• Tidak ada hasil yang ditemukan

Guba dan Lincoln mendefinisikan paradigma sebagai serangkaian keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan dengan prinsip-prinsip pokok. Paradigma in menggambarkan suatu pandangan dunia (worldview) yang menentukan, bagi penganutnya sifat dari “dunia” sebagai tempat individu dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut beserta bagian-bagiannya (Sunarto dan Hermawan, 2011:4). Keyakinan-keyakinan ini bersifat dasar dalam penegertian harus diterima secara sederhana semata-mata berdasarkan kepercayaan saja disebabkan tidak ada suatu cara untuk menentukakn suatu kebenaran akhir.

Macam paradigma itu sendiri ternyata bervariasi. Guba dan Lincoln menyebutkan empat macam paradigma, yaitu: positivisme, post positivism, konstruktivisme dan kritis. Neuman menegaskan tiga paradigma dalam ilmu pengetahuan sosial: positivisme, interpretif dan kritis. Sedangkan Cresswel membedakan dua macam paradima, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto dan Hermawan, 2011:9)

Paradigma kritis yang sering menjadi landasan berpikir dalam analisis semiotika berupaya mempertautkan hubungan antara media massa dan keberadaan struktur sosial. Ragam analisis kritis umumnya menguji kandungan-kandungan makna ideologis media melalui pembongkaran terhadap isi media atau teks. Paradigma kritis mendasarkan penelitian pada penafsiran teks yang menjadi objek penelitian ini yaitu foto-foto pada rubrik Exposure majalah Popular edisi Oktober 2011. Dengan penafsiran tersebut, peneliti menyelami teks dan menyingkap makna yang ada dibaliknya. Ketika menafsirkan teks, pengalaman, latar belakang, keberpihakan bahkan perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian.

Penelitian paradigma kritis mempunyai beberapa karakteristik, yaitu: meyakini bahwa refleksi dan kritik metode untuk menghasilkan pengetahuan bukan melalui observasi, lebih dari sekedar data kuantitatif dan kualitatif, ideologi dan kekuasaan ada dalam pengalaman sosial dan tujuan penelitian untuk perubahan sosial (Sunarto dan Hermawan, 2011:9).

Dikategorikan ke dalam penelitian kualitatif kritis karena sangat mengandalkan kemampuan peneliti dalam menafsirkan teks ataupun tanda yang dikaitkan dengan konteks sosial, budaya, ekonomi dan historis. Selain itu teori pendukung dalam penelitian ini seperti feminisme eksistensialis merupakan bagian dari aliran pemikiran kritis.

2.2. Kajian Pustaka 2.2.1. Semiotika

Secara etimologis semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang berati berarti ”tanda” atau sign dalam bahasa Inggris. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda yang menjadi segala bentuk komunikasi yang mempunyai makna antara lain: kata (bahasa). Secara terminologis semiotika dapat didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Tanda-tanda (signs) adalah basis atau dasar dari seluruh komunikasi. Menurut Littlejohn, manusia dengan perantaraan tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya dan banyak hal yang bisa dikomunikasikan di dunia ini (Wibowo, 2010:5).

Barthes menyebutkan bahwa semiotika merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2004:15).

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), fungsi tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Semiotik mengkaji tanda, penggunaan tanda dan segala sesuatu yang bertalian dengan tanda. Dengan kata lain, perangkat pengertian semiotik dapat diterapkan pada semua bidang kehidupan asalkan ada arti yang diberikan, ada pemaknaan dan ada interpretasi. Fokus utama semiotika adalah tanda. Fiske mengatakan, bahwa semiotika mempunyai tiga bidang studi utama yaitu (Bungin, 2009:167) :

a) Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang

menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

b) Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk menstransmisikannya.

c) Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.

Semantara itu, menurut Littlejohn (2009:55-56) semiotik selalu dibagi ke dalam tiga wilayah kajian, yaitu semantik, sintaktik dan pragmatik. Semantik, berbicara tentang bagaimana tanda-tanda berhubungan dengan yang ditunjuknya atau apa yang ditunjukkan oleh tanda-tanda. Wilayah kedua dalam kajian semiotik adalah sintaktik atau kajian hubungan di antara tanda-tanda. Tanda-tanda sebetulnya tidak pernah berdiri dengan sendirinya. Hampir semuanya selalu menjadi bagian dari sistem tanda atau kelompok tanda yang lebih besar yang diatur dalam cara-cara tertentu. Kajian utama semiotik yang ketiga pragmatik, memperlihatkan bagaimana tanda-tanda membuat perbedaan dalam kehidupan manusia atau penggunaan praktis serta berbagai akibat dan pengaruh tanda pada kehidupan sosial.

Secara historis, semiotika menjadi disiplin yang dikenal luas oleh pengaruh dari dua tokoh utama: Charles Sanders Peirce mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure mewakili tradisi Eropa. Sekalipun keduanya tidak pernah bertemu sama sekali, pemikiran kedua orang tokoh tersebut memiliki kemiripan satu sama lain. Istilah semiotika yang sekarang dikenal luas mula-mula diperkenalkan oleh Peirce, sedangkan Saussure memilih istilah semiologi untuk pemikirannya.

Sebuah tanda menurut Peirce adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu, dinamakan sebagai interpretan dari tanda yang pertama, pada gilirannya akan mengacu pada objek tertentu. Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks) dan symbol (simbol) (Wibowo, 2011: 14):

1. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan ‘rupa’ sehingga tanda itu mudah dikenali oleh pemakainya.

2. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial di antara representamen dan objeknya.

3. Simbol merupakan jenis tanda yang bersifat abriter dan konvensional sesuai kesepakatan atau konvensi sejumlah orang atau masyarakat.

Kategori tipe tanda menurut Peirce digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.

Kategori Tipe Tanda dari Peirce Ikon

Indeks Simbol

Sumber : Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif ( 2010), hal: 168

Teori dari Peirce menjadi grand theory dalam semiotik. Gagasannya bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Peirce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal. Semiotik ingin membongkar bahasa secara keseluruhan (Sobur, 2004:97).

Maksud dari makna dalam Segitiga Peirce adalah panah dari dua arah menekankan bahwa masing-masing istilah dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan unsur yang lain. Namun ketika ketiga elemen tersebut berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncul makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Maka muncul sebuah tanda ketika digunakan pada saat berkomunikasi.

Bagi Peirce, tanda sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi disebut ground oleh Peirce. Konsekuensinya, tanda (sign ataurepresentamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object dan interpretand. Atas dasar hubungan ini, Peirce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground baginya menjadi qualisign, sinsign dan lesign. Qualisign

adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, keras, lemah, lembut, merdu. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Lesign adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia (Sobur, 2004:41).

Peirce juga menandaskan bahwa kita hanya dapat berfikir dengan medium tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda. Tanda dalam kehidupan manusia bisa berarti gerakan ataupun isyarat. Anggukan ataupun gelengan dapat berati sebagai setuju dan tidak setuju, tanda peluit, genderang, suara manusia bahkan bunyi telepon merupakan suatu tanda. Tanda dapat berupa tulisan, angka dan bisa juga berbentuk rambu lalu lintas contohnya merah berarti berhenti (berbahaya jika melewatinya) dan masih banyak ragamnya.

Ahli semiotika lainnya Ferdinand de Saussure lebih terfokus pada semiotika linguistik. Saussure menyerang pemahaman historis terhadap bahasa hanya berfokus kepada prilaku linguistik yang nyata. Berbeda dengan Peirce, Saussure mengemukakan tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda mewakili elemen bentuk isi, sementara petanda mewakili elemen konsep atau makna. Pengaturan makna atas sebuah tanda dimungkinkan oleh adanya konvensi sosial di kalangan komunitas bahasa. Suatu kata mempunyai makna tertentu karena adanya kesepakatan bersama dalam komunitas bahasa.

Kode merupakan sistem pengorganisasian tanda. Kode mempunyai sejumlah unit (atau kadang-kadang satu unit tanda). Dalam semiotik, kode dipakai untuk merujuk pada sistruktur peilaku manusia. Budaya dapat dilihat sebagai kumpulan kode-kode. Saussure merumuskan dua cara pengorganisasian tanda ke dalam kode. Pertama, paradigmatik yang merupakan sekumpulan tanda dan dari dalamnya dipilih satu untuk digunakan. Dalam semiotik, paradigmatik digunakan untuk mencari simbol-simbol yang ditemukan dalam teks yang bisa membantu memberi makna. Kedua, sintagmatik yang merupakan pesan yang dibangun dari paduan tanda-tanda yang dipilih. Dalam bahasa misalnya, kosakata adalah paradigma dan bahasa adalah sintagma (Kriyantono, 2008:269).

Saussure menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified sebagai berikut:

Gambar 2.

Elemen-Elemen Makna dari Saussure

Sign

Composed of

Signification

Signifier plus Signified external reality (physical (mental of meaning existence concept)

of the sign

Sumber : Alex Sobur, Analisis Teks Media (2004), hal: 125

Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Sobur, 2004: 125).

Dalam mengkaji mitos di dunia media dan budaya populer, perspektif semiotika struktural pasti tidak dapat melepaskan gagasan-gasan yang dikeluarkan pemikir strukturalis Perancis, Roland Barthes. Pemikiran Barthes bukan saja melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, namun ia melampaui Saussure, ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis melalui apa yang ia sebut mitos.

Barhes melakukan temuan penting dalam kajian semiotika yang dahulu berhenti pada kajian tentang bahasa. Semiotika model Barthes memungkinkan kajian yang mampu menjangkau wilayah kebudayaan lain yang terkait dengan budaya populer dan media massa. Barthes adalah pengembang utama ide-ide Saussure pada area kehidupan sosial.

Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification). Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebut ini sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Signifikasi tahap kedua merupakan gambaran interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan nilai-nilai kebudayaan dan ini disebut dengan istilah konotasi yang kemudian menghasilkan mitos.

2.2.2. Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama, eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika padaa studi sastra. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya.

Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of significations). Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified (makna denotasi). Pada tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda (objek) dan petanda (makna) di dalam tanda, dan antara tanda dan dengan referannya dalam realitasnya eksternal. Hal ini mengacu pada makna sebenarnya (riil) dari penanda (objek). Kemudian signifikasi tahap kedua adalah interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu (makna konotasi).

Mitos terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja :

Gambar 3 Peta Rholand Barthes 1. Signfier

(Penanda)

2. Signified (Petanda)

3. Denotative sign (Tanda Denotatif) 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER (PENANDA KONOTATIF) 5.CONNOTATIVE

Dokumen terkait