• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Yayasan

1. Pengertian Yayasan

Yayasan pada mulanya digunakan sebagai terjemahan dari istilah Stichting yang berasal dari kata Stichen yang berarti membangun atau mendirikan dalam Bahasa Belanda dan Foundation dalam Bahasa Inggris (Wajowasito, 1981: 634). Kenyataan di dalam praktek, memperlihatkan bahwa apa yang disebut Yayasan adalah suatu badan yang menjalankan usaha yang bergerak dalam segala macam badan usaha, baik yang bergerak dalam usaha yang nonkomersial maupun yang secara tidak langsung bersifat komersial (Ais, 2002: 81)

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan merupakan badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota. (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan Pasal 1). Yayasan dapat pula dipahami sebagai Badan Hukum yang mempunyai unsur-unsur :

a. Mempunyai harta kekayaan sendiri yang berasal dari suatu perbuatan pemisahan yaitu suatu pemisahan kekayaan yang dapat berupa uang dan barang.

b. Mempunyai tujuan sendiri yaitu suatu tujuan yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan.

c. Mempunyai alat perlengkapan yaitu meliputi pengurus, pembina dan pengawas (Rido, 1981: 118).

2. Dasar Hukum Yayasan

Sebelum Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan diundangkan, keberadaan yayasan didasarkan pada hukum kebiasaan yang timbul dan berkembang dalam masyarakat. Dalam Undang-Undang ini dijelaskan tentang :

a. Kebiasaan

Adalah perbuatan manusia yang dilakukan berulang-ulang mengenai hal tingkah laku kebiasaan yang diterima oleh suatu masyarakat yang selalu dilakukan oleh orang lain sedemikian rupa, sehingga beranggapan bahwa memang harus berlaku demikian (Soeroso, 2001: 151).

b. Yurisprudensi

Keputusan hakim sebelumnya yang dipergunakan sebagai bahan pertimbangan oleh hakim berikutnya dalam mengambil keputusan (Soeroso, 2001: 16)

c. Doktrin

Pendapat sarjana hukum terkemuka yang besar pengaruhnya terhadap hakim dalam mengambil keputusannya (Soeroso, 2001: 179). d. Undang-Undang Nomor16 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor

28 Tahun 2004 Tentang Yayasan

Undang-Undang Nomor16 Tahun 2001 Tentang Yayasan ini diharapkan dapat mengatasi berbagai masalah mengenai yayasan dan

menjadi dasar hukum yang kuat dalam mengatur yayasan di Indonesia. Namun dalam Undang-Undang tersebut ternyata dalam perkembangannya belum menampung seluruh kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, sehingga perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang tersebut. Perubahan tersebut dimaksudkan untuk lebih menjamin kepastian dan ketertiban hukum, serta memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan merupakan penyempurna dari Undang-Undang Nomor16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, Undang-Undang ini dimaksudkan untuk lebih menjamin kepastian dan ketertiban hukum, serta memberikan pemahaman yang benar pada masyarakat mengenai yayasan, sehingga dapat mengembalikan fungsi yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.

3. Syarat-syarat Pendirian Yayasan

Yayasan didirikan oleh 1 (satu) orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal. Hal ini menunjukkan bahwa pendiri bukanlah pemilik yayasan karena sudah sejak semula telah memisahkan sebagian dari kekayaannya menjadi milik badan hukum yayasan. Yayasan dapat juga didirikan berdasarkan surat wasiat, dalam hal ini bila penerima wasiat atau ahli waris tidak melaksanakan maksud pemberi wasiat untuk mendirikan yayasan, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan, Pengadilan dapat

memerintahkan ahli waris atau penerima wasiat untuk melaksanakan wasiat tersebut (Ais, 2002: 22-23)

Dalam prakteknya yayasan-yayasan yang didirikan menurut hukum diakui mempunyai hak dan kewajiban, sebagai salah satu pihak dalam hubungan hukum dengan subyek hukum yang lain (Ali, 1991: 89-90). Untuk mendirikan suatu yayasan diperlukan syarat-syarat sebagai pendukung berdirinya yang terdiri dari 2 yaitu :

a. Syarat Material yang terdiri dari :

1) Harus ada suatu pemisahan kekayaan yaitu adanya kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang dan barang.

2) Suatu tujuan yaitu suatu tujuan yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan.

3) Suatu organisasi yaitu suatu organisasi yang terdiri dari pengurus, pembina dan pengawas.

b. Syarat Formal

1) Dengan akta otentik

Yaitu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu dan dalam bentuk menurut ketentuan yang ditetapkan untuk itu, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, di tempat mana pejabat berwenang menjalankan tugasnya (Arto, 1996: 144)

Sebelum diaturnya Undang-Undang tentang yayasan, pendirian yayasan didirikan dengan akte notaris sebagai syarat terbentuknya suatu yayasan. Hal ini dimaksudkan agar lebih mudah untuk mengadakan pembuktian terhadap yayasan tersebut. Dalam akta pendiriannya memuat anggaran dasar yang memuat :

a) Kekayaan yang dipisahkan

c) Tujuan yayasan yaitu suatu tujuan yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan.

d) Bentuk dan susunan pengurus serta penggantian anggota pengurus. e) Cara pembubaran

f) Cara menggunakan sisa kekayaan dari yayasan yang telah dibubarkan (Rido, 1981: 121-122)

Anggaran dasar dalam akta pendiriannya dapat diubah mengenai maksud dan tujuan yayasan. Perubahan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan rapat Pembina. Perubahan anggaran dasar yang meliputi nama dan kegiatan yayasan harus mendapat persetujuan Menteri. Anggaran Dasar yayasan dapat dirubah pada saat Yayasan dinyatakan dalam keadaan pailit, kecuali atas persetujuan curator (Ais, 2002: 27)

Kedudukan yayasan sebagai badan hukum diperoleh bersamaan pada waktu berdirinya yayasan itu. Adapun cara-cara untuk memperoleh status badan hukum dari suatu yayasan, harus dipenuhi beberapa syarat yaitu :

a) Harus didirikan dengan akta notaries

b) Harus ada kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan orang yang mendirikan, dan dimaksudkan untuk tujuan tertentu, dan yang mendirikan tidak boleh masih mempunyai kekuasaan atas harta yang telah dipisahkan itu

c) Harus ada pengurus tersendiri

d) Harus ditunjuk atau disebut orang yang mendapat manfaat dari yayasan itu.

e) Tidak mempunyai anggota artinya bahwa dengan tidak adanya keanggotaan yayasan ini, maka suatu yayasan tidaklah dapat

diwariskan kepada ahli waris (baik oleh Badan pendiri maupun oleh pengurus) sebab yayasan (termasuk segala harta yayasan) bukanlah merupakan milik Badan Pendiri maupun pengurus secara pribadi/individu terpisah) dengan sendirinya tidaklah dapat diwariskan kepada para ahli waris Badan Pendiri maupun ahli waris Badan Pengurus.

4. Organ-Organ Yayasan

Sebagai badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, Yayasan mempunyai organ yang terdiri dari Pembina, Pengurus dan Pengawas. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan, organ Yayasan terdiri dari Pendiri, Pengurus, dan Pengawas Internal. Maka yayasan yang terdiri dari Pembina, Pengurus dan Pengawas dijelaskan dalam: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan Pasal 2. Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas.

a. Pembina

Pembina adalah organ Yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus. Diciptakan organ Pembina, sebagai pengganti pendiri, disebabkan dalam kenyataannya, pendiri yayasan pada suatu saat dapat tidak ada sama sekali, yang diakibatkan karena pendiri meninggal dunia, ataupun mengundurkan diri. Mengenai organ yayasan ini dijelaskan pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan, bahwa Pembina adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak

diserahkan kepada Pengurus atau Pengawas oleh undang-undang ini atau Anggaran Dasar (Ais. 2002)

b. Pengurus

Peranan Pengurus amatlah dominan pada suatu organisasi. Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan, yang diangkat oleh pembina berdasarkan keputusan rapat pembina. Pengurus tidak boleh merangkap sebagai pembina dan pengawas hal ini dimaksudkan untuk menghindari tumpang tindih kewenangan, tugas dan tanggung jawab antara pembina, pengurus dan pengawas yang dapat merugikan kepentingan yayasan atau pihak lain. Mengenai pengurus ini Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan mengaturnya dalam pasal 31 sampai pasal 39 (Kansil, 2002: 48-49)

c. Pengawas

Pengawas adalah organ yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasehat pengurus dalam menjalankan kegiatan yayasan. Pengawas mengawasi serta memberi nasihat kepada Pengurus. Pengawas tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengurus. Dalam UU Yayasan No.28 Tahun 2004 Organ Pengawas diatur dalam pasal 40 sampai dengan pasal 47 (Kansil, 2002: 53) 5. Kegiatan Usaha Yayasan

Kegiatan usaha yayasan adalah untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya, yaitu suatu tujuan yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Hal ini mengakibatkan seseorang yang menjadi organ yayasan harus bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah atau honor tetap. Sesuai ketentuan pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2004 Tentang Yayasan, bahwa kegiatan usaha yang dimaksud adalah untuk tujuan-tujuan yayasan dan bukan untuk kepentingan organ yayasan (Ais, 2002)

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan memberikan kesempatan bagi yayasan untuk melakukan kegiatan usaha, sebagaimana terlihat dalam pasal 3, pasal 7, dan pasal 8. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan adalah sebagai berikut: a. Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian

maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan atau ikut serta dalam suatu badan usaha.

b. Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, pengurus dan Pengawas.

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan 1 Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai

dengan maksud dan tujuan yayasan.

2 Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25% (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan Yayasan.

3 Anggota Pembina, pengurus, dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan Kegiatan usaha dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat 1 harus sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan serta

tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam yayasan terdapat suatu maksud dan tujuan yang tercantum dalam anggaran dasar. Adapun manfaat dari suatu yayasan akan terlihat tergantung kepada bidang kegiatan yang bersangkutan. Ada beberapa kategori bidang kegiatan yayasan yaitu :

1) Yayasan yang bergerak dalam bidang kesehatan, yang bertujuan ikut membantu Pemerintah dalam menunjang kesejahteraan masyarakat dalam bidang usaha pelayanan medik (kesehatan). Tujuan-tujuan untuk memajukan kesehatan dapat berupa :

a) Mendirikan rumah sakit, rumah peristirahatan bagi para jompo, rumah perawatan, tanpa tujuan laba.

b) Menyediakan berbagai fasilitas untuk memebantu/ meneyenangkan pasien

c) Pelatihan dokter dan perawat

d) Memajukan penggunaan khusus bagi pengobatan e) Riset Kesehatan

f) Bantuan untuk penderita penyakit tertentu, seperti kebutaan dan kebergantungan obat

g) Menyediakan asrama perawat dsb.

Untuk memperoleh izin operasionalnya karena yayasan ini bergerak dalam bidang kesehatan maka mendapat pengesahan atau izin dari menteri kesehatan.

2) Yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan, bertujuan membantu pemerintah dalam menunjang kesejahteraan masyarakat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan untuk memajukan pendidikan dapat berupa :Mendirikan sekolah dan Mendirikan

perpustakaan Untuk izin operasionalnya mendapat pengesahan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 3) Yayasan yang bergerak dalam bidang kebudayaan, bertujuan ikut

membantu Pemerintah dalam menunjang kesejahteraan masyarakat, terutama dalam melestarikan Kebudayaan Bangsa. Tujuan untuk memajukan kebudayaan dapat berupa : Pendirian museum dan Pendirian tempat-tempat wisata. Untuk memperoleh izin operasionalnya karena yayasan ini bergerak dalam bidang kebudayaan, maka pengesahannya didapat dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

4) Yayasan yang bergerak dalam bidang keagamaan, bertujuan ikut membantu Pemerintah dalam menunjang kesejahteraan masyarakat, terutama dalam kehidupan beragama atau peribadatan. Kegiatan dalam memajukan agama antara lain : Sumbangan untuk membangun, memelihara dan merawat bangunanbangunan keagamaan, atau bagiannya, serta pekarangan; Sumbangan atau bantuan untuk pelayanan dan Sumbangan atau bantuan untuk pemuka agama. Untuk memperoleh izin operasionalnya mendapat pengesahan dari Departemen Agama.

5) Yayasan yang bergerak dalam bidang sosial, bertujuan ingin memebantu pemerintah dalam menunjang kesejahteraan masyarakat, terutama berkaitan dengan masalah sosial seperti: menyantuni anak yatim, fakir miskin. Untuk memperoleh izin operasionalnya mendapat pengesahan dari Departemen Sosial.

Dari semua kegiatan di atas dapat terlihat bahwa semua tujuan berfungsi sosial, kemanusiaan dan keagamaan, atau semata-mata untuk tujuan sosial yang tujuannya diperuntukkan untuk kepentingan orang lain yang ada di luar yayasan tersebut.

B. Notaris

1. Pengertian Notaris

Berdasarkan sejarah, Notaris adalah seorang pejabat Negara/pejabat umum yang dapat diangkat oleh Negara untuk melakukan tugas-tugas Negara dalam pelayanan hukum kepada masyarakat demi tercapainya kepastian hukum sebagai pejabat pembuat akta otentik dalam hal keperdataan. Pengertian Notaris dapat dilihat dalam peraturan perundang-undangan tersendiri, yakni dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Mahja, 2005: 60), yang menyatakan bahwa

Notaris adalah pejabat umum yang bcrwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam Undangundang ini.

Ketentuan mengenai Notaris di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dimana mengenai pengertian Notaris diatur oleh Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa Notaris adalah Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini (Mahja, 2005: 60).

2. Dasar Hukum Notaris

Dalam menjalankan profesinya, Notaris memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang diundangkan tanggal 6 Oktober 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117. Dengan berlakunya undang-undang ini, maka Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesia/Peraturan Jabatan Notaris Di Indonesia (Staatsblad 1860 Nomor 3) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Keberadaan notaris, secara etis yuridis, diatur dalam rambu-rambu Undang-Undang Peraturan Jabatan Notaris (Staatsblad 1860-3) berdasarkan Staatsblad 1855-79 tentang Burgerlijk Wetboek (BW/KUHPerdata), terutama Buku Keempat dalam Pasal-Pasal sebelumnya, yang secara sistematis merangkum suatu pola ketentuan alat bukti berupa tulisan sebagai berikut:

a. Bahwa barang siapa mendalilkan peristiwa di mana ia mendasarkan suatu hak, wajib baginya membuktikan peristiwa itu; dan sebaliknya terhadap bantahan atas hak orang lain (1865 KUHPerdata);

b. Bahwa salah satu alat bukti ialah tulisan dalam bentuk autentik dan di bawah tangan. Tulisan autentik ialah suatu akta yang dibuat sebagaimana ditentukan oleh undang-undang; dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang; di tempat mana akta itu dibuat (1866-1868 KUH Perdata);

c. Bahwa notaris adalah pejabat umum satu-satunya yang berwenang membuat akta autentik… (Pasal 1 Staatsblad 1860-3).

Ketentuan tersebut menunjukkan alat bukti tertulis yang dibuat autentik oleh atau di hadapan notaris berada dalam wilayah hukum perdata (pribadi/privat). Ini berbeda dengan istilah ”barang bukti” dalam hukum pidana atau ”dokumen surat” dalam hukum administrasi negara ataupun hukum tata usaha negara yang biasa disebut dengan surat keputusan

(beschikking), di mana termasuk dalam wilayah hukum publik. Alat bukti tertulis autentik yang dibuat notaris berbeda maksud tujuan dan dasar hukumnya dengan surat keputusan yang dibuat oleh badan atau pejabat tata usaha negara dalam melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.

Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004, sebagai produk hukum nasional, dan secara substantif UU tentang Jabatan Notaris yang baru tersebut juga berorientasi kepada sebagian besar ketentuan-ketentuan dalam PJN (Staatsbiad 1860:3), dan karena itu kajian dalam penulisan ini tetap mengaju kepada UU No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan dengan membandingkanan pada Peraturan Jabatan Notaris (Staatblad 1860:3).

3. Kewenangan Notaris

Notaris, adalah profesi yang sangat penting dan dibutuhkan dalam masyarakat, mengingat fungsi dari Notaris adalah sebagai pembuat alat bukti tertulis mengenai akta-akta otentik, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Adapun yang dimaksud dengan akta otentik berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata adalah:

Suatu akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.

Kewenangan tersebut selanjutnya dijabarkan dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris, ordonansi Staatblad 1860 Nomor 3 yang berlaku mulai 1 Juli 1860 yang kemudian diperbaharui dengan Undangundang nomor 30 tahun 2004, Pasal 1 butir 1 yang menyebutkan

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.

Kewenangan Notaris menurut Undang-undang ini diatur dalam Pasal 15 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undangundang.

Selain kewenangan yang bersifat luas terbatas tersebut Notaris juga diberi kewenangan lain yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf e, yaitu kewenangan untuk memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. Berdasarkan ketentuan ini, Notaris dalam menjalankan jabatannya harus berpegang dan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wajib menolak untuk membuat akta atau memberikan jasa hukum lain yang tidak sesuai atau bahkan menyimpang dari peraturan perUndang-undangan yang berlaku.

Selain itu Notaris juga diberikan kewenangan baru. Kewenangan baru ini antara lain kewenangan yang dinyatakan dalam Pasal l5 ayat (2) huruf f, yakni : “membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan”.

Selanjutnya, Notaris diberi kewenangan pula untuk akta risalah lelang, yang sebelum lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris kewenangan ini menjadi kewenangan juru lelang dalam Badan Usaha Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) yang berdasar UU No. 49 tahun 1960.

C. Akta

1. Pengertian Akta

Istilah akta berasal dari bahasa Belanda yaitu Akte. Dalam mengartikan akta ini ada dua pendapat yaitu. Pendapat pertama mengartikan akta sebagai surat dan pendapat kedua mengartikan akta sebagai perbuatan hukum. Beberapa sarjana yang menganut pendapat pertama yang mengartikan akta sebagai surat antara lain:

a. Pitlo mengartikan akta sebagai berikut: “surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipahami sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat (Pitlo, 1986:52).

b. Sudikno Mertokusumo berpendapat, akta adalah surat yang diberi tandatangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau perkataan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuatan (Mertokusumo, 1979: 106.)

c. R. Subekti dan Tjitrosudibio, kata “acta” merupakan. Bentuk jamak dari kata “actum” yang merupakan bahasa latin yang mempunyai arti perbuatan-perbuatan (Subekti dan Tirtosudibio, 1980: 9). Selain pengertian akta sebagai surat memang sengaja diperbuat sebagai alat bukti, ada juga yang menyatakan bahwa perkataan akta yang dimaksud tersebut bukanlah “surat”, melainkan suatu perbuatan. Pasal 108 KUHPerdata menyebutkan:

Seorang istri, biar ia kawin diluar persatuan harta kekayaan atau telah berpisah dalam hal itu sekalipun, namun tak bolehlah ia menghibahkan barang sesuatu atau memindahtangankannya, atau memperolehnya baik dengan cuma-cuma maupun atas beban, melainkan dengan bantuan dalam akta, atau dengan ijin terkulis dari suaminya.

R. Subekti menyatakan kata “akta” pada Pasal 108 KUHPerdata tersebut bukanlah berarti surat atau tulisan melainkan “perbuatan hukum” yang berasal dari bahasa Prancis yaitu “acte” yang artinya adalah perbuatan (Subekti, 2006: 29). Sehubungan dengan adanya dualisme pengertian mengenai akta ini, maka yang dimaksud disini sebagai akta adalah surat yang memang sengaja dibuat dan diperuntukkan sebagai alat bukti.

2. Jenis-Jenis Akta

Akta dapat diberikan dalam 2 macam yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik dibagi dalam dua macam yaitu akta pejabat (ambtelijk acte) dan akta para pihak (partij acte).

Menurut Kohar akta otentik adalah akta yang mempunyai kepastian tanggal dan kepastian orangnya, sedangkan Pasal 1868 KUHPerdata menyatakan bahwa akta otentik adalah suatu akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuat (Kohar,1984: 86) Sedangkan yang dimaksud Akta di bawah tangan adalah Surat yang sengaja dibuat oleh orang-orang, oleh pihak-pihak sendiri, tidak dibuat dihadapan yang berwenang, untuk dijadikan alat bukti.

Selanjutnya untuk akte otentik berdasarkan pihak yang membuatnya dibagi menjadi 2 yaitu (Dja’is dan Koosmargono, 2008:154-155):

a. Akta para pihak (partij akte)

Akta para pihak (partij akte) adalah akta yang memuat keterangan (berisi) apa yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang

bersangkutan. Mislanya pihak-pihak yang bersangkutan mengatakan menjual/membeli selanjutnya pihak notaris merumuskan kehendak para pihak tersebut dalam suatu akta. Partij akte ini mempunyai kekuatan pembuktian sempurna bagi pihakpihak yang bersangkutan termasuk para ahli warisnya dan orang-orang yang menerima hak dari mereka itu.

Ketentuan Pasal 1870 KUH Perdata dianggap berlaku bagi partij akte ini. Mengenai kekuatan pembuktian terhadap pihak ketiga tidak diatur, jadi partij akte adalah :

1) Inisiatif ada pada pihak-pihak yang bersangkutan; 2) Berisi keterangan pihak pihak.

b. Akta Pejabat (Ambtelijke Akte atau Relaas Akte)

Akta yang memuat keterangan resmi dari pejabat yang berwenang. Jadi akta ini hanya memuat keterangan dari satu pihak saja, yakni pihak pejabat yang membuatnya. Akta ini dianggap mempunyai kekuatan pembuktian terhadap semua orang, misalnya akta kelahiran. Jadi Ambtelijke Akte atau Relaas Akte merupakan : 1) Inisiatif ada pada pejabat;

2) Berisi keterangan tertulis dari pejabat (ambtenaar) pembuat akta. 3. Fungsi Akta

a. Formalitas Causa

Akta dapat mempunyai fungsi formil (formalitas causa), yang berarti bahwa untuk lengkapnya atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum haruslah dibuat suatu akta.. Disini akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum. Sebagai contoh dari suatu perbuatan hukum yang harus dituangkan

Dokumen terkait