nama : Endang Murdaningsih
NIM : 100904013
Tanda Tangan :
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh:
Nama : Endang Murdaningsih
NIM : 100904013
Departemen : Ilmu Komunikasi (HUMAS)
Judul Skripsi : Makna Tato Pada Anggota Komunitas Tato (Studi
Fenomenologi Makna Tato Pada Anggota Komunitas Black
Cat Tattoo)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Majelis Penguji
Ketua Penguji : ( )
Penguji : ( )
Penguji Utama : ( )
Ditetapkan di :
Tanggal :
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti ucapkan kehadirat Allah SWT, Rabb semesta
alam, Pemilik Diri yang telah melimpahkan rahmat dan Hidayah-Nya, telah
merancang skenario terindah dalam hidup peneliti, sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi ini. Serta tidak lupa shalawat dan salam kepada Rasulullah
Muhammad SAW yang telah menjadi teladan bagi kehidupan.
Penelitian skripsi ini berjudul “Makna Tato Pada Anggota Komunitas Tato
(Studi Fenomenologi Makna Tato Pada Anggota Komunitas Black Cat Tattoo),
merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan
program sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera
Utara.
Peneliti menyadari bahwa belajar adalah sebuah proses berkelanjutan yang
tak kenal henti hingga akhir hidup. Begitupun dengan skripsi ini adalah bagian
dari proses belajar peneliti, oleh karena itu peneliti menerima kritik dan saran
yang membangun agar skripsi ini menjadi lebih baik.
Peneliti berterima kasih kepada orang tua peneliti, ayahanda Ismail, yang
semangatnya dalam menghidupi keluarga menjadi motivasi terbesar bagi peneliti
untuk menyelesaikan jenjang pendidikan. Ibunda Sri Fhitri Yani, yang tidak hanya
menjadi Ibu bagi peneliti, tapi juga menjadi teman bercanda dan tempat berkeluh
kesah. Terima kasih atas dukungan, nasehat, semangat dan do’a yang tiada
putus-putusnya menemani peneliti hingga sampai di titik ini. Ucapan terima kasih juga
peneliti sampaikan untuk adik-adik peneliti, Ella Dwi Yana dan si lucu Meisya
Amanda Azahra, atas semangat yang telah banyak diberikan pada peneliti selama
ini.
Pada akhirnya, skripsi ini juga tidak akan selesai dengan baik tanpa uluran
tangan dan keikhlasan setiap hati yang telah terikat karena-Nya. Terima Kasih
sedalam-dalamnya peneliti haturkan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan FISIP Universitas
Sumatera Utara.
2. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu
3. Ibu Dra. Dayana, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu
Komunikasi FISIP USU.
4. Bapak Drs. Mukti Sitompul, M.Si selaku Dosen Pembimbing
Akademik peneliti.
5. Abangda Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm selaku Dosen Pembimbing
Skripsi yang dengan sabar telah membimbing, meluangkan waktu dan
memberi nasehat, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
6. Kak Emilia Ramadhani, S.Psi, S.Sos, MA sebagai kepala stasiun radio
USUKOM, yang telah bersedia menjadi tempat diskusi peneliti dan
banyak memberi saran serta nasehat kepada peneliti.
7. Seluruh Dosen Ilmu Komunikasi yang telah menuangkan ilmu,
memberi pengajaran, membuka mata dan wawasan, tidak hanya di
bangku kuliah, tetapi juga dalam diskusi sederhana.
8. Seluruh sahabat peneliti. Elta Mala Sari dan Sartini, yang senantiasa
memberikan semangat kepada peneliti saat peneliti, memberikan
banyak saran, nasehat serta motivasi. Semoga persahabatan ini tidak
lekang oleh waktu.
9. Kak Windi, Icha, Cessi, Wanda, Agus, Melany, Audy, Wisnu, Apung,
Endang, Pita, Ghina, Susan, Marjul, Adhe, Adin, Yasmine, Nana,
Nani, Addina, Meiliza, Ray beserta rekan-rekan USUKOM lainnya
yang telah menjadi keluarga kedua bagi peneliti. Terima kasih atas
tawa, omelan dan dukungan kalian.
10. Kak Puan, terima kasih untuk diskusi singkat mengenai skripsi, atas
saran dan nasehat yang diberikan kepada peneliti.
11.Untuk Kak Dwi dan Kak Wina, terima kasih atas diskusi singkat yang
pernah kita lakukan, atas saran dan semangat yang diberikan. Semoga
Kakak berdua selalu diberikan kebaikan oleh Allah SWT.
12. Kak Maya dan seluruh staf departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU
13.Seluruh anggota Komunitas Black Cat Tattoo yang telah mengizinkan
dan bersedia menjadi informan untuk penelitian ini, dengan berbagi
pengalaman hidup kalian yang luar biasa.
14.Teman-teman Ilmu Komunikasi 2010, para senior dan junior. Terima
kasih atas kebersamaan yang telah dibangun. Semoga ilmu kita
benar-benar diaplikasikan di dunia nyata, bukan sekedar penghias ijazah saja.
15.Sahabat, keluarga, teman yang tidak mungkin disebutkan satu per satu,
tapi yakinlah, setiap kebaikan dan keikhlasan, Allah akan
membalasnya dan mengumpulkan kita kembali, Insya Allah, di
syurga-Nya kelak. Amin.
Akhir kata peneliti panjatkan doa dan syukur ke hadirat Allah SWT
atas segala kekuatan dan kemudahan yang telah diberikan. Peneliti
berharap penelitian ini dapat bermanfaat dan menjadi inspirasi agar
pendidikan di Indonesia lebih baik di masa yang akan datang.
Medan, September 2014
Peneliti
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan
di bawah ini :
Nama : Endang Murdaningsih
NIM : 100904013
Departemen : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas : Sumatera Utara
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Sumatera Utara Hak bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exclusive
Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Makna Tato Pada
Anggota Komunitas Tato (Studi Fenomenologi Makna Tato Pada Anggota
Komunitas Black Cat Tattoo), beserta perangkat yang ada jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak
menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data
(database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin
dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis atau pencipta
dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Medan
Pada Tanggal : September 2014
Yang Menyatakan
ABSTRACT
This research entitled Phenomenological study of Meaning of Tattoos toward Tattoos Community members. The aims are to describe and express about the action from tattoo user in reflecting on their experiences, what the motive in using tattoo and meaning of tattoo from tattoo user in the community.There are six people that become informant and they all are members from Black Cat Tattoo Community.
This research using the trancendental phenomenological method that are on the paradigm of constructivism where the method be used four phase, bracketing, phenomenological reduction, imagine of variation, and synthesis meaning and essence. Researchers used four processes for recording the conditions in the field at the time of the research. Through the processes, it can be seen how the informant gave an overview of the action taken for reflecting on their experiences about tattoo, what their motive in using tattoo and subjective meanings of their tattoo to themselves. Data was collected through observation method, depth interview, documentation, and literature study.
Based on these research, researchers have obtained the result that the first that all of the informants have more or less same action on the meaning their experience. Three of the six informants choose to become a tattoo users only, while others are not just a user tattoos, but also a tattoo artist as their bussiness opportunities. The second, all of the informants have a different motive in using tattoos and obtained three categories of motives, for motive by reason of beautifulness, motive by reason of emulate his idol, and motive by reason of society. The third, all of the informants have rouhgly the same meaning with each other. Five of the six informants have the meaning that a tattoo is an expression of art and beautifullness, while the informants have the meaning that a tattoo is an identity.
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Studi Fenomenologi Makna Tato pada Anggota Komunitas Tato. Tujuannya adalah menggambarkan dan mengungkapkan tindakan individu pengguna tato dalam merefleksikan pengalamannya, motif dalam menggunakan tato serta makna tato dari individu pengguna tato di komunitas tersebut. Terdapat enam orang yang menjadi informan dan mereka semua adalah anggota komunitas Black Cat Tattoo.
Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi transendental yang berada pada paradigma konstruktivisme di mana dalam metode tersebut digunakan empat fase, yaitu fase epoche, reduksi fenomenologi, variasi imajinasi, dan sintesis makna dan esensi. Keempat proses tersebut dijadikan peneliti untuk merekam kondisi di lapangan pada saat penelitian. Lewat proses tersebut dapat diketahui bagaimana informan memberi gambaran mengenai tindakan yang dilakukan untuk mereflesikan pengalamannya tersebut, apa motif mereka dalam menggunakan tato serta pemaknaan subjektif mereka terhadap tato itu sendiri. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara mendalam, dokumentasi dan studi kepustakaan.
Berdasarkan penelitian tersebut, peneliti telah memperoleh hasil yaitu, yang pertama bahwa seluruh informan memiliki tindakan yang kurang lebih sama dalam memaknai pengalamannya. Tiga dari enam informan memilih menjadi pengguna tato saja, sementara sebagian lainnya tidak sekedar menjadi pengguna tato, tetapi juga menjadi seniman tato sebagai peluang bisnis mereka. Kedua, seluruh informan memiliki motif tindakan yang berbeda dalam menggunakan tato dan diperoleh tiga kategori motif yaitu motif dengan alasan keindahan, motif dengan alasan meniru idola serta motif dengan alasan pergaulan. Ketiga, seluruh informan memiliki pemaknaan yang kurang lebih sama satu dengan yang lain. Lima dari enam informan memiliki pemaknaan bahwa tato merupakan ekspresi seni dan keindahan, sementara satu orang informan memiliki pemaknaan bahwa tato merupakan identitas.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
LEMBAR PENGESAHAN... ii
KATA PENGANTAR... iii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... vi
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian... 9
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil... 49
4.1.1 Komunitas Black Cat Tattoo... 49
4.1.2 Epoche... 50
4.1.3 Reduksi Fenomenologi... 52
4.1.4 Variasi Imajinasi... 63
4.1.5 Sintesis Makna dan Esensi... 66
4.1.6 Tindakan Anggota Komunitas “Black Cat Tattoo” Dalam Memaknai Pengalamannya Terkait Tato... 69
4.1.7 Motif Anggota Komunitas Menggunakan Tato... 70
4.1.8 Kesimpulan Tindakan, Motif Dan Pemaknaan Tato Pada Anggota Komunitas... 71
4.1.9 Kompilasi Epoche, Reduksi Fenomenologi, Variasi Imajinasi, dan Sintesis dan Esensi Makna Tindakan, Motif dan Pemaknaan Tato pada Anggota Komunitas BCT... 72
4.2 Pembahasan... 73
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan... 80
5.2 Saran... 82
5.2.1 Saran dalam Kaitan Bidang Akademis... 82
5.2.2 Saran dalam Kaitan Bidang Praktis... 82
DAFTAR REFERENSI LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
DAFTAR TABEL
1. Tabel I : Tindakan Anggota Komunitas “Black Cat Tattoo”
Dalam Merefleksikan Pengalamannya... 69
2. Tabel II : Motif Anggota Komunitas Menggunakan Tato... 70
3. Tabel III : Kesimpulan Tindakan, Motif Dan Pemaknaan Tato
Pada Anggota Komunitas... 71
4. Tabel IV : Kompilasi Epoche, Reduksi Fenomenologi, Variasi Imajinasi,
dan Sintesis dan Esensi Makna Tindakan, Motif dan Pemaknaan
DAFTAR LAMPIRAN • Transkrip Wawancara
• Dokumentasi
• Biografi Peneliti
ABSTRACT
This research entitled Phenomenological study of Meaning of Tattoos toward Tattoos Community members. The aims are to describe and express about the action from tattoo user in reflecting on their experiences, what the motive in using tattoo and meaning of tattoo from tattoo user in the community.There are six people that become informant and they all are members from Black Cat Tattoo Community.
This research using the trancendental phenomenological method that are on the paradigm of constructivism where the method be used four phase, bracketing, phenomenological reduction, imagine of variation, and synthesis meaning and essence. Researchers used four processes for recording the conditions in the field at the time of the research. Through the processes, it can be seen how the informant gave an overview of the action taken for reflecting on their experiences about tattoo, what their motive in using tattoo and subjective meanings of their tattoo to themselves. Data was collected through observation method, depth interview, documentation, and literature study.
Based on these research, researchers have obtained the result that the first that all of the informants have more or less same action on the meaning their experience. Three of the six informants choose to become a tattoo users only, while others are not just a user tattoos, but also a tattoo artist as their bussiness opportunities. The second, all of the informants have a different motive in using tattoos and obtained three categories of motives, for motive by reason of beautifulness, motive by reason of emulate his idol, and motive by reason of society. The third, all of the informants have rouhgly the same meaning with each other. Five of the six informants have the meaning that a tattoo is an expression of art and beautifullness, while the informants have the meaning that a tattoo is an identity.
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Studi Fenomenologi Makna Tato pada Anggota Komunitas Tato. Tujuannya adalah menggambarkan dan mengungkapkan tindakan individu pengguna tato dalam merefleksikan pengalamannya, motif dalam menggunakan tato serta makna tato dari individu pengguna tato di komunitas tersebut. Terdapat enam orang yang menjadi informan dan mereka semua adalah anggota komunitas Black Cat Tattoo.
Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi transendental yang berada pada paradigma konstruktivisme di mana dalam metode tersebut digunakan empat fase, yaitu fase epoche, reduksi fenomenologi, variasi imajinasi, dan sintesis makna dan esensi. Keempat proses tersebut dijadikan peneliti untuk merekam kondisi di lapangan pada saat penelitian. Lewat proses tersebut dapat diketahui bagaimana informan memberi gambaran mengenai tindakan yang dilakukan untuk mereflesikan pengalamannya tersebut, apa motif mereka dalam menggunakan tato serta pemaknaan subjektif mereka terhadap tato itu sendiri. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara mendalam, dokumentasi dan studi kepustakaan.
Berdasarkan penelitian tersebut, peneliti telah memperoleh hasil yaitu, yang pertama bahwa seluruh informan memiliki tindakan yang kurang lebih sama dalam memaknai pengalamannya. Tiga dari enam informan memilih menjadi pengguna tato saja, sementara sebagian lainnya tidak sekedar menjadi pengguna tato, tetapi juga menjadi seniman tato sebagai peluang bisnis mereka. Kedua, seluruh informan memiliki motif tindakan yang berbeda dalam menggunakan tato dan diperoleh tiga kategori motif yaitu motif dengan alasan keindahan, motif dengan alasan meniru idola serta motif dengan alasan pergaulan. Ketiga, seluruh informan memiliki pemaknaan yang kurang lebih sama satu dengan yang lain. Lima dari enam informan memiliki pemaknaan bahwa tato merupakan ekspresi seni dan keindahan, sementara satu orang informan memiliki pemaknaan bahwa tato merupakan identitas.
BAB I PENDAHULUAN
1.1Konteks Masalah
Banyaknya pemberitaan kriminal di berbagai media massa yang menyorot
tajam pelaku kriminal dan berbagai tampilan yang dikenakannya, membuat publik
semakin meyakini bahwa orang yang termasuk jahat adalah orang-orang yang
ciri-ciri fisiknya seperti apa yang ditampilkan media massa tersebut. Salah satu
yang banyak orang tahu adalah bahwa orang-orang kriminal itu dicirikan dengan
adanya tato yang menempel di tubuh si pelaku kriminal. Hal tersebut menjadikan
tato sebagai suatu yang buruk di mata publik. Tidak mengherankan bahwa pada
akhirnya “masberto” alias manusia bertato yang hidup di suatu lingkungan
masyarakat, mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan, seperti dikucilkan,
dicemooh, bahkan diusir dari lingkungan tersebut.
Pada era Soeharto misalnya, di mana tato pernah mendapatkan citra yang
negatif dari masyarakat. Pasalnya, saat itu operasi “Petrus” (penembakan
misterius) sedang giat-giatnya dilakukan oleh aparat negara. Sasaran dari operasi
“Petrus” ini adalah para preman, gali (gabungan anak liar), orang-orang yang
dianggap berpotensi melakukan tindakan kriminal dan umumnya mereka yang
bertato. Mereka diculik, dihajar, ditembak kemudian mayatnya di buang di
berbagai tempat seperti di sungai, di tepi jalan, di perempatan dan ada juga di
dekat pos siskamling. Tato yang awalnya merupakan wujud ekspresi diri dari
penggunanya berubah menjadi sesuatu yang “lain” bagi negara. Negara pada saat
itu beralasan bahwa penumpasan mereka didasari tujuan dari kontrol negara
dalam rangka stabilitas keamanan yang dapat berdampak pada kontinuitas
pembangunan negara.
Masyarakat yang sangat memegang kuat norma-norma sosial dan budaya,
seperti masyarakat tradisional umumnya bertentangan dengan kenyataan yang
dianggap “tidak normal”, dalam hal ini adalah manusia bertato. Ketidaksamaan
maupun ketidakserasian nilai dan ideologi di antara mereka, menjadi pendorong
munculnya deviasi. Deviasi memiliki arti sebagai tindakan penyimpangan
Tidak hanya dianggap bertentangan dengan norma-norma sosial
masyarakat, ternyata tato juga mendapat tentangan keras dari agama. Misalnya
dalam islam, mengubah sesuatu pemberian Allah SWT cenderung dikutuk
misalnya tato, operasi plastik, menyambung rambut dan mencukur alis. Namun
banyaknya larangan dari berbagai pihak, tak menyurutkan hasrat muda-mudi masa
kini untuk menghiasi tubuhnya dengan tato.
Dijelaskan bahwa kata tato berasal dari bahasa Tahiti yakni “tattau” yang
berarti menandai, dalam arti bahwa tubuh ditandai dengan menggunakan alat
berburu yang runcing untuk memasukkan zat pewarna di bawah permukaan kulit.
Proses penusukan jarum dengan tangan (manual) hingga kini masih terdapat di
beberapa kebudayaan dunia seperti Samoa, Maori, Mentawai, Burma dan
Thailand. Dalam bahasa Jawa, tato mempunyai makna yang nyaris sama
meskipun berbeda, yakni kata “tatu” yang juga memiliki kesejajaran makna
“luka” atau “bekas luka” yang menjadi sebuah tanda tertentu dengan kulit lainnya
baik di tubuh sendiri maupun perbedaan tanda dengan tubuh milik orang lain
(Olong, 2006: 84-85).
Di Indonesia tato muncul dari masyarakat yang ada di pedalaman, biasa
disebut dengan masyarakat primitif. Masyarakat primitif ini masih sangat dekat
dengan unsur-unsur magis yang dipercaya lewat leluhurnya, misalnya suku
Mentawai, suku Dayak dan masih banyak lagi. Bagi mereka tato memiliki makna,
tanda, simbol dan fungsi yang berbeda-beda.
Tato pada kaum perempuan suku Belu di Pulau Timor misalnya, tato
dianggap sebagai simbol kecantikan yang diyakini dapat menarik lawan jenis.
Karena penatoan yang dilakukan memakan biaya prosesi yang tidak sedikit,
perayaan yang diadakan tersebut merupakan prestise tersendiri bagi yang mampu
melakukannya. Uniknya, kaum perempuan suku Belu ini akan merasa malu jika
tidak mentato tubuhnya karena kaum lelaki hanya akan memilih perempuan yang
telah ditato.
Seiring berjalannya waktu dan arus informasi yang semakin deras dengan
segala macam perkembangan zaman yang selalu up to date, lambat laun eksistensi maupun identitas tato yang sesungguhnya mulai terkikis dan berubah menjadi
Anak-anak muda yang notabene selalu merasa penasaran dengan hal-hal baru,
selalu ingin diperhatikan oleh lingkungan sekitarnya dengan apa yang ia miliki,
sangat mudah terpengaruh oleh sesuatu yang belum dikenalnya dan dorongan
untuk mencoba sering kali tidak terbendung. Pergaulan juga menjadi faktor
penting dalam hal ini, biasanya bermula dari teman sebaya yang lebih dahulu
mentato, akhirnya terpersuasi untuk mengikuti jejak temannya tersebut.
Erikson menyebutkan, dalam siklus kehidupan manusia akan mengalami
delapan siklus. Pertama, tahap sensor mulut. Kedua, tahap otot anal. Ketiga, tahap locomotus genetis. Keempat, periode laten. Kelima, pubertas atau remaja.
Keenam, dewasa muda/akil baligh. Ketujuh, dewasa. Kedelapan, dewasa dan
masa tua. Dalam setiap peralihan yang disebut di atas, setiap manusia akan
mengalami krisis identitas yang menimbulkan adanya kebutuhan dasar yang baru,
kecemasan, kekhawatiran, resah, hingga ketakutan yang menyelimuti. Hal-hal
tersebut jika tidak segera diatasi akan menyebabkan rusaknya kepribadian (Olong,
2006: 41).
Telah disinggung di atas bahwa peran media massa dalam membentuk
opini negatif masyarakat tentang tato sangat kuat. Namun di sisi lain, melalui
media massa anak-anak muda juga menyerap, meniru gaya idolanya yang bertato.
Artis ataupun band-band metal luar negeri misalnya, mereka kerap menunjukkan
bagian tubuhnya yang bertato saat tampil di depan publik. Idola dalam hal ini
adalah seseorang yang menjadi sumber inspirasi untuk menunjukkan jati diri.
Tidaklah mengherankan jika mereka begitu keranjingan sehingga rela
memperlakukan tubuh sebagai kanvas tato merupakan pengorbanan. Mereka rela
menderita sakit demi menyerupai penampilan idolanya.
Seperti yang diketahui bahwa mentato tubuh tidak hanya cukup
bermodalkan rasa kesenangan dan keberanian. Hal yang terpenting saat akan
memutuskan bertato adalah komitmen yang kuat pada diri sendiri. Tidak bisa
begitu saja memperlakukan tubuh tanpa didasari rasa tanggung jawab. Setiap
pengguna tato harusnya memikirkan secara matang mengenai keputusannya untuk
bertato. Calon pengguna tato juga harus siap dengan resiko kesehatan yang akan
dihadapi. Resiko itu bisa berupa iritasi kulit bahkan dalam jangka waktu lama bisa
apabila suatu saat nanti timbul permasalahan karena tatonya itu. Pertimbangan
ataupun keputusan yang tidak matang akan berujung pada penyesalan semata.
Mulai dari desain tato yang harus benar-benar cocok, siapa tattoo artist nya, studio tatonya, alat-alatnya steril atau tidak, semua tidak bisa lepas dari perhatian
calon pengguna tato.
Perubahan tato ternyata tidak hanya pada identitasnya saja. Tato
dahulunya mungkin hanya dimiliki oleh suku-suku primitif yang telah disebutkan
di atas dan sejak era Orde Baru tato mengalami pergeseran nilai dan makna. Jika
kembali ke masa lalu, Tato pada bagian tubuh mumi yang ditemukan di Mesir
bermotifkan pola grafis yang sederhana dengan titik-titik yang saling
berhubungan membentuk desain elips terletak di bagian bawah perut. Desain ini
dimungkinkan bermakna sebagai lambang kesuburan pada seorang perempuan.
Mumi perempuan tersebut bernama Amunet. Diperkirakan ia seorang pendeta
perempuan yang bermadzhab pemuja Dewi Athor yang berkediaman di daerah
Thebes. Tato pada masa lampau dalam setiap budaya yang berlainan, memiliki
makna dan fungsi yang berbeda-beda pula (Olong, 2006: 99).
Suku Maori di New Zealand misalnya, membuat tato yang berbentuk
ukir-ukiran spiral pada wajah dan pantat. Menurut budaya mereka ini adalah tanda bagi
keturunan yang baik. Pada abad 300-900 SM, tato dan berbagai perhiasan tubuh
(body adornment) lainnya berkembang pesat pada suku Maya, Inca dan Aztec.
Perhiasan tubuh ini pada umumnya berfungsi sebagai ritual. Di Sudan suku Nuer
menggunakan tato untuk menandai ritus laki-laki. Pada perempuan masyarakat
suku bangsa Kirdi dan Lobi, Afrika Tengah, terdapat tato berukuran kecil di
bagian wajah, tepatnya di mulut membentuk desain segitiga yang disebut
wobaade. Tato ini bertujuan menghindarkan diri dari gangguan setan. Penatoan
pada bibir bagian atas bertujuan menghindarkan diri dari perdagangan budak.
Suku Dai kuno percaya bahwa warna hitam dapat menghindarkan mereka dari
serangan berbagai macam makhluk asing sehingga mereka menempatkan warna
tersebut pada wajah sebagai rajah. Rajah pada laki-laki dianggap sebagai simbol
keberanian, karena itu diletakkan di bagian tubuh yang mempunyai otot terkuat
Namun saat ini, tato menjadi lebih dianggap moderen dan jauh dari kesan
kuno. Mulai dari desain, alat, proses penatoannya dan makna tato itu pun turut
berubah. Tato dalam masyarakat kekinian, terutama muda-mudi dimaknai sebagai
kebebasan tanpa ada aturan yang membelenggu mereka (campur tangan
pemerintah), sebagai ajang ekspresi diri dan sebagai wujud kecintaan kepada
idolanya yang menggunakan tato. Tato semakin populer manakala peralatan yang
digunakan untuk mentato semakin canggih dan mampu meminimalisir rasa sakit,
kemudian teknik penghilangan tato muncul sebagai pilihan bagi mereka yang
ingin menghapus ataupun mengganti tato yang sebelumnya dengan tato yang
baru.
Menjamurnya studio tato di kota-kota besar menunjukkan bahwa
eksistensi tato perlahan sudah diterima oleh sebagian kalangan. Seiring dengan
itu, bermunculan berbagai macam komunitas tato yang di dalamnya adalah para
pengguna tato, baik seniman ataupun partisipan. Melalui komunitas yang mereka
bentuk, mereka mampu menampilkan kreativitas yang dimiliki. Melalui
kegiatan-kegiatan event, exhibition dan lain sebagainya, eksistensi mereka semakin terlihat dan sembari menegaskan bahwa tato saat ini bukan sesuatu yang negatif, bukan
sesuatu yang kuno lagi, melainkan sebuah industri kreatif yang harus
terus-menerus dikembangkan.
Komunitas tato juga menjadi wadah untuk berinteraksi dengan pengguna
tato lainnya. Berbagi ilmu, berbagi pengalaman serta menguatkan solidaritas di
antara sesamanya. Dalam komunitas, mereka bebas menuangkan karya tanpa ada
pengendalian dan pengawasan dari siapapun. Dijelaskan dalam buku Olong,
komunitas merupakan sebuah fase logis dari keadaan/fase liminalitas, karena
setiap orang pasti mengalami masuk menjadi sebuah entitas komunitas. Keadaan
ini membuat subjek mengalami hubungan antarpribadi yang antistruktur. Menurut
Turner, antistruktur merupakan fenomena di mana tidak hadirnya sebuah struktur
sosial yang berlaku, dalam arti bahwa di dalam komunitas tersebut justru berlaku
nilai-nilai kesamaan antarindividu (egalitarian). Hubungan yang terjadi adalah
antar subjek, bukan antara subjek dan objek, bergerak ke satu tujuan dan
Meskipun memiliki visi misi yang sama tentang tato, tidak berarti setiap
individu yang merupakan anggota komunitas memiliki makna dan pengalaman
yang sama tentang tato. Setiap individu memiliki kisahnya tersendiri, bagaimana
akhirnya ia bisa menjadi “masberto”. Pengalaman tersebut yang pada akhirnya
menuntun mereka ingin seperti apa merefleksikannya. Perbedaan yang ada di
antara mereka, lantas tidak menjadi masalah ketika bergabung menjadi suatu
kelompok yang solid dalam suatu komunitas.
Salah satu komunitas tato di Kota Medan yaitu Black Cat Tattoo. Black
Cat Tattoo adalah sebuah studio tato, distro anak muda dan sebuah komunitas.
Awalnya studio tato tempat mereka biasa berkumpul ini, memiliki tempat/ruangan
yang kecil dan hanya bisa digunakan untuk tempat membuat tato. Namun seiring
berjalannya waktu, sang pemilik studio tato, tattoo artist, sekaligus pendiri komunitas BCT ini, memutuskan membuka sebuah distro anak muda yang
mengharuskan mereka untuk pindah ke tempat yang lebih luas lagi pada 2010
lalu, yang tidak jauh dari studio tato yang dulu.
Menariknya, Black Cat Tattoo sudah cukup lama berdiri, tepatnya dari
tahun 2002 hingga sekarang. Dalam kurun waktu tersebut, Black Cat Tattoo telah
banyak memperoleh pengalaman serta perkembangan seputar tato yang selalu
diikuti komunitas ini sehingga dengan itu peneliti yakin memperoleh data yang
dibutuhkan dari masing-masing individu/anggota komunitas. Dengan lokasi yang
cukup strategis yaitu di simpang jalan Dr. Mansyur dekat lampu merah, di mana
juga banyak tempat tongkrongan anak-anak muda Kota Medan.
Black Cat Tattoo juga termasuk komunitas yang aktif mengikuti tattoo
event. Black Cat Tattoo sendiri, tergabung dalam komunitas besar bernama Sumut
Tattoo Artist atau disingkat STA, di mana tak hanya komunitas mereka saja yang
ada di situ. Komunitas tato lain yang ada di Sumut seperti Siong Bali Tattoo
Studio, Topan Tattoo, Hen’z Tattoo Arts, Kevinto Tattoo, Sam Tattoo, Taurus
Tattoo Binjai, Reno Tattoo, Dod Tattoo, Riveth Tattoo, Apin Tattoo, Inqbal
Bastardx Tattoo, Jack Bandits Tattoo serta masih banyak lagi
(www.medanmagazine.com).
Saat peneliti melakukan pra penelitian ke sana, peneliti langsung berjumpa
bahwa ia sudah terjun ke dunia tato sejak tahun 1996. Ia juga memberi informasi
kepada peneliti bahwa komunitas ini tidak memiliki jumlah anggota yang tetap,
karena pada dasarnya komunitas ini tidak bersifat mengikat layaknya sebuah
organisasi. Komunitas ini dibentuk atas dasar kesamaan hobi, minat dan
pandangan terhadap tato itu sendiri. Komunitas tersebut merupakan tempat yang
cocok untuk menyalurkan jiwa seni dan kreatif para pecinta tato.
Peneliti dalam hal ini tidak memiliki tujuan untuk memberikan sebuah
solusi terkait masalah tato, hanya penggambaran wacana dirasa peneliti jauh lebih
penting untuk dapat dilihat masyarakat luas dalam memahami tato. Pemahaman
yang baik mengenai tato, sedikitnya akan memberikan pengertian baru bagi
orang-orang yang sadar bahwa tato ada dalam lingkungannya memiliki
kandungan tersendiri untuk dimengerti. Baik buruknya pengguna tato, sebenarnya
bukan menjadi sebuah tolok ukur. Pemahaman mengenai tato akan membantu
masyarakat dan para pengguna tato untuk lebih memahami tato. Hanya yang perlu
diingat, mentato adalah keputusan seumur hidup, untuk itu tato akan menceritakan
mengenai apa, mengapa dan bagaimana makna tato tersebut melekat.
1.2 Fokus Masalah
Masalah merupakan pokok dari suatu penelitian. Tujuan dari fokus
masalah adalah untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas,
supaya masalah yang diteliti tidak meluas ke mana-mana. Dalam penelitian ini,
peneliti ingin mengetahui lebih jauh pengalaman pengguna tato terhadap
fenomena tato dan makna tato pada diri penggunanya di komunitas tersebut.
Berdasarkan pemaparan konteks masalah di atas, maka peneliti merumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana individu pengguna tato di komunitas “Black Cat Tattoo”
merefleksikan pengalamannya ?
2. Bagaimana pemaknaan tato pada individu pengguna tato di komunitas
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan adalah apa yang hendak kita capai. Dalam penelitian ini, peneliti memiliki
tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan mengungkapkan
tindakan individu pengguna tato di komunitas “Black Cat Tattoo” dalam
merefleksikan pengalamannya.
2. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan mengungkapkan motif
ataupun alasan dalam menggunakan tato.
3. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan mengungkapkan
makna tato dari individu pengguna tato di komunitas “Black Cat Tattoo”.
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan serta
memperluas wawasan peneliti mengenai studi fenomenologi dalam
meneliti fenomena sosial yang ada dalam suatu komunitas.
2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menarik peneliti lain
untuk meneruskan penelitian di bidang Ilmu Komunikasi, khususnya
mengenai makna tato pada penggunanya di suatu komunitas.
3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan
pikiran dan masukan kepada pihak-pihak yang membutuhkan pengetahuan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1Paradigma
Paradigma penelitian kualitatif dilakukan melalui proses induktif, yaitu
berangkat dari konsep khusus ke umum, konseptualisasi, kategorisasi dan
deskripsi yang dikembangkan berdasarkan masalah yang terjadi di lokasi
penelitian. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dapat dilakukan secara
simultan dengan analisis data selama penelitian berlangsung. Selanjutnya, Patton
mendefenisikan paradigma sebagai berikut (Patton dalam Ghony, 2012: 73):
“A paradigm is a world view, a general perspective, a way of breaking down the complexity of the real world. As much paradigms are deeply embedded in the socialization of adherents and practicioners telling them what is important, what is legitimate, what is reasonable. Paradigms are normative; they tell the practicioner what to do with out the necessity of long existencial or epistemological consideration. But it is this aspect of a paradigms that constitutes both its strength and its weakness-its strength in that it make action possible, its weakness in that very reason for action is hidden in the unquestioned assumptions of the paradigm.”
Jadi, menurut Patton yang dimaksud dengan paradigma dalam penelitian
adalah suatu perspektif umum atau cara untuk memisah-misahkan dunia nyata
yang kompleks, kemudian memberikan arti atau makna dan penafsiran-penafsiran.
Paradigma itu lebih dari sekadar orientasi metodologi.
Paradigma bukan saja memungkinkan suatu disiplin ilmu dapat
menjadikan berbagai fenomena menjadi masuk akal, melainkan juga memberikan
suatu kerangka di mana fenomena tersebut dapat ditunjukkan sebagai sesuatu
yang memang ada. Dalam arti yang paling nyata, untuk memahami paradigma,
kita harus memahami proses bagaimana paradigma itu ditemukan. Artinya,
bagaimana paradigma itu menjadi cara untuk melihat fenomena tertentu.
Paradigma kualitatif mencanangkan pendekatan humanistik untuk
memahami realitas sosial para idealis, yang memberikan suatu tekanan pada
pandangan yang terbuka tentang kehidupan sosial. Paradigma kualitatif
memandang kehidupan sosial sebagai kreativitas bersama individu-individu.
objektif dan dapat diketahui oleh semua peserta yang melakukan interaksi sosial.
Dasar dalam paradigma kualitatif dalam mengonseptualisasikan dunia sosial
adalah pengembangan konsep-konsep dan teori-teori grounded dalam data. Artinya, konsep dan teori dibentuk berdasarkan data sehingga data merupakan
sumber sekaligus verifikasi teori atau konsep tersebut. Konsep-konsep itu disebut
sebagai first order concepts yang sangat penting untuk mengembangkan second
order concepts, yaitu konsep-konsep yang muncul pada saat mencoba
menerangkan fenomena sosial. Fokus pada makna-makna sosial dan penekanan
bahwa makna-makna sosial tersebut hanya dapat dipahami dalam konteks
interaksi antarindividu sehingga hal tersebut membedakan paradigma sosial ini
dengan model ilmu pengetahuan alam.
Pendekatan kualitatif mempunyai asumsi bahwa pemahaman tingkah laku
manusia itu tidak cukup diperoleh hanya dari surface behaviour, tetapi tidak kalah pentingnya adalah inner perspective of human behaviour, sebab dari sini akan diperoleh gambaran yang utuh tentang manusia dan dunianya. Secara singkat,
paradigma kualitatif memiliki ciri-ciri fenomenologis, induktif, inner behaviour dan holistik.
Penelitian kualitatif yang baik menyediakan pemerhatian deskriptif yang
sistematis dan berdasarkan konteks. Pendekatan ini memberikan ruang bagi
peneliti untuk mempelajari suatu sistem serta hubungan semua aktivitas dalam
sistem tersebut yang dapat dilihat secara total dan bukan secara bagian saja.
Paradigma penelitian kualitatif adalah pendekatan sistematis dan subjektif dalam
menjelaskan pengalaman hidup berdasarkan kenyataan lapangan (empiris),
bahkan terus berkembang di dunia sains dan pendidikan. Proses penelitian ini
dijalankan melalui pemahaman tentang pengalaman manusia dalam aneka bentuk.
Penelitian kualitatif lebih berorientasi pada upaya memahami fenomena
secara menyeluruh. Pendekatan semacam ini lebih konsisten dengan filosofi
holistik di bidang sains sosial dan pendidikan. Penelitian kualitatif berangkat dari
ilmu perilaku manusia dan ilmu sosial, hakikat dari holistik bagi manusia melalu
penelahaannya terhadap orang-orang dalam interaksinya dengan latar sosial.
Menurut pendapat Maxwell (1996), kelebihan paradigma kualitatif antara
a. Pemahaman makna, makna merujuk pada kognisi, afeksi, intensi dan apa
saja yang berada di bawah payung participant’s perspectives (perspektif partisipan). Perspektif para informan tidak terbatas pada laporan mereka
ihwal satu kejadian/fenomena, tetapi juga pada apa yang ada di balik
perspektif itu. Peneliti bukan saja tertarik pada satu aspek fisik dari
kejadian itu, melainkan juga bagaimana mereka memaknai semua itu dan
bagaimana makna itu mempengaruhi tingkah laku informan. Fokus pada
makna seperti itu sangatlah mendasar bagi mazhab interpretatif dalam
studi ilmu sosial.
b. Pemahaman konteks tertentu, dalam penelitian kualitatif perilaku informan
dilihat dalam konteks tertentu dan pengaruh konteks terhadap tingkah
laku. Peneliti kualitatif lazimnya berkonsentrasi pada sejumlah orang atau
situasi yang relatif sedikit dan perhatiannya terkuras habis-habisan pada
analisis kekhasan kelompok atau situasi itu saja. Pengumpulan data dari
banyak informan atau situasi tidaklah menarik bagi peneliti kualitatif.
Justru dengan pisau kualitatif para peneliti mampu membedah kejadian,
situasi, perilaku dan bagaimana semua itu dipengaruhi oleh sang situasi
yang perkasa.
c. Identifikasi fenomena dan pengaruh yang tidak terduga. Bagi peneliti
kualitatif, setiap informasi, kejadian, perilaku, suasana dan pengaruh baru
adalah terhormat dan berpotensi sebagai data untuk menyokong hipotesis
kerja.
d. Kemunculan teori berbasis data (grounded theory). Teori yang sudah jadi, pesanan atau apriori tidak mengesankan kaum naturalis karena teori ini
akan kewalahan apabila disergap oleh informasi, kejadian, perilaku,
suasana dan pengaruh baru dalam konteks baru.
e. Pemahaman proses, para peneliti naturalis berupaya untuk lebih
memahami proses daripada produk kejadian atau kegiatan yang sedang
diamati. Proses yang membantu perwujudan fenomena itulah yang paling
2.1.1 Paradigma Konstruktivisme
Pemikiran konstruktivis bukan sesuatu yang baru. Ada yang merunutnya
sampai pada Glambatista Vico (1710), seorang epistemolog dari Italia yang
meyakini bahwa manusia adalah pencipta makna. Ia mengatakan “mengetahui
berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu.” Hal ini bermakna bahwa
mengetahui adalah merekonstruksi. Kant juga dianggap sebagai penggagas
konstruktivis karena meyakini pengetahuan manusia adalah hasil olah rasio
memanfaatkan bahan mentah dari indra. Manusialah yang secara aktif
membangun dan merumuskan pengetahuan. Pemikiran ini dilanjutkan oleh Piaget
dalam teori perkembangan kognitif. Ini tidak mengherankan karena Piaget adalah
penganut NeoKanianisme. Psikologi Rusia, Vygotsky menajamkan
konstruktivisme ini menjadi konstruktivisme sosial karena meyakini pemikiran
dan perilaku anak turut ditentukan oleh relasi-relasi sosial di mana ia dibesarkan
dan peran bahasa sangat penting di sini (Putra, 2013: 48))
Paradigma ini hampir merupakan antitesis terhadap paham yang
menempatkan pentingnya pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu
realitas atas ilmu pengetahuan. Secara tegas paham ini menyatakan bahwa
positivisme dan post-postivisme keliru dalam mengungkapkan realitas dunia dan
harus ditinggalkan serta digantikan oleh paham yang bersifat konstruktif. Secara
ontologis, aliran ini menyatakan bahwa realitas itu ada dalam beragam bentuk
konstruksi mental yang didasarkan pada pengalaman sosial, bersifat lokal dan
spesifik, serta tergantung pada sikap yang melakukannya. Karena itu, realitas
yang diamati oleh seseorang tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang
sebagaimana yang biasa dilakukan di kalangan positivis atau post-positivis. Atas
dasar filosofis ini, aliran ini menyatakan bahwa hubungan epistemologis antara
pengamat dan objek merupakan satu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil
perpaduan di antar keduanya (Salim, 2006: 71).
Secara metodologis, aliran ini menerapkan metode hermenautika dan
dialektika dalam proses mencapai kebenaran. Metode pertama dilakukan melalui
identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat orang per orang yang diperoleh
melalui metode pertama, untuk memperoleh suatu konsensus kebenaran yang
merupakan perpaduan pendapat yang bersifat relatif, subjektif dan spesifik
mengenai hal-hal tertentu.
Tabel 1.1
TIGA PARADIGMA ILMU SOSIAL Positivisme dan
Post-seperti ilmu alam, yaitu
metode terorganisir untuk
mengkombinasikan
‘deductive logic’ melalui
pengamatan empiris, agar
atas “socially meaningfull
action” melalui pengamatan
langsung terhadap aktor
sosial dalam setting yang
alamiah, agar dapat
memahami dan menafsirkan
bagaimana aktor sosial
mencipta dan memelihara
dunia sosial.
Mentakrifkan ilmu sosial
sebagai proses kritis
mengungkap ‘the real
structure’ di balik ilusi dan
kebutuhan palsu yang
Contoh Teori Contoh Teori Contoh Teori
Ekonomi Politik Liberal
construction of reality Peter
L. Berger).
(Sumber: Salim, 2006: 72)
Pada tradisi ilmu sosial interpretivisme, manusia lebih dipandang sebagai
sehari-hari bukanlah “berperilaku” melainkan “bertindak”. Sebab istilah “perilaku”
berkonotasi mekanistik alias bersifat otomatis. Padahal, “tingkah laku sosial”
manusia senantiasa melibatkan niat tertentu, pertimbangan tertentu atau
alasan-alasan tertentu. Dengan kata lain “tingkah laku sosial” manusia melibatkan
kesadaran sosial tertentu. Itulah sebabnya (mengapa) Weber memunculkan istilah
tindakan sosial (social action), dan buka perilaku sosial (social behavior). Manusia itu bertindak, bukan berperilaku. Istilah bertindak (action) mempunyai konotasi tidak otomatis/mekanistik, melainkan melibatkan niat, kesadaran dan
alasan-alasan tertentu. Ia bersifat intensional. Ia melibatkan makna dan
interpretasi yang tersimpan di dalam diri sang manusia pelaku sesuatu tindakan
(Bungin, 2003: 27)
2.1.2 Studi Fenomenologi
Sebuah penelitian fenomenologi adalah penelitian yang mencoba
memahami persepsi masyarakat, perspekstif dan pemahaman dari situasi tertentu
(atau fenomena). Dengan kata lain, sebuah penelitian fenomenologi mencoba
untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana rasanya mengalami hal ini dan itu?”.
Dengan melihat berbagai perspektif dari situasi yang sama, peneliti dapat
memulai membuat beberapa generalisasi atas sebuah pengalaman dari perspektif
insider.
Fenomenologi sebagai metode penelitian dapat dipandang sebagai studi
tentang fenomena, studi tentang sifat dan makna. Penelitian semacam ini terfokus
pada cara bagaimana kita mempersepsi realitas yang tampak melalui pengalaman
atau kesadaran. Jadi, tugas peneliti fenomenologi bertujuan menggambarkan
tekstur pengalaman sehingga pengalaman itu sendiri makin kaya. Penelitian
fenomenologi murni lebih menekankan pada penggambaran (deskripsi) daripada
penjelasan atas semua hal, tetapi tetap memperhatikan sudut pandang yang bebas
dari hipotesis atau praduga (Fouche dalam Sobur, 2013: 11).
Menurut Scheglof dan Sacks, dalam melakukan penelitian fenomenologi
tugas peneliti adalah merekam kondisi sosial, sehingga memungkinkan untuk
pendemonstrasian cara-cara yang dilakukan informan. Pada saat inilah peneliti
keadaan. Analisis terhadap tindakan informan ini merupakan teknik yang sering
digunakan fenomenologi untuk menggambarkan bagaimana manusia berpikir
tentang dirinya sendiri melalui pembicaraan. Selain itu juga untuk mengetahui
bagaimana manusia berpikir tentang pembicaraan mereka berdasarkan
pengetahuan yang dimiliki. Dengan demikian analisis fenomenologi mempunyai
prosedur yang sifatnya individual (Kuswarno, 2013: 48).
Berikut akan dikemukakan tahapan-tahapan penelitian fenomenologi
transedental dari Husserl:
a. Epoche
Epoche berasal dari bahasa Yunani yang berarti “menjauh dari” dan “tidak
memberikan suara”. Husserl menggunakan epoche untuk term bebas dari
prasangka. Dengan epoche, kita menyampingkan penilaian, bias dan
pertimbangan awal yang kita miliki terhadap suatu objek. Dengan kata lain,
epoche adalah pemutusan hubungan dengan pengalaman dan pengetahuan, yang
kita miliki sebelumnya.
Dalam penelitian fenomenologi, epoche ini harus mutlak ada. Terutama
ketika menempatkan fenomena dalam tanda kurung (bracketing method). Memisahkan fenomena dari keseharian dan dari unsur-unsur fisiknya dan ketika
mengeluarkan “kemurnian” yang ada padanya. Jadi epoche adalah cara untuk
melihat dan menjadi, sebuah sikap mental yang bebas.
Oleh karena epoche memberikan cara pandang yang sama sekali baru
terhadap objek, maka dengan epoche kita dapat menciptakan ide, perasaan,
kesadaran dan pemahaman yang baru. Epoche membuat kita masuk ke dalam
dunia internal yang murni, sehingga memudahkan untuk pemahaman akan diri
dan orang lain. Dengan demikian tantangan terbesar ketika melakukan epoche ini
adalah terbuka atau jujur dengan diri sendiri. Terutama ketika membiarkan objek
yang ada di depan kesadaran memasuki area kesadaran kita dan membuka dirinya
sehingga kita dapat melihat kemurnian yang ada padanya. Tanpa dipengaruhi oleh
segala hal yang ada dalam diri kita.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan orang lain, seperti persepsi,
pilihan, penilaian dan perasaan orang lain harus dikesampingkan juga dalam
menemukan makna, pengetahuan dan kebenaran. Sehingga pada praktiknya,
epoche memerlukan kehadiran, perhatian dan konsentrasi, demi mencapai cara
pandang yang radikal.
b. Reduksi Fenomenologi
Ketika epoche adalah langkah awal untuk “memurnikan” objek dari
pengalaman dan prasangka awal, maka tugas dari reduksi fenomenologi adalah
menjelaskan dalam susunan bahasa bagaimana objek itu terlihat. Tidak hanya
dalam term objek eksternal, namun juga kesadaran dalam tindakan internal,
pengalaman, sedangkan tantangan ada pada pemenuhan sifat-sifat alamiah dan
makna dari pengalaman.
Reduksi akan membawa kita kembali kepada bagaimana kita mengalami
sesuatu. Memunculkan kembali sifat-sifat alamiahnya. Reduksi fenomenologi
tidak hanya sebagai cara untuk melihat, namun juga cara untuk mendengar suatu
fenomena dengan kesadaran hati-hati. Singkatnya reduksi adalah cara untuk
melihat dan mendengar fenomena dalam tekstur dan makna aslinya.
c. Variasi Imajinasi
Tugas dari variasi imajinasi adalah mencari makna-makna yang mungkin
dengan memanfaatkan imajinasi, kerangka rujukan, pemisahan dan pembalikan,
serta pendekatan terhadap fenomena dari perspektif, posisi, peranan dan fungsi
yang berbeda. Tujuannya tiada lain untuk mencapai deskripsi struktural dari
sebuah pengalaman.
Target dari fase ini adalah makna dan bergantung dari intuisi sebagai jalan
untuk mengintegrasikan struktur ke dalam esensi fenomena. Dalam berpikir
imajinatif, kita dapat menemukan makna-makna potensial yang dapat membuat
sesuatu yang asalnya tidak terlihat menjadi terlihat jelas. Membongkar hakikat
fenomena dengan memfokuskannya pada kemungkinan-kemungkinan yang murni
adalah inti dari variasi imajinatif.
Pada tahap ini, dunia dihilangkan, segala sesuatu menjadi mungkin. Segala
makna dan hakikatnya. Dalam kondisi seperti ini, intuisi tidak lagi empiris namun
murni imajinatif.
d. Sintetis Makna dan Esensi
Merupakan tahap akhir dalam penelitian fenomenologi. Fase ini adalah
integrasi intuitif dasar-dasar deskripsi tekstural dan struktural ke dalam suatu
pernyataan yang menggambarkan hakikat fenomena secara keseluruhan.
Husserl mendefinisikan esensi sebagai sesuatu yang umum dan berlaku
universal, kondisi atau kualitas menjadi sesuatu tersebut. Esensi tidak pernah
terungkap secara sempurna. Sintesis struktur tekstural yang fundamental akan
mewakili esensi ini dalam waktu dan tempat tertentu dan sudut pandang imajinatif
dan studi reflektif seseorang terhadap fenomena.
2.2Uraian Teoritis 2.2.1 Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomai yang berarti “menampak”. Phainomenon merujuk pada “yang menampak”. Fenomena tiada lain adalah fakta yang disadari, dan masuk ke dalam pemahaman manusia. Jadi
suatu objek itu ada dalam relasi dengan kesadaran. Fenomena bukanlah dirinya
seperti tampak secara kasat mata, melainkan justru ada di depan kesadaran, dan
disajikan dengan kesadaran pula. Berkaitan dengan hal ini, maka fenomenologi
merefleksikan pengalaman langsung manusia, sejauh pengalaman itu secara
intensif berhubungan dengan suatu objek (Kuswarno, 2013: 1).
Menurut The Oxford English Dictionary, yang dimaksud dengan
fenomenologi adalah (a) the science which describes and classifies as distinct for
being (ontology), dan (b) division of any science which describes and classifies its
phenomena. Jadi, fenomenologi adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan
dari sesuatu yang sudah menjadi, atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan
mengklasifikasikan fenomena atau studi tentang fenomena. Dengan kata lain,
fenomenologi mempelajari fenomena yang tampak di depan kita dan bagaimana
Dewasa ini fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode
berpikir, yang mempelajari fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa mempertanyakan penyebab dari fenomena itu, relitas objektifnya dan
penampakannya. Fenomenologi tidak beranjak dari kebenaran fenomena seperti
yang tampak apa adanya, namun sangat meyakini bahwa fenomena yang tampak
itu, adalah objek yang penuh dengan makna transedental. Oleh karena itu, untuk
mendapatkan hakikat kebenaran, maka harus menerobos melampaui fenomena
yang tampak itu.
Tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena
dialami kesadaran, pikiran dan dalam tindakan, seperti bagaimana fenomena
tersebut bernilai atau diterima secara estetis. Fenomenologi mencoba mencari
pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep-konsep
penting, dalam kerangka intersubjektivitas. Intersubjektivitas karena pemahaman
kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain. Walaupun
makna yang kita ciptakan dapat ditelusuri dalam tindakan, karya dan aktivitas
yang kita lakukan, tetap saja ada peran orang lain di dalamnya (Kuswarno, 2013:
2).
2.2.2 Sejarah Fenomenologi
Dewasa ini, fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode
berpikir yang mempelajari fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa mempertanyakan penyebab dari fenomena tersebut serta realitas objektif dan
penampakannya.
Fenomenologi sebagai salah satu cabang filsafat pertama kali
dikembangkan di universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I,
khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian dilanjutkan oleh Martin
Heidegger dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre
memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme.
Adapun yang menjadi fokus eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia
makhluk sadar atau jalan kehidupan subjek-subjek sadar (Kuswarno, 2009: 3).
Fenomenologi tidak dikenal setidaknya sampai menjelang abad 20. Abad
tentang penampakan yang menjadi dasar pengetahuan empiris atau penampakan
yang diterima secara inderawi. Istilah tersebut diperkenalkan oleh Johan Heinrich
Lambert. Sesudah itu, filosofi Immanuel Kant mulai sesekali menggunakan istilah
fenomenologi dalam tulisannya. Pada tahun 1889, Franz Brentano menggunakan
fenomenologi untuk psikologi deskriptif, di mana menjadi awalnya Edmund
Husserl mengambil istilah fenomenologi untuk pemikirannya mengenai
“kesengajaan”.
Sebelum abad ke-18, pemikiran filsafat terbagi menjadi dua aliran yang
saling bertentangan. Adalah aliran empiris yang percaya bahwa pengetahuan
muncul dari penginderaan. Dengan demikian kita mengalami dunia dan melihat
apa yang sedang terjadi. Bagi penganut empiris, sumber pengetahuan yang
memadai itu adalah pengalaman. Akal yang dimiliki manusia bertugas untuk
mengatur dan mengolah bahan-bahan yang diterima oleh panca indera. Sedangkan
di sisi lain terdapat aliran rasionalisme yang percaya bahwa pengetahuan timbul
dari kekuatan pikiran manusia atau rasio. Hanya pengetahuan yang dipeoleh
melalui akal lah yang memenuhi syarat untuk diakui sebagai pengetahuan ilmiah.
Aliran ini juga mempercayai pengalaman hanya dapat dipakai untuk
mengukuhkan kebenaran yang telah diperoleh oleh rasio. Akal tidak memerlukan
pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang benar sebab akal dapat
menurunkaan kebenaran tersebut dari dirinya sendiri (Kuswarno, 2009: 3-4).
Dari dua pemikiran yang berbeda tersebut, Immanuel Kant muncul untuk
menjembatani keduanya. Menurutnya, pengetahuan adalah apa yang tampak
kepada kita atau fenomena. Sedangkan fenomena sendirinya dan merupakan hasil
sintesis antara penginderaan dan bentuk konsep dari objek. Sejak pemikiran
tersebut menyebar luas, fenomena menjadi titik awal pembahasan para filsuf pada
abad ke-18 dan 19 terutama tentang bagaimana sebuah pengetahuan dibangun.
Fenomenologi bagi seorang Husserl adalah gabungan antara psikologi dan
logika. Fenomenologi membangun penjelasan dan analisis psikologi tentang
tipe-tipe aktivitas mentalsubjektif, pengalaman dan tindakan sadar. Namun, pemikiran
Husserl tersebut masih membutuhkan penjelasan yang lebih lanjut khususnya
mengenai “model kesengajaan”. Pada awalnya, Husserl mencoba untuk
pengetahuan dan pengalaman. Hal ini didorong oleh ketidakpercayaan
terhadap aliran positivistik yang dinilai gagal memanfaatkan peluang membuat
hidup lebih bermakna karena tidak mampu mempertimbangkan masalah nilai dan
makna. Fenomenologi berangkat dari pola pikir subjektivisme yang tidak hanya
memandang dari suatu objek yang tampaknamun berusaha menggali makna di
balik setiap gejala tersebut (Kuswarno, 2009: 6).
Pada tahun-tahun berikutnya, pembahasan fenomenologi berkembang
tidak hanya pada tataran “kesengajaan”, namun juga meluas kepada kesadaran
sementara, intersubjektivitas, kesengajaan praktis dan konteks sosial dari tindakan
manusia. Tulisan-tulisan Husserl memainkan peran yang amat besar dalam hal ini.
Saat ini fenomenologi dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang kompleks,
karena memiliki metode dan dasar filsafat yang komprehensif dan mandiri.
Fenomenologi juga dikenal sebagai pelopor pemisah antara ilmu sosial dari ilmu
alam, yang mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran dalam pengalaman pada
akhirnya membuat makna dan menentukan isi dari penampakannya.
2.2.3 Perkembangan Fenomenologi saat ini
Saat ini fenomenologi lebih dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang
kompleks, karena memiliki metode dan dasar filsafat yang komprehensif dan
mandiri. Fenomenologi juga dikenal sebagai pelopor pemisahan ilmu sosial dan
ilmu alam. Harus diakui, fenomenologi telah menjadi tonggak awal dan sandaran
bagi perkembangan ilmu sosial hingga saat ini. Tanpanya, ilmu sosial masih
berada di bawah cengkraman positivistik yang menyesatkan tentang pemahaman
manusia dan realitas.
Sebagai disiplin ilmu, fenomenologi adalah studi yang mempelajari
fenomena, seperti penampakan segala hal yang muncul dalam pengalaman kita,
cara kita mengalami sesuatu dan makna yang kita miliki dalam pengalaman kita.
Kenyataannya, fokus perhatian fenomenologi lebih luas dari sekedar fenomena
yakni pengalaman sadar dari sudut pandang orang pertama (yang mengalaminya
secara langsung).
Pada dasarnya fenomenologi mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran,
sampai tindakan, baik itu tindakan sosial maupun dalam bentuk bahasa.
Struktur dalam bentuk-bentuk kesadaran inilah yang oleh Husserl dinamakan
dengan “kesengajaan” yang terhubung langsung dengan sesuatu. Struktur
kesadaran dalam pengalaman ini yang pada akhirnya membuat makna dan
menentukan isi dari pengalaman (content of experience). “Isi” ini sama sekali berbeda dengan “penampakannya” , karena sudah ada penambahan makna
padanya. Adapun dasar struktur kesadaran yang disengaja, dapat ditemukan dalam
analisis refleksi, termasuk menemukan bentuk-bentuk yang lebih jauh dari
pengalaman (Kuswarno, 2013: 22).
Berikut adalah bentuk-bentuk laporan yang dapat dibangun melalui
pendekatan fenomenologi:
1. Kesadaran temporal
2. Ruang kesadaran (persepsi)
3. Perhatian (misalnya kegiatan memfokuskan sesuatu dari hal kecil atau
hal umum yang ada di sekelilingnya)
4. Kesadaran dari seseorang
5. Pengalaman sadar seseorang
6. “Diri” dalam peranan yang berbeda-beda (ketika berpikir atau
bertindak)
7. Kesadaran akan gerakan dan kehadiran orang lain
8. Tujuan dan kesengajaan dari tindakan
9. Kesadaran akan orang lain (dalam bentuk empati, intersubjektif dan
kolektivitas).
10.Aktivitas berbahasa (memahami makna orang lain dan komunikasi).
11.Interaksi sosial dan aktivitas sehari-hari dalam lingkungan budaya
tertentu.
Berkaitan dengan “kesengajaan”, diperlukan suatu kondisi atau latar
belakang, yang memungkinkan bekerjanya struktur kesadaran dalam pengalaman.
Kondisi tersebut mencakup perwujudan, keterampilan jasmani, konteks budaya,
bahasa, praktek sosial dan aspek-aspek demografis dari sebuah aktivitas yang
Fenomenologi akan membawa pemahaman dari pengalaman sadar, pada
kondisi yang akan membantu memberi pengalaman “kesengajaan” tersebut.
Dengan demikian, fenomenologi tradisional telah memfokuskan pada pengalaman
subjektif, pengalaman praktis dan kondisi-kondisi sosial dari pengalaman tersebut.
Fokus fenomenologi ini berbeda dengan Philosophy of Mind, yang menggarisbawahi kajiannya pada neural subtrate dari sebuah pengalaman. Yaitu bagaimana cara kerja pengalaman sadar, representasi mental atau kesengajaan
dalam otak manusia. Oleh karena itu banyak juga kajian Philosophy of Mind yang justru adalah kajian dari fenomenologi. Misalnya saja kondisi kultural yang
sepertinya lebih dekat dengan pengalaman dan merupakan konsep yang tidak
asing dalam pemahaman diri, ketimbang kerja elektro kimia otak (Kuswarno,
2013: 23).
Walau demikian banyak sedikitnya ketergantungan manusia pada
mekanika kuantum, ditentukan oleh kondisi fisik seseorang. Simpulan yang dapat
diambil, sebagai sebuah disiplin ilmu, fenomenologi mempelajari struktur
pengalaman sadar (dari sudut pandang orang pertama). Bersama dengan
kondisi-kondisi yang relevan. Sehingga fenomenologi akan memimpin kita semua pada
latar belakang dan kondisi-kondisi di balik sebuah pengalaman. Pusat dari struktur
kesadaran adalah “kesengajaan”, yakni bagaimana makna dan isi pengalaman
terhubung langsung dengan objek.
Berkenaan dengan sangat luasnya bidang kajian fenomenologi ini, maka
kemudian tipe-tipe fenomenologi didefinisikan berdasarkan bidang kajian utama,
metode dan hasilnya. Pengalaman sadar itu memiliki ciri-ciri yang istimewa,
seperti harus mengalaminya sendiri, hidup bersama mereka dan memainkannya.
Jadi tidak semua hal yang ada di dunia ini termasuk ke dalam pengalaman sadar.
Hanya hal-hal yang kita alami dan kita kerjakan saja yang menjadi pengalaman
sadar kita.
Fenomenologi tidak membuat karakteristik dari pengalaman, ketika
pengalaman itu sedang dialami. Karena ketika sebuah pengalaman sedang
dialami, maka ia akan menyita seluruh perhatian pada saat itu dan membuat bias
kondisi-kondisi yang melatarbelakanginya. Pada hakikatnya kita
ketika mendengar suatu lagu dan melihat matahari terbenam, kita langsung ingat
dengan pengalaman-pengalaman romantis bersama dengan orang yang kita
sayangi. Dengan demikian pada prakteknya, fenomenologi mengasumsikan
“kesamaan” sebagai unsur utama dalam membuat klasifikasi pengalaman. Jadi
fenomenologi lebih mencari kesamaan-kesamaan pengalaman yang bertahan,
ketimbang pengalaman yang dengan cepat/mudah dilupakan (Kuswarno, 2013:
24).
Untuk menemukan berbagai kesamaan pengalaman itu, tentu saja
memerlukan alat pengamatan yang khusus. Tidak bisa dengan pendekatan
positivistik. Inilah awal mulanya fenomenologi berkembang, tidak hanya sebuah
pemikiran filsafat, namun juga metode berpikir dan sebagai metode penelitian.
Pada awalnya, fenomenologi klasik menggunakan tiga metode yang berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Ketiga metode tersebut adalah:
1. Mendeskripsikan tipe-tipe pengalaman di masa lampau. Hal ini oleh
Husserl dan Merleau-Ponty dinamakan dengan deskripsi murni dari
pengalaman yang hidup (pure description of lived experience).
2. Menginterpretasikan tipe-tipe pengalaman tersebut, dengan
menghubungkannya dengan aspek-aspek istimewa dari konteks yang
melatarbelakanginya. Heidegger dan pengikutnya menyebut metode ini
sebagai hermeneutik (seni memahami konteks, terutama konteks sosial
dan bahasa).
3. Menganalisis bentuk dari setiap tipe pengalaman, untuk dielaborasi lebih
lanjut.
Pada perkembangan fenomenologi selanjutnya, ketiga metode yang sudah
disebutkan di atas pun mengalami penambahan, yakni:
4. Model logika semantik fenomenologi (logico sematinc model of
phenomenology). Yaitu metode membuat spesifikasi kondisi-kondisi benar
dari tipe-tipe berpikir (misalnya ketika mengatakan anjing mengejar
kucing, bukan sebaliknya), atau kepuasan dari tipe-tipe kesengajaan
(misalnya ketika berniat atau bermaksud untuk melompat).
5. Paradigma eksperimental syaraf kognitif (experimental paradigm of
6. mengkonfirmasikan atau menyangkal aspek-aspek dalam pengalaman.
Misalnya dengan percobaan khusus, otak bisa menghasilkan gelombang
elektromagnetis tertentu bila disentuh pada area tertentu. Area-area dalam
otak itulah yang langsung berhubungan dengan emosi dan pengalaman.
Dengan demikian neurofenomenologi ini mengasumsikan bahwa
pengalaman sadar itu terletak dalam aktivitas syaraf yang akan
menghasilkan tindakan dalam situasi yang tepat. Jadi, neurofenomenologi
ini adalah gabungan fenomenologi murni, biologi dan ilmu fisika.
2.2.4 Pendekatan Kualitatif Penelitian Fenomenologis
Pada dasarnya fenomenologi cenderung untuk menggunakan paradigma
penelitian kualitatif sebagai landasan metodologisnya. Berikut ini perlu diuraikan
sifat-sifat dasar penelitian kualitatif yang relevan menggambarkan posisi
metodologis fenomenologi dan membedakannya dari penelitian kuantitatif
(Kuswarno, 2013: 36):
(1) Menggali nilai-nilai dalam pengalaman dan kehidupan manusia.
(2) Fokus penelitian adalah pada keseluruhannya, bukan pada perbagian
yang membentuk keseluruhan itu.
(3) Tujuan penelitian adalah menemukan makna-makna dan hakikat dari
pengalaman, bukan sekedar mencari penjelasan atau mencari
ukuran-ukuran dari realitas.
(4) Memperoleh gambaran kehidupan dari sudut pandang orang pertama,
melalui wawancara formal dan nonformal.
(5) Data yang diperoleh adalah dasar dari pengetahuan ilmiah untuk
memahami perilaku manusia.
(6) Pertanyaan yang dibuat merefleksikan kepentingan, keterlibatan dan
komitmen pribadi dari peneliti.
(7) Melihat pengalaman dan perilaku sebagai satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan, baik itu kesatuan antara subjek dan objek, maupun
Sifat-sifat penelitian kualitatif tersebut, akan sejalan dengan ciri-ciri
penelitian fenomenologi berikut ini:
(1) Fokus pada suatu yang nampak, kembali kepada yang sebenarnya
(esensi), keluar dari rutinitas dan keluar dari apa yang diyakini
sebagai kebenaran dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari,
(2) Fenomenologi tertarik dengan keseluruhan, dengan mengamati
entitas dari berbagai sudut pandang dan perspektif, sampai didapat
pandangan esensi dari pengalaman atau fenomena yang diamati.
(3) Fenomenologi mencari makna dan hakikat dari penampakan,
dengan intuisi dan refleksi dalam tindakan sadar melalui
pengalaman. Makna ini yang pada akhirnya membawa kepada ide,
konsep, penilaian dan pemahaman yang hakiki.
(4) Fenomenologi mendeskripsikan pengalaman, bukan menjelaskan
atau menganalisisnya. Sebuah deskripsi fenomenologi akan sangat
dekat dengan kealamiahan (tekstur, kualitas dan sifat-sifat
penunjang) dari sesuatu. Sehingga deskripsi akan mempertahankan
fenomena itu seperti apa adanya dan menonjolkan sifat alamiah
dan makna di baliknya. Selain itu, deskripsi juga akan membuat
fenomena “hidup” dalam term yang akurat dan lengkap dengan kata lain sama “hidup”-nya antara yang tampak dalam kesadaran
dengan yang terlihat oleh panca indra.
(5) Fenomenologi berakar pada pertanyaan-pertanyaan yang langsung
berhubungan dengan makna dari fenomena yang diamati. Dengan
demikian penelitian fenomenologi akan sangat dekat dengan
fenomena yang diamati. Analoginya penelitian itu menjadi salah
satu bagian puzzle dari sebuah kisah biografi.
(6) Integrasi dari subjek dan objek. Persepsi penelitian akan
sebanding/sama dengan apa yang dilihatnya/didengarnya.
Pengalaman akan suatu tindakan akan membuat objek menjadi
subjek dan subjek menjadi objek.
(7) Investigasi yang dilakukan dalam kerangka intersubjektif, realitas