• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.5 Isolasi dan Identifikasi Campylobacter sp pada Bahan Pangan Asal

2.5.2 Metode deteksi cepat

Metode deteksi cepat terhadap Campylobacter spp. sangat penting dilakukan dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner terutama higiene makanan dengan maksud untuk mengurangi kejadian foodborne disease (Boxal 2005). Metode deteksi cepat untuk mengetahui keberadaan kontaminasi bakteri patogen pada makanan adalah untuk memberi keyakinan pada konsumen mengenai keamanan makanan tersebut (Feng 2001). Metode deteksi cepat harus dapat digunakan sebagai alat deteksi yang memberikan hasil yang akurat serta dengan menggunakan peralatan yang lebih sederhana dan waktu yang lebih singkat jika dibandingkan dengan metode konvensional. Selain itu, metode deteksi cepat akan mengurangi terjadinya kontaminasi dari laboran pada saat melakukan isolasi secara konvensional. Namun demikian evaluasi pada bahan makanan menggunakan metode deteksi cepat biasanya memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah jika digunakan langsung untuk menguji sampel berupa bahan makanan. Untuk itu diperlukan tahapan, sampel dikultur dalam media enrichment terlebih dahulu sebelum dilakukan analisa untuk meningkatkan viabilitas sel yang mengalami stres atau injury selama penyiapan.

Deteksi cepat bakteri patogen sebagai kontaminan dalam makanan sangat penting untuk menjamin keselamatan konsumen. Metode konvensional untuk mendeteksi bakteri kontaminan dalam bahan pangan memakan waktu pertumbuhan dalam media kultur, diikuti oleh isolasi, identifikasi biokimia (BAM 2001b). Saat ini teknik yang baru untuk deteksi dan identifikasi spesies Campylobacter telah banyak dilaporkan, yaitu teknik deteksi cepat yang berbasis interaksi antigen dan antibodi dan DNA moluker. Metode cepat komersial telah divalidasi dan dievaluasi oleh Association of Official Analytical Chemists (AOAC) (Andrew 1996).

2.5.2.1. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Metode cepat PCR berbasis asam nukleat atau DNA untuk mendeteksi Campylobacter sp. telah banyak dilakukan. PCR merupakan metode in vitro untuk memperbanyak urutan DNA yang diterjemahkan. Melakukan proses PCR terdiri

dari tiga tahap dalam setiap siklus amplifikasi, masing-masing ditentukan oleh suhu yang berbeda untuk memungkinkan putusnya rantai ganda DNA, annealing primer, dan perpanjangan primer oleh polimerase, dengan melakukan antara 25 sampai 40 siklus (Gambar 6).

Gambar 6 Tahapan setiap siklus amflifikasi dalam proses PCR

Primer adalah molekul DNA pendek beruntai tunggal, biasanya terdiri dari 18 sampai 35 basa yang diperlukan untuk replikasi. Sekuen DNA susunannya spesifik untuk masing-masing organisme dengan urutan yang khas. PCR merupakan suatu teknik perbanyakan molekul DNA dengan ukuran tertentu secara enzimatik melalui mekanisme perubahan suhu. Prinsip metode PCR adalah pada suhu 94-95

o

C, DNA mengalami denaturasi, pembelahan DNA untai ganda menjadi untai tunggal. Waktu yang diperlukan untuk proses ini sekitar 30 detik pada suhu 95 oC atau 15 detik pada suhu 97 oC. Denaturasi yang tidak lengkap akan menyebabkan renaturasi secara cepat, sedangkan waktu denaturasi yang terlalu lama dapat mempengaruhi enzim polymerase, sehingga hal ini dapat mempengaruhi keberhasilan proses PCR. Umumnya sebelum proses siklus PCR dimulai seringkali dilakukan tahap pre-denaturasi selama 3-5 menit untuk meyakinkan bahwa molekul DNA target yang akan dilipatgandakan jumlahnya benar-benar terdenaturasi (Sulandari & Zein 2003). Apabila suhu diturunkan antara 36-72 oC terjadi proses penempelan primer (annealing) yang merupakan penempelan primer pada DNA yang telah terbelah pada tempat yang spesifik. Primer sebaiknya berukuran 18-25

basa. Semakin panjang primernya semakin tinggi temperatur annealing (Sulandari & Zein 2003). Apabila suhu dinaikkan sampai 72 oC, maka primer dengan bantuan enzim DNA polymerase akan membentuk untaian DNA sesuai dengan runutan DNA yang terbelah, proses ini disebut elongasi (extension). Umumnya setelah proses siklus PCR selesai, ditambah waktu post elongasi selama 5-10 menit pada temperatur 72 oC agar semua hasil PCR berbentuk untai ganda (Sulandari & Zein 2003). Ketiga tahapan tersebut merupakan satu siklus termal. Jumlah fragmen DNA yang digandakan adalah 2n dimana n adalah banyaknya siklus termal. Rumus tersebut berasal dari penambahan jumlah keping (copy) DNA secara eksponensial, dimana keping DNA yang terbentuk menjadi cetakan bagi reaksi selanjutnya. Banyaknya siklus yang dilakukan tergantung pada banyaknya produk PCR yang diinginkan (Sulandari & Zein 2003).

Menurut Sahin et al. (2003) metode molekuler PCR selain dapat mendeteksi dan mengidentifikasi Campylobacter sp. juga dapat mendeteksi adanya bakteri patogen kontaminan yang lain pada bahan pangan. Analisis PCR pada bahan pangan secara umum meliputi tahapan isolasi DNA dari sampel makanan, amplifikasi sekuen target secara PCR, visualisasi dengan melakukan separasi produk amplifikasi pada elektroforesis gel agarosa sehingga diketahui ukuran fragmen yang dihasilkan dibandingkan dengan DNA marker setelah perlakuan staining menggunakan etidium bromida.

Metode PCR dapat mendeteksi dan mengidentifikasi Campylobacter sp. tergantung primer yang digunakan. Primer gen 16S rRNA atau 23S rRNA umumnya digunakan untuk mendeteksi genus thermophilic Campylobacter pada lokasi susunan sekuen gen hipO, flaA, mapA, ceuE, glyA, cadF atau lpxA (Al Rashid 2000; Wang et al. 2002). Beberapa jenis uji PCR seperti multiplex PCR (Wang et al. 2002) dan real-time PCR (Logan et al. 2001) (Sails et al. 1998) telah dilaporkan dapat mendeteksi Campylobacter sp. Multiplex PCR dilakukan menggunakan beberapa primer spesifik dalam satu reaksi sehingga deteksi dan identifikasi dapat dilakukan secara bersamaan (Sahin et al. 2003b). Real-time PCR dapat secara akurat mengukur kuantitas DNA template dan dapat memberikan perkiraan jumlah organisme yang ada dalam sampel, meskipun memerlukan peralatan dan reagen yang lebih mahal daripada metode PCR konvensional (Sahin et al. 2003b). Metode PCR dapat digunakan untuk identifikasi enteropathogen C. jejuni dan C. coli menggunakan

probe gene ceuE yang diduga mengkode faktor virulensi Campylobacter (Gonzales et al. 1997). Peneliti Mateo et al. (2005) telah mengembangkan metode PCR sebagai alat deteksi dan identifikasi C. jejuni dan C. coli yang mengkontaminasi produk perunggasan menggunakan probe gene mapA dan ceuE. Eyigor et al. (1999) melakukan deteksi dan analisa isolat C. jejuni dan C. coli menggunakan metode PCR menggunakan gen cytolethal distending toxin (cdt), gen cdt yang dihasilkan oleh C. jejuni dan C. coli dan merupakan faktor virulen dari kedua spesies tersebut, memperlihatkan sekuen yang berbeda. Susunan nukleotida primer yang dapat digunakan untuk identifikasi Campylobacter sp. disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Primer yang digunakan untuk mendeteksi genus Campylobacter

Primer Gen Target Produk

PCR (bp) Referensi cadF ceuE 23S rRNA 16S rRNA glyA fla hipO sapB2 asp cdt omp50

outer membran proteinCampylobacter komponen lipoprotein enterochelin (C. coli) thermophilic Campylobacter sp.

Campylobacter sp.

Serine hydroxymethyltransferase (C. coli, C. lari, C. upsaliensis)

Flagellin (C. jejuni, C. coli) Hippuricase (C. jejuni)

Surface layer protein (C. fetus subs. fetus) Aspartokinase (C. coli)

cytolethal distending toxin(C. jejuni dan C. coli)

outer membrane protein(Campylobacter sp.

400 894 650 816 126 450 323 435 500 - 1100 Nayak et al. (2005) Nayak et al. (2005) Trust et al. (1994); Eyers et al. (1993) Linton et al. (1997); Kulkarni et al. (2002) Rashid et al. (2000) Oyofo et al. (1992) Wang et al. (2002) Wang et al. (2002) Linton et al. (1997); Amri et al. (2007) Eyigor et al. (1999) Dedieu et al. (2004)

2.5.2.2. Enzyme-linked Immuno Sorbent Assay (ELISA)

Metode cepat secara immunochemical menggunakan antibodi merupakan uji yang sensitif untuk mendeteksi bakteri kontaminan pada bahan pangan (Blankenfeld-Enkvist & Brannback 2002). Metode cepat yang dapat dikembangkan antara lain uji latex-agglutination, immunodiffusion test, dan enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA). Uji latex-agglutination menggunakan antibodi yang dilapisi partikel lateks berwarna yang dapat mengidentifikasi secara cepat serologis atau isolat kultur murni bakteri. Adanya aglutinasi antaraantibodi dan antigen dapat dibaca secara visual. Uji immunodiffusion dilakukan dengan meletakkan sampel yang telah diinkubaskan dalam media enrichment pada matriks gel yang telah mengandung antibodi. Adanya antigen pada matriks akan menyebabkan presipitasi yang terlihat seperti garis. ELISA (Enzyme-linked Immuno Sorbent Assay) adalah salah satu metode cepat secara biokimia yang digunakan sebagai uji imunologi untuk mendeteksi adanya ikatan antara antibodi dengan antigen yang terdapat dalam sampel. Ciri utama teknik ini adalah menggunakan indikator enzim untuk reaksi imunologi (Burgess 1995). Tahapan ELISA diawali coating yaitu adsorbsi secara pasif antibodi pada permukaan padat 96-well microtiter plate yang terbuat dari polyvinyl chloride atau polystyrene. Protein yang teradsorb pada permukaan plastik mengalami ikatan hydrophobic antara protein nonpolar dengan matriks plastik. Terjadinya ikatan antibodi pada permukaan plastik tergantung pada perbandingan volume antibodi yang dilarutkan dalam larutan bufer coating dengan luas permukaan matriks padat, konsentrasi larutan, temperatur, serta waktu inkubasi sehingga dapat ditentukan konsentrasi antibodi yang akan dicoating (Burgess 1995; Crowther 2009). Jika protein yang digunakan untuk coating adalah murni, biasanya digunakan volume 50 µl dengan konsentrasi protein 1-10 µg/ml (Crowther 2009). Konsentrasi protein yang terlalu tinggi dapat menyebabkan penumpukan dan penebalan lapisan protein sehingga dapat mengganggu interaksi ikatan protein dengan matrik padat (Crowther 2009) (Gambar 7). Inkubasi dapat dilakukan pada temperatur 37 oC selama 1-3 jam atau pada 4 oC selama semalam.

Gambar 7 Konsentrasi protein terlalu tinggi dalam larutan coating

Antibodi yang memiliki spesifitas yang tinggi dapat dikembangkan untuk mendeteksi bakteri yang mengkontaminasi bahan pangan. Terdapat tiga jenis antibodi yang dapat dikembangkan untuk deteksi, yaitu poliklonal, monoklonal, dan rekombinan (Crowther 2009). Pemilihan larutan pencuci dapat juga mempengaruhi hasil pengujian. Pada umumnya larutan pencuci mengandung deterjen yang digunakan untuk mengurangi reaksi pengikatan non-spesifik (Burgess 1995; Crowther 2009). Antigen merupakan protein yang diinjeksikan pada hewan percobaan sehingga dapat menghasilkan antibodi. Selanjutnya antibodi tersebut dapat bereaksi secara spesifik dengan antigen yang diuji terdapat dalam sampel. Enzim adalah substansi yang dapat bereaksi pada konsentrasi rendah sebagai katalis untuk meningkatkan reaksi spesifik, dan mengikat secara langsung ke antibodi. Enzim yang dipilih digunakan sesuai dengan substrat karena tiap enzim biasanya sepesifik terhadap substrat tertentu. Konjugat merupakan enzim yang dilekatkan pada antibodi, misalnya antiserum kelinci anti IgG tikus dikonjugasikan dengan horseradish peroxidase (Crowther 2009). Substrat adalah bahan kimia yang mampu bereaksi dengan enzim sehingga menghasilkan signal berupa perubahan warna tertentu sebagai hasil interaksi enzim dengan substrat. Pembacaan hasil ELISA dengan mengukur intensitas perubahan warna yang terjadi menggunakan spectrophotometer dengan memilih panjang gelombang yang tepat, sesuai dengan warna spesifik yang dihasilkan dari reaksi enzim pada ELISA (Burgess 1995).

Uji ELISA terdapat bermacam-macam format. Namun untuk mendeteksi antigen dalam sampel bahan pangan biasanya menggunakan format “sandwich”. Antibodi dilekatkan pada matriks padat 96 well plate kemudian sampel ditambahkan. Adanya ikatan antibodi dan antigen yang terjadi dapat pantau menggunakan antibodi sekunder yang telah diikat enzim. Setelah ditambahkan substrat maka ikatan yang telah terjadi tersebut mengalami perubahan warna.

Deteksi limit uji ELISA berkisar antara 104-106 cfu/ml. Jika konsentrasi bakteri sebagai antigen sangat rendah perlu dilakukan inkubasi dalam media enrichment. Format komersial untuk deteksi Campylobacter sp. yang tersedia saat ini adalah VIDAS (bioMerieux, France), EIA (BioControl, USA), TECRA CAMVIA (TECRA Campylobacter Visual Immunoassay), dan Transia Plate ELISA. Metode latex agglutination secara cepat mampu mendeteksi koloni Campylobacter dari isolat yang diduga, tetapi tidak mampu mengidentifikasi spesies dan hanya membedakan genus Campylobacter (Hodinka & Gilligan 1988). Metode ini tidak bisa mendeteksi adanya Campylobacter sp. secara langsung dari sampel (Sahin et al. 2003b). Metode latex agglutination komersial (Meritec-Campy Ohio) mampu mendeteksi C. jejuni dan C. coli dengan sensitivitas tinggi, tetapi tidak terhadap C. lari dan C. upsaliensis (Nachamkin & Barbagallo 1990). Metode ELISA menggunakan kit komersial (Transia Plate ELISA) secara cepat dapat mendeteksi adanya bakteri kontaminan Campylobacter sp. yang terdapat dalam sampel (Wicker et al. 2001).

Secara umum jenis ELISA dibedakan dalam dua jenis sesuai dengan fungsinya yaitu ELISA deteksi antibodi dan antigen.Metode ELISA deteksi antigen dapat digunakan untuk mendeteksi adanya mikroba patogen pada makanan. Di Indonesia, metode ELISA sudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan kontaminan mikroba patogen pada produk pangan. Metode ELISA yang dikembangkan dari antibodi yang diproduksi dari antigen yang berasal dari isolat lokal belum tersedia. Pada dasarnya uji ELISA ini mengikat antigen yang dikenali dalam sampel. Sedangkan antigen dalam sampel yang tidak dikenali oleh antibodi akan tercuci atau lepas dari microplate. Antibodi yang digunakan kemudian dilinked (diikat) menggunakan enzim. Pada uji tahap akhir ditambahkan substansi yang dapat memberikan sinyal terhadap enzim yang digunakan. Pada penelitian ini antibodi spesifik akan diproduksi dari domba, kelinci, dan ayam SPF yang telah diinfeksi menggunakan antigen spesifik yang diperoleh dari isolat lokal C. jejuni.

Konfigurasi dalam ELISA dapat dikelompokkan dalam tiga jenis yaitu ELISA langsung, tidak langsung, sandwich, dan kompotetitif (Burgess 1995; Crowther 2009). Konfigurasi ELISA langsung atau direct ELISA merupakan konfigurasi paling sederhana. Antigen secara langsung diadsorbsi pada permukaan mtariks padat. Sistem ini memerlukan antiserum yang spesifik untuk antigen yang diuji. Permukaan matriks dicuci kemudian antibodi yang telah diikat enzim

digunakan untuk menunjukkan adanya antigen. Keuntungan konfigurasi ini adalah sederhana namun hasil yang diperoleh bersifat semi kuantitatif (Burgess 1995). Konfigurasi ELISA tidak langsung atau indirect ELISA merupakan konfigurasi paling sederhana yang dapat digunakan untuk mengukur titer antibodi. Antigen teradsorbsi pada matriks padat. Antibodi dari serum yang diuji sebagai antibodi primer sedangkan antibodi sekunder terikat pada enzim sebagai konjugat. Kelemahan konfigurasi ini adalah kurang spesifik interaksi antigen dan antibodi. Keuntungannya adalah antiserum dapat dideteksi menggunakan satu jenis antibodi yang telah dikonjugasikan, sehingga dapat digunakan untuk melakukan screening diagnosa suatu penyakit dalam jumlah sampel banyak (Crowther 2009). Konfigurasi sandwich ELISA menggunakan antibodi yang teradsorb pada permukaan matriks untuk menangkap antigen secara spesifik.

Menurut Crowther (2009) terdapat 2 model sandwich ELISA yaitu direct dan indirect sandwich ELISA. Model direct sandwich ELISA menggunakan antibodi yang diadsorb pada permukaan matriks padat. Antibodi tersebut akan mengikat antigen yang ditambahkan atau terdapat dalam sampel. Antigen dilarutkan dalam bloking bufer untuk mencegah terjadinya ikatan non-spesifik pada matriks. Setelah diinkubasi dan dicuci maka terjadi ikatan komplek antibodi dengan antigen, dan adanya antigen dideteksi menggunakan antibodi spesifik yang telah diikat enzim. Antibodi sekunder yang digunakan sebagai konjugat bisa berasal dari hewan yang sama maupun berbeda.

Model indirect sandwich ELISA pada tahap awal mirip dengan model direct ELISA, namun setelah penambahan antigen selanjutnya antigen dideteksi menggunakan antibodi yang berasal dari spesies atau hewan lain. Antibodi tersebut telah berikatan dengan antigen yang telah menempel pada antibodi yang telah diadsorb pada matrik selanjutnya dideteksi menggunakan antibodi sekunder yang telah diikat enzim. Keuntungan dari model ini adalah mampu mendeteksi antigen lebih spesifik karena menggunakan dua antibodi yang dapat mendeteksi antigen.

3. BAHAN DAN METODE

Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan yang dapat dilihat pada bagan sebagai berikut:

Sampel (karkas ayam)

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI C. jejuni (Konvensional dan PCR)

ISOLAT

PREVALENSI ANTIGEN

KAJIAN RISIKO ANTIBODI

ELISA

Gambar 8 Tahapan kegiatan penelitian 3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan dari Januari 2009 sampai Desember 2011. Pengambilan sampel karkas ayam dilakukan pada beberapa pasar tradisional dan swalayan di daerah Jawa Barat (Bogor dan Sukabumi), Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Tengah (Demak dan Kudus).

Penelitian dilakukan pada laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner dan laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, serta laboratorium Bakteriologi Balai Besar Penelitian Veteriner.

3.2. Bahan

Dokumen terkait