Keamanan pangan saat ini merupakan masalah penting di beberapa negara, hal ini disebabkan karena kesadaran yang tinggi dari konsumen dalam mengkonsumsi bahan pangan berkualitas dan aman. Munculnya risiko antara lain ditentukan karena terjadinya perubahan dalam proses produksi dan pengolahan bahan pangan asal ternak, adanya laporan mengenai munculnya foodborne pathogen sebagai emerging dan re-emerging disease, serta pola masyarakat mengkonsumsi bahan pangan. Perdagangan pangan internasional yang semakian luas juga dapat meningkatkan risiko penyebaran mikroorganisme patogen ke negara lain, sehingga dapat meningkatkan risiko manusia menderita food-borne disease.
Perkembangan analisa risiko dilaporkan oleh Codex Alimentarius Commission (CAC) terus meningkat selama dekade terakhir. World Health Organization (WHO) dan Food and Agriculture Organization (FAO) mengembangkan pendekatan risiko berbasis bahaya pada bahan pangan dalam bidang kesehatan masyarakat menggunakan analisa risiko. Analisa risiko adalah suatu proses yang terdiri dari tiga komponen yaitu kajian risiko (risk assessment), manajemen risiko (risk management), dan komunikasi risiko (risk communication) (WHO 1995). Kajian risiko merupakan proses dimana risiko dari bahaya dievaluasi
secara kuantitatif maupun kualitatif. Evaluasi kajian risiko secara kuantitatif telah dilakukan sejak tahun 1970an untuk mengetahui risiko manusia yang terpapar oleh bahan kimia (Soller 2006). Melakukan evaluasi kajian risiko terhadap bakteri patogen sebagai agen foodborne disease penting dilakukan untuk mengetahui secara kuantitatif peluang terjadinya risiko yang dapat diakibatkan oleh patogen serta dapat digunakan untuk mengambil kebijakan dalam bidang kesehatan masyarakat baik di tingkat nasional maupun internasional. Hasil evaluasi kajian dapat disampaikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kajian risiko pada agen foodborne disease dievalusi dengan melakukan kajian pada semua tahapan mata rantai pangan hingga siap saji. Kajian risiko sebaiknya mampu menjawab permasalahan yang ada, dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manajer risiko untuk mencapai keputusan. Manajemen risiko adalah proses dimana informasi yang berkaitan dengan risiko termasuk hasil dari kajian risiko, digunakan untuk membuat keputusan tentang bagaimana risiko tersebut akan dikendalikan kemudian bagaimana keputusan itu akan diterapkan. Komunikasi risiko adalah proses dimana informasi yang berkaitan dengan kajian dan manajemen risiko merupakan media untuk berlangsungnya proses kajian dan manajemen risiko (Buchanan 2004).
Kajian risiko sering disebut sebagai microbial risk assessment (MRA) dievaluasi untuk mengetahui kemungkinan atau probabilitas keparahan suatu penyakit yang disebabkan oleh suatu agen patogen. CAC mendefinisikan kajian risiko sebagai proses berbasis ilmiah yang terdiri dari empat langkah yaitu: 1) identifikasi bahaya, 2) karakterisasi bahaya, 3) kajian paparan, dan 4) karakterisasi risiko (FAO 2000).
2.4.1. Identifikasi bahaya
Bakteri thermophilic Campylobacter sp. dilaporkan sebagai penyebab utama infeksi gastrointestinal pada manusia. Ayam yang terinfeksi Campylobacter menyebabkan kontaminasi pada karkas yang dihasilkan. Karkas ayam merupakan sumber utama foodborne disease. Saluran pencernaan dan air merupakan sumber kontaminasi pada proses pemotongan di rumah potong (Atanassova et al. 2007). Cara penyimpanan daging ayam di pasar tradisional dan swalayan menyebabkan perbedaan tingkat prevalensi kontaminasi Campylobacter sp. (Andriani et al. 2012a). Pengobatan terhadap infeksi Campylobacter sp. saat ini adalah
menggunakan antibiotika namun bervariasinya pola resistensi terhadap antibiotika menyebabkan sulitnya pengobatan pada peternakan ayam maupun manusia.
2.4.2.Karakterisasi bahaya
Gastroenteritis akibat infeksi Campylobacter sp. meskipun dapat sembuh sendiri (self-limiting) namun dilaporkan mortalitasnya mencapai 32% pada isolat yang patogenitasnya sangat tinggi hasil isolasi dari ayam dan penderita memiliki sistem imun yang rendah (Anonim 2005). Selain menyebabkan gastroenteritis C. jejuni juga dapat menyebabkan penyakit sistemik seperti meningitis, bakteremia, localized extraintestinal infection, immuno reactive complications seperti Guillain- Barre syndrome (GBS) dan reactive arthritis. Mengkonsumsi daging ayam yang terkontaminasi Campylobacter sp dapat menyebabkan kejadian foodborne gastrointestinal disease. Dosis respon merupakan faktor penting yang berhubungan dengan virulensi mikroorganisme patogen terhadap kejadian infeksi pada manusia sebagai host. Apabila tidak diperoleh data dosis respon yang sesuai maka kemampuan mikroorganisme patogen menginfeksi manusia dapat digunakan sebagai faktor virulensi (WHO 1999). Kemungkinan terjadinya penyakit pada manusia setelah mengkonsumsi bahan pangan yang terkontaminasi tergantung pada tiga probabilitas yaitu: probabilitas mikroorganisme tertelan, mikroorganisme mampu bertahan dan menginfeksi host setelah ditelan, dan kemungkinan host menjadi sakit setelah terinfeksi. Lingkungan, patogen dan host adalah meruapakan variabel yang berperan penting dalam probabilitas munculnya penyakit. Pengaruh lingkungan termasuk makanan yang telah terkontaminasi dan kondisi ekosistem saluran pencernaan. Pengaruh patogen meliputi dosis, virulensi, dan kolonisasi pada saluran pencernaan host. Pengaruh host meliputi status usia, kekebalan dan perut isi (Coleman & Marks 1998). Terdapat dua hipotesis yang dapat digunakan untuk analisa hubungan dosis-respons terhadap mikroorganisme patogen sebagai kontaminan pada bahan pangan. Yang pertama didasarkan pada dosis infeksi minimal, yang harus dicerna sebelum infeksi atau efek samping terjadi. Hipotesis kedua adalah bahwa sel patogen tunggal memiliki kemampuan untuk memulai infeksi atau penyakit (Haas 1983; Rubin 1987; Rubin & Moxon 1984). Pada hipotesis kedua, tidak menggunkan jumlah ambang batas, dan meningkatnya probabilitas infeksi disebabkan karena jumlah mikroorganisme patogen. Beberapa
peneliti telah menganalisa data yang tersedia menggunakan model tanpa jumlah ambang batas untuk sejumlah patogen (Haas, 1983; Teunis et al. 1996). Selain memiliki linearitas dosis rendah, maka FAO/WHO (2003) merekomendasikan untuk digunakan dalam menentukan karakterisasi bahaya sebagai model yang digunakan dalam penilaian risiko mikroba adalah model dosis respon exponensial dan Beta Poisson. Model exponensial, diasumsikan bahwa semua organisme tertelan memiliki probabilitas yang sama menyebabkan infeksi (r). Dosis tertelan diasumsikan menggunakan Poisson dengan rataan N organisme per porsi (Haas 1983).
Pinf = 1- exp (-r × N) Dimana : Pinf adalah probabilitas infeksi
r adalah probabilitas satu sel menyebabkan infeksi N adalah dosis
Model Beta Poisson menggunakan heterogenitas interaksi mikrorganisme dan host yaitu kemungkinan mikroorganisme menyebabkan infeksi pada host, diasumsikan mengikuti distribusi Beta (Haas 1983). Dengan asumsi β jauh lebih besar daripada α dan 1, dengan rumus sebagai berikut:
Pinf = 1- (1 + N/β)-α Dimana : Pinf adalah probabilitas infeksi
N adalah dosis mikroorganisme yang tertelan
α dan β adalah parameter dosis respon untuk Campylobacter sp.
Parameter dosis respon α = 0.21 dan β = 59.95 dapat digunakan untuk mengetahui probabilitas infeksi yang disebabkan oleh satu mikroorganisme. Jumlah mikroorganisme yang tertelan diperkirakan menggunakan distribusi Poisson, yang mengasumsikan kontaminasi mikroorganisme pada karkas ayam dengan beberapa konsentrasi rataan didistribusikan secara acak. Probabilitas infeksi dari dosis mikroorganisme yang tertelan diasumsikan secara binomial, dengan melakukan jumlah percobaan sama pada dosis yang tertelan dan probabilitas 'keberhasilan' pada setiap percobaan memiliki nilai yang sesuai dengan distribusi beta.
2.4.3.Kajian paparan
Analisa yang digunakan untuk mengetahui adanya keterpaparan patogen pada rantai makanan dimulai dari karkas ayam setelah keluar dari rumah potong dan berakhir di dapur sehingga daging ayam sudah siap dikonsumsi. Pada kajian paparan dilakukan evaluasi terhadap bahaya akibat kontaminasi Campylobacter sp. yang terdapat pada bahan pangan pada saat dikonsumsi. Proses ini menggabungkan informasi keberadaan dan konsentrasi Campylobacter sp. dalam bahan pangan yang dikonsumsi dan kemungkinan jumlahnya yang bervariasi. Informasi keberadaan dan konsentrasi mikroorganisme meliputi jumlah Campylobacter sp. per porsi penyajian.
Gambar 4 Skema kajian risiko Campylobacter sp. dimulai dari peternakan ayam (FAO 2002)
2.4.4. Karakterisasi risiko
Tahapan karakterisasi risiko merupakan integrasi dari informasi yang dikumpulkan selama identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya, dan tahapan kajian paparan yang perkiraan terjadi peningkatan risiko akibat mengkonsumsi daging ayam akibat proses pemasakan yang tidak sempurna (Gambar 4).
Pada tahapan ini digabungkan probablitas dan besarnya paparan Campylobacter sp. akibat mengkonsumsi daging ayam terhadap kemungkinan buruk yang akan terjadi. Risiko yang dihasilkan dinyatakan sebagai risiko individu atau risiko per porsi ayam akibat pemasakan yang tidak sempurna (Gambar 5).
Peternakan dan Trasnportasi Rumah Potong Penyiapan sebelum dikonsumsi RISIKO Dosis Respon n Prevalensi Konsentrasi
2.5. Isolasi dan Identifikasi Campylobacter sp. pada Bahan Pangan Asal Ternak