• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII KESIMPULAN

7.2 Saran

Kampung Badur mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi permukiman yang lebih baik. Dalam hal ini, perlu adanya dukungan dari pemerintah untuk merencanakan Kampung Badur menjadi permukiman yang terencana. Pemerintah diharapkan dapat memberikan pemahaman pada masyarakat setempat untuk mewujudkan area hunian yang layak. Selain itu, pengaturan kebijakan yang sesuai dapat memberikan acuan bagi masyarakat untuk membangun ruang hunian

mereka sesuai dengan standarisasi dalam membangun rumah. Tetapi, tetap memerlukan pendekatan pada keadaan sosial yang terdapat di Kampung Badur. Sehingga, masyarakat setempat juga dapat memahami pentingnya menjadikan area hunian mereka sebagai tempat tinggal yang resmi dan layak untuk ditinggali.

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Struktur Permukiman Tidak Terencana

Suatu permukiman terbentuk dengan adanya kebijakan yang didukung oleh pemerintah. Kebijakan tersebut umumnya dirancang untuk menjadi acuan dalam membangun suatu kawasan perumahan. Namun, sering sekali kebijakan tersebut ditujukan untuk kelompok menengah keatas. Sedangkan pengaturan untuk tempat tinggal bagi kelompok menengah kebawah tidak diatur dengan tepat. Dari hal tersebut, dapat diamati aspek sosial dan tingkat ekonomi dari seseorang akan berpengaruh dalam menentukan tempat tinggal.

Adapun struktur permukiman yang memberikan pengaruh dalam terbentuknya suatu ruang hunian terdiri dari beberapa aspek. Aspek tersebut dapat berupa fisik dan juga nonfisik (Eldefrawi, 2013). Beberapa aspek tersebut antara lain:

2.1.1. Sosial morfologi permukiman

Dalam suatu perkembangan struktur fisik pada permukiman tidak terencana diamati dari pola-pola khusus, aksesibilitas, sirkulasi, dan ruang-ruang bersosial yang membentuk dimensi ruang. Selain itu, bentuk fisik juga dapat dilihat dari jalan, plot dan pola bangunan yang menghubungkan sosial dari penghuninya.

8

b. Proliferasi : Mengundang kerabat untuk ikut menetap, menciptakan suatu ruang hunian dan menciptakan sosialisasi antar penghuni.

c. Pengenalan : Akibat terjadinya perpindahan kerabat menyebabkan pengembangan struktur fisik dari permukiman tersebut sesuai dengan hubungan sosial antar kelompok. Lebar jalan dan pola bangunan tercipta berdasarkan kebutuhan, interaksi dan korelasi.

2.1.2. Sosial – ekonomi

Membangun suatu permukiman yang tidak terencana, tentu juga berhubungan dengan aspek ekonomi. Walaupun dalam konteks permukiman tidak terencana sebagian besar dihuni oleh kelompok menengah kebawah. Mereka tetap memerlukan uang atau biaya dalam membangun tempat tinggalnya. Dengan memenuhi kebutuhan tersebut, tentu akan tercermin pada bentuk fisik rumah tinggal mereka. Adapun rumah tinggal yang terbentuk, tentunya tidak sesuai dengan standarisasi tempat tinggal yang tepat dan juga penggunaan material yang sesuai. Dimensi dari ruang hunian, umumnya akan berbeda apabila dibandingkan dengan rumah pada permukiman terencana.

2.1.3 Pola Jalan

Pada permukiman tidak terencana, pola jalan yang ada umumnya menggunakan berbagai macam dimensi yang berbeda. Jalan tidak hanya digunakan

9

sebagai jalur penghubung antar ruang, tetapi juga sebagai ruang bersosialisasi. Selain itu, jalan juga digunakan untuk mendukung kegiatan yang akan diadakan di permukiman tersebut. Sehingga, dengan adanya pola yang terbentuk menjadikannya sebagai ruang yang dapat mendukung interaksi antar penghuni. Selain itu, fungsi lain dari jalan juga dapat sebagai :

a. Jalan sebagai tambahan rumah

Ruang yang tercipta pada jalan yang berada di depan rumah, dapat dijadikan halaman atau teras untuk melakukan interaksi antar tetangga.

b. Jalan sebagai lahan kerja

Aktivitas atau pekerjaan yang dilakukan diluar rumah menjadikan penghuni dapat melakukannya tanpa berada jauh dari rumah. Hal tersebut dapat memudahkan penghuni dalam mengawasi tempat tinggalnya.

c. Jalan sebagai ruang komersil

Beberapa penghuni sering mencari mata pencaharian lain untuk memenuhi kebutuhannya sehingga, dengan ruang yag tersedia dapat dimanfaatkan untuk mencari pekerjaan lain. Sabagai contoh, beberapa penghuni membuka warung didaerahnnya. Umumnya, mereka mendirikan warung pada ruang-ruang yang dapat diakses. Sehingga, jalan atau sirkulasi sering dijadikan tempat dalam

10

membangun warung karena keterbatasan lahan dan juga selalu dilalui oleh penghuni setempat.

2.1.4 Bentuk dan Pola Bangunan

Suatu permukiman informal pada umumnya, dibentuk dengan pola ruang hunian yang mendukung keseharian mereka. Sebagai contoh, ruang hunian terbentuk untuk mendukung mata pencaharian mereka yang mempunyai jarak tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Contoh lain yaitu, terdapat kawasan perdagangan yang menjadikan para pendatang ingin tinggal di kawasan tersebut agar mudah untuk mengakses lokasi yang dapat memberikan peluang pekerjaan.

2.1.5 Permukiman Tidak Terencana

Dalam suatu kawasan atau perkotaan, kenyataan tumbuhnya permukiman tidak terencana tidak dapat dihindari. Dalam hal ini, permukiman tidak terencana timbul dengan adanya dorongan kebutuhan akan tempat tinggal. Permukiman tidak terencana sering sekali membentuk suatu ruang hunian yang dibangun pada area yang tidak resmi direncanakan sebagai ruang hunian. Ciri khas yang paling menonjol pada permukiman tidak terencana yaitu terlihat pada bangunan-bangunan hunian berkualitas rendah yang tidak mempunyai infrastruktur dan fasilitas sosial yang memadai (Ali & Sulaiman, 2006. Hal 2). Pada prinsipnya, suatu permukiman tidak terencana dibangun atas dasar ingin memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal bagi masyarakat yang mempunyai tingkat ekonomi rendah. Dalam hal ini, terbentuknya

11

suatu permukiman yang tidak terencana selalu menjadi permasalahan yang terdapat di kota-kota besar. Permukiman tidak terencana ini kemudian akan berkembang menjadi lebih besar. Adapun ciri khas yang terlihat jelas pada suatu permukiman tidak terencana yaitu, sebagian besar ruang hunian dibangun tidak sesuai standar perumahan. Sehingga, sering sekali bangunan-bangunan tersebut hanya dibangun seadanya dan tidak mementingkan pengaturan ruang hunian yang layak. Selain itu, infrastruktur yang tidak memadai juga menjadi ciri khas pada permukiman tidak terencana. Fasilitas-fasilitas sosial seperti, pelayanan kesahatan, tempat ibadah maupun sarana pendidikan tidak dirancang dengan baik bahkan, beberapa daerah tidak mempunyai ruang sosial tersebut di sekitar kawasannya.

Permukiman tidak terencena memang tidak selalu mempunyai karakteristik yang sama di setiap daerah. Permukiman tidak terencana selalu dipengaruhi aspek yang berbeda-beda pada suatu kawasan. Tetapi, secara garis besar ciri-ciri permukiman tidak terencana dapat terlihat dengan memahami karakteristik yang timbul di kawasan tersebut. Karakteristik pada suatu permukiman tidak terencana dapat ditinjau dengan mengamati beberapa faktor, antara lain: (1) Kepemilikan tanah, (2) Struktur dan fasilitas sosial, (3) Infrastruktur, (4) Ekonomi dan finansial, serta (5) Sosial-budaya (Onyekachi, 2014). Karakteristik pada permukiman tidak terencana dapat diamati dari beberapa faktor yang terdapat di daerah tersebut. Walaupun setiap permukiman tidak terencana mempunyai karakteristik yang berbeda dengan area lain, tetapi ciri khas umum tersebut dapat menjadi suatu acuan dalam menilai suatu

12

permukiman tersebut dibangun tidak terencana. Faktor kepemilikan tanah adalah salah satu hal paling umum yang dapat diamati dari permukiman tidak terencana. Pada dasarnya, pemerintah memiliki lahan yang sangat banyak. Beberapa digunakan untuk pembangunan suatu kawasan secara berkelanjutan dan ada juga yang bersifat pribadi. Adapun, kepemilikan lahan dari pemerintah tersebut tentunya sudah mempunyai perencanaan dan pengembangan kawasan yang lebih baik. Tetapi, pada perencanaan suatu kawasan tersebut tentu tidak langsung dapat diwujudkan oleh pemerintah karena adanya permasalahan mengenai pendanaan dan persetujuan. Sehingga, dengan tidak adanya kejelasan mengenai suatu lahan yang dimiliki pemerintah para penduduk semakin terdesak akan kebutuhan tempat tinggal mulai menempati ruang-ruang yang berpotensi untuk ditinggali. Dengan dibangunnya permukiman di daerah tersebut, tentu para penghuni tidak mempunyai surat atas kepemilikan tanah karena pada dasarnya lahan yang mereka gunakan tidak dan atau belum diperuntukkan sebagai permukiman yang resmi oleh pemerintah. Selain itu, faktor struktur juga terlihat pada bangunan-bangunan di permukiman tidak terencana. Bangunan pada permukiman tersebut, umumnya dibangun secara tidak permanen dan tidak sesuai standar perumahan. Adapun fasilitas sosial sering sekali tidak dibangun secara layak untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupan. Sehingga, suatu ruang untuk beraktifitas atau interaksi sosial antar penghuni setempat hanya terbentuk secara sederhana. Infrastuktur yang kurang memadai juga terlihat pada permukiman yang tidak terencana. Hal tersebut didorong oleh faktor kepemilikan tanah yang tidak

13

resmi, sehingga menimbulkan rasa takut akan penghuni lokal untuk menuntut perbaikan infrastuktur yang lebih baik di daerahnya oleh pemerintah. Adapun hal tersebut terjadi, juga didorong oleh tingkat ekonomi dan finansial yang rendah pada penghuni setempat. Sehingga, mereka tidak dapat memperbaiki infrastruktur daerahnya maupun ruang huniannya. Sosial-budaya juga tidak dapat dipisahkan dari faktor terbentuknya suatu permukiman tidak terencana. Umumnya, suatu permukiman tidak terencana dihuni oleh penghuni yang mempunyai persamaan sosial maupun budaya. Sebagai contoh, adanya suatu perkampungan yang dihuni oleh mayoritas suku maupun suatu etnik atau permukiman yang sebagian besar ditempati oleh masyarakat yang bermata pencaharian tertentu.

Suatu permukiman tidak terencana juga dapat berkembang semakin besar apabila tidak adanya kebijakan yang jelas dalam mengatasi permasalahn tersebut. Salah satu contohnya, terdapat permukiman yang tumbuh secara tidak terencana pada kota Kaludjerica, Serbia. Struktur perkotaan pada Kaludjerica terjadi secara spontan dan tidak beraturan. Tidak ada bentuk yang pasti dalam mengatur arah pembangunan permukiman di area tersebut. Bentuk dari blok-blok perumahan terjadi secara tidak teratur, ukuran lahan yang berbeda-beda, orientasi bangunan yang tidak tepat, dan posisi antar rumah yang tidak jelas. Sehingga, privasi terhadap antar ruang hunian sangat ada yang membatasi (Radulovic dkk, 2013. Hal 7/13). Pola permukiman dapat dilihat pada gambar 2.1. Pada permukiman tidak terencana tersebut, dapat terlihat jelas bahwa pola yang terbentuk terjadi secara abstrak. Permukiman tumbuh secara

14

spontan pada area-area yang masih kosong dengan tidak menggunakan perencanaan yang seusai terlebih dahulu. Pola sirkulasi jalan juga terbentuk secara tidak beraturan dan tidak adanya pengaturan yang jelas pada sistem sirkulasi.

Gambar 2.1 Area Permukiman Tidak Terencana di Kaludjerica, Serbia (Sumber : Republic geodetic authority of Serbia)

Selain itu, area hunian tidak dilengkapi dengan area terbuka atau halaman pada bangunannya. Pada sirkulasi juga terlihat tidak adanya jalur pedestrian yang dirancang. Bangunan rumah dan jalan juga tidak mempunyai batas maupun standar jarak yang harus dipenuhi. Adapun, susunan bangunan terbentuk secara tidak teratur dan tidak mempunyai orientasi yang jelas serta antar bangunan tidak mempunyai privasi yang terjaga. Sebagai contoh, dalam satu blok susunan bangunan rumah dapat saling berhadapan, sejajar maupun berbentuk secara diagonal. Sehingga, ruang-ruang

15

kosong akan terbentuk karena tidak adanya pengaturan akan posisi bangunan untuk mendapatkan area yang sesuai dan dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.

2.2 Keadaan Sosial di Permukiman Tidak Terencana

Dalam suatu permukiman tidak terencana, keadaan sosial dapat menjadi faktor penting yang mempengaruhi terbentuknya daerah tersebut. Keadaan sosial tersebut dapat didorong oleh persamaan perilaku, aktivitas ekonomi maupun interaksi antar penghuni yang kemudian membentuk suatu ruang hunian (Hurskainen, 2004). Perbedaan kriteria pada suatu permukiman tidak terencana terlihat pada aspek fisik, hubungan spasial, sosial dan perilaku penghuni. Kenyataannya, pertumbuhan penghuni ilegal terjadi sangat pesat dengan menempati area tertentu maupun membangun tempat tinggal permanen. Populasi yang berkembang umumnya didukung oleh keadaan sosial dan latar belakang ekonomi yang sama. Sehingga, setiap permukiman tentu mempunyai karakteristik yang berbeda dalam membentuk area huniannya. Dalam suatu permukiman yang tumbuh secara tidak terencana sebagian besar didominasi oleh suatu persamaan keadaan sosial didalamnya. Adanya hubungan spasial membentuk suatu ruang yang dapat digunakan para penghuni untuk berinteraksi atau sebagai area hunian. Pertumbuhan permukiman tidak terencana juga akan mengalami peningkatan apabila terdapat persamaan sosial pada penghuninya. Semakin banyak pertumbuhan populasi pada suatu kawasan juga akan mempengaruhi

16

perkembangan permukiman tidak terencana. Keadaan sosial sering sekali membentuk suatu ruang yang kemudian berkembang menjadi permukiman yang tidak terencana. Pada permukiman tersebut, tentu akan ditemukan pola-pola yang berkaitan dengan ruang hunian, ruang berkumpul, pola jalan dan bentuk permukiman. Selain itu, setiap daerah juga akan akan mempunyai pola yang berbeda karena dapat dipengaruhi lingkungan, topografi lahan maupun fungsi yang berbeda. Adanya perkembangan suatu permukiman yang tidak terencana pasti terjadi secara spontan dan tidak mempunyai perencanaan maupun pengaturan terlebih dahulu. Walaupun, pada dasarnya suatu permukiman tidak terencana terjadi atas persamaan keadaan sosial, tetapi tidak akan pernah ditemukan karakteristik yang benar-benar identik pada kawasan-kawasan tersebut (Fernandez, 2002).

Gambar 2.2 Pola Grid di permukiman kumuh, Lima, Peru (Sumber: Fernandez, 2002)

Pada permukiman tersebut terlihat jelas adanya pola permukiman yang terjadi membentuk persegi panjang mengikuti garis-garis jalan (gambar 2.2). Susunan pada

17

area hunian juga teratur dan berorientasi ke jalan. Tetapi, secara keseluruhan pola grid tersebut tidak terjadi secara teratur dan lurus karena adanya kondisi lingkungan yang tidak mendukung pola tersebut. Sehingga, kawasan tersebut terlihat membentuk sebagian pola grid teratur dengan persegi dan terdapat juga grid yang tidak lurus.

Gambar 2.3 Pola grid permukiman kumuh Tarna Rosa, Lima, Peru. (Sumber: Fernandez, 2002)

Pada contoh permukiman lainnya yang terlihat pada gambar 2.3, sangat jelas terlihat pola grid yang teratur membentuk ruang-ruang hunian secara persegi panjang. Sirkulasi jalan terbentuk secara teratur dan saling berhubungan menjadikan akses pada daerah tersebut lebih mudah untuk dijangkau. Adapun, ruang-ruang hunian berorientasi pada sirkulasi jalan. Sehingga, setiap bangunan akan mendapatkan posisi bangunan yang menghadap ke jalan. Dengan adanya pola grid yang jelas akan membentuk sudut-sudut jalan yang akan banyak dilewati. Pada permukiman tersebuta

18

tersebut area hunian terbagi menjadi 2 blok permukiman. Salah satu blok terbentuk menjadi pola persegi panjang dan mempunyai akses sirkulasi yang sejajar dan jelas.

Gambar 2.4 Pola grid pada permukiman kumuh Dos de Mayo et Primero de Mayo Slums, Lima – Peru (Sumber: Fernandez, 2002)

Kemudian, terdapat 2 pola grid yang terbentuk pada kawasan yang terlihat pada gambar 2.4. Pola grid yang sejajar telihat pada sisi permukiman di bagian kiri, sedangkan pada area kanan terbentuk garis pola yang tidak sejajar. Pola pada area bagian kanan terbentuk secara abstrak dan tidak berbentuk persegi. Adapun, ruang hunian yang terbentuk pada area kanan, terlihat mempunyai dmensi yang berbeda- beda. Sirkulasi pada daerah tersebut juga terbentuk secara abstrak karena mengikuti bentuk lahan yang tidak lurus.

Gambar 2.5 Pola permukiman kumuh Cerro El Agustino dan Santa Clara de Bella Luz Slums di Lima – Peru.

19

(Sumber: Fernandez, 2002)

Selanjutnya pada permukiman kumuh lainnya yang terdapat di Lima, Peru terbentuk pola yang berbeda yaitu terbentuk secara organik (gambar 2.5). Pola organik yaitu pertumbuhan permukiman yang terjadi secara alami. Pola dari ruang- ruang hunian dan sirkulasi terbentuk secara abstrak. Tidak ada pola grid yang teratur pada permukiman tersebut. Dimensi-dimensi dari ruang hunian yang terbentuk juga terjadi secara tidak teratur.

Gambar 2.6 Pola linear pada permukiman kumuh di MamedeSalvador de Bahia – Brazil (Sumber: Fernandez, 2002)

Pada gambar 2.6, terlihat pola yang terbentuk merupakan permukiman yang terjadi dengan mengikuti tofografi lahan. Adapun ruang hunian dan sirkulasi jalan terbentuk dengan adanya bentuk kontur yang berbeda-beda pada kawasan tersebut. Ruang hunian dibangun mengelilingi garis kontur di kawasan tersebut. Ruang hunian yang terbentuk mengikuti garis kontur. Semakin rendah ketinggian kontur tanah akan

20

semakin banyak dibangun ruang hunian dan begitu juga sebaliknya. Sehingga terlihat pada gambar tersebut, di garis kontur yang lebih tinggi bangunan juga semakin sedikit ditemui. Adapun akses jalan yang lebih besar untuk dilalui terdapat pada ketinggian yang lebih rendah. Maka dari itu, terlihat bangunan-bangunan juga lebih banyak tumbuh didaerah dengan ketinggian rendah dan dekat dengan jalan.

Gambar 2.7 Pola radial pada permukiman kumuh di Vila Natal

(Sumber: Physical And Spatial Characteristic of Slum Territories Vulnerable to Natural Disaster)

Pada permukiman yang terlihat pada gambar 2.7, sebagian besar bangunan berorientasi ke kontur yang lebih tinggi. Pola yang terbentuk yaitu radial, dengan adanya ruang-ruang yang terbentuk dengan pola bertingkat sesuai dengan ketinggian tanah yang berbeda. Pola radial membagi 5 blok permukiman secara tegak lurus walaupun tofografi pada lahan tidak rata. Pada permukiman tersebut, dapat terlihat pola seperti terasering yang disusun bertingkat dan sesuai dengan ketinggian konturnya.

21

Gambar 2.8 Pola paralel yang mengikuti garis kontur. (Sumber: Fernandez, 2002)

Pada permukiman yang terlihat pada gambar 2.8, ruang hunian akan terbentuk secara diagonal dari garis kontur. Sehingga, ruang hunian yang tercipa akan mempunyai kemiringan yang sama dengan level kontur. Permukiman ini tidak mengikuti garis kontur secara horizontal, tetapi membentuknya dengan garis vertikal. Adapun, ruang yang terbentuk umumnya tidak dibangun secara berdekatan tetapi hanya berdiri beberapa rumah pada ketinggian tertentu.

Dari beberapa contoh tersebut, dapat dilihat banyaknya pola-pola yang terbentuk pada permukiman kumuh yang terjadi secara tidak terencana. Namun, tidak semua permukiman kumuh mengakomodasi wujud kemiskinan pada perkotaan dan atau dengan kata lain semua penduduk setempat selalu miskin. Dalam menghadapi tantangan dari daerah kumuh, peraturan yang berhubungan dengan keberlanjutan kondisi permukiman harus memiliki sistem yang jelas. Hal tersebut dapat dilakukan

22

dengan cara mengamati aktifitas sosial yang berjalan di daerah tersebut, melakukan pendekatan dengan penghuni lokal dan merencanakan peningkatan dari ruang hunian, infrastruktur dan kondisi lingkungan (Onyekachi, 2014. Hal 424). Pada dasarnya, suatu permukiman yang terbentuk secara tidak terencana selalu dikaitkan dengan sosial-ekonomi dari penghuni setempat. Dalam hal ini, sebagian besar penghuni dari permukiman tersebut berasal dari tingkat ekonomi yang rendah. Tetapi, bukan berarti pada setiap permukiman tidak terencana selalu menggambarkan wujud kemiskinan pada kota yang ditempatinya. Permukiman tidak terencana dapat terbentuk dari berbagai alasan dan tidak hanya berasal dari masalah perekonomian. Keadaan sosial tentu memberi pengaruh pada terbentuknya permukiman tersebut, tetapi tetap tidak dapat dijadikan alasan utama. Pemerintah juga mempunyai andil atas terbentuknya permukiman tidak terencana. Hal tersebut dapat dimulai dengan tidak adanya perencanan yang tepat atas suatu lahan maupun penangaan dan solusi atas pertumbuhan populasi yang semakin banyak. Maka dari itu, sangat diperlukan adanya pendekataan pada penghuni dari permukiman tidak terencana. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang terjadi, sehingga kemudian dapat mencari solusi untuk memperbaiki maupun melakukan perencanaan pada daerah tersebut. Tetapi, sebagian besar permasalahan atas suatu permukiman tidak terencana selalu dapat mengandalkan peran pemerintah dalam mencari solusi. Sering sekali suatu permukiman tidak terencana mulai terbentuk menjadi lebih besar tanpa terdapat peran pemerintah dalam pengembangannya. Para penduduk suatu permukiman tentu tidak

23

dapat terus menggantungkan setiap kebutuhan pada pemerintah maupun otoritas lokal. Penduduk juga diharuskan memiliki pengetahuan akan permasalahan, penyebab dan solusi yang memungkinkan untuk daerah huniannya. Penduduk tentu mempunyai kesempatan dalam memanfaatkan dan mengolah ruang hunian mereka. Penduduk juga tetap memerlukan pengawasan, pelatihan maupun bimbingan dari pihak berwenang. Hal tersebut dilakukan, agar penduduk suatu permukiman dapat mengambil langkah dan cara sendiri untuk memperbaiki daerahnya, tetapi masih tetap berada pada peraturan yang telah disepakati (Hurskainen, 2004). Pada permukiman tidak terencana, sering sekali ditemukan permasalahan yang berkaitan dengan pengembangan infrastuktur di kawasannya. Hal tersebut terjadi karena suatu permukiman yang tumbuh secara tidak terencana tentu memerlukan fasilitas-fasilitas sosial yang sebelumnya tidak dirancang. Sehingga, ketika suatu permukiman itu mulai berkembang, sangat diperlukan adanya infrastruktur yang mendukung dan fasilitas sosial yang memadai. Tetapi, pada suatu permukiman tidak terencana hal tersebut tidak direncakanan terlebih dahulu. Para penghuni hanya berfikir untuk membangun huniannya dan tidak merencanakan untuk mengatur ruang-ruang publik maupun sarana yang diperlukan nantinya. Sehingga, ketika suatu permukiman tidak terencana kemudian mengalami suatu kebutuhan ataupun permasalahan, pemerintah tidak dapat selalu memberikan bantuan langsung pada daeah tersebut. Hal tersebut juga didasari atas kepemilikan lahan yang tidak resmi oleh para penghuni. Sehingga, sering sekali pemerintah tidak dapat melakukan tindakan yang tepat dalam mengatasi

24

permasalahan. Maka dari itu, para penghuni setempat perlu memahami permasalahan yang terjadi di daerahnya sendiri agar solusi bagi ruang hunian tersebut dapat ditemukan.

2.3 Pengaruh Aspek Ekonomi Terhadap Terbentuknya Permukiman Tidak Terencana

Pada permukiman tidak terencana tentu terbentuk melalui alasan-alasan yang mempengaruhinya. Aspek ekonomi turut memberikan suatu alasan dalam terbentuknya permukiman yang tumbuh secara tidak terencana. Adanya suatu perubahan yang terjadi pada suatu kawasan turut memberi peran dalam pertumbuhan permukiman tersebut. Salah satu faktor tersebut adalahnya peningkatan migrasi pada suatu kawasan. Perubahan yang menyebabkan peningkatan migrasi umunya terjadi akibat adanya peluang pekerjaan baru berdasarkan dua sudut pandang. Pertama, adanya lapangan pekerjaan baru memberikan kesempatan bagi para pendatang untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik dari segi ekonomi. Kedua, apabila diamati melalui perspektif berbeda dengan adanya para pendatang menjadikan populasi manusia di kawasan tersebut semakin meningkat. Peningkatan tersebut yang dapat memberikan pengaruh pada terciptanya ruang-ruang yang digunakan sebagai tempat tinggal para pendatang. Sehingga, dalam memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal diwujudkan dengan cara mencari area hunian yang dirasa tepat sesuai dengan

Dalam dokumen Struktur Permukiman di Kampung Badur (Halaman 103-154)

Dokumen terkait