• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Sosial Terhadap Terbentuknya Permukiman Kampung Badur

Dalam dokumen Struktur Permukiman di Kampung Badur (Halaman 54-68)

BAB V KAJIAN TERBENTUKNYA KAMPUNG BADUR DI MEDAN

5.2 Kajian Sosial Terhadap Terbentuknya Permukiman Kampung Badur

Pada suatu permukiman yang terbentuk tentu selalu dipengaruhi beberapa faktor. Faktor tersebut kemudian akan menjadikan suatu acuan dalam proses berkembanganya suatu permukiman. Faktor tersebut dapat diperoleh dari aspek-aspek kehidupan. Aspek tersebut antara lain aktivitas ekonomi, sistem sirkulasi, komunikasi, sistem politik, administrasi, budaya dan aktivitas sosial (Sarkar, 2010. Hal 1). Pada Kampung Badur sendiri, salah satu aspek yang berperan dalam membentuk permukimannya adalah keadaan sosial. Keadaan sosial dari penghuni dapat terlihat dari latar belakang dan tujuan yang berbeda-beda dari penghuni Kampung Badur yang kini menetap di daerah tersebut. Umumnya, penduduk di Kampung Badur mempunyai pekerjaan yang berbeda-beda. Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan 25 responden yang tinggal di Kampung Badur, pekerjaan terbanyak adalah sebagai pedangang (48%). Beberapa responden juga mengatakan bahwa mereka mempunyai pekerjaan sebagai pegawai (25%). Mereka biasanya menjadi seorang pegawai kebersihan di perkantoran maupun rumah sakit yang dekat dengan tempat tinggalnya. Selain itu, pekerjaan sebagai tukang becak juga menjadi mata pencaharian dari beberapa penghuni Kampung Badur (21%). Adapun, yang berprofesi sebagai buruh tidak terlalu signifikan (6%). Hal tersebut terjadi karena di sekitar kawasan tempat tinggal mereka tidak terlalu banyak ditemukan pabrik atau pun tempat yang memerlukan tenaga buruh. Sehingga, penduduk di Kampung Badur cenderung mencari pekerjaan yang dekat dengan tempat tinggalnya.

85

Gambar 5.5. Beberapa penghuni yang membuka warung di tempat tinggalnya sebagai mata pencariannya.

LEGENDA

Rumah warung Sungai

86

Diamati dari mata pencaharian yang dimiliki penghuni setempat, pekerjaan paling besar yaitu sebagai pedagang. Beberapa penghuni Kampung Badur sendiri juga membuka warung pada area huniannya sebagai mata pencaharian mereka seperti yang terlihat pada gambar 5.5. Pola dari perletakan warung yang terdapat di Kampung Badur tumbuh secara tidak teratur dan beberapa berada pada jarak yang berdekatan. Adapun warung yang terdapat di Kampung Badur, umumnya menggunakan bagian depan area tempat tinggal maupun pada badan jalan. Pekerjaan yang dimiliki penghuni Kampung Badur juga memperlihatkan keadaan ekonomi mereka dalam membangun bangunan. Pekerjaan yang berada pada tingkat yang rendah memberikan kenyataan dalam membentuk rumah tinggal yang tidak sesuai dengan standar. Umumnya, mereka membangun bangunan sesuai dengan kebutuhan tanpa menggunakan standar dalam membangun rumah tinggal.

Selain itu, suatu permukiman akan tumbuh dan mengalami perubahan di daerahnya. Perubahan tidak hanya terjadi pada area huniannya saja. Umunya, karakteristik pada suatu permukiman tidak terencara dapat ditinjau dengan mengamati beberapa faktor, antara lain (1) kepemilikan tanah, (2) Struktur dan fasilitas sosial, (3) Infrastruktur, (4) ekonomi dan finansial, serta (5) sosial-budaya (Onyekachi, 2014). Dengan tumbuhnya permukiman di Kampung Badur yang umumnya ditinggali oleh para pendatang, tentu menjadikan daerah yang mereka tempati tidak memiliki surat resmi atas kepemilikan tanah. Sebanyak 88% penduduk Kampung Badur tidak memiliki surat kepemilikan tanah. Adapun, beberapa

87

penduduk yang telah mengurus surat tanah tidak terlalu signifikan yaitu hanya sebesar 12%. Dilihat dari tidak adanya kepemilikan tanah, maka akan terlihat bangunan-bagunan tersebut tumbuh tanpa adanya pengaturan yang tepat untuk tempat tinggal mereka. Letak dari permukiman Badur Bawah yang berada dipinggiran Sungai Deli tentu menjadikan daerah tersebut tidak direncakan sebagai ruang hunian. Sehingga, sebagian besar penghuni Kampung Badur sendiri tidak memiliki surat tanah. Dari hal tersebut, dapat diamati sebagian besar penghuni memiliki dimensi ruang yang berbeda-beda dalam membangun area huniannya (gambar 5.6)

Gambar 5.6. Bentuk permukiman Kampung Badur yang tidak dibangun tidak beraturan

Tidak ada ketentuan maupun standar yang digunakan dalam membangun tempat tinggal. Dimensi dan juga letak dari tempat tinggal, dibangun secara tidak teratur. Pada setiap ruang hunian, tidak mempunyai luas yang sama. Tempat tinggal

88

di Kampung Badur juga tidak mempunyai GSB juga tidak teratur, dapat dilihat pada gambar 5.7.

Gambar 5.7 Kondisi letak bangunan di Kampug Badur (a) Badur Atas, (b) Badur Bawah

Pada Badur Atas, terlihat bangunan mempunyai GSB kira-kira 1 meter dari badan jalan. Sedangkan pada Badur Bawah, rumah dibangun tidak menggunakan

(b)

89

GSB, sehingga beberapa rumah langsung berada diatas jalan. Pada Badur Atas beberapa rumah kini telah memiliki surat kepemilikan tanah, sehingga terlihat perletakan dari bangunan sudah lebih baik apabila dibandingkan dengan kondisi rumah di Badur Bawah. Pada Badur Bawah sendiri, tidak mempunyai pengaturan yang jelas mengenai perletakan rumah dan garis sempadan bangunan. Sehingga, bangunan tersebut mempunyai posisi yang berbeda-beda dengan rumah yang berada disampingnya.

Dalam membangun ruang hunian, tentu pemikiran dari pemilik rumah menjadi acuan dalam menentukan posisi yang baik utuk tempat tinggalnya. Suatu perumahan atau permukiman pada umumnya memerlukan sistem pengaturan secara luas seperti, pengaturan pada zona hunian, lingkungan atau ruang terbuka serta pengaturan jaringan jalan atau jangkauan atau akses ke daerah lain (Rapoport, 2006). Pada suatu permukiman tentu harus mempunyai akses atau sirkulasi yang menghubungkan suatu tempat ke tempat lainnya. Adapun yang berperan dalam membangun jalan menjadi lebih baik tentu terjadi karena adanya bantuan dari pihak luar. Menurut sebagian besar masyarakat lebih pemerintah dan swasta sama-sama memiliki peran dalam pembangunan jalan di Kampung Badur. Hal tersebut dikarenakan, mereka menganggap masing-masing pihak mempunyai kontribusi yang berbeda dalam membangun jalan di Kampung Badur. Sehingga, tentu kedua pihaklah yang paling berperan dalam membantu penduduk setempat agar sistem sirkulasi menjadi lebih baik. Pada kampung badur sendiri, selain adanya bangunan yang

90

semakin padat juga terdapat jalan untuk menghubungkan daerah-daerah disekitarnya (gambar 5.8).

Gambar 5.8 Sirlukasi yang terdapat di (a) Badur Atas, (b) Badur Bawah LEGENDA

Sirkulasi Badur Atas Sirkulasi Badur Bawah Sungai

91

Jalan pada Kampung Badur sendiri kini sudah dibangun lebih baik dari sebelumnya karena jalan di Badur atas yaitu Jalan Badur merupakan jalan kota. Lebar dari Jalan Badur sendiri adalah 3 meter. Jalan di Badur Atas juga sering digunakan apabila diadakan acara peringatan seperti 17 Agustus maupun acara lainnya. Hal tersebut dilakukan karena di Kampung Badur sendiri tidak terdapat lahan yang terlalu luas untukdigunakan secara bersama-bersama. Pada Badur Bawah terlihat sirkulasi yang ada tidak sebaik Badur Atas, tetapi material yang digunakan sudah lebih baik yaitu dengan menggunakan paving blok. Selain itu, jalan di Badur Bawah juga sering kali digunakan untuk meletakkan kendaraan penghuni setempat. Keterbatasan lahan yang terdapat di Badur Bawah menjadikan para penghuni setempat meneletakkan kendaraan mereka pada sirkulasi yang juga digunakan untuk akses sehari-hari (gambar 5.9)

92

Sebagian besar masyarakat Kampung Badur memilih membangun rumah menghadap ke jalan (76%). Hal tersebut berarti hampir seluruh bangunan dibangun membelakangi sungai. Mereka mengganggap jalan adalah titik utama sirkulasi yang dapat menghubungkan daerah lainnya. sehingga, jalan dianggap penting sebagai orientasi dalam membangun rumah. Sungai juga dijadikan bagian belakang, karena dianggap tempat untuk melakukan kegiatan sehari-hari yang tidak dapat diperlihatkan.

Selain itu, Adapun fasilitas sosial yang terdapat di Kampung Badur tidak terlalu banyak. Salah satu fasilitas sosial yaitu posyandu (72%) yang diterima dari program pemerintah. Selain itu, terdapat sanggar anak (28%) yang berasal dari bantuan mahasiswa yang perduli dengan pendidikan anak-anak di Kampung Badur (gambar 5.10 dan gambar 5.11).

Gambar 5.10 Fasilitas sosial di Kampung Badur

Posyandu di rumah warga

93

Gambar 5.11 Fasilitas sosial di Kampung Badur

Pada fasilitas sosial diKampung Badur, tidak Ditinjau dari aspek pemikiran masyarakat mengenai sungai yang mengitari tempat tinggal mereka, penduduk mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Beberapa masih menganggap sungai tersebut penting karenan membantu kehidupan sehari-hari penduduk setempat, seperti mencuci dan mandi (90%). Tetapi, beberapa menganggap sungai sudah tidak terlalu penting karena bila curah hujan tinggi maka akan menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya banjir yang akan melanda permukiman Kampung Badur (4%).

Pada permukiman tidak terencana, umumnya tidak ada bentuk yang pasti dalam mengatur arah pembangunan di area tersebut. Bentuk dari blok-blok perumahan terjadi secara tidak teratur, ukuran lahan yang berbeda-beda, orientasi bangunan yang tidak tepat, dan posisi antar rumah yang tidak jelas. Sehingga, privasi terhadap antar ruang hunian sangat ada yang membatasi ( Radulovic dkk, 2013). Pada permukiman Kampung Badur tentu terdapat tempat-tempat yang dijadikan sebagai ruang berkumpul sesama penduduk. Beberapa tempat yang sering dijadikan tempat berkumpul yaitu di warung (52%). Warung-warung yang terdapat di Kampung Badur

94

sering sekali dijadikan ruang berbincang, bercengkrama maupun hanya duduk bersantai. Selain itu, sanggar anak juga dijadikan sebagai tempat berkumpul (32%) yang digunakan oleh penduduk setempat juga pihak dari luar kampung yang datang. Sanggar anak biasanya digunakan beberapa mahasiswa yang ikut dalam aksi sosial untuk memajukan anak-anak di Kampung badur. Sehingga, beberapa kegiatan sosial bersama anak-anak dilakukan di sanggar anak. Adapun tempat-tempat lain yang digunakan sebagai tempat berkumpul yaitu musholla (8%) dan rumah tetangga (8%). Ruang-ruang berkumpul tersebut dapat dilihat pada gambar 5.12. Warung yang terdapat di Kampung Badur, umumnya selalu digunakan sebagai ruang berkumpul. Selain itu, terkandang teras rumah atau bagian depan rumah juga digunakan sebagai ruang berkumpul di Kampung Badur. Pada hari-hari tertentu atau dalam memperingati hari penting, tentu penduduk setempat akan mengadakan acara di Kampung Badur. Acara ataupun hajatan yang dilakukan pasti memerlukan tempat yang dapat dijadikan ruang berkumpul bagi penduduk setempat. Saat akan diadakan acara, seperti hari kemerdekaan atau acara keagamaaan biasanya tempat yang digunakan adalah badan jalan (60%). Jalan yang digunakan yaitu berada di Badur Atas, sehingga apabila diadakan hajatan maka akses sirkulasi tersebut akan ditutup.

95

Gambar 5.12 Ruang-ruang berkumpul yang ada di Kampung Badur

(Sanggar anak) (Warung )

(Badan jalan di depan rumah)

LEGENDA Musholla Sanggar anak Warung

96

Tetapi, apabila diadakan acara yang tidak membutuhkan ruang yang terlalu besar maka dapat digunakan lapangan atau ruang terbuka yang ada di Badur Bawah (40%). Lapangan di Badur bawah sendiri tidak terlalu besar, maka dari itu apabila memerlukan ruang yang lebih luas maka akan digunakan badan jalan di Badur Atas (gambar 5.13)

Gambar 5.13 Ruang kosong yang dijadikan tempat melakukan acara

Pada permukiman tentu akan ditemukan pola-pola yang berkaitan dengan ruang hunian, ruang berkumpul, pola jalan dan bentuk permukiman. Selain itu, setiap daerah juga akan akan mempunyai pola yang berbeda karena dapat dipengaruhi lingkungan, topografi lahan maupun fungsi yang berbeda. Adanya perkembangan suatu permukiman yang tidak terencana pasti terjadi secara spontan dan tidak mempunyai perencanaan maupun pengaturan terlebih dahulu. Walaupun, pada

97

dasarnya suatu permukiman tidak terencana terjadi atas persamaan keadaan sosial, tetapi tidak akan pernah ditemukan karakteristik yang benar-benar identik pada kawasan-kawasan tersebut (Fernandez, 2011). Kegiatan tersebut antara lain, mandi, memcuci atau buang air besar (12%). Sehingga, sungai dianggap tempat yang kotor dan bukan suatu yang harus dijadikan orientasi atau mengarah ke sekitarnya. Adapun yang menjawab tidak tahu sebesar 24%. Bagi sebagian besar masyarakat sungai masih dianggap penting keberadaannya (88%). Penduduk mengganggap sungai penting karena masih digunakan untuk kegiatan sehari-hari mereka (92%). Adapun alasan lain mengganggap penting yaitu, Sungai Deli masih bernilai sejarah karena pernah digunakan sebagai moda trasnportasi pada masanya (8%). Tetapi, tidak semua penduduk masih mengganggap keberadaan sungai penting. Terdapat 4% penduduk yang merasa pada saat ini sungai kurang penting karena airnya tidak bisa dimanfaatkan semua orang. Sebesar 8% penduduk juga menganggap Sungai Deli tak lagi penting terhadap permukiman Kampung Badur karena cenderung berpotensi menyebabkan banjir di daerah tersebut.

Beberapa pendapat dari penduduk merasa ingin berpindah tempat untuk medapatkan tempat tinggal yang lebih layak dan nyaman ditinggali (28%). Selain itu, keingin untuk berpindah juga didasari oleh kekhawatiran penduduk akan penggusuran yang sewaktu-waktu dapat terjadi di daerahnya (8%). Tetapi, sebagian besar masyarakat yang menganggap sudah nyaman tinggal di Kampung Badur belum mempunyai keinginan untuk berpindah (48%). Alasan lain juga didasari oleh aspek

98

ekonomi yang terbatas, sehingga mereka mengganggap tidak mempunyai penghasilan lebih apabila berpindah dan mencari tempat tinggal lain (12%). Sebanyak 4% penduduk juga belum ingin berpindah dikarenakan rumah yang mereka tempati merupakan peninggalan dari orang tua mereka.

Dalam dokumen Struktur Permukiman di Kampung Badur (Halaman 54-68)

Dokumen terkait