BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2. Kajian tentang Tindak Pidana
Mengenai isi dari pengertian dari tindak pidana memang tidak ada satu kesatuan mengenai pengertian tindak pidana dari pendapat para sarjana. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana istilah Tindak Pidana sendiri dikenal dengan perkataan “strafbaar feit”. Stafbaar feit sendiri merupakan terjemahan dari istilah “Tindak Pidana” yang sering dipakai dalam hukum pidana. “Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan tindakan hukuman pidana. Dan pelaku ini dapat dikenakan hukuman pidana” (Wirjono Prodjodikoro, 2002:55).
“Menurut Moeljatno menganggap lebih tepat menggunakan istilah “Perbuatan Pidana” sebagai terjemahan dari Tindak Pidana” yang didefinisikan sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut” (Moeljatno dalam Adami Chazawi, 2002:71).
“Menurut Pompe, merumuskan strafbaar feit atau Tindak Pidana sebagai tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum” (Pompe dalam P.A.F. Lamintang, 1997:183).
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hokum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu (Moeljatno, 2008:59).
“J. Baumann menyebutkan tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan” (J. Baumann dalam Sudarto, 1990:42).
Dari sejumlah pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang bersifat melawan hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana.
b. Unsur-unsur Tindak Pidana
Setelah kita mengetahui definisi dari istilah tindak pidana, tentunya kita perlu mengetahui unsur-unsur tindak pidana. Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan pendapatnya
mengenai unsur-unsur tindak pidana, begitu pula dengan Kitab-kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang memuat unsur tindak pidana. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a) Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah: 1) Kelakuan dan akibat;
2) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan; 3) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
4) Unsur melawan hukum yang objektif, yaitu yang menunjuk kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai perbuatan, misalnya Pasal 167 bahwa terdakwa tidak mempunyai wewenang untuk memaksa masuk, karena bukan pejabat Kepolisian atau Kejaksaan;
5) Unsur melawan hukum subjektif, yaitu terletak pada hati sanubari terdakwa sendiri, misalnya Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai pencurian, pengambilan barang orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang tersebut secara melawan hukum (Moeljatno 2008:69).
b) Menurut D. Simons, unsur-unsur strafbaar feit ialah:
1) Perbuatan manusia (positif atau negative; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);
2) Diancam dengan pidana; 3) Melawan hukum;
4) Dilakukan dengan kesalahan;
5) Oleh orang yang bertanggung jawab (Simon dalam Sudarto, 1990:41).
c) Dalam KUHP, diketahui adanya 8 unsur tindak pidana, yaitu: 1) Unsur tingkah laku;
2) Unsur melawan hukum; 3) Unsur kesalahan;
4) Unsur akibat konstitutif;
5) Unsur keadaan yang menyertai;
6) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana; 7) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;
8) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana (Adami Chazawi, 2002:81-82).
Mengingat banyaknya rumusan unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh beberapa ahli hukum dan Undang-undang, tidak
ada kesatuan pendapat mengenai unsur tindak pidana. Namun dapat disimpulkan unsur tindak pidana terdiri dari:
a) Unsur perbuatan
perbuatan atau tindakan orang merupakan unsur pertama dari tindak pidana. Perbuatan orang adalah titik hubungan yang menjadi awal dari terjadinya tindak pidana. Perbuatan mengandung arti berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Berbuat sesuatu adalah suatu perbuatan aktif dari seseorang yang memerlukan gerakan tubuh.
“Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk tingkah laku yang untuk mewujudkannya atau melakukannya diperlukan wujud gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian tubuh, misalnya mengambil (362) atau memalsu dan membuat secara palsu (268)” (Adami Chazawi, 2002:83).
Sedangkan tidak berbuat sesuatu adalah suatu perbuatan tidak melakukan aktivitas tertentu dengan tubuhnya, dimana seharusnya seseorang tersebut melakukan perbuatan aktif pada saat tertentu. Dengan tidak berbuat demikian seseorang itu disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban hukumnya, contohnya perbuatan tidak memberikan pertolongan (531), membiarkan (304), meninggalkan (308), tidak segera memberitahukan (164), tidak datang (522) (Adami Chazawi, 2002:83).
b) Unsur sifat melawan hukum
“Dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dengan pidana” (Moeljatno, 2008:140).
Unsur ini merupakan unsur yang penting dalam tindak pidana, karena perbuatan melawan hukum jelas merupakan tindakan yang tidak sesuai dan bertentangan dengan hukum yang berlaku dimana pun.
Unsur melawan hukum bukan suatu penilaian yang objektif terhadap sipembuat melainkan terhadap perbuatannya. Unsur ini memiliki dua ajaran yaitu sifat melawan hukum formil dimana dapat dikatakan melawan hukum apabila bertentangan dengan Undang-undang (hukum tertulis) dan ajaran sifat melawan hukum materiil yaitu melawan hukum karena bertentangan dengan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. c) Unsur kesalahan
Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam Undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungkan kepada orang tersebut (Sudarto, 1990:85).
Untuk adanya pemidanaan haruslah ada kesalahan pada sipembuat, maka dari itu berlakulah asas “Tiada Pidana Tanpa kesalahan”. Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48/2009) berbunyi:”Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang
didakwakan atas dirinya”. Jadi, unsur kesalahan sangat penting untuk menilai akibat dari perbuatan seseorang.
d) Unsur kemampuan bertanggungjawab
Dalam KUHP kita tidak secara jelas merumuskan pengertian kemampuan bertanggungjawab. Namun ada satu pasal yang berhubungan dengan kemampuan bertanggungjawab, yaitu Pasal 44 ayat 1 KUHP:”Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
Dalam Pasal 44 KUHP memang tidak secara jelas memuat apa yang dimaksud dengan kemampuan bertangungjawab, tetapi di Pasal tersebut terdapat alasan pada diri sipembuat sehingga perbuatan yang dilakukannya itu tidak dapat dipertanggung jawabkan.
e) Unsur memenuhi rumusan Undang-Undang
Unsur ini menerangkan bahwa untuk ada tidaknya tindak pidana, maka Undang-undang itu sendiri harus mengatur sebelum perbuatan itu dilakukan.
Dalam Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi ”suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.
Ini berarti bahwa orang yang telah melakukan suatu tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang itu hanya dapat dituntut dan dihukum berdasarkan Undang-undang Pidana atau berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang berlaku, pada waktu orang tersebut telah melakukan tindakannya yang terlarang dan diancam dengan hukuman (P.A.F. Lamintang, 1997:154).
c. Jenis-jenis Tindak Pidana
Tindak pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu: a) Tindak pidana dibedakan antara kejahatan (misdrijven) yang
dimuat dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) yang dimuat dalam buku III.
Pembagian dari tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran” itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita menjadi Buku ke-2 dan Buku ke-3 melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan pidana sebagai keseluruhan (P.A.F. Lamintang, 1997:211). Dengan dibedakannya tindak pidana antara kejahatan dan pelanggaran secara tajam dalam KUHP, mempunyai konsekuensi berikutnya dalam hukum pidana materiil, antara lain:
1) Dalam hal percobaan, yang dapat dipidana hanyalah terhadap percobaan melakukan kejahatan saja, dan tidak ada percobaan pelanggaran.
2) Mengenai pembantuan, yang dapat dipidana hanyalah pembantuan dalam hal kejahatan, dan tidak dalam hal pelanggaran (56).
3) Asas personaliteit hanya berlaku pada warga Negara RI yang melakukan kejahatan (bukan pelanggaran) diluar wilayah hukum RI yang menurut hukum pidana Negara asing tersebut adalah berupa perbuatan yang diancam pidana (Pasal 5 ayat 1 sub 2).
4) Dalam hal melakukan pelanggaran, pengurus atau anggota pengurus atau anggota komisaris hanya dipidana apabila pelanggaran itu terjadi adalah atas sepengetahuan mereka (59), jika tidak, maka pengurus, anggota pengurus atau komisaris itu tidak dipidana. Hal ini tidak berlaku pada kejahatan.
5) Dalam ketentuan perihal syarat pengaduan bagi penuntutan terhadap tindak pidana (aduan) hanya berlaku pada jenis kejahatan saja, dan tidak pada jenis pelanggaran.
6) Dalam hal tenggang waktu daluwarsa hak Negara untuk menuntut pidana dan menjalankan pidana pada pelanggaran relative lebih pendek daripada kejahatan (78, 84).
7) Hapusnya hak Negara untuk melakukan penuntutan pidana karena telah dibayarnya secara sukarela denda maksimum sesuai yang diancamkan serta biaya-biaya yang telah dikeluarkan jika penuntutan telah dimulai, hanyalah berlaku pada pelanggaran saja (82 ayat 1).
8) Dalam hal menjatuhkan pidana perampasan barang tertentu dalam pelanggaran-pelanggaran hanya dapat dilakukan jika dalam UU bagi pelanggran tersebut ditentukan dapat dirampas (39 ayat 2).
9) Dalam ketentuan mengenai penyertaan dalam hal tindak pidana yang dilakukan dengan alat percetakan hanya berlaku bagi kejahatan-kejahatan saja (61, 62), dan tidak berlaku pada pelanggaran.
10) Dalam hal penadahan, benda obyek penadahan haruslah diperoleh dari kejahatan saja, dan bukan dari pelanggaran. (480).
11) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia hanya diberlakukan bagi setiappegawai negeri yang di luar wilayah hukum Indonesia melakukan kejahatan jabatan (7), dan bukan pelanggaran jabatan.
12) Dalam hal perbarengan perbuatan sistem penjatuhan pidana dibedakan antara perbarengan antara kejahatan dengan kejahatan yang menggunakan sistem hisapan yang diperberat (verscherpteabsorptiestelsel, 65) dengan perbarengan perbuatan antara kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran yang menggunakan sistem kumulasi murni (zuivere cumulatiestelsel, 70) (Adami Chazawi, 120-122).
b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materiel delicten).
1) Tindak pidana formil adalah melakukan perbuatan yang dilarang, sehingga dapat diancam dengan hukuman oleh Undang-undang.
“ Perumusan tindak pidana formil tidak memperhatikan dan atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada perbuatannya” (Adami Chazawi, 2002:122). Contohnya, pencurian (362) untuk selesainya suatu pencurian dinilai pada selesainya perbuatan mengambil.
2) Tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang menimbulkan aikbat yang dilarang, oleh karena dengan menimbulkan akibat yang dilarang tersebut yang dapat dipertanggungjawabkan dan dipidana. Misalnya pada pembunuhan (338) inti larangan ialah menimbulkan kematian seseorang, bukan pada wujud menusuk, menembak, membacok atau memukul.
c) Menurut bentuk kesalahannya, dapat dibedakan tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan disengaja (culpose delicten).
1) “Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan” (Adami Chazawi, 2002:124).
Tindak pidana yang mengandung unsur kesengajaan, misal Pasal-pasal 187, 197, 245, 263, 338 KUHP.
2) Tindak pidana tidak dengan sengaja mengandung unsur kealpaan, yaitu tindak pidana yang unsur kesalahannya adalah berupa kelalaian, karena kurang hati-hati dan tidak
kesengajaan. Tindak pidana yang yang mengandung unsur kealpaan ini misalnya Pasal 114, 359, 360 KUHP.
d) Berdasarkan macam perbuatannya, dibedakan tindak pidana Aktif (Delik Commisionis) dan tindak pidana Pasif (Delik Omisionis).
1) Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif. (Adami Chazawi, 2002:125). Delik Commisionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang. Berbuat sesuatu yang dilarang,misalnya pencurian (362), penggelepan (372) KUHP.
2) Tindak pidana Pasif adalah dapat dikatakan sebagai pengabaian suatu kewajiban hukum. Yaitu kondisi dimana mewajibkan seseorang dibebani hukum untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, yang apabila tidak dilakukan akan melanggar kewajiban hukumnya tadi.
e) Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya dibedakan Tindak Pidana Terjadi seketika dan Tindak Pidana Berlangsung Terus. 1) Tindak pidana terjadi seketika dirumuskan sebagai tindak
pidana yang untuk terwujudnya dalam waktu seketika saja, tindak pidana ini dapat disebut juga dengan aflopende delicten. Seperti misalnya tindak pidana pencurian (362), jika perbuatan mengambil selesai, maka tindak pidana itu pun akan selesai dengan sempurna.
2) “Tindak pidana berlangsung terus yaitu tindak pidana yang mempunyai cirri, bahwa keadaan terlarang itu berlangsung
terus, misalnya merampas kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP)” (Sudarto, 1990:58).
f) Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus.
1) Tindak Pidana umum adalah semua tindak pidana dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (Adami Chazawi, 2002:127).
2) Tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi tersebut. Misalnya tindak pidana Korupsi (UU No.31 Th 1999), Tindak Pidana Perbankan (UU No. Th1998) (Adami Chazawi, 2002:127).
3. Kajian tentang Pencurian