• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang Politik

Rasulullah saw

DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA

A. Sejarah Salafi dan Manhaj Salaf

1) Latar Belakang Politik

Kemunculan gerakan pemurnian ajaran Islam yang dipelopori oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab tidak dapat dilepaskan dari kondisi politik umat Islam waktu itu. Secara politik umat Islam di seluruh kawasan kekuasaan Islam berada dalam keadaan lemah. Turki Usmani (Kerajaan Ottoman) yang menjadi penguasa tunggal Islam pada saat itu sedang mengalami kemunduran dalam segala

bidang. Banyak daerah kekuasaannya yang melepaskan diri, terutama di daratan Eropa. Kelemahan ini juga menyebabkan kekacauan politik di daerah-daerah timur (Arab, Persia, dan lain-lain). Keadaan ini menyebabkan timbulnya emirat-emirat kecil yang berusaha menguasai daerah-daerah tertentu.

Berkat gerakan Ibnu Abdul Wahab, Daulah Islamiyyah (di Jazirah Arabia) yang cukup kuat dan disegani musuh dapat ditegakan, serta mampu menyatukan negeri-negeri yang sebelumnya berseteru di bawah satu bendera. Kekuasaan Daulah ini membentang dari Laut Merah (barat) hingga Teluk Arab (timur), dan dari Syam (utara) hingga Yaman (selatan), Daulah ini dikenal dalam sejarah dengan sebutan Daulah Su’udiyyah I.

Dengan demikian, gerakan Ibnu Abdul Wahab telah menjadi kekuatan keagamaan dan politik yang dominan di Jazirah Arab pada sekitar 1746 M, ketika al-Sa’ud memadukan kekuatan politik dan ajaran Ibnu Abdul Wahab. Satu demi satu kerajaan jatuh oleh serangan kekuatan Arab Saudi. Pada 1773 M, kerajaan Riyadh jatuh dan kekayaannya digabungkan oleh bendaharawan al-Dar’iyah, al-Sa’ud dan Ibnu Abdul Wahhab. Dengan jatuhnya Riyadh, sebuah tantangan barupun berdiri di Jazirah Arab, yang mengantarkan periode pertama Negara Arab Saudi dan memantapkan gerakan Ibnu Abdul Wahab sebagai kekuatan keagamaan dan politik terkuat di Jazirah Arab waktu itu.

Inggris, Prancis, dan lainnya, yang tengah berkuasa dan menjajah negeri-negeri Islam pada waktu itu menganggap bahwa gerakan Ibnu Abdul Wahhab yang bertujuan memurnikan tauhid dan menegakkan syariat, merupakan suatu kekuatan besar yang dapat mengancam eksistensi mereka di negeri-negeri jajahannya.

Hal ini membuat para penjajah kafir itu geram dan mengkhawatirkan bangkitnya kaum muslimin di negeri-negeri jajahannya. Sehingga mereka pun berupaya untuk menjauhkan kaum muslimin dan membuat mereka antipati terhadap dakwah tauhid yang dilancarkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.87

Cara-cara yang dilakukan para penjajah kafir terhadap gerakan Abdullah bin Abdul Wahhab antara lain:

a. Menebarkan isu-isu negatif dan dusta tentang dakwah tauhid di tengah-tengah muslimin melalui para misionaris mereka, baik secara lisan maupun tulisan.

b. Memprovokasi dan mempengaruhi pemerintahan Dinasti ‘Us\ma>n i untuk membenci dan memerangi dakwah tauhid, dan dikesankan kepada mereka bahwa dakwah mulia tersebut sebagai ancaman besar bagi eksistensi Daulah ‘Us\ma>n iyyah.88

c. Pemberian bantuan pasukan dari pemerintahan penjajah Inggris maupun Prancis kepada Dinasti ‘Us\ma>n i dalam upayanya menyerang dakwah tauhid.89

Di antara bukti yang menunjukkan provokasi mereka terhadap Dinasti ‘Us\ma>ni untuk memusuhi dan menyerang dakwah tauhid adalah adanya penyerangan tentara Dinasti ‘Us\ma>ni terhadap kota Al-Dir’iyyah sebagai pusat dakwah tauhid di bawah pimpinan Ibrahim Basya pada tahun 1816 M atas perintah ayahnya

87

Muhammad bin Sa’d Asy-Syuwai’ir, Tas}hi>hu Khathain Tarikhi Haula Al Wahhabiyyah, h. 63-67.

88

Ibid., h. 77-78

89

Muhammad Ali Basya, Gubernur Mesir ketika itu, yang bersekongkol dengan penjajah Prancis.

Karena keberhasilannya atas penyerangan ke negeri Al-Dir’iyyah itu, Pemerintah Inggris mengirimkan utusannya, yaitu Kapten George Forster Sadleer, untuk menyampaikan ucapan selamat secara khusus dari Pemerintahan Inggris atas keberhasilan Dinasti ‘Us\ma>n i menghancurkan Al-Dir’iyyah.90

Tercatat dalam sejarah, beberapa kali ada upaya penyerangan yang dilakukan Dinasti ‘Us\ma>ni terhadap Negeri Najd dan kota-kota yang ada di dalamnya yang terkenal sebagai pusat dakwah tauhid.

Di antaranya apa yang terjadi di masa Sultan Mahmud II, ketika memerintahkan Muhammad ‘Ali Basya untuk menyerang kekuatan dakwah tauhid di Najd. Tentara Muhammad ‘Ali Basya dipimpin oleh anaknya Ibrahim Basya dalam sebuah pasukan besar dengan bantuan militer dari negara-negara kafir Eropa. Pada akhir tahun 1232 H, mereka menyerang kota ‘Unaizah dan Al-Khubra` serta berhasil menguasai Kota Buraidah. Sebelumnya, pada bulan Muharram 1232 H, tepatnya tanggal 23 Oktober 1818 M, mereka berhasil menduduki daerah Syaqra’ dalam sebuah pertempuran sengit dengan strategi tempur penuh kelicikan yang diatur oleh seorang ahli perang Prancis bernama Vaissiere.

Bahkan dalam pasukan Dinasti ‘Us\ma>n i yang menyerang Najd pada waktu itu didapati 4 orang dokter ahli berkebangsaan Itali. Nama-nama mereka adalah Socio, Todeschini, Gentill, Scots. Nama terakhir ini adalah dokter pribadi Ibrahim

90

Basya. Demikian juga didapati perwira-perwira tinggi Eropa yang bergabung dalam pasukan Dinasti ‘Us\ma>n i dalam penyerangan tersebut.91

Hal ini menunjukkan bahwa Dinasti ‘Us\ma>ni telah bersekongkol dengan negara-negara kafir Eropa di dalam memerangi dakwah tauhid, yang tentunya hal ini mengundang amarah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menjadi sebab terbesar hancurnya Daulah ‘Us\ma>n iyyah.

Belum lagi kondisi tentara dan pasukan tempur Dinasti ‘Us\ma>n i yang benar-benar telah jauh dari bimbingan Islam. Hal ini sebagaimana disebutkan sejarawan berkebangsaan Mesir yang sangat terkenal, yaitu Abdurrahman Al-Jabrati. Ketika menyampaikan kisah tentang kondisi pasukan Dinasti ‘Us\ma>ni dan membandingkannya dengan pasukan tauhid di Najd, yang beliau nukil dari penjelasan salah seorang perwira tinggi militer Mesir yang menceritakan tentang kondisi pertempuran yang terjadi pada tahun 1227 H yang dipimpin Ahmad Thusun, putra Muhammad ‘Ali Basya, beliau menyatakan: “…dan beberapa perwira tinggi mereka (tentara Mesir, pent.) yang menyeru kepada kebaikan dan sikap wara’ telah menyampaikan kepadaku bahwa mana mungkin kita akan memperoleh kemenangan, sementara mayoritas tentara kita tidak berpegang dengan agama ini. Bahkan di antara mereka ada yang sama sekali tidak beragama dengan agama apapun dan tidak berMaz\hab dengan sebuah Maz\hab pun. Dan berkrat-krat minuman keras telah menemani kita. Di tengah-tengah kita tidak pernah terdengar suara adzan, tidak pula ditegakkan shalat wajib. Bahkan syi’ar-syi’ar agama Islam tidak terbetik di benak mereka.

91

Sementara mereka (tentara Najd), jika telah masuk waktu shalat, para muadzin mengumandangkan adzan dan pasukan pun segera menata barisan shaf di belakang imam yang satu dengan penuh kekhusyu’an dan kerendahan diri. Jika telah masuk waktu shalat, sementara peperangan sedang berkecamuk, para muadzin pun segera mengumandangkan adzan. Lalu seluruh pasukan melakukan shalat khauf, dengan cara sekelompok pasukan maju terus bertempur sementara sekelompok yang lainnya bergerak mundur untuk melakukan shalat.

Sedangkan tentara kita terheran-heran melihat pemandangan tersebut. Karena memang mereka sama sekali belum pernah mendengar hal yang seperti itu, apalagi melihatnya.

Kalau kisah tersebut disampaikan salah seorang perwira tinggi militer Mesir, maka Abdurrahman Al-Jabrati sendiri juga menceritakan tentang pertempuran yang terjadi pada tahun 1233 H yang dipimpin Ibrahim Basya dalam menghancurkan Ad-Dir’iyyah, yang tidak jauh berbeda dari kisah yang disampaikan sang perwira tinggi tersebut di atas.92

Dinasti ‘Us\ma>ni melengkapi kekejaman dan permusuhannya terhadap dakwah tauhid dengan menawan Al-Amir Abdullah bin Su’ud, sebagai salah satu penerus dan pembela dakwah tauhid yang telah menginfakkan jiwa dan hartanya dalam menegakkan kalimat tauhid serta syariat Islam. Beliau dikirim ke Mesir dan selanjutnya dikirim ke Istambul lalu dihukum pancung di sana setelah sebelumnya diarak di jalan-jalan Istanbul, dijadikan sebagai lelucon dan olok-olok selama tiga hari. Peristiwa ini terjadi pada 18 Shafar 1234 H/ 17 Desember 1818 M.93

92

Ibid, h. 152-153.

93

Pada tahun 1238 H/1823 M berdiri kembali Daulah Su’udiyyah II yang diprakarsai oleh Al-Imam Al-Mujahid Turki bin Abdullah bin Muhammad bin Su’ud, dan runtuh pada tahun 1309 H/1891 M. Kemudian pada tahun 1319 H/1901 M berdiri kembali Daulah Su’udiyyah III yang diprakarsai oleh Al-Imam Al-Mujahid Abdul ‘Aziz bin Abdurrahman bin Faishal bin Turki Alu Su’ud. Daulah Su’udiyyah III ini kemudian dikenal dengan nama Al-Mamlakah Al-’Arabiyyah As-Su’udiyyah, yang dalam bahasa kita biasa disebut Kerajaan Saudi Arabia.