• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Daktiloskopi

3. Kajian tentang Pencurian B. Kerangka Pemikiran

BAB III : Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh dari penelitian. Berpijak dari rumusan masalah yang ada, maka dalam bab ini penulis membahas 3 pokok permasalahan yaitu peranan Daktiloskopi dalam mengungkapkan kasus tindak pidana pencurian, kendala-kendala apa saja yang dihadapi Polres Sragen dalam mengungkapkan kasus tindak pidana pencurian dan bagaimana cara mengatasi kendala tersebut.

BAB IV : Penutup A. Simpulan B. Saran Daftar Pustaka Lampiran commit to user

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Pengertian Daktiloskopi

a. Istilah dan Pengertian Daktiloskopi

“Istilah Daktiloskopi yang berasal dari bahasa Yunani ‘daktulos berarti jari jemari, scopeen berarti mengamati atau meneliti. Daktiloskopi yaitu mengamati sidik jari khususnya garis-garis terdapat pada ruang ujung jari baik tangan maupun kaki atau ilmu yang memepelajari sidik jari untuk keperluan pengenalan kembali identifikasi orang” (http://stifin.com/?p=19).

“Daktiloskopi adalah ilmu yang mempelajari sidik jari untuk keperluan pengenalan kembali (identifikasi) terhadap orang” (A. Gumilang, 1993:82).

“Daktiloskopi adalah ilmu yang mempelajari sidik jari untuk keperluan pengenalan kembali identitas orang dengan cara mengamati garis yang terdapat pada guratan garis jari tangan dan telapak kaki” (http://id.wikipedia.org/wiki/Sidik_jari).

Dasar dari penggunaan sidik jari adalah tiap manusia mempunyai sidik jari yang berbeda satu dengan yang lainnya, sidik jari manusia tidak pernah berubah dari mulai lahir sampai mati.

Sehubungan dengan hal-hal diatas, maka menurut M. Karyadi :

Ternyata setelah diadakan penyelidikan dan penelitian berpuluh-puluh tahun oleh para ahlinya, memiliki sifat-sifat yang meyakinkan, ialah :

11 commit to user

a. Sidik jari yang dibentuk oleh alur-alur papilair pada setiap orang berbeda satu sama lain, meskipun mereka kakak beradik atau saudara kembar sekalipun. Juga pada seseorang tidak akan diketemukan sidik jarinya yang sama satu dengan yang lain di antara kesepuluh jarinya sendiri. Sifat tersebut sudah merupakan keyakinan yang tetap dan berlaku di dunia ini dengan tidak membeda-beda suku bangsa.

b. Gambar sidik jari pada seseorang tidak akan berubah bentuknya dari lahir sampai mati, walaupun pada saat-saat tertentu kulit jari mengalami perubahan, misalnya pembaharuan kulit dan lain sebagainya. Gambarnya hanya dapat berubah, karena keadaan yang tidak wajar, misalnya jari terbakar, kepotong atau teriris pisau atau rusak sedemikian rupa sehingga bentuk alur papilair berubah. Yang dapat berubah ialah besar-kecilnya gambar sidik jari, misalnya sidik jari bayi kemudian tumbuh menjadi besar setelah dewasa (M. Karyadi, 1976:3).

Menurut A.Gumilang, “Sidik jari adalah hasil reproduksi tapak-tapak jari, baik yang sengaja diambil atau dicapkan dengan tinta, maupun bekas yang ditinggalkan pada benda karena pernah terpegang atau tersentuh dengan kulit telapak (friction skin) tangan atau kaki” (A. Gumilang, 1993:82).

Kulit telapak adalah kulit yang terdapat pada bagian telapak tangan mulai dari pangkal pergelangan sampai kesemua ujung jari, dan kulit bagian dari telapak kaki mulai dari tumit sampai ke ujung jari, di mana terdapat garis-garis halus yang menonjol ke luar, satu sama lainnya dipisahkan dengan celah atau alur dan membentuk lukisan-lukisan tertentu (Penuntun Daktiloskopi Subdirektorat Identifikasi Reserse Polri, 1986:1). Kulit telapak terdiri dari dua lapisan yaitu:

a) Lapisan Dermal (lapisan kulit dalam) sering juga dinamakan kulit yang sebenarnya karena lapisan inilah yang menentukan bentuk garis-garis yang terdapat pada permukaan kulit telapak. Apabila lapisan dermal terbuka atau cacat, maka bekas luka atau cacat itu akan permanen sifatnya;

b) Lapisan Epidermal adalah lapisan kulit luar yang terdapat garis-garis halus menonjol ke luar (yang selanjutnya disebut

garis-garis papilair).terhadap lukisan-lukisan yang dibentuk oleh garis-garis papilair itulah perhatian kita ditujukan untuk menentukan bentu pokok, perumusan dan pemeriksaan perbandingan sidik jari (A. Gumilang, 1993:82).

A fingerprint is the visible impression that papillary produces when the papillary crest contact in a surface. The fingerprint is the oldest and the most popular characteristic used for recognition or verification of people. A fingerprint consists of ridges (lines across fingerprints) and valleys (spaces between ridges). The ridges and valleys pattern are unique for each individual. (Jorge Leon Garcia, 2008:180).

Jika terdapat luka atau cacat pada lapisan epidermal hanya merupakan cacat sementara karena susunan garis-garisnya akan kembali sebagaimana susunannya semula yaitu mengikuti lapisan dermal setelah sembuh.

Kegunaan yang sebenarnya dari garis papilair ialah untuk memperkuat pegangan (grip), sehingga benda-benda yang dipegang tidak mudah tergelincir. Garis-garis papilair itu terdapat juga pada telapak hewan sejenis kera dan burung, tetapi bentuk lukisannya tidak sama seperti yang dimiliki manusia.

Fingerprint classification (rumus sidik jari) terdiri dari angka dan huruf-huruf tertentu yang menyatakan bentuk pokok beserta perincian garis dari seperangkat sidik jari.

Fingerprint identification (identifikasi atau pengenalan kembali melalui sidik jari) adalah proses penentuan dengan jalan memperbandingkan seberapa sidik jari berasal dari jenis jari yang sama.

Garis-garis papilair yang terdapat pada ruas yang kedua dan ketiga dari jari-jari, demikian pula pada telapak tangan (palm) dan telapak kaki beserta jari-jarinya mempunyai nilai identifikasi

yang sama dengan garis-garis papilair pada ruas sidik jari tangan, yaitu dapat diperbandingkan untuk menentukan kesamaannya.

Sidik jari seseorang tidak akan berubah bentuknya seumur hidup. Dalam mengidentifikasi sidik jari yang dilakukan usaha mencocokan bentuk gambar garis sidik jari yang diambil dari sidik jari yang tertinggal di tempat kejadian perkara, yaitu sidik jari yang menempel pada benda-benda yang pernah terpegang atau tersentuh sidik jari di tempat kejadian perkara, dengan sidik jari yang tersimpan pada file atau diambil langsung dari tersangka.

b. Sifat sidik jari

Ilmu sidik jari didasarkan atas tiga dalil yang nyata yaitu:

a) Setiap jari mempunyai ciri-ciri garis tersendiri ditinjau dari segi detailnya dan tidak sama dengan yang lain;

b) Ciri-ciri garis itu sudah membentuk sejak janin berumur kira-kira 120 hari di dalam kandungan ibu dan tidak berubah selama hidup sampai hancur (decomposition) setelah meninggal dunia; c) Seperangkat sidik jari dapat dirumuskan, sehingga dapat

diadministrasikan (disimpan dan dicari kembali) (A. Gumilang, 1993:84).

c. Jenis-jenis sidik jari

Adapun sidik jari terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu:

a) Visible impression yaitu sidik jari yang langsung dapat terlihat tanpa mempergunakan alat-alat tambahan seperti sidik jari yang diambil dengan tinta, demikian pula sidik jari bekas darah, bekas cat yang masih basah, dan sebagainya yang sering tertinggal di tempat kejadian perkara (TKP);

b) Latent impression yaitu sidik jari laten yang biasanya tidak dapat langsung terlihat dan memerlukan beberapa cara pengembangan terlebih dahulu untuk membuatnya nampak jelas, seperti sidik jari yang selalu ada kemungkinannya untuk tertinggal di TKP;

c) Plastic impression yaitu sidik jari yang berbekas pada benda-benda yang lunak seperti sabun, gemuk, lilin, permen cokelat dan sebagainya (A. Gumilang, 1993:84).

d. Sejarah penggunaan sidik jari di Indonesia

Sebenarnya sampai saat ini belum ada perundang-undangan nasional yang secara tegas dan rinci mengenai Daktiloskopi. Meskipun demikian penyelenggaraan Daktiloskopi oleh Polri dikuatkan dengan Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisisan Negara Republik Indonesia Pasal 15 butir 1 yang menyebutkan :

Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:

a) menerima laporan dan/atau pengaduan;

b) membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;

c) mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

d) mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

e) mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administrative kepolisian;

f) melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

g) melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

h) mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;

i) mencari keterangan dan barang bukti;

j) menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

k) mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

l) memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;

m) menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

Jadi, berdasar ketentuan tersebut, maka Kepolisian mempunyai kewenangan untk mengambil sidik jari seseorang, untuk selanjutnya sidik jari tersebut dirumuskan dan dikumpulkan serta disimpan sebagai dokumentasi.

Sampai saat ini belum ada perundang-undangan nasional yang secara jelas mengatur mengenai Daktiloskopi. Meskipun demikian penyelenggaraan Daktiloskopi oleh Kepolisian Republik Indonesia dikuatkan dengan Undang-undang No. 2 Tahun 2002, yang memberikan kewenangan kepada Polri untuk mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

For the past ninety years, law enforcement fingerprint examiners have been matching partial latent fingerprint fragments detected at crime scenes to inked fingerprints taken directly from suspects (Robert Epstein, 2002:605).

Penulis akan menjelaskan sedikit uraian asal mula penggunaan sidik jari di Indonesia. Di Indonesia, pemakaian sidik jari untuk kepentingan Polisi dalam proses penyidikan sudah berjalan sejak masa Pemerintahan Kolonial Belanda, yaitu pada Tahun 1911. Pada Tahun 1911 tersebut Pemerintah Hindia Belanda secara resmi telah mengeluarkan suatu ketentuan yang berupa Koninklijke Besluit tanggal 16 Januari 1911 Nomor 27, dimuat dalam Staatsblad Nomor 234 Tahun 1911 yang isinya menetapkan memperlakukan sidik jari untuk mengenal seseorang. Sedangkan pelaksanaannya diserahkan kepada Departemen Kehakiman

(Departement Van Justitie) dan baru terwujud pada tanggal 12 Nopember Tahun 1914 dengan didirikannya Kantor Pusat Daktiloskopi Departemen Kehakiman dengan nama Central Kantoor Voor Dactyloscopy, dengan tugas utamanya mengumpulkan sebanyak-banyaknya dari semua orang di Indonesia baik criminal maupun yang non criminal serta memberikan keterangan-keterangan yang dibutuhkan oleh instansi-instansi lain baik Pemerintah maupun swasta. Dalam pelaksanaannya menggunakan sidik jari dari orang-orang Indonesia. Dengan demikian Kantor Pusat Daktiloskopi tersebut menjadi Pusat penyelenggaraan segala pekerjaan yang berhubungan dengan prose pengumpulan dan pengolahan sidik jari yang diterima baik dari instansi maupun swasta di seluruh Indonesia dan merupakan arsip pusat dalam urusan Daktiloskopi.

Dengan Staatsblad Nomor 332 Tahun 1914, dibentuklah Kantor Daktiloskopi yang terpisah dari kantor pusat Daktiloskopi Departemen Kehakiman oleh pihak Kepolisian Hindia Belanda. Dengan pembagian tugas yang menyangkut penghimpunan,pengolahan dan penyimpanan kartu sidik jari diserahkan pada Kantor Pusat Daktiloskopi Departemen Kehakiman, sedangkan tugas-tugas dan kegiatan yang menyangkut bidang kriminal, Daktiloskopi dilaksanakan oleh pihak Kepolisian dan hal ini berlangsung sampai Indonesia merdeka.

Pada Tahun 1959 Kepolisian Negara Republik Indonesia mulai berusaha menyusun dan membangun kantor pusat

Daktiloskopi sendiri, karena didesak oleh kebutuhan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara.

Sejak dari dulu kartu-kartu sidik jari dari Kepolisian dirumuskan di Kantor Daktiloskopi Departemen Kehakiman, tetapi sejak Tahun 1960 hal itu sudah tidak dilaksanakan lagi, karena Departemen itu sendiri tidak dapat melayani lagi keperluan sidik jari yang semakin meningkat, bahkan Kehakiman selalu minta bantuan kepada Kepolisian.

Dalam perkembangannya hanya berkisar pada perubahan pengertian organ Daktiloskopi dalam struktur organisasi Polri. Dan pada Tahun 1967 dengan Surat Keputusan Menhankam/Pangab No: KEP/15/IV/1976 tertanggal 13-4-1976, tentang Pokok-Pokok Organisasi Kepolisian Republik Indonesia, Pusat Identifikasi dirubah menjadi Jawatan Identifikasi sebagai Badan Pelaksana Pusat dengan tugas dan kewajiban melaksanakan pembinaan dan pelaksanaan fungsi Identifikasi sebagai tugas Kepolisian serta untuk Menhankam/ABRI serta instansi pemerintah lainnya sesuai dengan ketentuan Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehakiman.

Dengan demikian untuk penanganan tugas identifikasi khususnya sidik jari masih ada dua Departemen yaitu Kepolisian dan Kehakiman dan hal ini dapat dianggap sebagi suatu pemborosan, disamping timbulnya kesulitan dalam usaha pemusatan tugas sidik jari. Sebagai gambaran, bahwa setiap orang yang tersangkut perkara pidana, pada proses penyidikan pertama oleh Kepolisian pasti diambil sidik jarinya, serta disimpan oleh

pihak Jawatan Identifikasi, setelah itu divonis oleh Hakim. Kemudian di Lembaga Pemasyarakatan terpidana juga diambil sidik jarinya dan disimpan oleh pihak Departemen Kehakiman tersebut. Jelas di sini merupakan pemborosan yang seharusnya tidak perlu terjadi, sebab dengan hanya mengambil sidik jari sekali saja, maka akan dapat dipergunakan untuk keperluan penyidikan (sidik jari tidak ada yang sama dan tidak berubah).

Jadi selain Staatsblad No. 322 Tahun 1914, pengembalian sidik jari juga ditegakan dalam Undang-Undang Kepolisian Republik Negara Indonesia No. 2 Tahun 2002.

Melihat perkembangannya ternyata sidik jari sebagai alat untuk identifikasi tidak pernah ditinggalkan dalam tugas Kepolisian, terutama tindakan yang dilakukan dalam kewenangannya sebagai penyidik dalam rangka penyidikan perkara pidana.

2. Kajian tentang Tindak Pidana

Dokumen terkait