• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalence of campylobacter jejuni from chicken carcasses and developing detection method

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prevalence of campylobacter jejuni from chicken carcasses and developing detection method"

Copied!
203
0
0

Teks penuh

(1)

PREVALENSI CAMPYLOBACTER JEJUNI

PADA KARKAS AYAM DAN PENGEMBANGAN

UJI DETEKSINYA

ANDRIANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: Prevalensi Campylobacter jejuni pada Karkas Ayam dan Pengembangan Uji Deteksinya adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2012

(4)
(5)

ANDRIANI. Prevalence of Campylobacter jejuni from Chicken Carcasses and

Developing Detection Method. Under direction of MIRNAWATI

SUDARWANTO, SURACHMI SETIYANINGSIH, and HARSI DEWANTARI KUSUMANINGRUM.

Chicken meat and eggs are the main source of animal protein in Indonesia because they are relative cheaper than cattle products. Campylobacter jejuni is a foodborne zoonotic pathogen predominantly found in chicken carcasses. C. jejuni causes gastroenteritis in humans, had a very low infectious dose that is easy to cause infection in humans. The study was aimed to (1) rapidly detect C. jejuni contamination in chicken carcass (2) determine the prevalence of contamination and quantitative analyse of the risk of thermophilic Campylobacter sp. when mishandling consume. (3) produce immune sera against the local isolates that can be used as a reagent for ELISA. A total of 298 chicken carcass samples sold in modern and traditional markets in the area of Jakarta, West Java (Bogor and Sukabumi) and Central Java (Kudus and Demak) were collected and attempted for isolation following ISO/ DIS 10272-1994 protocol, identification using biochemical API Campy, and polymerase chain reaction (PCR) assay using hipO, glyA, fla, and 23S rRNA primer sets for species identification. The result is chicken carcasses sold in the sampling area both traditional markets and supermarkets are contaminated with C. jejuni and C. coli. Prevalence of Campylobacter sp. contamination on chicken carcasses was isolated by conventional (19.8%) and PCR (41.6%). The contamination rate of Campylobacter sp. on chicken carcasses sold in supermarkets, markedly 14.09% is higher than in traditional markets 5.70%. It is also confirmed that the prevalence for contamination of C. jejuni was higher than C. coli. Prevalence of C. jejuni contamination that sold in traditional markets 88.23% was higher than C. coli 11.76%. The prevalence of C. jejuni contamination in carcasses sold in swalayan was 78.57%. These were higher than contamination of C. coli that was identified by conventional methods 21.42%. Flagella and whole cell antigen purification from a local isolate of C. jejuni (C1) was done by glycine extraction and produced flagellar protein of 31 kDa. Animal immunization against flagellar protein extract induced higher specific antibody titers in chicken than rabbits and sheep. A probability model describing variability but not uncertainty was developed in beta-poisson model. The result is microorganism reduction 2 log cfu/gram and the output sof the model was the probability of illness per handling if the roasted chicken mishandled is 4 for 1 000 humans.

(6)
(7)

ANDRIANI. Prevalensi Campylobacter jejuni pada Karkas Ayam dan Pengembangan Uji Deteksinya. Dibimbing oleh MIRNAWATI SUDARWANTO,

SURACHMI SETIYANINGSIH, dan HARSI DEWANTARI

KUSUMANINGRUM.

Bahan pangan asal ternak seperti daging, susu, dan telur adalah sumber protein hewani. Saat ini kebutuhan bahan pangan asal ternak terutama daging ayam di Indonesia terus meningkat. Selain harganya relatif murah, rasanya yang lezat menjadikannya sangat disukai oleh konsumen. Untuk itu perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan kualitas bahan pangan tersebut. Kontaminasi mikroorganisme pada bahan pangan asal ternak yang kandungan proteinnya tinggi dapat menurunkan kualitas bahan pangan tersebut. Kontaminasi mikroorganisme patogen selain menurunkan kualitas bahan pangan juga merupakan agen foodborne zoonosis. Campylobacter jejuni adalah bakteri patogen yang umumnya mengkontaminasi karkas ayam. Campylobacter sp. memiliki dosis infektif yang sangat rendah sehingga mudah menyebabkan infeksi pada manusia. Campylobacter sp. bersifat mikroaerofilik dan sangat fragile sehingga menyebabkan bakteri ini sulit dikultur meskipun menggunakan media penyubur dan media selektif. Prosedur isolasi dan identifikasi Campylobacter sp. memerlukan waktu yang cukup lama serta harus dilakukan secara intensif melalui beberapa tahapan uji. Untuk mengetahui adanya kontaminasi Campylobacter jejuni pada bahan pangan sehingga dapat memberi keyakinan pada konsumen mengenai keamanan bahan pangan tersebut, maka penelitian ini diperlukan untuk mengurangi kejadian kontaminasi bakteri Campylobacter sp. Sampel berupa karkas ayam diambil dari pasar tradisional dan swalayan di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat (Bogor dan Sukabumi), Jawa Tengah (Kudus dan Demak). Isolat C1 hasil isolasi dari karkas ayam yang diambil dari Sukabumi dan telah dikarakterisasi sebagai Campylobacter jejuni digunakan sebagai antigen untuk memproduksi antibodi pada hewan percobaan kelinci, domba, dan ayam. Mengkonsumsi ayam panggang yang dimasak tidak sempurna mempunyai peluang menyebabkan campylobacteriosis pada manusia sehingga dilakukan kajian risikonya. Penelitian ini dilakukan untuk (1) mengetahui metode yang cepat dan tepat untuk deteksi C. jejuni sebagai kontaminan pada karkas ayam (2) mengetahui prevalensi C. jejuni pada karkas ayam serta kajian risikonya (3) memproduksi antigen isolat lokal dan serum hiperimun Campylobacter jejuni untuk mengembangkan metode ELISA.

(8)

ini dapat digunakan untuk mendeteksi C. jejuni dan C. coli sebagai kontaminan pada daging ayam yang dijual di pasar swalayan dan tradisonal di lokasi pengambilan sampel. Hasil yang diperoleh adalah metode cepat PCR lebih sensitif mendeteksi C. jejuni dan C. coli daripada metode konvensional dengan deteksi minimum C. jejuni 103 cfu/ml, sensitivitas 91.7%, dan spesifitasnya 75.9%.

Isolat lokal C. jejuni yang berasal dari karkas ayam di Sukabumi, setelah dikarakterisasi secara PCR dengan gen hipO digunakan sebagai antigen untuk memperoleh antibodi pada hewan percobaan kelinci, domba, dan ayam. Respon antibodi pada hewan percobaan terhadap antigen flagella yang diimunisasikan memperlihatkan respon peningkatan titer antibodi yang lebih tinggi daripada whole cell. Antibodi yang dihasilkan dari serum ayam memberikan respon yang lebih baik jika dibandingkan kelinci dan domba terhadap imunisasi antigen C. jejuni whole cell maupun flagella. Pemurnian antigen C. jejuni isolat lokal (C1) melalui ekstraksi glycin menghasilkan protein flagella dengan berat molekul 31 kDa yang merupakan protein flagella dan bersifat imunogenik. Protein tersebut tidak dapat ditemukan bila diekstraksi menggunakan sarcosinate.

Proses pemanggangan ayam secara simulasi menggunakan oven suhu 150 oC selama 30 menit dapat menurunkan 2 log cfu/gram Campylobacter sp. Kajian risiko paparan Campylobacter sp. akibat mengkonsumsi daging ayam diperoleh dari data survei sehingga diperoleh jumlah kontaminasi Campylobacter sp. yang terdapat dalam satu porsi daging ayam yang berpotensi dan terpapar ketika dikonsumsi. Paparan kontaminasi Campylobacter sp. diperoleh dari data sekunder. Rataan paparan kontaminasi pada karkas ayam yaitu 1.3x103 cfu/100 gram, sedangkan pada ayam panggang adalah 1.23 cfu/ 100 gram. Angka prevalensi kontaminasi diperoleh dari rataan data sekunder di Indonesia dan hasil penelitian yaitu 23.7%. Peluang risiko menderita campylobacteriosis pada manusia dianalisa mengunakan Model Beta poison adalah 4 dari 1 000 orang yang mengkonsumsi ayam panggang, namun hasil tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi kontaminasi karkas ayam sebelum diproses, virulensi mikroorganisme serta faktor kekebalan individu.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(10)

Nama NRP

: :

Andriani B 261070021

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto

drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D. Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan

Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si . Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(11)

PREVALENSI CAMPYLOBACTER JEJUNI

PADA KARKAS AYAM DAN PENGEMBANGAN

UJI DETEKSINYA

ANDRIANI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji luar komisi pada ujian tertutup : Prof. drh. Roostita Balia, M.App.Sc., Ph.D. Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si.

(13)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat dan HidayahNya sehingga desertasi berjudul Prevalensi Campylobacter jejuni pada Karkas Ayam dan Pengembangan Uji Deteksinya dapat disusun dan diselesaikan.

Disertasi ini memuat topik yang merupakan kajian mengenai bakteri patogen Campylobacter jejuni berikutkajian risiko terhadap infeksinya serta upaya pengembangan metode ELISA. Tiga topik naskah telah diterima oleh redaksi jurnal terakreditasi. Naskah berjudul “Metode Direct PCR untuk Deteksi Campylobacter sp. pada Daging Ayam.” sudah diterima untuk dipublikasikan pada Jurnal Veteriner ISSN: 1411-8327 Volume 14, No. 1, Edisi Maret tahun 2013. Naskah berjudul “Prevalensi Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli pada Karkas Ayam dari Pasar Tradisional dan Swalayan” sudah diterima untuk dimuat dalam Jurnal Teknologi Industri Pangan dengan Nomor Naskah 49/JTIP/03/12. Naskah berjudul “Kajian Risiko Campylobacter sp. pada Ayam Panggang” sudah diterima dan akan dimuat pada artikel Jurnal Kedokteran Hewan Universitas Syah Kuala Volume 17 No. 1 Edisi Maret Tahun 2013.

(14)

Dr. Hardiman, MM. selaku Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET) beserta peneliti dan teknisi di Laboratorium Bakteriologi BBALITVET, Zakiah Muhajan, SS, M.Hum. selaku pustakawan di BBALITVET atas segala bantuan selama menyelesaikan penelitian.

Disertasi ini masih banyak ditemukan beberapa kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun dan menyempurnakan disertasi ini sangat diharapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi masyarakat secara umum, khususnya di bidang kesehatan masyarakat veteriner.

Bogor, Agustus 2012

(15)

Penulis adalah anak kedua dari 3 bersaudara putri Bapak Drs. Harsojo dan Ibu Endang Tedjowati, dilahirkan di Yogyakarta 13 Juni 1968. Telah memiliki dua orang putra Muhammad Bima Samudera Pratama dan Fachri Muhammad Dananjaya. Pendidikan sekolah dasar sampai menengah dijalani di Sekolah Dasar Negeri Ungaran I Yogyakartapada tahun 1975-1981, Sekolah Menengah Pertama Negeri 8 Yogyakarta pada tahun 1981-1984, Sekolah Menengah Atas Negeri 8 pada tahun 1984-1987. Pendidikan dokter hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (FKH UGM) masuk tahun 1987 hingga mendapat gelar sarjana pada tahun 1991 dan gelar sebagai dokter hewan di peroleh pada tahun 1993.

Setelah lulus dari kuliah FKH UGM bekerja pada Puslitbang Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai tenaga honorer sampai tahun 1995. Sejak tahun 1998 hingga saat ini bekerja sebagai peneliti pada Laboratorium Bakteriologi Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor.

(16)
(17)

Halaman

2.2 Campylobacteriosis pada Manusia ………...

2.2.1 Guillain-Barre Syndrome (GBS) ………

2.2.2 Reactive Arthritis (ReA) ……….

2.2.3 Enteritis ………..

2.3 Kontaminasi Campylobacter sp. ……….

2.3.1 Infeksi Campylobacter sp. pada peternakan ayam ………. 2.3.2 Kontaminasi pada tahap proses pengolahan ………... 2.4 Kajian Risiko Terjangkit Penyakit Tular Pangan ………... 2.4.1 Identifikasi bahaya ………..

2.4.2 Karakterisasi bahaya ………...

(18)

5

(19)

DAFTAR TABEL

Bakteri patogen yang diisolasi dari pasien diare di beberapa provinsi di Indonesia pada tahun 1995-2001 ...

Primer yang digunakan untuk mendeteksi genus Campylobacter ……...

Jumlah sampel karkas ayam yang diambil dari sejumlah pasar

tradisional dan swalayan ………...

Susunan oligonukleotid primer ……….

Isolat Campylobacter sp, C. jejuni dan C. coli pada karkas ayam yang diperoleh dari pasar tradisional dan swalayan pada tahun 2009-2011 menggunakan metode konvensional ……….

Pasangan hasil identifikasi Campylobacter jejuni metode PCR

menggunakan primer hipO dan konvensional ...

Data prevalensi kontaminasi Campylobacter jejuni pada karkas ayam ...

Data jumlah cemaran Campylobacter sp. pada 100 gram karkas ayam ..

Reduksi koloni C. jejuni pada karkas ayam setelah pemanggangan ……

Perhitungan risiko paparan C. jejuni ………

Peluang terjadinya infeksi Campylobacter jejuni ………

Identifikasi Campylobacter sp. yang dideteksi secara PCR ……….

(20)
(21)

Halaman

Morfologi spesies Campylobacter jejuni ………...

Virulensi C. jejuni menyebabkan enteritis ………

Skema penyebaran infeksi Campylobacter jejuni melalui penanganan, konsumsi karkas ayam, susu tanpa pasteurisasi dan air ………...

Skema kajian risiko Campylobacter sp. dimulai dari peternakan ayam……

Tahapan keterpaparan Campylobacter sp. pada tahapan penyiapan daging ayam sebelum dikonsumsi ………

Tahapan setiap siklus amplifikasi dalam proses PCR ...

Konsentrasi protein terlalu tinggi dalam larutan coating ...

Tahapan kegiatan penelitian ... Tahapan penelitian menentukan kajian risiko ………...

Jar yang digunakan untuk inkubasi secara mikroaerofilik ………

Koloni C. jejuni yang ditumbuhkan pada media CCDA ………...

Pemeriksaan mikroskopis menggunakan pewarnaan Gram ...

Uji catalase positif isolat lapang C. jejuni……….

Uji oksidase positif isolat lapang C. jejuni……….

Uji API campy isolat C. jejuni ...

Prevalensi C. jejuni dan C. coli pada pasar tradisional dan swalayan ...

Produk PCR menggunakan primer hipO dan glyA yang diseparasi dalam agarose 1% dari dari sampel yang diuji ...

Hasil PCR menggunakan primer hipO yang diseparasi dalam agarose 1% dari isolat yang berasal dari ATCC C. jejuni dan sampel……….

(22)

20

Jumlah isolat Campylobacter sp. pada karkas ayam yang diambil pada tahun 2009 dan 2011 di isolasi secara konvensional dan PCR ...

Sensitivitas uji PCR menggunakan primer hipO dengan besar target gen 323 bp ...

Memupuk bakteri C. jejuni pada media agar selektif CCDA ……….

Suspensi antigen C. jejuni ……….

Suspensi hasil panen koloni C. jejuni .………...

SDS PAGE antigen yang diperoleh dari ekstraksi glycine ...

Antigen flagella yang diekstraksi sarcosinate………...

Hasil uji ELISA antibodi kelinci yang diimunisasi antigen C. jejuni whole

cell dan flagella ……….

Hasil uji ELISA antibodi domba yang diimunisasi antigen C. jejuni whole

cell dan flagella………..

Hasil uji ELISA antibodi ayam yang diimunisasi antigen C. jejuni whole

cell dan flagella………..

Hasil uji ELISA antibodi kelinci, domba, dan ayam yang diimunisasi

antigen flagella C. jejuni isolat lapang C1 ………

Hasil uji ELISA antibodi kelinci, domba, dan ayam yang diimunisasi

antigen whole cell C. jejuni ………...

Hemoragi pada usus kelompok perlakuan yang diinfeksi isolat lokal C.

jejuni ………..

(23)

Halaman

1

2

3

4

5

Surat Keterangan naskah diterima di Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Surat Keterangan naskah diterima di Jurnal Veteriner ………..

Surat Keterangan naskah diterima di Jurnal Kedokteran Hewan ………

Naskah berjudul : Gejala Klinis Patologi Anatomi Pasca Infeksi

Campylobacter jejuni pada Ayam Broiler ………...

Naskah berjudul : Sensitivitas Antibiotika Terhadap Isolat Campylobacter

jejuni Asal Karkas Ayam ………

143

145

147

149

(24)
(25)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bahan pangan asal ternak susu, daging, dan telur merupakan sumber protein dan setiap tahun kebutuhannya semakin meningkat. Saat ini tuntutan masyarakat terhadap kualitas bahan pangan yang akan dikonsumsi juga semakin meningkat. Bahan pangan asal ternak yang kaya protein (merupakan bahan yang mudah rusak) mudah terkontaminasi oleh mikroba baik yang bersifat patogen maupun nonpatogen sehingga mudah rusak. Kontaminasi oleh mikroba pada bahan pangan menyebabkan penurunan kualitas bahan pangan. Untuk melindungi konsumen di Indonesia terhadap adanya kontaminasi mikroba patogen pada bahan pangan asal ternak telah dicantumkan dalam SNI No. 01-6366-2000 mengenai batas maksimum cemaran mikroba patogen yang direkomendasikan dapat diterima dalam bahan makanan asal ternak harus negatif.

Saat ini penyakit campylobacteriosis merupakan zoonosis yang penting bagi negara-negara industri dan berkembang, namun di Indonesia belum banyak dilaporkan. Spesies C. jejuni dan C. coli adalah bakteri enterik yang patogen pada manusia dan hewan. Spesies C. jejuni umumnya ditemukan pada feses (sapi perah, sapi potong, kambing, domba, bebek), karkas ayam, daging kambing, susu serta air (Nielsen et al. 1997). Usaha untuk meningkatkan kualitas dan keamanan pangan terutama produk peternakan seperti susu, daging, dan telur perlu dilakukan dengan menguji keberadaan mikroba patogen seperti C. jejuni untuk mengurangi kejadian foodborne disease. Deteksi menggunakan uji yang mudah dan sensitif untuk mendeteksi lebih awal adanya kontaminasi C. jejuni diharapkan dapat mengurangi kejadian kontaminasi silang dan foodborne disease.

(26)

memerlukan waktu yang cukup lama serta harus dilakukan secara intensif karena harus melalui beberapa tahapan uji dengan menumbuhkan pada media pre-enrichment, pre-enrichment, melakukan penanaman/ penumbuhan pada media agar

kemudian dilanjutkan dengan identifikasi secara biokimia (Stern et al. 1992; Mead et al. 1999; Feng 2001).

Menurut Blackburn dan Clure (2003) Campylobacter sp. adalah mikroorganisme yang sulit dikultur, oleh sebab itu perlu dikembangkan metode deteksi cepat untuk mendeteksi keberadaan Campylobacer sp. yang terdapat pada bahan pangan. Metode deteksi cepat terhadap Campylobacter sp. sangat penting dilakukan dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner terutama higiene makanan dengan maksud untuk mengurangi kejadian foodborne disease (Boxal 2005) dan digunakan untuk memberi keyakinan pada konsumen mengenai keamanan makanan tersebut (Feng 2001). Metode deteksi cepat untuk mendeteksi kontaminan pada bahan makanan telah diatur oleh organisasi Internasional Association of Official Analytical Chemists (AOAC), harus dapat digunakan sebagai alat deteksi yang memberikan hasil yang akurat dengan menggunakan peralatan yang lebih sederhana dan waktu yang lebih singkat jika dibandingkan dengan metode konvensional. Selain itu dengan menggunakan metode deteksi cepat akan mengurangi terjadinya kontaminasi dari laboran pada saat melakukan isolasi secara konvensional. Namun demikian evaluasi pada bahan makanan menggunakan metode deteksi cepat biasanya memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah jika digunakan langsung untuk menguji sampel berupa bahan makanan. Untuk itu diperlukan tahapan sampel dikultur dalam media penyubur terlebih dahulu sebelum dilakukan analisa untuk meningkatkan viabilitas sel yang mengalami stres atau injury.

Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah metode deteksi cepat dan

(27)

2001b). Enzyme-linked Immuno Sorbent Assay (ELISA) adalah metode cepat secara biokimia yang digunakan sebagai uji imunologik untuk mendeteksi adanya ikatan antara antibodi dengan antigen yang terdapat dalam sampel. Metode ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi adanya mikroba patogen pada makanan. Di Indonesia, metode ELISA sudah mulai digunakan untuk mendeteksi keberadaan kontaminan mikroba patogen pada produk pangan. Metode ELISA yang dikembangkan dari antibodi yang diproduksi dari antigen yang berasal dari isolat lokal belum tersedia. Pada dasarnya metode ELISA adalah menggunakan antibodi spesifik pada permukaan microplate yang akan mengikat antigen yang dikenali dalam sampel. Antigen dalam sampel yang tidak dikenali oleh antibodi akan tercuci atau lepas dari microplate. Antibodi yang digunakan untuk menangkap antigen selanjutnya diikat

menggunakan enzim. Pada uji tahap akhir ditambahkan substansi yang dapat memberikan sinyal terhadap enzim yang digunakan. Model ELISA yang biasa digunakan untuk mendeteksi adanya kontaminan patogen adalah uji ”sandwich”, dimana ikatan antibodi pada matriks digunakan untuk menangkap antigen yang terdapat dalam media kultur dan antibodi sekunder yang dikonjugasikan dengan enzim digunakan untuk mendeteksi. Pada penelitian ini antibodi spesifik akan diproduksi dari kelinci, domba dan ayam yang telah diinfeksi menggunakan antigen spesifik whole cell dan flagella C. jejuni yang diperoleh dari isolat lokal C. jejuni.

1.2. Perumusan Masalah

(28)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui prevalensi Campylobacter jejuni pada karkas ayam.

2. Mengetahui metode yang cepat dan tepat untuk isolasi dan identifikasi bakteri Campylobacter sp. pada ayam

3. Memperoleh serum hiperimun Campylobacter jejuni yang selanjutnya akan digunakan untuk pengembangan metode ELISA.

4. Mengetahui kajian risiko akibat terinfeksi Campylobacter jejuni sehingga diperoleh angka peluang risiko menderita campylobacteriosis.

1.4. Manfaat Penelitian

(29)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Campylobacter sp.

Campylobacter sebagai bakteri microaerophilic vibrio petama kali dikenali oleh Theodor Escherich pada tahun 1886 (Altekruse & Linda 2003).Pada tahun 1913 di negara Inggris, peneliti McFadyean dan Stockman melaporkan bahwa bakteri tersebut bersifat patogen dan dapat menyebabkan keguguran pada domba (Allos 2001). Tahun 1918 peneliti bernama Smith di Amerika melaporkan adanya bakteri yang sifatnya mirip dan menyebabkan keguguran pada sapi (Karmali & Skirrow 1984).Selanjutnya oleh Smith dan Taylor bakteri yang diisolasi dari fetus sapi tersebut diberi nama Vibrio fetus karena morfologinya mirip spesies Vibrio, dan penyakitnya dikenal sebagai vibrionic abortion. Pada sekitar tahun 1970an mulai dikembangkan media selective menggunakan antibiotika dan dilakukan inkubasi secara microaerophilic untuk isolasi Campylobacter yang berasal dari feses (Butzler 1984). Pada periode yang sama telah dilakukan studi tentang taxonomi Campylobacter sp. dan dilaporkan adanya reaksi biokimia yang khas pada isolat Vibrio fetus yang bebeda dengan vibrio pada umumnya. Selanjutnya spesies Vibrio fetus dibedakan dengan vibrio dan dinyatakan sebagai genus baru yaitu Campylobacter sp. (Butzler 1984). Tahun 1980an Campylobacter sp. mulai dilaporkan dapat menyebabkan diare pada manusia di Amerika (Nachamkin et al.1992; Allos 2001).

Campylobacter sp. termasuk dalam family Campylobacteriaceae. Nama genus Campylobacter berasal dari bahasa Yunani ”campylos” berarti melengkung dan ”bactron”berarti batang. Campylobacteriosis adalah penyakit pada manusia yang disebabkan oleh infeksi bakteri Campylobacter sp. terutama spesies C. jejuni, C. coli, dan C. laridis. Bakteri ini masuk dalam kelompok bakteri termofilik (Shane

2000). Campylobacter sp. merupakan agen foodborne disease penyebab gastroenteritis akut pada manusia. Penyakit ini sudah tersebar luas di banyak negara di dunia. Campylobacter spp. adalah bakteri Gram-negatif. Bakteri ini memiliki ukuran kecil, panjang antara 0.2-5.0 m dan lebar antara 0.2-0.9 m. Bakteri ini berbentuk spiral, motil dengan uniflagella (Gambar 1). Meskipun sebagian besar Campylobacter sp. motil dengan unipolar flagellum pada satu atau dua sisinya, tapi

(30)

showae bersifat motil dengan multiflagella (Vandamme 2000).Terkadang bakteri dapat menjadi berbentuk bulat atau coccoid bila isolat telah berumur lebih dari 72 jam atau telah kontak dengan udara pada waktu yang cukup lama (Blaser 1986; Mahon & Manuselis 2000). Morfologi koloni thermophilic Campylobacter dibagi dalam dua tipe. Tipe pertama yaitu koloni C. jejuni dan C. coli berbentuk mukoid, rata, tampak basah biasanya koloni tumbuh berkelompok, pertumbuhannya spreading di sekitar goresan. Tipe kedua yaitu koloni C. jejuni dan C. coli berbentuk

bulat dan cembung dengan batas tepi terlihat jelas. Namun kedua jenis tipe koloni tersebut dapat bersamaan terjadi dalam satu kultur pada media agar (Skirrow & Benjamin 1980). Pada umumnya C. jejuni dan C. coli berbentuk seperti tetesan air berwarna keabu-abuan pada koloni yang diinkubasikan selama 18-24 jam (Shane & Mantrose 1985). Setelah masa inkubasi lebih dari 24 jam, koloni menjadi berbentuk menebal, berwarna abu-abu atau bahkan cokelat atau sedikit merah muda dan oranye abu-abu atau merah muda dan kekuningan (Shane & Mantrose 1985). Terkadang muncul warna metalik pada permukaan koloni C. jejuni yang diinkubasi lebih lama dari 48 jam, tetapi pada koloni C. coli hal ini tidak terlihat jelas.

Gambar 1 Morfologi spesies Campylobacter jejuni (Anonim 2002)

(31)

resisten terhadap antibiotika cephalothin sedangkan mikroflora lain bersifat rentan, sehingga antibiotika ini sering digunakan dalam media selektif untuk isolasi. Sebagian besar strain Campylobacter sp. menunjukkan reaksi positif pada uji catalase dan oxidase, mampu mereduksi fumarate menjadi succinate, mereduksi nitrate menjadi nitrite, tidak dapat menghidrolisa urea dan tidak dapat tumbuh pada

3.5% NaCl (Penner 1988; Shane & Montrose 1985; Skirrow & Benjamine 1980; Vandame 2000). Spesies C. jejuni, C. coli, dan C. lari memperlihatkan kemiripan dalam uji biokimia tapi hanya spesies C. jejuni yang memberikan reaksi positif menghidrolisa hippurate, meskipun ada juga spesies C. jejuni yang bereaksi negatif (Blaser 2000; Nachamkin 1999). Bakteri thermophilic Campylobacter tidak memfermentasi atau mengoksidasi karbohidrat serta glukosa, dan memanfaatkan asam amino seperti aspartate dan glutamate sebagai sumber energi (Blaser 1986; Vandamme 2000).

Berbeda dengan bakteri foodborne yang lain bahwa Campylobacter sp. bersifat microaerophilic yaitu hanya memerlukan sedikit oksigen untuk pertumbuhannya (Butzler 1984) dan tumbuh baik pada suhu optimum 37 o-42 oC (Hayes 1996). Inkubasi merupakan faktor yang cukup penting dalam melakukan isolasi Campylobacter sp. (Forbes et al. 1998). Kondisi atmosfer microaerophilic optimal adalah oksigen 5-10%, karbondioksida 8-10%, dannitrogen 85% (Hayes 1996). Semua bakteri Campylobacter sp. tumbuh pada suhu 37 oC, tetapi spesies C. jejuni dan C. coli tumbuh optimal pada suhu 42 oC (Blaser 2000). Spesies thermophilic Campylobacter fetus mampu tumbuh baik pada suhu 25 oC, sehingga perbedaan suhu optimum dapat digunakan untuk membedakan C. fetus dengan spesies lainnya (Skirrow & Benjamin 1980).

(32)

bacitracin, dan golongan cephalosporins seperti cephalothin dan cefoperazone. Antimikroba tersebut mampu menghambat pertumbuhan bakteri lain yang termasuk Gram positive, sedangkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri Gram negative

yang lain dapat ditambahkan antibiotika polymyxin E (colistin) ke dalam media selektif (Corry 2000). Media selektif untuk isolasi Campylobacter sp. selain mengandung antibiotika juga memerlukan substansi yang mampu melindungi Campylobacter kontak dengan oksigen. Susbstansi tersebut harus mampu menetralisasi efek toksik dari oksigen, yaitu darah lisis dan defibrinated, charcoal, kombinasi ferrous sulfate, sodium metabisulfite, dan sodium pyruvat (FBP), serta haemin atau haematin (Sahin et al. 2003b).

Isolasi Campylobacter sp. dapat dilakukan secara langsung menumbuhkan pada media agar atau terlebih dahulu dalam media enrichment, tergantung dari jenis sampel yang diuji (Sahin et al. 2003b). Sampel berupa feses ayam mengandung bakteri dalam jumlah yang banyak sehingga isolasi dapat dilakukan dengan cara langsung menumbuhkan pada media agar selektif (Musgrove et al. 2001; Sahin et al. 2003b). Sampel berupa bahan pangan atau air yang mengandung jumlah bakteri Campylobacter sp. sedikit, isolasi dilakukan dalam media selektif yang mengandung

enrichment terlebih dahulu sebelum ditanam pada media agar (Sahin et al. 2003b). Metode enrichment secara optimal dapat memulihkan (recovery) bakteri jika dilakukan inkubasi tidak lebih dari 24 jam (Sahin et al. 2003b). Isolasi bakteri Campylobacter sp. dapat menggunakan metode filtrasi menggunakan membran filter

berukuran 0.45 atau 0.65 µm (Blaser 2000; Corry 2000). Kombinasi antara metode filtrasi dan enrichment merupakan metode yang baik untuk melakukan isolasi dari sampel bahan pangan atau air yang diperkirakan jumlah bakterinya sangat sedikit (Sahin et al. 2003b).

(33)

thermophilic Campylobacter adalah uji catalase dan oxidase, hidrolisa hippurate, hidrolisa indole, produksi urea, produksi hydrogen sulfide (H2S) pada media triple

sugar iron agar (TSIA), mereduksi nitrate (Forbes et al. 1998; Skirrow & Benjamin

1980). Saat ini identifikasi bakteri thermophilic Campylobacter secara biokimia dapat dilakukan menggunakan kit komersial API Campy.

Tabel 1 FamiliCampylobacteriaceae (Humphrey et al. 2007)

Spesies Sumber infeksi Penyakit pada manusia Penyakit pada hewan

(34)

Perbedaan perilaku Campylobacter dalam induk semang manusia dan hewan belum banyak diketahui, namun diperkirakan perbedaan itu disebabkan oleh adanya perbedaan ekspresi gen Campylobacter. Saat ini campylobacteriosis merupakan zoonosis yang cukup penting bagi negara-negara berkembang dan industri. C. jejuni umumnya ditemukan pada feses hewan seperti sapi perah, sapi potong, kambing, domba, bebek dan ayam. Selain ditemukan pada feses, C. jejuni juga dapat ditemukan pada karkas ayam, karkas kambing serta air (Nielsen et al. 1997).

Bakteri Campylobacter sp. memiliki keragaman fenotipik dan genotipik. Keragaman fenotipik dari masing-masing spesies dapat dibedakan menggunakan prosedur serotyping. Diferensiasi Campylobacter sp. dapat dilakukan menggunakan antigen heat-stable (HS) secara passive hemagglutination (Penner & Hennessy 1980) dan antigen heat-labile (HL) secara slide agglutination (Lior et al. 1982). Produksi serum dan kontrol stabilitasnya memerlukan biaya dan antigen tersebut sulit diperoleh secara komersial. Adanya masalah yang dihadapi dalam melakukan serotyping, saat ini dikembangkan metode molekular subtyping (Wassenaar & Newell et al. 2000). Metode genotyping dapat dilakukan secara ribotyping, pulsed-field gel electrophoresis (PFGE), flagellin typing (fla typing) (Wassenaar & Newell

(35)

Komponen permukaan sel bakteri sangat bervariasi dan berperan pada invasi ke dalam sel. Namun peranan komponen protein sel bakteri Campylobacter sp. dalam proses patogenesis belum banyak diketahui (Melo & Pechere 1990). Bakteri Gram negative yang bersifat patogen tersusun dari polysaccharide capsules, lipopolisaccharide (LPS), dan outer membrane protein (OMP) (Zollinger et al. 1979). Campylobacter jejuni tidak memiliki polysaccharide capsules, tetapi dilaporkan tersusun dari suatu protein microcapsule (Rautellin & Kosonen 1983). Peranan LPS pada patogenesis bakteri Campylobacter sp. masih belum banyak dilaporkan (Walker et al. 1986). OMP adalah salah satu komponen yang bersifat antigenik (Zollinger et al. 1979) tersusun mengelilingi sel. Sebagai bakteri patogen, komponen outer membrane berperan untuk perlekatan dan invasi ke dalam induk semang, bertahan dari fagositosis oleh induk semang. Khususnya pada Campylobacter, outer membrane merupakan tempat penetrasi flagella (Trust & Logan 1984). Pada sel bakteri tumbuh, OMP berfungsi untuk masuknya nutrisi dan keluarnya sisa produk (Trust & Logan 1984). Pertumbuhan bakteriCampylobacter sp. selanjutnya menyebabkan perubahan bentuk sel dari vibroid atau spiral menjadi coccoid. Di dalam saluran pencernaan, OMP berfungsi untuk melindungi membran

sitoplasmik dari cairan empedu yang dapat melisiskan sel (Trust & Logan 1984). Proses invasi bakteri patogen mempunyai peran terhadap virulensi bakteri. Campylobacter sp. bersifat motil, sehingga diperkirakan flagella mempunyai peran pada proses kolonisasi pada saluran pencernaan (Lee et al. 1998). Flagellum merupakan bagian mayor bakteri C. jejuni yang bersifat antigenik (Harris et al. 1987; Logan & Trust 1982). Protein flagella umumnya digunakan untuk mendeferensiasi genus Campylobacter (Mills et al. 1988).Tsang et al. (2001) melaporkan bahwa sekuen asam amino pada lokasi gen flagella (flaA) mempunyai peran terhadap penyakit Guillain Bare Syndrome.

2.2. Campylobacteriosis pada Manusia

(36)

menyiapkan makanan sehingga menyebabkan kontaminasi pada makanan. Sumber kontaminasi yang utama adalah karena mengkonsumsi daging ayam, susu, dan kontak dengan hewan peliharaan. Mengkonsumsi daging ayam yang tidak dimasak sempurna merupakan penyebab utama kejadian campylobacteriosis (Kapperud et al. 1992; Gregoryet al. 1997; Anonim 2007).

Gejala yang timbul akibat infeksi C. jejuni dapat bersifat ringan sampai berat yang disertai diare bercampur darah dengan demam dan kram perut. Masa inkubasi berkisar antara 2 sampai 7 hari dan penyakit ini dapat bersifat self-limiting pada manusia yang memiliki sistem pertahanan tubuh yang baik. Variasi penyakit dapat berupa infeksi tidak menunjukkan gejala spesifik atau asymptomatis sampai diare, bahkan inflamatory diarrhea, meningitis, bakteremia, localized extraintestinal infection, immuno reactive complications seperti Guillain-Barre syndrome (GBS)

dan reactive arthritis. GBS yaitu acute demyelinating polyneuropathy yang ditandai dengan paralisa. Kejadian GBS di negara Amerika mayoritas disebabkan oleh C. jejuni serotipe O:19 (Tsang et al.2001; Smith 2002) .

Hasil survey di Eropa dan Amerika Serikat, kasus campylobacteriosis lebih dari 1% per tahun. Pada tahun 1996, CDC melaporkan di Amerika kasus campylobacteriosis sebanyak 46% (Sean et al. 1999). Di Denmark, insiden campylobacteriosis mencapai 66 per 100 000 manusia pada tahun 2003. Sebanyak

90% kasus disebabkan oleh C. jejuni dan 5% disebabkan oleh C. coli. Daging ayam dan daging sapi dapat bertindak sebagai reservoir C. jejuni sedangkan C. coli banyak ditemukan pada babi (Boes et al. 2005).

Campylobacteriosis merupakan infeksi bakteri yang dapat ditularkan melalui

makanan. Di negara yang sudah maju, campylobacteriosis terutama disebabkan oleh Campylobacter jejuni yang kemudian diikuti oleh Campylobacter coli sebagai penyebab sekunder (Anonim 2006). Pada tahun 1999 Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan bahwa sebanyak 2.5 juta manusia per tahun di

(37)

2 812 bakteri patogen yang berhasil diisolasi dari beberapa pasien rawat inap prevalensi 3.6% disebabkan oleh infeksi C. jejuni (Tabel 2).

Membuat laporan secara internasional mengenai kejadian penyakit yang disebabkan oleh makanan tidak mudah. Jaringan Foodnet yang mencatat kejadian penyakit ditularkan melalui makanan di Amerika Serikat menyatakan bahwa diantara 10 agen penyebab yang bersifat patogen yang menyebabkan penyakit yang ditularkan melalui makanan di Amerika adalah Salmonella, Campylobacter dan Shigella. Ketiga agen tersebut merupakan penyebab utama sebagai agen food-borne

disease (IFT 2000).

Tabel 2 Bakteri patogen yang diisolasi dari pasien diare di beberapa provinsi di Indonesia pada tahun 1995-2001 (Tjaniadi et al. 2003)

Bakteri patogen Angka kejadian (%)

Shigella spp.

Salmonella spp.

Vibrio parahaemolyticus

Salmonella typhi

Campylobacter jejuni

Vibrio cholera non-O1

Salmonella paratyphi A

27.3 17.7 7.3 3.9 3.6 2.4 0.7

(38)

kontaminasi Campylobacter dapat berasal dari manusia (Hald et al. 2000), lalat (Hald et al. 2004) dan air minum yang terkontaminasi (Snelling et al. 2005).

2.2.1. Guillain-Barre Syndrome (GBS)

GBS adalah sindrom berupa acute demyelinating polyneuropathy, dimana terjadi kerusakan myelin di sekitar sel syaraf (Nachamkin 2002). Kejadian GBS biasanya terjadi secara sporadis, jarang terjadi outbreak. Di negara US dan Jepang, beberapa kasus GBS berhubungan dengan infeksi strain C. jejuni serotipe O:19. Flagella yang dikode oleh gen flaA dari C. jejuni berperan pada patogenesis GBS. Wanita hamil yang menderita GBS akibat infeksi C. jejuni kemungkinan berpengaruh pada bayi yang berada dalam kandungan. GBS terjadi akibat adanya infeksi virus atau bakteri pada saluran pernafasan atas serta saluran gastrointestinal, salah satunya diawali dengan enteritis yang disebabkan oleh C. jejuni. Pada penderita GBS sebanyak 28.6% pasien menunjukkan hasil positif C. jejuni pada pemeriksaan feses dan serologis. Peneliti sebelumnya Nachamkin (2002) dan Takahashi et al. (2005) melaporkan kejadian GBS di negara Jepang disebabkan oleh infeksi C. jejuni Heat Stable (Penner) serotypes HS19 dan HS4, dengan dosis infeksi sangat rendah yaitu 500 sel (Anonim 2005).

2.2.2 Reactive Arthritis (ReA)

Reactive arthritis (ReA) adalah sindrom dengan karakteristik ditandai

inflamasi steril pada persendian. Bakteri enterobacter lain yang dapat menginduksi ReA selain C. jejuni adalah Salmonella, Shigella, Yersinia. Di dalam cairan persendian yang terinfeksi meskipun tidak terdapat mikroorganisme penyebab infeksi. Mekanisme antigen tersebut dapat mencapai membrane synovial belum diketahui dengan pasti.

2.2.3.Enteritis

(39)

menggunakan dosis 800 mikroorganisme dinyatakan positive stool specimen. Infeksi oleh C. jejuni akan berlanjut bakteremia terutama pada manusia yang mengalami immunocompromised sehingga menyebabkan kematian. Insiden bakteremia yang diinduksi oleh C. jejuni adalah 0.3 kasus per 1 000 pasien umur 1-4 tahun, dan 5.9 kasus per 1 000 pasien berumur lebih dari 65 tahun. Penderita bakteremia mengalami demam, diare bercampur darah, pusing, menggigil, sakit perut. Gejala bakteremia berkisar 8 hari dan pasien akan sembuhsendiri.

Mekanisme patogenik C. jejuni menyebabkan enteritis telah dipelajari secara in vitro (Konkel et al. 2001). Kerusakan yang terjadi adalah disebabkan adanya cytotoxin atau invasi C. jejuni ke dalam sel epitel. Peranan motilitas, kolonisasi, produksi toksin, attachment, internalization dan translocation pada virulensi C. jejuni telah diinvestigasi secara in vitro. Mekanisme C. jejuni menyebabkan infeksi

secara umum adalah sebagai berikut: 1). Setelah ingesti bakteri melakukan kolonisasi di intestinal. 2). Invasi bakteri pada sel intestinal akan menyebabkan kerusakan mukosa permukaan sel jejunum, ileum, dan colon. 3). Terjadi extra intestinal translocation yaitu organisme menyeberang dan migrasi dari epitel intestinummelalui sistem limpatik menuju extra intestinal (Konkel et al. 2001).

Pada Gambar 2 dapat dilihat diagram proses terjadinya infeksi pada manusia. Infeksi C. jejuni dimulai dari masuknya mikroorganisme ke dalam mulut kemudian masuk ke dalam lambung dan selanjutnya masuk ke dalam intestinal. C. jejuni melakukan kolonisasi pada bagian jejunum dan ileum kemudian masuk ke bagian colon manusia. Mikroorganisme yang terdapat di dalam lumen intestinal akan

menembus bagian mukosa saluran intestinal melalui sel M, yang dikenal sebagai sel epitel pada folikel saluran gastrointestinal yang memiliki kemampuan trancytosis baik mikroorganisme maupun makromolekul. Secara fungsional sel M berbeda dengan absorbtive enterosit, dimana sel M tidak mendorong antigen ke dalam lumen, namun sel M berfungsi sebagai barier pada epitel yang ”terbuka”. Morfologi sel M berbeda dengan enterosit, dimana sel M memiliki sedikit microvilli pada permukaan, tetapi memiliki filamen brush border, sehingga fungsi utama sel M adalah sebagai perantara antigen atau mikroorganisme sehingga mencapai sel immune dari folikel limfoid untuk menginduksi respon imun.

(40)

migrasi dari mukus ke daerah kripta. Secara in vitro dilaporkan bahwa C. jejuni mampu menembus enterocytes melalui jalur paracellular atau transcellular. Kemungkinan keterlibatan proses adherence mengawali proses infeksi dan C. jejuni secara spesifik melekat pada reseptor yang terdapat pada sel inang. Kemudian diikuti terjadinya intimate binding antara C. jejuni dan sel inang. Nekrosis pada vili terjadi karena diakibatkan oleh toxin yang diproduksi oleh mikroorganisme. Cytolethal Distending Toxin (CDT) mampu menyebabkan atrophi pada vili dengan

cara melakukan proliferasi sel bakteri di dalam kripta.

Gambar 2 Virulensi C. jejuni menyebabkan enteritis. Panel atas: ilustrasi interaksi C. jejuni dan enterosit. Panel Bawah: ilustrasi perubahan morfologi saluran intestinal inang yang terinfeksi C. jejuni

(41)

2001; Luber et al. 2003). Infeksi Campylobacter pada manusia umumnya menyebabkan gastroenteritis, tetapi setelah bakteri invasi dapat menyebabkan bakteremia, reactive arthritis, meningitis, dan Gullain-Barre Syndrome (Altekruse et al. 1999). Resistensi Campylobacter sp. terhadap antimikrobial sudah banyak di laporkan terutama di negara maju sehingga menyulitkan pengobatan infeksi yang disebabkan oleh Campylobacter sp. Infeksi Campylobacter sp. pada ayam sebagai sumber kontaminasi dapat diatasi dengan pemberian antibiotika.

Sejak tahun 1980 fluoroquinolon sudah digunakan untuk mengobati enteritis yang disebabkan oleh Campylobacter sp. serta bakteri patogen lainnya. Antibiotika lainnya yang sering digunakan untuk pengobatan adalah tetracycline, chloramphenicol, ampicillin, dan gentamicin (Engberg et al. 2001). Menurut Caprioli et al. (2000) penggunaan antibiotika terutama di bidang veteriner perlu ditanggapi secara bijaksana berhubungan dengan semakin banyak mikroorganisme yang resisten terhadap beberapa jenis antibiotika. Erythromycin dan golongan fluoroquinolone adalah antibiotika yang umumnya digunakan untuk mengobati manusia penderita campylobacteriosis, sedangkan kejadian resistensi fluoroquinolone pada manusia dan hewan banyak dilaporkan (Endz et al. 1991; Ge et al. 2002).

2.3. Kontaminasi Campylobacter sp. 2.3.1. Infeksi Campylobacter sp. pada peternakan ayam

(42)

Penularan Campylobacter spp. secara vertikal pada ayam di peternakan ayam petelur, sangat jarang terjadi atau bahkan tidak mungkin terjadi. Hasil penelitian Sahin (2003) menunjukkan bahwa pada peternakan ayam petelur dan hatchery tidak ditemukan keberadaan Campylobacter spp. karena C. jejuni tidak dapat melewati eggshell. Infeksi pada ayam petelur menunjukkan keberadaan bakteri C. jejuni pada

feses tapi negatif pada telur yang dihasilkan (Shane et al. 1986; Sahin et al. 2003a). Bakteri Campylobacter jejuni yang terdapat di dalam sel epitel dan sel mononuklear dapat mengakibatkan kerusakan usus pada bagian jejunum dan ileum. Kerusakan sel epitel yang terjadi merupakan degenerasi dari epitel bagian superfisial sehingga terjadi pemendekan vili disertai produksi eksudat dalam lumen usus. Infeksi dapat terjadi pada lapisan yang lebih dalam lagi sehingga terjadi necrosis hemorrhagic pada lamina propria, abses pada kripta serta terjadi inflamasi (Shane

2000; Stern & Kazmi 1989).

Infeksi C. jejuni dapat menyebabkan pembengkakan dan nekrotik hati (Dhillon 2006). Campylobacter spp. yang pada awalnya menginfeksi usus sehingga akhirnya bakteri tersebut sampai ke organ hati dan limpa serta organ interna lainnya melalui aliran darah. Warna belang pada hati terjadi akibat sel hati mengalami degenerasi atau nekrose (Sanyal et al. 2003). Infeksi oleh C. jejuni setelah terjadi kolonisasi di usus selanjutnya aktif menginvasi sel intestinal dan bakteri melakukan ekstra translokasi sehingga menembus sel epitel dan migrasi ke sistem limpatik (Sahin 2003).

(43)

kambing, daging sapi giling, sosis, daging sapi, dan daging babi juga dilaporkan merupakan sumber kontaminasi (Stern et al. 1988; Gill & Harris 1982a; Bolton dan Hitchinson 1985; Kwiatkek et al. 1990; Abeyta et al. 1993). Menurut Lindqvist et al. (2000) dan Kramer et al. (2000), kontaminasi C. jejuni yang paling banyak

terjadi adalah pada karkas ayam. Hal ini dapat juga digunakan untuk indikasi tentang kondisi lingkungan di sekitar karkas.

Menurut Evans (1992) sebanyak 50% dari ayam yang berasal dari peternakan ayam yang terinfeksi, akan membawa mikroorganisme Campylobacter sp. sampai ayam tersebut dipotong. Hal ini memperlihatkan bahwa telah terjadi kolonisasi Campylobacter sp. pada saluran pencernaan unggas. Kolonisasi Campylobacter sp. pada umumnya terjadi pada saluran pencernaan ayam broiler, dan bakteri dapat dideteksi pada kelompok ayam setelah masa pemeliharaan satu minggu (Lindmark et al. 2006). Kejadian campylobacteriosis pada ayam broiler telah dilaporkan oleh Rudi et al. (2004) yang melakukan identifikasi Campylobacter sp. dari feses ayam broiler. Menurut Van Gerwe et al. (2005) ayam yang terinfeksi Campylobacter pada fesesnya dapat mengandung sejumlah bakteri berkisar antara

105 sampai 106cfu/gram feses. Pada tahun sebelumnya Cawthraw et al. (1996) telah melaporkan bahwa anak ayam yang terinfeksi Campylobacter di dalam sekumnya dapat mengandung jumlah Campylobacter yang lebih banyak mencapai 1010 cfu/gram. Sekelompok ayam yang terinfeksi dapat bertindak sebagai karier pada suatu peternakan. Sekam kandang yang menempel pada bulu dan kulit ayam yang lain pada saat transportasi dapat bertindak sebagai sumber kontaminasi dan dapat meningkatkan jumlah kontaminasi bakteri pada karkas ayam (Buhr et al. 2000; Stern et al. 1995). Pembersihan kandang ayam yang telah terinfeksi tidak dapat

menghilangkan semua bakteri Campylobacter (Hansson et al. 2005; Newel et al. 2001; Slader et al. 2002).

2.3.2. Kontaminasi pada tahap proses pengolahan

(44)

yang digunakan untuk mencuci karkas (Upton 1995). Pada gambar 3 dapat dilihat kejadian infeksi C. jejuni dari ayam ke manusia.

Gambar 3 Skema penyebaran infeksi Campylobacter jejuni melalui penanganan, konsumsi karkas ayam, susu tanpa pasteurisasi dan air (Konkel et al. 2001)

Kejadian campylobacteriosis pada manusia dapat terjadi akibat kontaminasi silang pada saat penanganan karkas ayam dan memakan daging ayam yang kurang matang atau kontaminasi yang berasal dari air yang digunakan untuk mencuci karkas (Altekruse 1998). Kontaminasi mikroba biasanya terjadi pada permukaan bahan pangan. Pada karkas ayam biasanya terjadi pada kulitnya. Lee et al. (1998) melaporkan bahwa C. jejuni dapat tumbuh dengan baik pada kulit ayam yang lepas dari karkas. Berrang et al. (2001) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara jumlah mikroba yang terdapat pada karkas tanpa kulit maupun beserta kulit, walaupun dalam penelitian tersebut menunjukkan ada sedikit perbedaan jumlah Campylobacter sp. yang terdapat pada karkas beserta kulitnya lebih banyak jika dibandingkan karkas tanpa kulit.

(45)

Pada umumnya pertumbuhan Campylobacter sp. pada bahan pangan tidak berkembang dengan baik. Mikroba tidak mampu berproliferasi pada suhu ruang maupun refrigerator. Mikroba sifatnya sangat fragile dan sensitif terhadap beberapa jenis antimikroba, akan tetapi kontaminasi mikroba pada karkas dalam jumlah sedikit (± 800 sel) sudah mampu menimbulkan penyakit pada manusia (Norman & Pretanik 2006). Menurut Lee et al. (1998) pada penyimpanan -20 oC dan -70 oC mikroba dapat bertahan hidup namun tidak mampu mengadakan replikasi. Pada suhu ruang dan suhu 4 oC dapat tumbuh dan memperbanyak diri meskipun lambat, sehingga pada saat dilakukan thawing maka mikroba yang masih bertahan hidup dalam karkas pada suhu freezing akan tetap memiliki kemampuan hidup. Kerusakan bahan pangan yang disebabkan oleh C. jejuni dapat terjadi apabila pada penyimpanan terdapat pertumbuhan mikroba sampai berjumlah 100 kali lipat. Perubahan yang terjadi berupa lendir, perubahan warna kulit dan bau sehingga menyebabkan penampakan karkas yang kurang disukai (Lee et al. 1998).

2.4. Kajian Risiko Terjangkit Penyakit Tular Pangan

Keamanan pangan saat ini merupakan masalah penting di beberapa negara, hal ini disebabkan karena kesadaran yang tinggi dari konsumen dalam mengkonsumsi bahan pangan berkualitas dan aman. Munculnya risiko antara lain ditentukan karena terjadinya perubahan dalam proses produksi dan pengolahan bahan pangan asal ternak, adanya laporan mengenai munculnya foodborne pathogen sebagai emerging dan re-emerging disease, serta pola masyarakat mengkonsumsi bahan pangan. Perdagangan pangan internasional yang semakian luas juga dapat meningkatkan risiko penyebaran mikroorganisme patogen ke negara lain, sehingga dapat meningkatkan risiko manusia menderita food-borne disease.

Perkembangan analisa risiko dilaporkan oleh Codex Alimentarius Commission (CAC) terus meningkat selama dekade terakhir. World Health

Organization (WHO) dan Food and Agriculture Organization (FAO)

(46)

secara kuantitatif maupun kualitatif. Evaluasi kajian risiko secara kuantitatif telah dilakukan sejak tahun 1970an untuk mengetahui risiko manusia yang terpapar oleh bahan kimia (Soller 2006). Melakukan evaluasi kajian risiko terhadap bakteri patogen sebagai agen foodborne disease penting dilakukan untuk mengetahui secara kuantitatif peluang terjadinya risiko yang dapat diakibatkan oleh patogen serta dapat digunakan untuk mengambil kebijakan dalam bidang kesehatan masyarakat baik di tingkat nasional maupun internasional. Hasil evaluasi kajian dapat disampaikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kajian risiko pada agen foodborne disease dievalusi dengan melakukan kajian pada semua tahapan mata rantai pangan

hingga siap saji. Kajian risiko sebaiknya mampu menjawab permasalahan yang ada, dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manajer risiko untuk mencapai keputusan. Manajemen risiko adalah proses dimana informasi yang berkaitan dengan risiko termasuk hasil dari kajian risiko, digunakan untuk membuat keputusan tentang bagaimana risiko tersebut akan dikendalikan kemudian bagaimana keputusan itu akan diterapkan. Komunikasi risiko adalah proses dimana informasi yang berkaitan dengan kajian dan manajemen risiko merupakan media untuk berlangsungnya proses kajian dan manajemen risiko (Buchanan 2004).

Kajian risiko sering disebut sebagai microbial risk assessment (MRA) dievaluasi untuk mengetahui kemungkinan atau probabilitas keparahan suatu penyakit yang disebabkan oleh suatu agen patogen. CAC mendefinisikan kajian risiko sebagai proses berbasis ilmiah yang terdiri dari empat langkah yaitu: 1) identifikasi bahaya, 2) karakterisasi bahaya, 3) kajian paparan, dan 4) karakterisasi risiko (FAO 2000).

2.4.1. Identifikasi bahaya

(47)

menggunakan antibiotika namun bervariasinya pola resistensi terhadap antibiotika menyebabkan sulitnya pengobatan pada peternakan ayam maupun manusia.

2.4.2.Karakterisasi bahaya

Gastroenteritis akibat infeksi Campylobacter sp. meskipun dapat sembuh sendiri (self-limiting) namun dilaporkan mortalitasnya mencapai 32% pada isolat yang patogenitasnya sangat tinggi hasil isolasi dari ayam dan penderita memiliki sistem imun yang rendah (Anonim 2005). Selain menyebabkan gastroenteritis C. jejuni juga dapat menyebabkan penyakit sistemik seperti meningitis, bakteremia, localized extraintestinal infection, immuno reactive complications seperti

Guillain-Barre syndrome (GBS) dan reactive arthritis. Mengkonsumsi daging ayam yang

terkontaminasi Campylobacter sp dapat menyebabkan kejadian foodborne gastrointestinal disease. Dosis respon merupakan faktor penting yang berhubungan

(48)

peneliti telah menganalisa data yang tersedia menggunakan model tanpa jumlah ambang batas untuk sejumlah patogen (Haas, 1983; Teunis et al. 1996). Selain memiliki linearitas dosis rendah, maka FAO/WHO (2003) merekomendasikan untuk digunakan dalam menentukan karakterisasi bahaya sebagai model yang digunakan dalam penilaian risiko mikroba adalah model dosis respon exponensial dan Beta Poisson. Model exponensial, diasumsikan bahwa semua organisme tertelan memiliki

probabilitas yang sama menyebabkan infeksi (r). Dosis tertelan diasumsikan menggunakan Poisson dengan rataan N organisme per porsi (Haas 1983).

Pinf = 1- exp (-r × N)

Dimana : Pinf adalah probabilitas infeksi

r adalah probabilitas satu sel menyebabkan infeksi

N adalah dosis

Model Beta Poisson menggunakan heterogenitas interaksi mikrorganisme dan host yaitu kemungkinan mikroorganisme menyebabkan infeksi pada host, diasumsikan mengikuti distribusi Beta (Haas 1983). Dengan asumsi β jauh lebih besar daripada α dan 1, dengan rumus sebagai berikut:

Pinf = 1- (1 + N/β)-α

Dimana : Pinf adalah probabilitas infeksi

N adalah dosis mikroorganisme yang tertelan

α dan β adalah parameter dosis respon untuk Campylobacter sp.

(49)

2.4.3.Kajian paparan

Analisa yang digunakan untuk mengetahui adanya keterpaparan patogen pada rantai makanan dimulai dari karkas ayam setelah keluar dari rumah potong dan berakhir di dapur sehingga daging ayam sudah siap dikonsumsi. Pada kajian paparan dilakukan evaluasi terhadap bahaya akibat kontaminasi Campylobacter sp. yang terdapat pada bahan pangan pada saat dikonsumsi. Proses ini menggabungkan informasi keberadaan dan konsentrasi Campylobacter sp. dalam bahan pangan yang dikonsumsi dan kemungkinan jumlahnya yang bervariasi. Informasi keberadaan dan konsentrasi mikroorganisme meliputi jumlah Campylobacter sp. per porsi penyajian.

Gambar 4 Skema kajian risiko Campylobacter sp. dimulai dari peternakan ayam (FAO 2002)

2.4.4. Karakterisasi risiko

Tahapan karakterisasi risiko merupakan integrasi dari informasi yang dikumpulkan selama identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya, dan tahapan kajian paparan yang perkiraan terjadi peningkatan risiko akibat mengkonsumsi daging ayam akibat proses pemasakan yang tidak sempurna (Gambar 4).

Pada tahapan ini digabungkan probablitas dan besarnya paparan Campylobacter sp. akibat mengkonsumsi daging ayam terhadap kemungkinan buruk

yang akan terjadi. Risiko yang dihasilkan dinyatakan sebagai risiko individu atau risiko per porsi ayam akibat pemasakan yang tidak sempurna (Gambar 5).

Peternakan dan Trasnportasi

Rumah Potong

Penyiapan sebelum dikonsumsi

RISIKO Dosis

Respon n Prevalensi

(50)

2.5. Isolasi dan Identifikasi Campylobacter sp. pada Bahan Pangan Asal Ternak 2.5.1. Metode konvensional

Melakukan isolasi bakteri Campylobacter sp. dari sampel pangan berbeda dengan isolasi bakteri kontaminan lain. Isolasi Campylobacter sp. memerlukan media selektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri enterik yang lainnya, karena bakteri Campylobacter sp. mengalami pertumbuhan lebih lambat dibandingkan dengan bakteri enterik yang lain (Blaser 2000). Sejak ditemukannya bakteri Campylobacter sp, pada bahan pangan asal ternak, metode deteksi yang digunakan adalah isolasi pada media pre enrichment dan enrichment yang dilanjutkan dengan uji biokimia untuk melakukan identifikasi. Prosedur isolasi dan identifikasi Campylobacter spp. memerlukan waktu yang cukup lama serta harus dilakukan secara intensif (Stern et al. 1992; Mead et al. 1999; Feng 2001). Sejak tahun 1970 telah digunakan beberapa media selektive untuk isolasi Campylobacter sp. antara lain media agar modified charcoal cefoperazone deoxycholate (mCCDA), charchoal-based selective medium (CSM), Karmali agar, Skirrow’s medium, Butzler’s medium, Blaser’s medium, Campy-BAP medium, dan Preston agar (Bolton & Robertson 1982; Bolton et al. 1983; Bolton et al. 1984; Corry et al. 1995; Corry 2000; Goossens et al. 1989; Karmali et al. 1986; Sahin et al. 2003b; Skirrow 1977).

Menurut Blackburn dan Clure (2003) Campylobacter adalah

mikroorganisme yang sulit dikultur. Untuk itu perlu dikembangkan metode deteksi Gambar 5 Tahapan keterpaparan Campylobacter sp. pada tahapan penyiapan daging

ayam sebelum dikonsumsi (FAO 2002) Karkas ayam

Kontaminasi silang Pemasakan tidak sempurna

(51)

cepat untuk mendeteksi keberadaan mikroorganisme yang terdapat pada bahan pangan.

2.5.2. Metode deteksi cepat

Metode deteksi cepat terhadap Campylobacter spp. sangat penting dilakukan dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner terutama higiene makanan dengan maksud untuk mengurangi kejadian foodborne disease (Boxal 2005). Metode deteksi cepat untuk mengetahui keberadaan kontaminasi bakteri patogen pada makanan adalah untuk memberi keyakinan pada konsumen mengenai keamanan makanan tersebut (Feng 2001). Metode deteksi cepat harus dapat digunakan sebagai alat deteksi yang memberikan hasil yang akurat serta dengan menggunakan peralatan yang lebih sederhana dan waktu yang lebih singkat jika dibandingkan dengan metode konvensional. Selain itu, metode deteksi cepat akan mengurangi terjadinya kontaminasi dari laboran pada saat melakukan isolasi secara konvensional. Namun demikian evaluasi pada bahan makanan menggunakan metode deteksi cepat biasanya memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah jika digunakan langsung untuk menguji sampel berupa bahan makanan. Untuk itu diperlukan tahapan, sampel dikultur dalam media enrichment terlebih dahulu sebelum dilakukan analisa untuk meningkatkan viabilitas sel yang mengalami stres atau injury selama penyiapan.

Deteksi cepat bakteri patogen sebagai kontaminan dalam makanan sangat penting untuk menjamin keselamatan konsumen. Metode konvensional untuk mendeteksi bakteri kontaminan dalam bahan pangan memakan waktu pertumbuhan dalam media kultur, diikuti oleh isolasi, identifikasi biokimia (BAM 2001b). Saat ini teknik yang baru untuk deteksi dan identifikasi spesies Campylobacter telah banyak dilaporkan, yaitu teknik deteksi cepat yang berbasis interaksi antigen dan antibodi dan DNA moluker. Metode cepat komersial telah divalidasi dan dievaluasi oleh Association of Official Analytical Chemists (AOAC) (Andrew 1996).

2.5.2.1. Polymerase Chain Reaction (PCR)

(52)

dari tiga tahap dalam setiap siklus amplifikasi, masing-masing ditentukan oleh suhu yang berbeda untuk memungkinkan putusnya rantai ganda DNA, annealing primer, dan perpanjangan primer oleh polimerase, dengan melakukan antara 25 sampai 40 siklus (Gambar 6).

Gambar 6 Tahapan setiap siklus amflifikasi dalam proses PCR

Primer adalah molekul DNA pendek beruntai tunggal, biasanya terdiri dari 18 sampai 35 basa yang diperlukan untuk replikasi. Sekuen DNA susunannya spesifik untuk masing-masing organisme dengan urutan yang khas. PCR merupakan suatu teknik perbanyakan molekul DNA dengan ukuran tertentu secara enzimatik melalui mekanisme perubahan suhu. Prinsip metode PCR adalah pada suhu 94-95

o

(53)

basa. Semakin panjang primernya semakin tinggi temperatur annealing (Sulandari & Zein 2003). Apabila suhu dinaikkan sampai 72 oC, maka primer dengan bantuan enzim DNA polymerase akan membentuk untaian DNA sesuai dengan runutan DNA yang terbelah, proses ini disebut elongasi (extension). Umumnya setelah proses siklus PCR selesai, ditambah waktu post elongasi selama 5-10 menit pada temperatur 72 oC agar semua hasil PCR berbentuk untai ganda (Sulandari & Zein 2003). Ketiga tahapan tersebut merupakan satu siklus termal. Jumlah fragmen DNA yang digandakan adalah 2n dimana n adalah banyaknya siklus termal. Rumus tersebut berasal dari penambahan jumlah keping (copy) DNA secara eksponensial, dimana keping DNA yang terbentuk menjadi cetakan bagi reaksi selanjutnya. Banyaknya siklus yang dilakukan tergantung pada banyaknya produk PCR yang diinginkan (Sulandari & Zein 2003).

Menurut Sahin et al. (2003) metode molekuler PCR selain dapat mendeteksi dan mengidentifikasi Campylobacter sp. juga dapat mendeteksi adanya bakteri patogen kontaminan yang lain pada bahan pangan. Analisis PCR pada bahan pangan secara umum meliputi tahapan isolasi DNA dari sampel makanan, amplifikasi sekuen target secara PCR, visualisasi dengan melakukan separasi produk amplifikasi pada elektroforesis gel agarosa sehingga diketahui ukuran fragmen yang dihasilkan dibandingkan dengan DNA marker setelah perlakuan staining menggunakan etidium bromida.

(54)

probe gene ceuE yang diduga mengkode faktor virulensi Campylobacter (Gonzales et al. 1997). Peneliti Mateo et al. (2005) telah mengembangkan metode PCR sebagai

alat deteksi dan identifikasi C. jejuni dan C. coli yang mengkontaminasi produk perunggasan menggunakan probe gene mapA dan ceuE. Eyigor et al. (1999) melakukan deteksi dan analisa isolat C. jejuni dan C. coli menggunakan metode PCR menggunakan gen cytolethal distending toxin (cdt), gen cdt yang dihasilkan oleh C. jejuni dan C. coli dan merupakan faktor virulen dari kedua spesies tersebut, memperlihatkan sekuen yang berbeda. Susunan nukleotida primer yang dapat digunakan untuk identifikasi Campylobacter sp. disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Primer yang digunakan untuk mendeteksi genus Campylobacter

Primer Gen Target Produk

PCR (bp)

komponen lipoprotein enterochelin (C. coli)

thermophilic Campylobacter sp.

Campylobacter sp.

Serine hydroxymethyltransferase (C. coli, C. lari, C. upsaliensis)

Flagellin (C. jejuni, C. coli)

Hippuricase (C. jejuni)

Surface layer protein (C. fetus subs. fetus)

Aspartokinase (C. coli)

cytolethal distending toxin(C. jejuni dan C. coli)

outer membrane protein(Campylobacter sp.

(55)

2.5.2.2. Enzyme-linked Immuno Sorbent Assay (ELISA)

Metode cepat secara immunochemical menggunakan antibodi merupakan uji yang sensitif untuk mendeteksi bakteri kontaminan pada bahan pangan (Blankenfeld-Enkvist & Brannback 2002). Metode cepat yang dapat dikembangkan antara lain uji latex-agglutination, immunodiffusion test, dan enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA). Uji latex-agglutination menggunakan antibodi yang dilapisi partikel lateks berwarna yang dapat mengidentifikasi secara cepat serologis atau isolat kultur murni bakteri. Adanya aglutinasi antaraantibodi dan antigen dapat dibaca secara visual. Uji immunodiffusion dilakukan dengan meletakkan sampel yang telah diinkubaskan dalam media enrichment pada matriks gel yang telah mengandung antibodi. Adanya antigen pada matriks akan menyebabkan presipitasi yang terlihat seperti garis. ELISA (Enzyme-linked Immuno Sorbent Assay) adalah salah satu metode cepat secara biokimia yang digunakan

sebagai uji imunologi untuk mendeteksi adanya ikatan antara antibodi dengan antigen yang terdapat dalam sampel. Ciri utama teknik ini adalah menggunakan indikator enzim untuk reaksi imunologi (Burgess 1995). Tahapan ELISA diawali coating yaitu adsorbsi secara pasif antibodi pada permukaan padat 96-well microtiter plate yang terbuat dari polyvinyl chloride atau polystyrene. Protein yang teradsorb pada permukaan plastik mengalami ikatan hydrophobic antara protein nonpolar dengan matriks plastik. Terjadinya ikatan antibodi pada permukaan plastik tergantung pada perbandingan volume antibodi yang dilarutkan dalam larutan bufer coating dengan luas permukaan matriks padat, konsentrasi larutan, temperatur, serta

Gambar

Gambar 1 Morfologi spesies Campylobacter jejuni (Anonim 2002)
Tabel 1 FamiliCampylobacteriaceae (Humphrey et al. 2007)
Gambar 2 Virulensi C. jejuni menyebabkan enteritis. Panel atas: ilustrasi interaksi C
Tabel 3 Primer yang digunakan untuk mendeteksi genus Campylobacter
+7

Referensi

Dokumen terkait

Cyberbullying adalah mengirim atau memposting pesan yang berbahaya atau kejam yang merupakan bentuk lain dari kekejaman sosial menggunakan internet atau teknologi

Adalah gabungan dari produk asuransi berjangka (term insurance) dan investasi dimana Pemegang Polis mempunyai kebebasan untuk memilih penempatan Dana Investasi yang disediakan

Penelitian ini dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran bagi perusahaan manufaktur dengan menelaah pengaruh perencanaan pajak, beban pajak tangguhan dan

Reseksi marginal (reseksi enblok) merupakan teknik untuk mengangkat jaringan tumor dengan mempertahankan kontinuitas korteks tulang mandibula bagian bawah yang masih

• Facebook diawali dari kreatifitas Mark Zuckerberg saat kuliah di Harvard yang ingin membuat program untuk saling mengenal bagi.. para

Lebih lanjut Gatenby (1986) dan Abouheif et al (1993) menyatakan bahwa docking dimaksudkan untuk meningkatkan laju pertumbuhan domba, karena dengan docking penimbunan

Penulisan tesis ini merupakan dorongan dari keinginan penulis untuk mengetahui permasalahan-permasalahan yang ada dibidang hukum pertanahan khususnya mengenai putusan

Teknik pengumpulan data menggunakan angket (kuesioner) untuk mengumpulkan data variabel peran guru, budaya sekolah, kepemimpinan kepala sekolah, kualitas