• Tidak ada hasil yang ditemukan

Haedar Nashir dalam disertasinya yang berjudul Gerakan Islam Syari’at;

Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia mengungkapkan, Salafiyah sebagai

suatu istilah dengan berbagai kata lainnya seperti salafiyun, salafiyin, salafy dan

lalu, telah selesai, kaum di masa lalu dan sebagainya. Adapun secara istilah, yang dimaksud di sini ialah Salaf al-S{a>lih, yaitu para pendahulu Umat Islam yang salih.

Mereka adalah tiga generasi Islam, yaitu para sahabat, generasi tabiin (para pengikut Sahabat), dan tabiit tabiin (para pengikut tabiin).23 Tiga generasi kaum salaf tersebut dalam hitungan sejarah Islam tidak lebih dari sekitar 300 tahun sejak masa Nabi saw. Kaum Salaf tersebut sering dibedakan secara kategoris dengan kaum

Khalaf, yakni generasi elit Muslim atau ulama-ulama yang datang kemudian setelah

generasi salaf.24

Lebih lanjut, Haedar menjelaskan bahwa seseorang dianggap oleh orang lain sebagai Salafiyah, disebabkan oleh sikap dan perilakunya menunjukkan kesetiaannya pada ajaran Salaf al-S{a>lih, meskipun dia tidak menyebutkan dirinya Salafi>. Tetapi adakalanya orang-orang tertentu sering menyebut dirinya Salafi>, meskipun mereka sendiri belum memahami dan mengamalkan ajaran Salaf al-S{a>lih itu. Istilah Salafi> kemudian menjadi sebutan bagi komunitas yang mengikatkan dirinya dengan ajaran

Salaf al-S}a>lih, baik dalam ikatan yang bersifat kuat maupun ikatan yang sangat

longgar.25

Masih menurut Haedar, gerakan Salafiyah sebagaimana dibahas di atas juga diidentikkan dengan Ortodoksi dalam Islam. Paham ortodoks dilukiskan sebagai “Islam yang benar (ortodoks) dalam bentuk gerakan reformis”, sedangkan dalam istilah lain disebut juga sebagai Islam yang lurus.26

23

Abu> Abdirrahma>n al-T}ali>bi, op. cit, h. 8.

24

Haedar Nashir, Gerakan Islam Syari’at; Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSap) Muhammadiyah, 2007), h. 117-118.

25

Ibid. Lihat juga Aboebakar Atjeh, Salaf (Salaf Al-S}alih); Islam dalam Masa Murni

(Jakarta: Permata, 1970), h. 5.

26

Haedar juga mengungkapkan keragaman sikap dan aktivitas Salafiyah di Indonesia, antara lain:

1. Sikap ilmiah murni, yaitu mengkaji setiap persoalan berdasarkan landasan al-Qur’an, hadis-hadis sahih, serta metode yang lurus sebagaimana yang dipegang oleh para ulama Ahl al-Sunnah sepanjang sejarahnya. Inilah sumber metode asli dakwah Salafiyah.

2. Membangun jaringan majelis taklim yang menginduk ke madrasah Salafiyah tertentu di Timur Tengah melalui para pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di madrasah Salafiyah tersebut.

3. Bersikap keras dalam mengingkari ahli bid’ah dan kelompok menyimpang, sikap keras tersebut kadang ditunjukkan dengan bermuka masam, tidak mau menjawab salam, bersikap menjauhi, mencela, membuka aib-aib, menghina hingga memboikot.

4. Mengambil khazanah ilmu-ilmu Salafiyah, namun juga menerapkan sistem kejamaahan (organisasi) seperti yang ditetapkan di kalangan jamaah-jamaah dakwah Islam pada umumnya.

5. Mengambil bab-bab tertentu dari ilmu Salafiyah dan meninggalkan bab-bab lainnya. Adakalanya anti terhadap bab-bab tertentu yang tidak memuaskan akal, kebebabasan, dan kepentingannya.

6. Mengambil khazanah ilmu Salafiyah untuk bab-bab yang bersifat dasar (elementer), lalu meletakkan di atas dasar itu pemikiran-pemikiran non-Salafiyah seperti doktrin politik, kekerasan, organisasi dan lain-lain.

7. Mengambil sebagaian ilmu-ilmu Salafiyah, lalu meramunya dengan ilmu-ilmu dari sumber lain sehingga menghasilkan paduan multi warna, yang disebut dengan metode thari>q al-jam’i (metode kompromis)

8. Berkiprah dalam bidang-bidang teknis misalnya penerbitan, media, pendidikan, rumah sakit, lembaga socsial dan lain-lain tanpa mengikatkan diri pada suatu organisasi Islam tertentu.

9. Berkarya dalam dakwah Salafiyah secara independen dengan tidak mengikatkan diri pada suatu organisasi, jamaah, jaringan majelis taklim, lembaga, madrasah dan lain-lain, baik di dalam maupun di luar negeri, mereka menyebarkan ilmu-ilmu Salafiyah secara mandiri. Lokal, dan menyesuaikan metode dakwah dengan situasi lingkungan, secara popular mereka kurang dikenal karena terpisah-pisah tetapi dakwah mereka cukup eksis.

10. Mengambil hikmah ilmu Salafiyah secara individu sesuai kebutuhan, keinginan dan kepentingan masing-masing.27

Andi Aderus mengungkapkan dalam disertasinya yang berjudul Karakteristik

Pemikiran Salafi> di Tengah Aliran-aliran Pemikiran Keislaman, karakteristik

pemikiran Salafi> terbagi menjadi tiga bagian besar, yaitu:

a. Karakteristik pemikiran Salafi dan implikasinya dalam masalah i’tiqadiyah. Andi Aderus menyimpulkan: Dalam masalah i’tiqadiyah, Salafi bersepakat menjadikan tiga karakteristik pemikiran yang menjadi dasar dalam berakidah, siapapun orangnya dan di era manapun dia hidup, ketika menggunakan tiga dasar berpikir tersebut, maka ia adalah salafi, meski dia tidak termasuk dalam kelompok yang menamakan dirinya Salafiah. Tetapi jika mengambil sebagian dan meninggal

27

sebagaian yang lainnya dari yang tiga dasar berpikir, tidak cukup seseorang mengklaim dirinya sebagai seorang Salafi. Tiga dasar berpikir yang dimaksud adalah:

1) Prioritas wahyu dalam memahami masalah-masalah i’tiqadiyah, Salafi> mengutamakan wahyu dalam memahami hal-hal yang bersifat i’tiqadiyah serta masalah-masalah sam’iyat.28

2) Ta’wil yang diperbolehkan adalah ta’wil dalam konotasi tafsir dan tidak bertentangan dengan wahyu serta tujuan utama dari syari’at.29

3) Mengikuti cara al-Qur’an dalam pemaparan akidah.30

b. Karakteristik pemikiran Salafi> dan implikasinya dalam prinsip beragama. 1) Agama Islam sebagai satu kesatuan yang utuh.

2) Cara beragama Salaf adalah sebuah kemajuan beragama bukan kemunduran. 3) Memiliki jadi diri. Mereka adalah orang yang teguh dalam beragama tidak

menjiplak budaya dan karakter bangsa lain.31

c. Karakteristik pemikiran Salafi> dan implikasinya dalam masalah furu>’iyah. Andi Aderus menegaskan, dalam masalah furu’iyah, Salafi> membedakan antara syar’i> mana>zil dan syar’i> mutawwal sehingga ketika menyikapi persoalan kontemporer, Salafi memberika peluang kebebasan berijtihad selama tidak

berten-28

Andi Aderus, Disertasi, Karakteristik pemikiran Salafi di Tengah Aliran-Aliran Pemikiran

Keislaman (Makassar: 2010), h. 209. 29 Ibid. h. 210. 30 Ibid. h. 211. 31 Ibid. h. 213.

tangan dengan tujuan utama dari syari’at Islam yaitu menciptakan keadilan serta kemaslahatan pada masyarakat serta menghindarkan umat Islam dari madarat.32

Nuhrison M. Nuh dalam penelitiaannya yang berjudul Gerakan Paham dan

Pemikiran Islam Radikal Pasca Orde Baru (Gerakan Dakwah Salafi di Kecamatan Lembar Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat) menjelaskan pokok-pokok

ajaran Salafi yang dibawa oleh Ahmad Khumaidi. Ahmad Khumaidi dalam dak-wahnya banyak menyalahkan paham yang dianut oleh mayoritas masyarakat. Diantaranya salat tarawih 8 rakaat bukan 20 rakaat, zikir tidak jahar, dilarang melaksanakan maulid besar-besaran karena dianggap pemborosan yang menyebab-kan kemiskinan masyarakat. Upacara nelung, mituh, nyiwuh yang diadamenyebab-kan untuk orang meninggal. Mengirim bacaan zikir dan tahlil kepada orang meninggal dunia pahalanya tidak sampai kepada orang yang meninggal, karena alamatnya tidak jelas.33

Dari disertasi dan penelitian di atas, belum terekam secara sempurna latar belakang lahirnya paham keagamaan, doktrin-doktrin Salafi atau Salafiyah yang seringkali memunculkan ketegangan baik internal pengikut ajaran Salaf itu sendiri maupun kelompok-kelompok Islam lain dari kalangan modernis dan tradisionalis.

Dalam disertasi ini, penulis ingin mengungkapkan secara jernih dan menda-lam tentang asal-usul, kondisi sosial politik yang melatarbelakangi lahirnya paham keagamaan Salafi, doktrinnya, dan kritik terhadap sejarah dan doktrin-doktrin Salafi.

32

Ibid.

33

Nuhrison M. Nuh, Direktori Kasus-Kasus; Aliran, Pemikiran, Paham, dan Gerakan

E. Metodologi Penelitian