• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. Feminisme Posmodern

2.2.3.1 Sejarah dan Perkembangan Feminisme Eksistensialis

Feminisme Eksistensialis merupakan salah satu jenis aliran pemikiran feminis. Aliran ini dipelopori oleh Simone De Beauvoir yang terkenal dengan bukunya yang berjudul The Second Sex. Paham-paham Beauvoir dalam feminisme eksistensialis ini dipengaruhi oleh paham eksistensialisme dalam filsafat milik Jean Paul Sartre. Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan dimana manusia dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi, dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.

Ciri-ciri pemikiran filsafat eksistensialisme adalah (Syarifah, 2006:55) : 1. Pertama, kata eksistensi menunjukkan “cara manusia berada”, karena

hanya manusia yang bisa bereksistensi. Maka, pusat perhatiannya ada pada manusia, dan oleh sebab itu pula eksistensialisme bersifat humanistis (menunjung tinggi nilai dan martabat manusia, yang

menjadikan manusia sebagai ukuran semua hal yang menyangkut atau berkaitan dengan keutamaan).

2. Kedua, bereksistensi harus diartikan secara dinamis, yaitu berbuat, menjadi, merencanakan. Kedinamisan ini membuat setiap manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya.

3. Ketiga, menjadi lebih atau kurang dari keadaannya menunjukkan bawa manusia adalah realitas yang belum selesai yang masih harus dibentuk. Hal ini terutama, karena manusia terikat pada dunia sekitarnya, terutama pada sesama manusia.

4. Keempat, sebagai realitas yang belum selesai, pengalaman konkret, pengalaman kognitif manusia menjadi sangat penting dan harus mendapat perhatian utama untuk memahami cara manusia berada. Sartre membuat perbedaan antara pengamat dan yang diamati dengan membagi Diri ke dalam dua bagian, yaitu Ada untuk dirinya sendiri dan Ada dalam dirinya sendiri. Ada dalam dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran material repetitif yang dimiliki oleh manusia dengan binatang, sayuran dan mineral. Ada untuk dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran yang bergerak dan berkesadaran yang hanya dimiliki oleh manusia. Perbedaan antara Ada dalam dirinya sendiri dan Ada untuk dirinya sendiri berguna dalam melakukan analisis tentang manusia, terutama jika kita mengasosiasikan Ada dalam dirinya sendiri dengan tubuh. Tubuh mempunyai kehadiran yang konstan dan objektif. Karena tubuh dapat dilihat, disentuh, didengarkan dan dirasakan. Sebaliknya, yang melihat, entitas yang melakukan tindak melihat, menyentuh, mendengar, mencium, dan merasakan bukanlah objek yang semata-mata dapat dilihat, melainkan menurut Sartre, masih mempunyai sejenis ke-Adaan. Konsep Sartre yang paling dekat dengan feminisme adalah ”ada untuk orang lain”. Ini adalah filsafat yang melihat relasi-relasi antar manusia. Sayangnya dalam hal relasi antara laki-laki dan perempuan, laki-laki mengobjekkan perempuan dan membuatnya sebagai “yang lain” (Liyan). Jadi dalam hal ini laki-laki adalah subyek dan perempuan adalah objek (Tong, 2010: 255).

Beauvoir mengemukakan, jika laki-laki ingin tetap bebas, ia harus mensubordinasi perempuan dalam dirinya. Ia menyebutkan ada tiga jenis perempuan yang memainkan peran perempuan sampai ke puncaknya. Mereka adalah pelacur, narsis dan perempuan mistis. Peran pelacur merupakan paradigma perempuan sebagai Liyan, sebagai objek yang dieksploitasi. Dia melacurkan dirinya bukan hanya untuk uang, tetapi juga untuk penghargaan yang ia dapatkan

dari laki-laki sebagai bayaran bagi “ke-Liyanannya”. Tidak seperti istri atau kekasih, pelacur mendapatkan imbalan karena menjadikan tubuhnya sebagai alat pemenuhan mimpi laki-laki, yaitu ; “kemakmuran dan ketenaran”.

Peran feminin yang bahkan lebih problematik daripada pelacur adalah narsis. narsisme pada perempuan adalah hasil dari ke-Liyanannya. Perempuan merasa putus asa sebagai subjek karena ia tidak diperkenankan untuk terlibat dalam kegiatan mendefinisi diri, dan arena kegiatan femininnya tidaklah memberikan kepuasan. Perempuan kemudian menjadi objek penting atas dirinya sendiri. Perempuan mempercayai bahwa dirinya adalah suatu objek atas keyakinan yang ditegaskan orang disekitarnya. Perempuan terpesona bahkan menjadi obsesif terhadap citranya sendiri. Rasa menjadi subjek dan objek pada saat yang bersamaan, tentu saja merupakan ilusi semata. Seorang narsis dengan cara tertentu yakin bahwa ia merupakan sintesis mustahil dari Ada untuk Dirinya sendiri dan Ada pada Dirinya sendiri. Akhirnya narsisme menghambat kemajuan diri perempuan. Ia menjadi terikat oleh kebutuhan untuk memenuhi hasrat laki-laki dan untuk menyesuaikan diri dengan selera masyarakat.

Penghargaan diri seorang narsis tergantung kepada penilaian laki-laki dan masyarakat terhadap dirinya. Ia hanya cantik jika masyarakat menyatakan bahwa ia cantik. Ia sendiri tidak mempunyai kekuatan atau kekuasaan untuk menyatakan kecantikannya. Banyak perempuan terobsesi pada penampilan, sehingga mereka berusaha untuk memperbaiki penampilannya yang sesungguhnya merupakan jalan agar perempuan tadi indah untuk dilihat oleh laki-laki. Dengan kata lain laki-laki akan lebih terpuaskan menjadikan perempuan sebagai objeknya.

Lalu yang ketiga dan yang paling problematik adalah perempuan mistis. Perempuan mistis ini tidak dapat membedakan antara Tuhan dengan laki-laki dan laki-laki dengan Tuhan. Perempuan dalam kategori ini berbicara tentang Diri yang Agung dan kemudian membicarakan laki-laki adalah Dewa. Dari segi feminisme ini dilihat bahwa perempuan selalu menjadi objek terutama di dunia yang sifatnya sangat patriarkal ini, dunia perempuan selalu akan dimasukkan ke dalam dunia laki-laki sebagai bukti penguasaan laki-laki terhadap perempuan.

Aliran feminisme eksistensialis dianggap sesuai dalam penelitian ini adalah karena feminism ini memfokuskan perhatiannya pada masalah eksistensi

dan kuasa perempuan atas tubuhnya sendiri. Di dalam objektivikasi perempuan, misalnya dalam pornografi, perempuan seolah kehilangan eksistensi atas tubuhnya sendiri.

2.2.4 Foto

Foto sering digunakan dalam karya-karya desain visual dikarenakan foto memiliki sebuah kekuatan yang tak dimiliki oleh elemen lainnya, yakni kredibilitasnya atau kemampuannya untuk member kesan sebagai bukti yang dapat dipercaya karena foto memiliki tingkat kemiripan yang tinggi dengan keadaan asli obek. Daya tarik sebuah foto, terutama dalam sebuah majalah sangat besar bagi pembacanya. Teknik pengambilan suatu gambar dapat memiliki kode-kode yang mempunyai makna tersendiri. Kode-kode-kode tersebut menginformasikan hampir seluruh aspek tentang keberadaan kita dan menyediakan Konsep yang bermanfaat bagi analisis seni populer dan media. Berbagai elemen terdapat dalam kode, terutama yang berhubungan dengan bahasa gambar yang biasa dilihat secara lebih detail. Jelasnya dapat diperlihatkan melalui tabel berikut:

Tabel 1

Teknik Dalam Pengambilan Gambar Penanda (Signifier) Petanda (Signified) Pengambilan Gambar

Ekstreme Long Shot Kesan luas dan keluarbiasaan

Full Shot Hubungan Sosial

Big Close Up Emosi, dramatik, moment pentin

Close Up Intim atau dekat

Medium Shot Hubungan personal dengan subjek

Long Shot Konteks perbedaan dengan publik

Sudut Pandang (Angle) Pengambilan Gambar:

High Dominasi, kekuasaan dan otoritas

Eye-Level Kesejajaran, kesamaan dan sederajat

Low Didominasi, dikuasi dan kurang otoritas

Fokus

objek)

Soft Focus Romantis serta nostalgia

Deep Focus Semua unsur adalah penting (melihat

secara keseluruhan objek) Pencahayaan

High Key Riang, cerah

Low Key Suram, muram

High Contras Dramatikal, teatrikal

Low Contras Realistik dan terkesan dokumenter

Pewarnaan

Warm (kuning,oranye, merah, abu-abu) Optimisme, harapan, hasrat, agitasi

Cool (biru, hijau) Pesimisme

Black and White Realisme, aktualitas, faktual

Sumber : Keith Selby dan Ron Coedery,. How to Study Television (1995). London : Mc Millisan.

Pengambilan gambar yang dapat menandakan sesuatu merupakan salah satu elemen penting. Pengambilan gambar akan menentukan bagaimana akhirnya gambar (foto maupun film) dihasilkan. Pengambilan gambar secara extreme long shot dapat menggambarkan wilayah yang luas yang diambil dari jarak yang sangat jauh. Pengambilan gambar secara long shot membuat subjek hanya sebagai bagian kecil saja dari objek yang ditampilkan dalam gambar. Kesan yang muncul adalah ketidakberatian subjek. Penonjolan dari subjek atau orang tersebut tidak ada apabila long shot yang dipilih. Kecuali jika ada sebuah kejadian atau suatu peristiwa yang tampak dari gambar tersebut.

Pengambilan gambar secara medium shot, bentuk subjek yang ditampilkan sama ukurannya dengan objek yang menjadi latar.. Kesan yang nampak dari gambar seperti ini adalah kesan personal. Pengambilan gambar dalam bentuk close up, ukuran subjek lebih besar daripada setting atau latar subjek. Kesan yang muncul dalam gambar seperti ini adalah kesan intim dan dekat dengan subjek. Pembaca atau orang yang melihat diajak untuk lebih memperhatikan.

Pengambilan gambar dalam bentuk big close up, subjek bukan hanya ditampilkan dalam ukuran besar tetapi juga detail ditonjolkan dalam gambar.

Selain pengambilan gambar, bagian penting dalam memaknai suatu gambar adalah sudut pandang pengambilan gambar (angle). Apakah gambar yang diambil sejajar dengan camera person, diambil dari atas atau diambil dari bawah. Sudut pengambilan gambar bukan hanya persoalan teknis tetapi teknik ini akan memberi makna pada gambar dan menghadirkan penafsiran berbeda dari khalayak yang melihatnya. Gambar yang diambil dari atas (high angle shot), memposisikan khalayak atau orang berada diatas subjek. Posisi semacam ini secara tidak langsung memposisikan orang yang ada diatas lebih powerfull (kekuasaan) dan lebih mempunyai otoritas.

Subjek yang diambil dari bawah (low angle shot), sebaliknya membuat subjek lebih besar dan memposisikan subjek yang ditampilkan dalam gambar mempunyai posisi lebih tinggi dari mata pemandang. Kesan yang muncul dalam angle seperti ini subjeklah yang lebih terkesan lebih powerfull, lebih otoritatif dibandingkan dengan posisi khalayak atau pemandang. Gambar yang diambil dengan eye level shot, memposisikan subjek dan pemandang sama. Kesan yang muncul baik dari subjek maupun pemandang mempunyai tingkat yang sejajar dan setara.

Fokus dari pengambilan gambar merupakan elemen lain yang perlu diperhatikan dalam menganalisis foto. Fokus adalah kegiatan mengatur ketajaman objek foto yang telah dijadikan point of interest pada saat komposisi. Dilakukan dengan cara memutar ring fokus pada sehingga terlihat pada kaca pembidik, obek yang tadinya tidak tajam dan tidak jelas, menjadi fokus dan tajam serta jelas bentuk dan tampilannya (Mirza, 2004:48).

Dokumen terkait