• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. Feminisme Posmodern

2.2.5 Objektivikasi Perempuan Dalam Media Massa

Objektivikasi pada perempuan berarti kegiatan menjadikan perempuan sebagai hal perkara atau orang yang menjadi pokok pikiran, sasaran, tujuan, pelengkap atau tujuan penderita. Objektivikasi terjadi, ketika seseorang, melalui sarana-sarana sosial direndahkan derajatnya, dijadikan benda atau komoditas, dibeli atau dijual. Objektivikasi merupakan titik sentral dalam diskriminasi.

Dalam objektivikasi ini perempuan mengalami penundukan yang membuat mereka berada di tempat terendah dalam hirarki superioritas laki-laki (Syarifah, 2006:153).

Pada praktik objektivikasi, tubuh perempuan dianggap sebagai objek yang untuk dilihat dan dievaluasi. Perempuan hanya dinilai berdasarkan bagaimana penampilannya dan bukan berdasarkan kualitas pada dirinya. Hal tersebut akan membuat perempuan menjadi terobsesi pada penampilan dan sangat mementingkan keindahan fisiknya. Perempuan akan merasa tidak puas dengan tubuhnya bila dianggap tidak memenuhi standar kecantikan yang dibentuk oleh media massa.

Menurut Yohanes Paulus II (Hardiman, 2010:306), di dalam film dan di dalam seni fotografi, tubuh manusia tidak diperlakukan sebagai sebuah model yang telah mengalami proses transfigurasi dalam bentuk karya seni. Disini yang terjadi adalah reproduksi atas tubuh manusia yang diperoleh dengan menggunakan bantuan teknologi yang handal. Tubuh bukan lagi sebuah model transfigurasi, melainkan objek reproduksi.

Berdasarkan teori objektivikasi, tubuh perempuan dianggap sebagai objek untuk dilihat dan dievaluasi. Budaya masyarakat yang mengobjekkan tubuh perempuan, mensosialisasikan perempuan untuk memperlakukan dirinya sebagai objek yang dievaluasi atas dasar penampilan. Tiggerman dan Lynch mendefinisikan objektivikasi diri sebagai pikiran dan penilaian individual tentang rubuh yang lebih berasal dari perspektif orang ketiga, berfokus pada atribut tubuh yang tampak, daripada perespektif orang pertama yang berfokus pada hak istimewa yang dimilikinya atau atribut tubuh yang tidak tampak, seperti apa yang mampu dilakukan oleh tubuh tersebut (Suprapto dan Aditomo, 2007:187).

Subordinasi seksual menjadi kata kunci dalam merumuskan dominasi yang menghasilkan penindasan perempuan. Kata subordinasi seksual inilah yang dapat dipakai untuk membedakan penindasan atas diri perempuan dari bentuk penindasan lainnya, misalnya yang berbasis agama, kebangsaan, kelas, ekonomi dan sebagainya. Secara umum, kata subordinasi itu sendiri mengimplikasikan beberapa unsur tertentu yang menggambarkan keadaan subordinasi. Pertama, hirarki superioritas yang dialami perempuan secara sosial. Kedua, objektivikasi

pada perempuan dan ketiga, penundukan yang menempatkan perempuan di tempat terendah dalam hirarki superioritas dan menjadi orang yang patuh dan taat.

Fenomena penggunaan tubuh perempuan dalam media massa ditampilkan dengan tujuan sebagai eksploitasi seksual dan komersial, agar laku di pasaran dan mendapat massa konsumen yang besar. Keuntungan yang didapat dari produsen majalah sangat ditentukan dari bagaimana konsumen dipancing melalui gambar-gambar sensual tubuh perempuan sehingga dapat menangkap sebanyak mungkin konsumen.

2.2.6 Pornografi

Pornografi adalah gambar-gambar perilaku pencabulan yang lebih banyak menonjolkan tubuh dan alat kelaim manusia. Sifatnya yang seronoh, jorok vulgar membuat orang yang melihatnya terangsang secara seksual. Pornografi dapat diperoleh dalam bentuk foto, Poster, leaflet, gambar video, film, dan gambar VCD, termasuk pula dalam bentuk alat visual lainnya yang memuat gambar atau kegiatan pencabulan (porno) (Bungin, 2008:338).

Awalnya, semua bentuk pencabulan atau tindakan tidak senonoh dengan menonjolkan objek seks disebut dengan kata porno. Saat ini ketika masyarakat sudah semakin terbuka, kemajuan teknologi komunikasi semakin berkembang, maka konsep pornografi juga telah bergeser dan berkembang. Karena itu, secara garis besar, dalam wacana porno atau penggambaran tindakan pencabulan (pornografi) kontemporer, ada beberapa varian pemahaman porno yang dapat dikonseptualisasikan, seperti pornografi, pornoteks, pornosuara, pornoaksi. Dalam kasus tertentu semua kategori konseptual itu dapat menjadi sajian dalam satu media, sehingga melahirkan konsep baru yang dinamakan pornomedia (Bungin, 2008:337).

Kata pornografi berasal dari bahasa Yunani yang memiliki arti tulisan tentang atau gambar tentang pelacur (kadang kala juga disingkat menjadi "porn," "pron," atau "porno") adalah penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksual manusia secara terbuka (eksplisit) dengan tujuan membangkitkan birahi (gairah seksual). Pornografi berbeda dari erotika. Dapat dikatakan, pornografi adalah bentuk ekstrem dari erotika. Erotika sendiri adalah penjabaran fisik dari

konsep-konsep erotisme. Kalangan industri pornografi kerap kali menggunakan istilah erotika dengan motif eufemisme namun mengakibatkan kekacauan pemahaman di kalangan masyarakat umum (http://id.wikipedia.org/wiki/Pornografi).

Pornografi sudah banyak kita kenal, bahkan jenis porno ini yang paling umum karena jenis sifatnya yang mudah dikenal, mudah ditampilkan dan mudah dicerna. Pornografi dapat menggunakan berbagai media teks tertulis maupun lisan, foto-foto, ukiran, gambar, gambar bergerak (termasuk animasi) dan suara. Film porno menggabungkan gambar yang bergerak, teks erotik yang diucapkan dan atau suara-suara erotik lainnya, sementara majalah seringkali menggabungkan foto dan teks tertulis. Novel dan cerita pendek menyajikan teks tertulis, kadang-kadang dengan ilustrasi.

Keberadaan perempuan dalam pornografi sama sekali tak dapat dilepaskan dari pemikiran-pemikiran yang menjadi dasar, dan mewarnai, pembentukan sebuah sistem untuk memungkinkan berkembangnya pornografi dengan cara mengeksploitasi tubuh perempuan. Kapitalisme adalah salah satu sistem yang mengeksploitasi perempuan untuk memprodukasi pornografi. Kemudian, yang menjadi persoalan di sini adalah sejauh mana eksistensi tubuh perempuan, secara fisik dieksplorasi ke dalam berbagai bentuk komoditi dan bagaimana keindahan perempuan menjadi ajang eksploitasi ekonomi. Artinya, bagaimana potensi itu disalurkan dan dikendalikan, di dalam berbagai bentuk relasi sosial yang menyertai produksi komoditi untuk mengeruk keuntungan

Yasraf Amir Pilliang menyebutkan bahwa tubuh perempuan di dalam budaya kapitalisme tidak saja dieksplorasi nilai gunanya (use value), umpamanya sebagai pekerja perempuan yang dilacurkan, pelayan; tetapi juga nilai tukarnya (exchange value) seperti perempuan model, hostess, dan dan kini nilai tandanya (sign value) seperti pornografi, seni erotis, video erotis, majalah erotis, situs porno, cyberporn. Maka tubuh perempuan telah menjadi politik tubuh dalam ekonomi politik dan budaya kapitalisme, tentu dengan segenap potensi dan nilai ekonomi yang dimilikinya (Syarifah, 2004:147).

Komodifikasi perempuan dapat berlangsung di ruang publik, dari sini diangkat melalui media. Memperlakukan tubuh perempuan sebagai komoditas ini terjadi secara langsung dalam bisnis seks dan hiburan, atau secara tidak langsung

dengan menjadikan perempuan sebagai teks dalam proses pasar media. Dalih dalam komodifikasi media biasanya karena perempuan yang bersangkutan sendiri menyukai atau mendapat kemanfaatan atas posisinya di pasar.

Kehebatan media massa yang begitu besar mampu mempengaruhi masyarakat terhadap sebuah realitas simbolik yang disajikan media massa, iklan-iklan di media cetak dan elektronik, maka terlihat jelas di situ ada semacam ekspolitasi perempuan, mulai dari kecantikan tubuh dan perilakunya, selalu menjadi bahan komoditi bernilai jual. Semakin cantik dan daya tariknya kian menarik, semakin lama ditampilkan. Tubuh dan seksualitas perempuan dijadikan alat komoditi untuk tujuan komersial, di mana kapitalisme atas nama globalisasi sangat berperan aktif. Penyamaran ini dilakukan dalam bentuk komodifikasi, yaitu memoles nilai guna sesuatu dengan nilai lain yang lebih menarik. Erotisme, seks, atau tubuh perempuan adalah salah satu magnet yang digunakan memoles sesuatu (dalam bentuk produk/jasa) agar diminati konsumen. Tubuh perempuan dapat tampil dalam bentuk foto, berita, ulasan, hingga iklan.

Maria Marcus menjelaskan bahwa tidak ada pornografi yang terlepas dari sikap masyarakat terhadap perempuan. Dia merujuk pada gambar-gambar yang diperlihatkan di dalam majalah-majalah pornografi. Kebanyakan adalah gambar-gambar yang menampilkan tubuh perempuan, sementara konsumennya terutama, berjenis kelamin laki-laki. Perempuan-perempuan yang hadir dalam gambar itu seakan-akan tidak berarti apapun, kecuali sosok-sosok yang tersedia bebas untuk digunakan sebagai alat pemuas kebutuhan birahi (Syarifah, 2006:134).

Berbagai gambar berbau pornografi telah mengangkat ke permukaan setidaknya-tidaknya dua bentuk kontroversi di dalam masyarakat. Pertama kontroversi semiotis, yaitu kontroversi diseputar makna pornografi, batas porno atau tidak porno, batas pornografi atau sensualitas, batas makna estetik atau non estetik. Apa yang dituduhkan masyarakat sebagai porno dan amoral, oleh pemilik media dianggap sebagai bentuk seni sensualitas belaka. Kedua, kontroversi sosiologis. Gambar-gambar porno yang dipersoalkan, oleh karena ia disuguhkan sebagai komoditas untuk masyarakat luas tidak dapat hanya dilihat sebagai fenomena semiotik belaka. Persoalan semiotik tersebut bersangkut paut dengan persoalan ekonomi, sosial dan kebudayaan yang lebih luas, khususnya persoalan

kebudayaan massa. Tepatnya, gambar tersebut merupakan bagian dari sebuah konstruksi sosial budaya massa, dengan segala muatan ideologis dibelakangnya (Pilliang, 2003:159-160).

2.7. Majalah

2.2.7.1 Karakteristik Majalah

Majalah merupakan media yang paling simple organisasinya, relatif lebih mudah mengelolanya serta tidak membutuhkan modal yang banyak. Majalah juga dapat diterbitkan oleh setiap kelompok masyarakat, dimana mereka dapat dengan leluasa dan luwes menentukan bentuk, jenis dan sasaran khalayaknya. Meskipun sama-sama sebagai media cetak, majalah tetap dapat dibedakan dengan surat kabar karena majalah memiliki karakteristik tersendiri, yaitu (Ardianto,2004: 113-114) :

1. Penyajian lebih dalam

Frekuensi terbit majalah pada umumnya adalah mingguan, dwi mingguan bahkan bulanan. Majalah berita biasanya terbit mingguan, sehingga para reporternya punya waktu cukup lama untuk memahami dan mempelajari suatu peristiwa. Mereka juga mempunyai waktu yang leluasa untuk melakukan analisisi terhadap peristiwa tersebut, sehingga penyajian berita dan informasinya dapat dibahas secara lebih dalam. Analisis beritanya dapat dipercaya dan didasarkan pada buku referensi yang relevan dengan peristiwa.

2. Nilai aktualitas lebih lama

Apabila nilai aktualitas surat kabar hanya berumur satu hari maka nilai aktualitas majalah bisa satu minggu. Sebagai contoh, kita akan menganggap usang surat kabar kemarin atau dua hari yang lalu bila kita baca saat ini. Akan tetapi kita tidak pernah menganggap usang surat kabar kemarin atau dua hari yang lalu bila kita baca

3. Gambar/foto lebih banyak

Jumlah halaman majalah lebih banyak, sehingga selain penyajian beritanya yang mendalam, majalah juga dapat menampilkan gambar atau foto yang lengkap, dengan ukuran besar dan kadang-kadang berwarna, serta kualitas kertas yang digunakan lebih baik. Foto-foto yang ditampilkan majalah memiliki daya tarik tersendiri, apalagi apabila foto tersebut sifatnya eksklusif.

4. Cover (sampul) sebagai daya tarik

Disamping foto, cover atau sampul majalah juga merupakan daya tarik tersendiri. Cover adalah ibarat pakaian dan aksesorisnya pada manusia. Cover majalah biasanya menggunakan kertas yang bagus dengan gambar dan warna yang menarik. Menarik tidaknya suatu majalah sangat

bergantung pada tipe majalahnya, serta konsistensi atau keajegan majalah tersebut dalam menampilkan ciri khasnya.

2.2.7.2 Majalah Pria Dewasa

Esquire yang didirikan pada 1933, adalah majalah pria berkelas pertama. Ia terkenal karena isinya yang bermutu sastra selama bertahun-tahun memuat artikel mengenai sastra. Fashion juga menjadi aspek penting dalam isi Esquire. Hugh Hefner belajar tentang majalah saat dia masih menjadi staf di Esquire. Lalu dia mengaplikasikan ilmu yang didapat dengan menciptakan majalah Playboy tahun 1953.. Pada puncak kejayaannya, Playboy terjual sampai 7 juta dalam waktu sebulan. Majalah ini menekankan foto telanjang wanita dan juga artikel jurnalistik dan sastra yang menarik banyak pembaca. Pembaca yang tak ingin ketahuan kalau ingin melihat gambar tersebut akan berdalih bahwa mereka membeli majalah itu untuk membaca artikelnya (Vivian, 2007:115-116).

Sementara itu majalah baru seperti Maxim melonjak dengan terjual sampai 2,5 juta, FHM sampai 1,1 juta dan Stuff mencapai 676.000 walaupun pengkritik keberatan. Untuk mrespons para pengkritik, beberapa outlet retail, terutama Wal-Mart, tak lagi menyediakan majalah pria dan majalah wanita yang bersampul provokatif (Vivian, 2007:117). Perkembangan majalah pria dewasa di Indonesia juga tidak kalah maraknya. Keuntungan yang didapat dari majalah jenis ini memang menggiurkan sehingga majalah pria dewasa dengan berbagai nama pun bermunculan di Indonesia seperti Playboy, Lipstik, Male Emporium, FHM Magazine, X-File, Popular dan sebagainya.

Dokumen terkait