• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN DAKTILOSKOPI DALAM MENGUNGKAPKAN KASUS TINDAK PIDANA PENCURIAN (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM POLRES SRAGEN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERAN DAKTILOSKOPI DALAM MENGUNGKAPKAN KASUS TINDAK PIDANA PENCURIAN (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM POLRES SRAGEN)"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERAN DAKTILOSKOPI DALAM MENGUNGKAPKAN KASUS TINDAK PIDANA PENCURIAN (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM

POLRES SRAGEN)

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Oleh: Yudha Prasasti

E0007244

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)
(3)
(4)

MOTTO

“Kesuksesan tidaklah datang dengan sendirinya, namun kesuksesan akan dapat diraih dengan usaha dan doa kepada Allah SWT”

(5)

PERSEMBAHAN

Dengan doa dan kerja keras, Karya Tulis ini kupersembahkan kepada :

1. Untuk para penegak hukum di negeri ini khususnya Kepolisian, penulis berharap dengan karya tulis ini akan dapat memberikan masukan dalam menangani perkara tindak pidana pencurian dengan metode Daktiloskopi. 2. Pada umumnya bagi negara dan bangsa Indonesia demi terciptanya keadilan

hukum di seluruh negeri.

3. Kedua orang tuaku tercinta yang senantiasa memberikan dukungan, bimbingan dan berdoa sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

4. Kakak dan adikku tersayang yang tidak hentinya memberi semangat kepada penulis selama menjalani masa perkuliahan.

(6)

PERNYATAAN

Nama : Yudha Prasasti NIM : E0007244

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: PERAN DAKTILOSKOPI DALAM MENGUNGKAPKAN KASUS TINDAK PIDANA PENCURIAN (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM POLRES SRAGEN adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, November 2011 Yang Membuat Pernyataan

Yudha Prasasti NIM. E0007244

(7)

ABSTRAK

Yudha Prasasti, E0007244. 2011. PERAN DAKTILOSKOPI DALAM MENGUNGKAPKAN KASUS TINDAK PIDANA PENCURIAN (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM POLRES SRAGEN). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peranan Daktiloskopi dan seberapa besar peran tersebut dalam mengungkap kasus tindak pidana pencurian di Polres Sragen. Dalam pembahasan penulis membagi menjadi 4 pokok penting, yang pertama adalah Daktiloskopi secara umum, peran Daktiloskopi dalam mengungkapkan kasus tindak pidana pencurian di Polres Sragen, kendala-kendala yang dihadapi Polres Sragen dan solusi untuk mengatasi kendala-kendala tersebut. Metode penelitian ini merupakan penelitian empiris bersifat deskriptif, karena penulis harus terjun langsung kelapangan untuk mendapatkan data yang diperlukan. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dengan Kanit Reskrim Polres Sragen dan petugas Polres lainnya. Sedangkan sumber data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. yang bersumber dari KUHP, arsip, dokumen, buku dan cyber media.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, yang pertama peran Daktiloskopi dalam mengungkapkan kasus tindak pidana pencurian di Polres Sragen adalah untuk mengenali dan menemukan pelaku pencurian, yang kedua kendala-kendala yang dihadapi Polres Sragen yaitu dari sumber daya manusia (SDM), sarana prasarana dan dari masyarakat. Yang terakhir adalah solusi-solusi yang digunakan untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, yaitu untuk mengatasi kendala dari SDM yaitu dengan mengadakan pelatihan kejuruan Daktiloskopi, dari segi sarana prasarana yang kurang lengkap diatasi dengan bantuan dari Pemerintah, untuk kendala yang datang dari masyarakat dengan bergerak cepat pada saat penanganan kasus.

Kata kunci : Pencurian, Mengungkapkan, Daktiloskopi

(8)

ABSTRACT

Yudha Prasasti, E0007244. 2011. THE ROLE OF DAKTILOSKOPI IN REVEALING THE THIEVING CRIME CASE (A CASE STUDY ON JURISDICTION OF POLRES SRAGEN). Faculty of Law of Sebelas Maret University.

This research aims to describe the role of Daktiloskopi and the extent to which this role reveal the thieving crime case in Polres Sragen. The writer divided the discussion into four main points: firstly, Daktiloskopi generally, the role of Daktiloskopi in revealing the thieving crime case in Polres Sragen, the obstacles the Polres Sragen faces and the solution to cope with such the obstacles.

The research method employed was an empirical research that is descriptive in nature, because the writer should participate directly in the field to obtain the necessary data. The data used in this research consisted of primary and secondary data. The primary data derived from the interview with the Criminal Detective Unit Chief of Polres Sragen and other Polres officers. Meanwhile the secondary data source consisted of primary, secondary and tertiary law materials, originating from Penal Code, archive, document, book, and cyber media.

Based on the result of research and discussion, the following conclusion can be drawn. Firstly, the role of Daktiloskopi in revealing the thieving crime case in Polres Sragen is to identify and to find the thief. Secondly, the obstacles the Polres Sragen faces include human resource, infrastructure and that from the society. Finally, the solutions used to cope with such the obstacles are: to cope with the human resource obstacle, Daktiloskopi vocational training is held; for inadequate infrastructure, the government grant can cope with this, and the obstacle coming from the society is coped with by moving quickly during the case handling.

Keywords: Thieving, Reveal, Daktiloskopi

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala curahan Anugrah, Rahmat, Berkah dan hidayah-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) yang berjudul “PERAN DAKTILOSKOPI DALAM MENGUNGKAPKAN KASUS TINDAK PIDANA PENCURIAN (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM POLRES SRAGEN” ini dengan baik dan lancar. Penulisan Hukum disusun dan diajukan Penulis untuk melengkapi persyaratan guna memperoleh derajat S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam proses menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) ini Penulis menyadari banyak kendala, tantangan dan hambatan. Syukur Alhamdulillah Penulis selama menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) ini selalu dapat motivasi dan support dari berbagai pihak agar segera menyelesaiaknnya. Oleh karena itu dengan penuh kerendahan hati Penulis sampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya, terutama kepada :

1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret beserta jajarannya.

2. Bapak R. Ginting, S.H., M.H., selaku Kepala Bagian hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang juga telah memberikan izin kepada penulis untuk menyelesaikan Penulisan Hukum (SKRIPSI) ini.

3. Ibu Siti Warsini, S.H., M.H., selaku pembimbing I yang dengan penuh kesabaran dan ketelitian sudi meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan saran-saran serta petunjuk yang sangat berguna hingga terselesaikannya skripsi ini.

(10)

4. Bapak Sabar Slamet, S.H., M.H., selaku pembimbing II yang dengan penuh ketekunan memberikan bimbingan dan arahannya di dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademis yang telah memberikan banyak nasehat yang sangat berguna bagi penulis selama penulis melaksanakan kegiatan belajar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. 6. Bapak Kepala Kepolisian Resort Sragen beserta seluruh stafnya yang

membantu penulis dalam memperoleh data-data yang sangat penulis perlukan dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Kedua orang tua tercinta yang telah memberikan doa dan dorongan moril maupun materiil serta kasih sayangnya mengiringi keberhasilan penulis dalam penyusunan skripsi.

8. Dosen-dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang selalu memberikan dukungan dan semangat.

9. Segenap karyawan dan karyawati Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang dengan senang hati membantu penulis dalam pengurusan surat-surat perizinan.

10. Bapak Sumarjono serta seluruh staf identifikasi di Polres Sragen atas bantuannya dan pengertiannya kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa kualitas dari penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Mudah-mudahan penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Amin.

Surakarta, Agustus 2011

Penulis

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………. ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………. ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI……… ... iii

HALAMAN MOTTO………..……… iv

PERSEMBAHAN………. v

PERNYATAAN……… vi

ABSTRAK……… vii

KATA PENGANTAR……….. ix

DAFTAR ISI………. ... . xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………. .. 1

B. Perumusan Masalah……… .. 3

C. Tujuan Penelitian……… .. 4

D. Manfaat Penelitian………. ... 5

E. Metode Penelitian………... ... 5

F. Sistematika Penulisan Hukum……… ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritis………...….. 11

1. Pengertian Daktiloskopi…….….…….……..………….…... 11

a. Istilah dan Pengertian Daktiloskopi.…….……… 11

b. Sifat Sidik Jari………….……….……….. 14

c. Jenis-jenis Sidik Jari………..……….……… 14

d. Sejarah Penggunaan Sidik Jari di Indonesia………... 14

(12)

2. Kajian tentang Tindak Pidana…………... 18

a. Pengertian tentang Tindak Pidana………... 18

b. Unsur-unsur Tindak Pidana…………..………... 19

c. Jenis-jenis Tindak Pidana………. 23

3. Kajian tentang Pencurian………..…... 26

a. Pengertian Pencurian………..…………... 26

b. Bentuk-bentuk Pencurian.…………...……..….………... 28

B. Kerangka Pemikiran…………..………..….…….. 33

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Daktiloskopi secara umum………... 35

1. Peran Daktiloskopi…………..………. 35

2. Pengambilan Sidik Jari………..…………... 38

3. Perumusan Sidik Jari………. 39

4. Penyimpanan Sidik Jari………. 44

B. Peran Daktiloskopi dalam Mengungkapkan Kasus Tindak Pidan- a Pencurian di Sragen... 46

C. Kendala-kendala yang dihadapi Polres Sragen dalam Mengungkap- kan Kasus Tindak Pidana Pencurian dalam kaitannya dengan Peran Daktiloskopi……….……….. 52

1. Kendala Sumber Daya Manusia (SDM)………... 52

2. Kendala Sarana Prasarana………. 53

3. Kendala dari Masyarakat……….…….. 53

D. Solusi dari kendala-kendala yang dihadapi Polres Sragen………… 55

1. Usaha yang dilakukan Polres Sragen dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM)………... 55

(13)

2. Upaya Polres Sragen dalam Mengatasi Keterbatasan Sarana dan Prasarana………55 3. Upaya dalam Mengatasi Masalah yang Timbul dari Masyarakat..56 BAB IV PENUTUP

A. Simpulan...……… 57 B. Saran………... 61

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Disetiap negara baik itu negara maju maupun berkembang, tindak pidana selalu muncul dalam kehidupan warganya. Dengan adanya tindak pidana tentu akan merugikan orang lain baik itu yang menjadi korban tindak pidana maupun orang-orang yang berada disekitar tempat kejadian dimana tindak pidana itu dilakukan. Hal ini tentu saja menimbulkan kecemasan dan keresahan warga karena telah mengganggu kenyamanan dan keamanan hidup mereka. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat berbagai macam tindak pidana, salah satunya adalah pencurian. Pencurian menurut KUHP yang diatur dalam Pasal 362 yang berbunyi: “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, dengan karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. Tindak pidana pencurian memang menjadi modus kejahatan yang sering terjadi di setiap negara, meskipun tingkat perekonomian negara maju tiap tahun tetapi kemiskinan tetap bertambah dan karena kemiskinan pula yang menjadi salah satu faktor penting mengapa pencurian selalu ada dan sulit menghilang dari kehidupan manusia.

Begitu pula halnya dengan Kota Sragen yang banyak menghadapi kasus pencurian yang menganggu keamanan serta keresahan bagi masyarakat. Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin modern, kasus pencurian pun semakin marak dan dilakukan dengan cara baru yang memungkinkan para pencuri dapat melarikan diri dengan mudah.

1

(15)

Dalam kasus pencurian dengan pelaku merusak pintu disertai kekerasan terhadap korban pencurian dalam hal tertangkap tangan, untuk melarikan diri sendiri. Maka yang dapat dilakukan untuk mencari pelakunya adalah salah satunya dengan mencari dan mengumpulkan sidik jari yang tertinggal pada benda-benda di sekitar rumah yang disentuh pelaku dan alat-alat yang ditinggalkan pelaku yang digunakan untuk melancarkan aksinya. Untuk pengambilan dan pengumpulan sidik jari harus dilakukan oleh tenaga ahlinya yang dalam hal ini adalah Kepolisian. Kemampuan sidik jari dalam mengungkap identifikasi seseorang sudah tidak diragukan lagi.

Dalam struktur organisasi Kepolisian, kegiatan ini telah diatur dan disusun mulai dari tingkat Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Mabes Polri) sampai tingkat Kepolisian Resort disebut Seksi Identifikasi yang diharapkan dapat bekerja sama dengan baik di dalam menunjang tugas penyidikan.

Pada mulanya penggunaan sidik jari memang masih terbatas untuk melacak pelaku-pelaku kejahatan saja, setiap pelaku tindak pidana kejahatan diambil sidik jarinya untuk disimpan dalam arsip Kepolisian. Setiap terjadi suatu tindak pidana, pihak Kepolisian mengumpulkan atau mengambil bekas sidik jari yang tertinggal di tempat terjadinya tindak pidana, untuk kemudian dicocokan dengan arsip sidik jari yang disimpan oleh pihak Kepolisian, apakah ada kesamaan atau tidak.

Dengan sistem penyidikan identifikasi dengan sidik jari ini, pekerjaan Kepolisian relatif diringankan dan pencarian pelaku tindak pidana menjadi lebih efektif. Kemudian sistem identifikasi dikembangkan lagi tidak saja terbatas untuk melacak penjahat atau korban yang tidak memiliki identitas lain, tetapi juga untuk kepentingan di luar penyidikan.

(16)

Seperti diketahui dari ajaran tentang sidik jari (Daktiloskopi) ini adalah tidak ada manusia yang sama sidik jarinya dan sidik jari itu tidak akan berubah sepanjang hidupnya. Dua sifat tersebut memungkinkan sidik jari seseorang dipergunakan sebagai sarana yang mantap dan meyakinkan untuk menentukan identitas seseorang.

Sarana identifikasi ini ternyata memenuhi persyaratan di seluruh dunia, selain sebagai sarana identifikasi sidik jari juga sebagai sarana penyidikan. Karena itu untuk mengambil sidik jari tidak dapat dilakukan terhadap orang-orang yang sekedar hanya untuk diambil cap jempolnya seperti yang terjadi di kantor kelurahan atau kecamatan. Sebab di dalam pelaksanaannya seorang penyidik harus dapat membaca sidik jari yang disejajarkan agar dapat diketemukan identitas atau bukan identitas dari yang bersangkutan dan untuk itu memerlukan pengambilan sidik jari yang sempurna. Maka dari itu Daktiloskopi sebagai ilmu yang mempelajari sidik jari untuk keperluan identifikasi kembali seseorang sangat dibutuhkan petugas penyidik dalam mengungkap tindak pidana.

Daktiloskopi atau yang lebih dikenal dengan sebutan ilmu sidik jari ini telah mampu mendesak metode identifikasi lainnya karena keunikan dan karakteristik fisik sidik jari yang berbeda pada tiap individunya, serta sangat praktis dan akurat (Raditiana Patmasari, Mohamad Ramdhani, Achmad Rizal, 2009).

“Penyelenggaraan Daktiloskopi dalam pelaksanaan tugas-tugas Kepolisian, terutama dalam proses penyidikan tindak pidana, memegang peranan penting” (Departemen Pertahanan Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2000:17).

(17)

Pengetahuan mengenai Daktiloskopi ini memberikan sumbangan yang besar di bidang kriminalistik, karena dengan sidik jari dapat menemukan dan menentukan tersangka dalam sebuah kasus pencurian.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka penulis tertarik untuk menyusun suatu karya ilmiah dalam bentuk penulisan skripsi dengan judul:

“PERAN DAKTILOSKOPI DALAM MENGUNGKAPKAN KASUS TINDAK PIDANA PENCURIAN (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM POLRES SRAGEN)”.

B. Perumusan Masalah

Dilihat dari uraian di atas dapat diketahui bahwa sidik jari sebagai alat bukti dalam suatu pemeriksaan terhadap tindak pidana yang telah terjadi. Diketahui pula bahwa dalam penyidikanpun memerlukan suatu keahlian khusus dan ketelitian, karena suatu jejak dari jari-jari yang terdapat di tempat kejadian biasanya kabur dan tergores atau ternoda dengan jejak atau jari-jari yang lain.

Berdasarkan apa yang penulis uraikan maka dapatlah penulis rumuskan beberapa permasalahan :

1. Apakah peran Daktiloskopi dalam mengungkapkan kasus tindak pidana pencurian?

2. Adakah kendala-kendala yang dihadapi Polres Sragen dalam mengungkapkan kasus tindak pidana pencurian?

3. Bagaimana Polres Sragen mengatasi kendala tersebut?

(18)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang dicapai penulis dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui sejauh mana peran Daktiloskopi dalam mengungkap kasus tindak pidana pencurian.

b. Untuk mengetahui apa saja kendala-kendala yang dihadapi Polres Sragen dalam mengungkap kasus tindak pidana pencurian.

c. Untuk mengetahui cara penanganan Polres Sragen dalam mengatasi kendala dalam mengungkap kasus tindak pidana pencurian.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah, memperluas, pengetahuan dan wawasan penulis mengenai ilmu hukum khususnya hukum pidana dan terutama mengenai peran Daktiloskopi dalam mengungkap kasus tindak pidana pencurian.

b. Untuk memperoleh data dan informasi yang lengkap guna penyusunan penulisan hukum (skripsi) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana, berupa pemikiran-pemikiran yang positif guna menyelesaikan masalah-masalah yang timbul, khususnya yang berkaitan dengan sidik jari.

(19)

b. Merupakan salah satu sarana bagi penulis untuk mengumpulkan bahan-bahan atau sumber-sumber yang dibutuhkan untuk dapat terselesainya penulisan hukum (skripsi) ini.

2. Manfaat Praktis

a. Dengan penulisan hukum ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk masuk ke dalam instansi penegak hukum maupun bekal sebagai praktisi hukum yang senantiasa memperjuangkan hukum di negeri ini.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumbangan yang diberikan penulis dalam perkembangan Hukum Pidana dan bermanfaat menjadi referensi sebagai bahan acuan dalam penelitian pada masa yang akan datang.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan (Soerjono Soekanto, 2006:43).

Adapun metode penelitian yang digunakan penulis ini adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

“Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah penelitian hukum sosiologs atau empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian

(20)

terhadap data primer di lapangan, atau terhadap masyarakat” (Soerjono Soekanto, 2006:52).

2. Sifat Penelitian

Penelitian yang dilakukan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Soerjono Sukanto, penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, maksudnya untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam menyususn teori-teori baru (Soerjono Sukanto, 2006:10).

3. Pendekatan Penelitian

Penulis dalam penulisan hukum ini menggunakan jenis pendekatan kualitatif. Pendekatan kualtatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian. 4. Lokasi Penelitian

Lokasi dalam penelitian hukum ini adalah Polres Sragen. 5. Jenis dan Sumber Data Penelitian

a. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Data Primer

“Data primer adalah data atau fakta atau keterangan yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama, atau melalui penelitian di lapangan, yaitu berupa wawancara dengan pihak yang berkompeten” (Soerjono Soekanto, 2008:12).

2) Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang digunakan untuk mendukung data primer, yang diperoleh dari perundang-undangan,

(21)

dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan lain-lain.

b. Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Sumber Data Primer

Sumber data primer merupakan sumber data yang diperoleh dari lapangan yang memberikan informasi secara langsung mengenai segala hal yang dapat berkaitan dengan obyek penelitian dan sumber-sumber yang berada di lapangan berupa keterangan dari pihak-pihak yang terkait secara langsung dengan permasalahan yang diteliti.

2) Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data yang secara tidak langsung memberikan keterangan yang bersifat mendukung sumber data primer. Menurut Soerjono Soekanto sumber data sekunder dibagi menjadi tiga yaitu :

a) Bahan hukum primer

Bahan hukum primer yang akan digunakan dalam penelian ini adalah norma atau kaidah dasar hukum, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti, penulis menggunakan sumber hukum primer berupa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b) Bahan hukum sekunder

Bahan hukum yang mendukung data sekunder dari bahan hukum primer. Bahan penelitian yang akan digunakan dalam

(22)

penelitian initerdiri dari hasil-hasil penelitian dan bahan-bahan lain yang berkaitan dengan pokok bahasan.

c) Bahan hukum tersier

“Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yakni kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan lain sebagainya” (Soerjono Soekanto, 2008:52).

6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan teknik untuk mengumpulkan data dari salah satu atau beberapa sumber data yang ditentukan. Untuk memperoleh data yang lengkap dan relevan, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

a. Data primer

Data yang diperoleh melalui studi langsung ke lapangan,dalam hal ini melalui wawancara. Wawancara (interview) dalam penelitian ini menggunakan metode interview yang bebas terpimpin, yaitu metode wawancara dalam pengumpulan data secara bebas dengan pengumpulan data berupa catatan-catatan pokok yang ditanyakan sehingga masih memungkinkan variasi pertanyaan sesuai dengan kondisi saat melakukan wawancara.

b. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dengan studi kepustakaan yaitu pengumpulan data sekunder guna memperoleh landasan hukum atau bahan penulisan lainnya yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum atau bahan penulisan lainnya yang dapat dijadikan sebagai landasan teori. Studi kepustakaan ini dilakukan dengan mempelajari dan

(23)

mengidentifikasi literatur-literatur yang berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku, buku-buku, dokumen resmi, jurnal-jurnal hukum, artikel-artikel, serta hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli.

7. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data yang diperoleh, mengidentifikasikan, menghubungkan dengan teori literatur yang mendukung masalah kemudian menarik kesimpulan dengan analisis kualitatif.

Dari penelitian kualitatif ini penulis menggunakan model analisis melalui tiga unsur utama yaitu mereduksi data, menyajikan data, dan menarik kesimpulan. Tiga tahap tersebut menurut HB. Sutopo adalah : a. Reduksi data

Reduksi data merupakan proses seleksi, pemfokusan, dan penyederhanaan data pada penelitian.

b. Penyajian data

Penyajian data sebagai sekumpulan informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilaksanakan.

c. Menarik kesimpulan

Setelah memahami arti dari beebagai hal yang meliputi pencatatan-pencatatan peraturan pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, akhirnya peneliti menarik kesimpulan (HB.Sutopo, 2002 : 37).

(24)

F. Sistematika Penulisan Hukum

Penulisan hukum ini akan dibagi menjadi 4 (empat) bab yang saling berkaitan. Adapun sistematika penulisan ini adalah sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Metode Penelitian

F. Sistematikan Penulisan Hukum BAB II : Tinjauan Pustaka

A. Kerangka Teori

1. Pengertian Daktiloskopi 2. Kajian tentang Tindak Pidana 3. Kajian tentang Pencurian B. Kerangka Pemikiran

BAB III : Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh dari penelitian. Berpijak dari rumusan masalah yang ada, maka dalam bab ini penulis membahas 3 pokok permasalahan yaitu peranan Daktiloskopi dalam mengungkapkan kasus tindak pidana pencurian, kendala-kendala apa saja yang dihadapi Polres Sragen dalam mengungkapkan kasus tindak pidana pencurian dan bagaimana cara mengatasi kendala tersebut.

(25)

BAB IV : Penutup A. Simpulan B. Saran Daftar Pustaka

Lampiran

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Pengertian Daktiloskopi

a. Istilah dan Pengertian Daktiloskopi

“Istilah Daktiloskopi yang berasal dari bahasa Yunani ‘daktulos berarti jari jemari, scopeen berarti mengamati atau meneliti. Daktiloskopi yaitu mengamati sidik jari khususnya garis-garis terdapat pada ruang ujung jari baik tangan maupun kaki atau ilmu yang memepelajari sidik jari untuk keperluan pengenalan kembali identifikasi orang” (http://stifin.com/?p=19).

“Daktiloskopi adalah ilmu yang mempelajari sidik jari untuk keperluan pengenalan kembali (identifikasi) terhadap orang” (A. Gumilang, 1993:82).

“Daktiloskopi adalah ilmu yang mempelajari sidik jari untuk keperluan pengenalan kembali identitas orang dengan cara mengamati garis yang terdapat pada guratan garis jari tangan dan telapak kaki” (http://id.wikipedia.org/wiki/Sidik_jari).

Dasar dari penggunaan sidik jari adalah tiap manusia mempunyai sidik jari yang berbeda satu dengan yang lainnya, sidik jari manusia tidak pernah berubah dari mulai lahir sampai mati.

Sehubungan dengan hal-hal diatas, maka menurut M. Karyadi :

Ternyata setelah diadakan penyelidikan dan penelitian berpuluh-puluh tahun oleh para ahlinya, memiliki sifat-sifat yang meyakinkan, ialah :

(27)

a. Sidik jari yang dibentuk oleh alur-alur papilair pada setiap orang berbeda satu sama lain, meskipun mereka kakak beradik atau saudara kembar sekalipun. Juga pada seseorang tidak akan diketemukan sidik jarinya yang sama satu dengan yang lain di antara kesepuluh jarinya sendiri. Sifat tersebut sudah merupakan keyakinan yang tetap dan berlaku di dunia ini dengan tidak membeda-beda suku bangsa.

b. Gambar sidik jari pada seseorang tidak akan berubah bentuknya dari lahir sampai mati, walaupun pada saat-saat tertentu kulit jari mengalami perubahan, misalnya pembaharuan kulit dan lain sebagainya. Gambarnya hanya dapat berubah, karena keadaan yang tidak wajar, misalnya jari terbakar, kepotong atau teriris pisau atau rusak sedemikian rupa sehingga bentuk alur papilair berubah. Yang dapat berubah ialah besar-kecilnya gambar sidik jari, misalnya sidik jari bayi kemudian tumbuh menjadi besar setelah dewasa (M. Karyadi, 1976:3).

Menurut A.Gumilang, “Sidik jari adalah hasil reproduksi tapak-tapak jari, baik yang sengaja diambil atau dicapkan dengan tinta, maupun bekas yang ditinggalkan pada benda karena pernah terpegang atau tersentuh dengan kulit telapak (friction skin) tangan atau kaki” (A. Gumilang, 1993:82).

Kulit telapak adalah kulit yang terdapat pada bagian telapak tangan mulai dari pangkal pergelangan sampai kesemua ujung jari, dan kulit bagian dari telapak kaki mulai dari tumit sampai ke ujung jari, di mana terdapat garis-garis halus yang menonjol ke luar, satu sama lainnya dipisahkan dengan celah atau alur dan membentuk lukisan-lukisan tertentu (Penuntun Daktiloskopi Subdirektorat Identifikasi Reserse Polri, 1986:1). Kulit telapak terdiri dari dua lapisan yaitu:

a) Lapisan Dermal (lapisan kulit dalam) sering juga dinamakan kulit yang sebenarnya karena lapisan inilah yang menentukan bentuk garis-garis yang terdapat pada permukaan kulit telapak. Apabila lapisan dermal terbuka atau cacat, maka bekas luka atau cacat itu akan permanen sifatnya;

b) Lapisan Epidermal adalah lapisan kulit luar yang terdapat garis-garis halus menonjol ke luar (yang selanjutnya disebut

(28)

garis-garis papilair).terhadap lukisan-lukisan yang dibentuk oleh garis-garis papilair itulah perhatian kita ditujukan untuk menentukan bentu pokok, perumusan dan pemeriksaan perbandingan sidik jari (A. Gumilang, 1993:82).

A fingerprint is the visible impression that papillary produces when the papillary crest contact in a surface. The fingerprint is the oldest and the most popular characteristic used for recognition or verification of people. A fingerprint consists of ridges (lines across fingerprints) and valleys (spaces between ridges). The ridges and valleys pattern are unique for each individual. (Jorge Leon Garcia, 2008:180).

Jika terdapat luka atau cacat pada lapisan epidermal hanya merupakan cacat sementara karena susunan garis-garisnya akan kembali sebagaimana susunannya semula yaitu mengikuti lapisan dermal setelah sembuh.

Kegunaan yang sebenarnya dari garis papilair ialah untuk memperkuat pegangan (grip), sehingga benda-benda yang dipegang tidak mudah tergelincir. Garis-garis papilair itu terdapat juga pada telapak hewan sejenis kera dan burung, tetapi bentuk lukisannya tidak sama seperti yang dimiliki manusia.

Fingerprint classification (rumus sidik jari) terdiri dari angka dan huruf-huruf tertentu yang menyatakan bentuk pokok beserta perincian garis dari seperangkat sidik jari.

Fingerprint identification (identifikasi atau pengenalan kembali melalui sidik jari) adalah proses penentuan dengan jalan memperbandingkan seberapa sidik jari berasal dari jenis jari yang sama.

Garis-garis papilair yang terdapat pada ruas yang kedua dan ketiga dari jari-jari, demikian pula pada telapak tangan (palm) dan telapak kaki beserta jari-jarinya mempunyai nilai identifikasi

(29)

yang sama dengan garis-garis papilair pada ruas sidik jari tangan, yaitu dapat diperbandingkan untuk menentukan kesamaannya.

Sidik jari seseorang tidak akan berubah bentuknya seumur hidup. Dalam mengidentifikasi sidik jari yang dilakukan usaha mencocokan bentuk gambar garis sidik jari yang diambil dari sidik jari yang tertinggal di tempat kejadian perkara, yaitu sidik jari yang menempel pada benda-benda yang pernah terpegang atau tersentuh sidik jari di tempat kejadian perkara, dengan sidik jari yang tersimpan pada file atau diambil langsung dari tersangka.

b. Sifat sidik jari

Ilmu sidik jari didasarkan atas tiga dalil yang nyata yaitu:

a) Setiap jari mempunyai ciri-ciri garis tersendiri ditinjau dari segi detailnya dan tidak sama dengan yang lain;

b) Ciri-ciri garis itu sudah membentuk sejak janin berumur kira-kira 120 hari di dalam kandungan ibu dan tidak berubah selama hidup sampai hancur (decomposition) setelah meninggal dunia; c) Seperangkat sidik jari dapat dirumuskan, sehingga dapat

diadministrasikan (disimpan dan dicari kembali) (A. Gumilang, 1993:84).

c. Jenis-jenis sidik jari

Adapun sidik jari terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu:

a) Visible impression yaitu sidik jari yang langsung dapat terlihat tanpa mempergunakan alat-alat tambahan seperti sidik jari yang diambil dengan tinta, demikian pula sidik jari bekas darah, bekas cat yang masih basah, dan sebagainya yang sering tertinggal di tempat kejadian perkara (TKP);

b) Latent impression yaitu sidik jari laten yang biasanya tidak dapat langsung terlihat dan memerlukan beberapa cara pengembangan terlebih dahulu untuk membuatnya nampak jelas, seperti sidik jari yang selalu ada kemungkinannya untuk tertinggal di TKP;

(30)

c) Plastic impression yaitu sidik jari yang berbekas pada benda-benda yang lunak seperti sabun, gemuk, lilin, permen cokelat dan sebagainya (A. Gumilang, 1993:84).

d. Sejarah penggunaan sidik jari di Indonesia

Sebenarnya sampai saat ini belum ada perundang-undangan nasional yang secara tegas dan rinci mengenai Daktiloskopi. Meskipun demikian penyelenggaraan Daktiloskopi oleh Polri dikuatkan dengan Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisisan Negara Republik Indonesia Pasal 15 butir 1 yang menyebutkan :

Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:

a) menerima laporan dan/atau pengaduan;

b) membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;

c) mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

d) mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

e) mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administrative kepolisian;

f) melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

g) melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

h) mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;

i) mencari keterangan dan barang bukti;

j) menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

k) mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

l) memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;

(31)

m) menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

Jadi, berdasar ketentuan tersebut, maka Kepolisian mempunyai kewenangan untk mengambil sidik jari seseorang, untuk selanjutnya sidik jari tersebut dirumuskan dan dikumpulkan serta disimpan sebagai dokumentasi.

Sampai saat ini belum ada perundang-undangan nasional yang secara jelas mengatur mengenai Daktiloskopi. Meskipun demikian penyelenggaraan Daktiloskopi oleh Kepolisian Republik Indonesia dikuatkan dengan Undang-undang No. 2 Tahun 2002, yang memberikan kewenangan kepada Polri untuk mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

For the past ninety years, law enforcement fingerprint examiners have been matching partial latent fingerprint fragments detected at crime scenes to inked fingerprints taken directly from suspects (Robert Epstein, 2002:605).

Penulis akan menjelaskan sedikit uraian asal mula penggunaan sidik jari di Indonesia. Di Indonesia, pemakaian sidik jari untuk kepentingan Polisi dalam proses penyidikan sudah berjalan sejak masa Pemerintahan Kolonial Belanda, yaitu pada Tahun 1911. Pada Tahun 1911 tersebut Pemerintah Hindia Belanda secara resmi telah mengeluarkan suatu ketentuan yang berupa Koninklijke Besluit tanggal 16 Januari 1911 Nomor 27, dimuat dalam Staatsblad Nomor 234 Tahun 1911 yang isinya menetapkan memperlakukan sidik jari untuk mengenal seseorang. Sedangkan pelaksanaannya diserahkan kepada Departemen Kehakiman

(32)

(Departement Van Justitie) dan baru terwujud pada tanggal 12 Nopember Tahun 1914 dengan didirikannya Kantor Pusat Daktiloskopi Departemen Kehakiman dengan nama Central Kantoor Voor Dactyloscopy, dengan tugas utamanya mengumpulkan sebanyak-banyaknya dari semua orang di Indonesia baik criminal maupun yang non criminal serta memberikan keterangan-keterangan yang dibutuhkan oleh instansi-instansi lain baik Pemerintah maupun swasta. Dalam pelaksanaannya menggunakan sidik jari dari orang-orang Indonesia. Dengan demikian Kantor Pusat Daktiloskopi tersebut menjadi Pusat penyelenggaraan segala pekerjaan yang berhubungan dengan prose pengumpulan dan pengolahan sidik jari yang diterima baik dari instansi maupun swasta di seluruh Indonesia dan merupakan arsip pusat dalam urusan Daktiloskopi.

Dengan Staatsblad Nomor 332 Tahun 1914, dibentuklah Kantor Daktiloskopi yang terpisah dari kantor pusat Daktiloskopi Departemen Kehakiman oleh pihak Kepolisian Hindia Belanda. Dengan pembagian tugas yang menyangkut penghimpunan,pengolahan dan penyimpanan kartu sidik jari diserahkan pada Kantor Pusat Daktiloskopi Departemen Kehakiman, sedangkan tugas-tugas dan kegiatan yang menyangkut bidang kriminal, Daktiloskopi dilaksanakan oleh pihak Kepolisian dan hal ini berlangsung sampai Indonesia merdeka.

Pada Tahun 1959 Kepolisian Negara Republik Indonesia mulai berusaha menyusun dan membangun kantor pusat

(33)

Daktiloskopi sendiri, karena didesak oleh kebutuhan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara.

Sejak dari dulu kartu-kartu sidik jari dari Kepolisian dirumuskan di Kantor Daktiloskopi Departemen Kehakiman, tetapi sejak Tahun 1960 hal itu sudah tidak dilaksanakan lagi, karena Departemen itu sendiri tidak dapat melayani lagi keperluan sidik jari yang semakin meningkat, bahkan Kehakiman selalu minta bantuan kepada Kepolisian.

Dalam perkembangannya hanya berkisar pada perubahan pengertian organ Daktiloskopi dalam struktur organisasi Polri. Dan pada Tahun 1967 dengan Surat Keputusan Menhankam/Pangab No: KEP/15/IV/1976 tertanggal 13-4-1976, tentang Pokok-Pokok Organisasi Kepolisian Republik Indonesia, Pusat Identifikasi dirubah menjadi Jawatan Identifikasi sebagai Badan Pelaksana Pusat dengan tugas dan kewajiban melaksanakan pembinaan dan pelaksanaan fungsi Identifikasi sebagai tugas Kepolisian serta untuk Menhankam/ABRI serta instansi pemerintah lainnya sesuai dengan ketentuan Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehakiman.

Dengan demikian untuk penanganan tugas identifikasi khususnya sidik jari masih ada dua Departemen yaitu Kepolisian dan Kehakiman dan hal ini dapat dianggap sebagi suatu pemborosan, disamping timbulnya kesulitan dalam usaha pemusatan tugas sidik jari. Sebagai gambaran, bahwa setiap orang yang tersangkut perkara pidana, pada proses penyidikan pertama oleh Kepolisian pasti diambil sidik jarinya, serta disimpan oleh

(34)

pihak Jawatan Identifikasi, setelah itu divonis oleh Hakim. Kemudian di Lembaga Pemasyarakatan terpidana juga diambil sidik jarinya dan disimpan oleh pihak Departemen Kehakiman tersebut. Jelas di sini merupakan pemborosan yang seharusnya tidak perlu terjadi, sebab dengan hanya mengambil sidik jari sekali saja, maka akan dapat dipergunakan untuk keperluan penyidikan (sidik jari tidak ada yang sama dan tidak berubah).

Jadi selain Staatsblad No. 322 Tahun 1914, pengembalian sidik jari juga ditegakan dalam Undang-Undang Kepolisian Republik Negara Indonesia No. 2 Tahun 2002.

Melihat perkembangannya ternyata sidik jari sebagai alat untuk identifikasi tidak pernah ditinggalkan dalam tugas Kepolisian, terutama tindakan yang dilakukan dalam kewenangannya sebagai penyidik dalam rangka penyidikan perkara pidana.

2. Kajian tentang Tindak Pidana a. Pengertian Tindak Pidana

Mengenai isi dari pengertian dari tindak pidana memang tidak ada satu kesatuan mengenai pengertian tindak pidana dari pendapat para sarjana. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana istilah Tindak Pidana sendiri dikenal dengan perkataan “strafbaar feit”. Stafbaar feit sendiri merupakan terjemahan dari istilah “Tindak Pidana” yang sering dipakai dalam hukum pidana. “Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan tindakan hukuman pidana. Dan pelaku ini dapat dikenakan hukuman pidana” (Wirjono Prodjodikoro, 2002:55).

(35)

“Menurut Moeljatno menganggap lebih tepat menggunakan istilah “Perbuatan Pidana” sebagai terjemahan dari Tindak Pidana” yang didefinisikan sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut” (Moeljatno dalam Adami Chazawi, 2002:71).

“Menurut Pompe, merumuskan strafbaar feit atau Tindak Pidana sebagai tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum” (Pompe dalam P.A.F. Lamintang, 1997:183).

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hokum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu (Moeljatno, 2008:59).

“J. Baumann menyebutkan tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan” (J. Baumann dalam Sudarto, 1990:42).

Dari sejumlah pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang bersifat melawan hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana.

b. Unsur-unsur Tindak Pidana

Setelah kita mengetahui definisi dari istilah tindak pidana, tentunya kita perlu mengetahui unsur-unsur tindak pidana. Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan pendapatnya

(36)

mengenai unsur-unsur tindak pidana, begitu pula dengan Kitab-kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang memuat unsur tindak pidana. Diantaranya adalah sebagai berikut:

a) Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah: 1) Kelakuan dan akibat;

2) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan; 3) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;

4) Unsur melawan hukum yang objektif, yaitu yang menunjuk kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai perbuatan, misalnya Pasal 167 bahwa terdakwa tidak mempunyai wewenang untuk memaksa masuk, karena bukan pejabat Kepolisian atau Kejaksaan;

5) Unsur melawan hukum subjektif, yaitu terletak pada hati sanubari terdakwa sendiri, misalnya Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai pencurian, pengambilan barang orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang tersebut secara melawan hukum (Moeljatno 2008:69).

b) Menurut D. Simons, unsur-unsur strafbaar feit ialah:

1) Perbuatan manusia (positif atau negative; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);

2) Diancam dengan pidana; 3) Melawan hukum;

4) Dilakukan dengan kesalahan;

5) Oleh orang yang bertanggung jawab (Simon dalam Sudarto, 1990:41).

c) Dalam KUHP, diketahui adanya 8 unsur tindak pidana, yaitu: 1) Unsur tingkah laku;

2) Unsur melawan hukum; 3) Unsur kesalahan;

4) Unsur akibat konstitutif;

5) Unsur keadaan yang menyertai;

6) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana; 7) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;

8) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana (Adami Chazawi, 2002:81-82).

Mengingat banyaknya rumusan unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh beberapa ahli hukum dan Undang-undang, tidak

(37)

ada kesatuan pendapat mengenai unsur tindak pidana. Namun dapat disimpulkan unsur tindak pidana terdiri dari:

a) Unsur perbuatan

perbuatan atau tindakan orang merupakan unsur pertama dari tindak pidana. Perbuatan orang adalah titik hubungan yang menjadi awal dari terjadinya tindak pidana. Perbuatan mengandung arti berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Berbuat sesuatu adalah suatu perbuatan aktif dari seseorang yang memerlukan gerakan tubuh.

“Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk tingkah laku yang untuk mewujudkannya atau melakukannya diperlukan wujud gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian tubuh, misalnya mengambil (362) atau memalsu dan membuat secara palsu (268)” (Adami Chazawi, 2002:83).

Sedangkan tidak berbuat sesuatu adalah suatu perbuatan tidak melakukan aktivitas tertentu dengan tubuhnya, dimana seharusnya seseorang tersebut melakukan perbuatan aktif pada saat tertentu. Dengan tidak berbuat demikian seseorang itu disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban hukumnya, contohnya perbuatan tidak memberikan pertolongan (531), membiarkan (304), meninggalkan (308), tidak segera memberitahukan (164), tidak datang (522) (Adami Chazawi, 2002:83).

b) Unsur sifat melawan hukum

“Dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dengan pidana” (Moeljatno, 2008:140).

(38)

Unsur ini merupakan unsur yang penting dalam tindak pidana, karena perbuatan melawan hukum jelas merupakan tindakan yang tidak sesuai dan bertentangan dengan hukum yang berlaku dimana pun.

Unsur melawan hukum bukan suatu penilaian yang objektif terhadap sipembuat melainkan terhadap perbuatannya. Unsur ini memiliki dua ajaran yaitu sifat melawan hukum formil dimana dapat dikatakan melawan hukum apabila bertentangan dengan Undang-undang (hukum tertulis) dan ajaran sifat melawan hukum materiil yaitu melawan hukum karena bertentangan dengan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. c) Unsur kesalahan

Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam Undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungkan kepada orang tersebut (Sudarto, 1990:85).

Untuk adanya pemidanaan haruslah ada kesalahan pada sipembuat, maka dari itu berlakulah asas “Tiada Pidana Tanpa kesalahan”. Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48/2009) berbunyi:”Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang

(39)

didakwakan atas dirinya”. Jadi, unsur kesalahan sangat penting untuk menilai akibat dari perbuatan seseorang.

d) Unsur kemampuan bertanggungjawab

Dalam KUHP kita tidak secara jelas merumuskan pengertian kemampuan bertanggungjawab. Namun ada satu pasal yang berhubungan dengan kemampuan bertanggungjawab, yaitu Pasal 44 ayat 1 KUHP:”Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

Dalam Pasal 44 KUHP memang tidak secara jelas memuat apa yang dimaksud dengan kemampuan bertangungjawab, tetapi di Pasal tersebut terdapat alasan pada diri sipembuat sehingga perbuatan yang dilakukannya itu tidak dapat dipertanggung jawabkan.

e) Unsur memenuhi rumusan Undang-Undang

Unsur ini menerangkan bahwa untuk ada tidaknya tindak pidana, maka Undang-undang itu sendiri harus mengatur sebelum perbuatan itu dilakukan.

Dalam Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi ”suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.

Ini berarti bahwa orang yang telah melakukan suatu tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang itu hanya dapat dituntut dan dihukum berdasarkan Undang-undang Pidana atau berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang berlaku, pada waktu orang tersebut telah melakukan tindakannya yang terlarang dan diancam dengan hukuman (P.A.F. Lamintang, 1997:154).

(40)

c. Jenis-jenis Tindak Pidana

Tindak pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu: a) Tindak pidana dibedakan antara kejahatan (misdrijven) yang

dimuat dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) yang dimuat dalam buku III.

Pembagian dari tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran” itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita menjadi Buku ke-2 dan Buku ke-3 melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan pidana sebagai keseluruhan (P.A.F. Lamintang, 1997:211). Dengan dibedakannya tindak pidana antara kejahatan dan pelanggaran secara tajam dalam KUHP, mempunyai konsekuensi berikutnya dalam hukum pidana materiil, antara lain:

1) Dalam hal percobaan, yang dapat dipidana hanyalah terhadap percobaan melakukan kejahatan saja, dan tidak ada percobaan pelanggaran.

2) Mengenai pembantuan, yang dapat dipidana hanyalah pembantuan dalam hal kejahatan, dan tidak dalam hal pelanggaran (56).

3) Asas personaliteit hanya berlaku pada warga Negara RI yang melakukan kejahatan (bukan pelanggaran) diluar wilayah hukum RI yang menurut hukum pidana Negara asing tersebut adalah berupa perbuatan yang diancam pidana (Pasal 5 ayat 1 sub 2).

4) Dalam hal melakukan pelanggaran, pengurus atau anggota pengurus atau anggota komisaris hanya dipidana apabila pelanggaran itu terjadi adalah atas sepengetahuan mereka (59), jika tidak, maka pengurus, anggota pengurus atau komisaris itu tidak dipidana. Hal ini tidak berlaku pada kejahatan.

5) Dalam ketentuan perihal syarat pengaduan bagi penuntutan terhadap tindak pidana (aduan) hanya berlaku pada jenis kejahatan saja, dan tidak pada jenis pelanggaran.

(41)

6) Dalam hal tenggang waktu daluwarsa hak Negara untuk menuntut pidana dan menjalankan pidana pada pelanggaran relative lebih pendek daripada kejahatan (78, 84).

7) Hapusnya hak Negara untuk melakukan penuntutan pidana karena telah dibayarnya secara sukarela denda maksimum sesuai yang diancamkan serta biaya-biaya yang telah dikeluarkan jika penuntutan telah dimulai, hanyalah berlaku pada pelanggaran saja (82 ayat 1).

8) Dalam hal menjatuhkan pidana perampasan barang tertentu dalam pelanggaran-pelanggaran hanya dapat dilakukan jika dalam UU bagi pelanggran tersebut ditentukan dapat dirampas (39 ayat 2).

9) Dalam ketentuan mengenai penyertaan dalam hal tindak pidana yang dilakukan dengan alat percetakan hanya berlaku bagi kejahatan-kejahatan saja (61, 62), dan tidak berlaku pada pelanggaran.

10) Dalam hal penadahan, benda obyek penadahan haruslah diperoleh dari kejahatan saja, dan bukan dari pelanggaran. (480).

11) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia hanya diberlakukan bagi setiappegawai negeri yang di luar wilayah hukum Indonesia melakukan kejahatan jabatan (7), dan bukan pelanggaran jabatan.

12) Dalam hal perbarengan perbuatan sistem penjatuhan pidana dibedakan antara perbarengan antara kejahatan dengan kejahatan yang menggunakan sistem hisapan yang diperberat (verscherpteabsorptiestelsel, 65) dengan perbarengan perbuatan antara kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran yang menggunakan sistem kumulasi murni (zuivere cumulatiestelsel, 70) (Adami Chazawi, 120-122).

b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materiel delicten).

1) Tindak pidana formil adalah melakukan perbuatan yang dilarang, sehingga dapat diancam dengan hukuman oleh Undang-undang.

(42)

“ Perumusan tindak pidana formil tidak memperhatikan dan atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada perbuatannya” (Adami Chazawi, 2002:122). Contohnya, pencurian (362) untuk selesainya suatu pencurian dinilai pada selesainya perbuatan mengambil.

2) Tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang menimbulkan aikbat yang dilarang, oleh karena dengan menimbulkan akibat yang dilarang tersebut yang dapat dipertanggungjawabkan dan dipidana. Misalnya pada pembunuhan (338) inti larangan ialah menimbulkan kematian seseorang, bukan pada wujud menusuk, menembak, membacok atau memukul.

c) Menurut bentuk kesalahannya, dapat dibedakan tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan disengaja (culpose delicten).

1) “Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan” (Adami Chazawi, 2002:124).

Tindak pidana yang mengandung unsur kesengajaan, misal Pasal-pasal 187, 197, 245, 263, 338 KUHP.

2) Tindak pidana tidak dengan sengaja mengandung unsur kealpaan, yaitu tindak pidana yang unsur kesalahannya adalah berupa kelalaian, karena kurang hati-hati dan tidak

(43)

kesengajaan. Tindak pidana yang yang mengandung unsur kealpaan ini misalnya Pasal 114, 359, 360 KUHP.

d) Berdasarkan macam perbuatannya, dibedakan tindak pidana Aktif (Delik Commisionis) dan tindak pidana Pasif (Delik Omisionis).

1) Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif. (Adami Chazawi, 2002:125). Delik Commisionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang. Berbuat sesuatu yang dilarang,misalnya pencurian (362), penggelepan (372) KUHP.

2) Tindak pidana Pasif adalah dapat dikatakan sebagai pengabaian suatu kewajiban hukum. Yaitu kondisi dimana mewajibkan seseorang dibebani hukum untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, yang apabila tidak dilakukan akan melanggar kewajiban hukumnya tadi.

e) Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya dibedakan Tindak Pidana Terjadi seketika dan Tindak Pidana Berlangsung Terus. 1) Tindak pidana terjadi seketika dirumuskan sebagai tindak

pidana yang untuk terwujudnya dalam waktu seketika saja, tindak pidana ini dapat disebut juga dengan aflopende delicten. Seperti misalnya tindak pidana pencurian (362), jika perbuatan mengambil selesai, maka tindak pidana itu pun akan selesai dengan sempurna.

2) “Tindak pidana berlangsung terus yaitu tindak pidana yang mempunyai cirri, bahwa keadaan terlarang itu berlangsung

(44)

terus, misalnya merampas kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP)” (Sudarto, 1990:58).

f) Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus.

1) Tindak Pidana umum adalah semua tindak pidana dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (Adami Chazawi, 2002:127).

2) Tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi tersebut. Misalnya tindak pidana Korupsi (UU No.31 Th 1999), Tindak Pidana Perbankan (UU No. Th1998) (Adami Chazawi, 2002:127).

3. Kajian tentang Pencurian a. Pengertian Pencurian

Sebagaimana kita ketahui pencurian dalam KUHP diatur dalam Bab XXII, Pasal 362-367. Pasal 362 KUHP berbunyi, “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.

Jadi, yang dimaksud dengan mencuri dalam Pasal 362 adalah perbuatan mengambil suatu barang, yang seluruh atau sebagian merupakan kepunyaan dari orang lain, dengan maksud untuk dimiliki sendiri dan dilakukan dengan cara melawan hukum.

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mencuri berasal dari kata dasar “curi” yang artinya mengambil milik orang lain tanpa ijin atau dengan tidak sah, biasanya dengan

(45)

sembunyi-sembunyi. Sedangkan pencurian adalah proses dari perbuatannya, cara mencurinya.

Bagian inti delik (delicts bestanddelen) pencurian dalam Pasal 362 KUHP yang menjadi definisi semua jenis delik pencurian adalah:

1) Mengambil suatu barang (enig goed),

2) Yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, 3) Dengan maksud untuk memilikinya secara,

4) Melawan hukum.

Semua bagian inti ini harus disebut dan dijelaskan dalam dakwaan bagaimana dilakukan. Kata Koster Henke (Komentar W.v.S.), dengan mengambil saja belum merupakan pencurian, karena harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain. Lagi pula pengambilan itu harus dengan maksud untuk memilikinya bertentangan dengan pemilik. Menurut Cleiren, mengambil (wegnemen) berarti sengaja dengan maksud. Ada maksud untuk memiliki (Cleiren:907). Pada delik pencurian, barang yang dicuri itu pada saat pengambilan itulah terjadi delik, karena pada saat itulah barang berada di bawah kekuasaan si pembuat. Walaupun pengambilan itu hanya untuk dipergunakan sementara barang itu merupakan “memiliki” barang itu (Hoge Raad, 10 Desember 1957, NJ. 1958, 49). Dengan maksud untuk melawan hukum mengambil barang itu sebagai tuan dan penguasa memiliki barang itu (Hoge Raad, 14 Februari 1938, NJ. 1938, 731) (Andi Hamzah, 2009:101). b. Bentuk-bentuk pencurian

Bentuk-bentuk pencurian sebagaimana diatur dalam KUHP dapat dibedakan menjadi:

1) pencurian dalam bentuk pokok atau pencurian biasa (Pasal 362 KUHP)

(46)

2) pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 dan Pasal 365 KUHP) 3) pencurian ringan (Pasal 364 KUHP)

4) pencurian dalam lingkungan keluarga (Pasal 367 KUHP). Pencurian Dalam Bentuk Pokok atau Pencurian Biasa

Pencurian dalam bentuk pokok diatur dalam Pasal 362 KUHP, yang berbunyi : “Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, diancam dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.

Dari rumusan di atas dapat diketahui bahwa tindak pidana pencurian merupakan delik formil, dimana yang dilarang dan diancam dengan pidana itu adalah perbuatannya. Perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana itu adalah perbuatan “mengambil”.

Pencurian dengan Pemberatan

Pencurian dengan pemberatan pertama diatur dalam Pasal 363. Yang dimaksud dengan pencurian pemberatan adalah pencurian yang mempunyai unsur-unsur dari bentuk pencurian pokok atau biasa, namun karena terdapat tambahan dari unsur-unsur yang lain, maka hukumannya diperberat.

Unsur-unsur Pasal 363 yang menyebabkan pencurian itu diancam dengan hukuman yang lebih berat adalah sebagai berikut: 1) Pencurian ternak

Yang disebut ternak dalam Pasal 101 adalah binatang yang berkuku satu, binatang memamah biak, dan babi. Alasan memperberat

(47)

hukuman terletak pada hal; bahwa ternak dianggap kekayan yang penting. Dan ini sesuai dengan istilah Jawa rojokoyo bagi ternak, yaitu istilah yang berarti kekayaan besar.

2) Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang. Pemberian hukuman dikenakan lebih berat pada pencurian ini karena peristiwa atau kejadian seperti ini pasti menimbulkan keributan dan kekhawatiran pada khalayak ramai, hal ini justru memberikan kesempatan seorang yang jahat untuk melakukan pencurian dengan mudah, sedangkan seharusnya orang-orang harus sebaliknya memberi pertolongan kepada para korban.

3) Pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh seorang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak. Waktu malam adalah waktu dimana matahari terbenam menuju matahari terbit, “rumah kediaman” yaitu bangunan yang digunakan manusia sebagai tempat tinggal atau tempat kediamannya, “pekarangan tertutup” yaitu adanya pagar yang seluruhnya mengelilingi pekarangan dari sekelilingnya. Yang dimaksud “tidak diketahui” yaitu pencuri telah masuk kedalam rumah atau pekarangan tanpa sepengetahuan dari yang berhak atas rumah atau pekaranagn tersebut. Sedangkan “yang tidak dikehendaki” yaitu pencuri yang telah berada di dalam rumah atau pekarangan tanpa meminta ijin dari yang berhak atas rumah atau pekarangan tersebut.

(48)

4) Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama, maksudnya adalah dua orang atau lebih yang melakukan tindak pidana pencurian secara bersama-sama. Untuk melakukan hal ini harus dilakukan dalam hubungannya sebagai mededaderschap (Pasal 55) dan medeplichtigheid (Pasal 56). 5) Pencurian dengan merusak, memanjat, atau dengan memakai anak

kunci palsu, perintah palsu dan pakaian jabatan palsu. Perusakan misalnya dilakukan dengan merusak kunci dari pintu dirusak, memanjat menurut Pasal 99 KUHP dapat diartikan juga masuk melalui lubang yang memang sudah ada tetap bukan untuk masuk atau masuk melalui lubang di dalam tanah yang dengan sengaja di gali, begitu juga menyeberangi selokan atau parit yang digunakan sebagai batas penutup. Kunci palsu menurut Pasal 100 KUHP dapat diartikan juga segala perkakas yang tidak dimaksud untuk membuka kunci seperti misalnya sepotong kawat. Pakaian jabatan adalah seragam yang dipakai orang yang tidak mempunyai hak untuk memakainya.

Pencurian dengan pemberatan kedua adalah pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP, yang berbunyi:

1) Diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun, pencuri yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri

(49)

atau peserta lainnya atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya

2) Diancam dengan pidana penjara peling lama dua belas tahun : Ke-1 jika perbuatan dilaksanakan pada waktu malam hari dalam

sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dijalan umum atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;

Ke-2 jika perbuatan dilakukan dua orang atau lebih dengan bersekutu;

Ke-3 jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan dengan bersekutu;

Ke-4 jika perbuatan mengakibatkan luka berat.

3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 (dua puluh) tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau sampai mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam nomor 1 dan 3.

Pencurian Ringan

Pencurian ringan diatur dalam Pasal 364 KUHP. Pencurian dapat dikatakan sebagai pencurian biasa yang disertai hal-hal tersebut dalam Pasal 363 butir 4 dan 363 butir 5, yang apabila tidak dilakukan di dalam suatu rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dan apabila harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima

(50)

rupiah, dan diancam dengan pidana penjara maksimum tiga bulan penjara atau pidana denda enam puluh rupiah.

Pencurian Dalam Kalangan Keluarga

Pencurian ini diatur dalam Pasal 367 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:

1) Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini adalah suami (isteri) dari orang yang terkena kejahatan dan tidak terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu, tidak mungkin diadakan tuntutan pidana.

2) Jika dia adalah suami (isteri) yang terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan atau jika dia adalah saudara sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus, maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan, jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.

3) Jika menurut lembaga matriarkhal, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain dari pada bapak kandung (sendiri), maka ketentuan ayat di atas berlaku juga bagi orang itu.

Maksud dari Pasal 367 ayat (1) adalah jika seorang suami atau isteri melakukan sendiri pencurian atau membantu orang lain melakukan pencurian terhadap harta benda si isteri atau suaminya, sedangkan hubungan suami isteri belum diputuskan oleh suatu perceraian ataupun mereka masih bersama dalam tinggal satu rumah, dan tidak terpisah harta kekayaannya, maka pembuat atau pembantu tindak pidana pencurian tersebut tidak dapat diadakan tuntutan pidana.

(51)

Maksud dari Pasal 367 ayat (2) KUHP adalah jika pencurian dilakukan seorang suami terhadap harta benda si isteri atau sebaliknya si isteri melakukan pencurian terhadap harta benda si suami, sedangkan hubungan mereka telah terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan ataupun pencurian dilakukan oleh saudara sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus, maupun garis menyimpang derajat kedua, maka tuntutan dapat dilakukan terhadap mereka jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.

(52)

B. Kerangka Pemikiran

Tindak Pidana

Pencurian

Pencarian sidik jari di tempat kejadian perkara

Dirumuskan di Kepolisian

Sidik jari yang disimpan di

Kepolisian

Proses Perbandingan

Sidik jari yang dicurigai

Pelaku ditemukan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Proses penyidikan tindak pidana pencurian dengan pemberatan terhadap pelaku pencurian kendaraan bermotor di Polres Karanganyar

Upaya Kepolisian Dalam Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Yang Dilakukan oleh Pelajar Dan Upaya Penanggulangannya ( Studi Kasus Di Wilayah Hukum Polres Klaten). Galih Martino

Kendala yang dihadapi anggota Kepolisian Polres Sleman dalam penanggulangan tindak pidana pencurian sepeda motor adalah kurangnya kesadaran masyarakat dalam

PEMANFAATAN IDENTIFIKASI SIDIK JARI OLEH KEPOLISIAN DALAM MENGUNGKAP TINDAK

Upaya penggulangan represif merupakan penanggulangan yang terjadi setelah terjadinya suatu tindak pidana, adapun upaya penanggulangan represif yang di lakukan oleh

Upaya Represif adalah upaya yang dilakukan oleh Pihak Polres Trenggalek untuk melakukan sebuah tindakan setelah terjadinya tindak pidana pencurian bermotor,

Proses pelaksanaan Diversi bagi anak pelaku tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh penyidik di wilayah hukum Polres Pati haruslah melalui tahapan-tahapan

(2) Upaya Represifyang dilakukan oleh pihak kepolisian Polres Bone Bolango untuk memberantas terjadinya tindak pidana pencabulan adalah: (a) Menerapkan aturan hukum