• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORETIS

B. Kajian Teoretis

Kajian teori merupakan penjabaran kerangka teori yang memuat beberapa kumpulan materi terpilih dari berbagai sumber untuk dijadikan sebagai acuan pokok dalam membahas masalah yang diteliti. Sebagai acuan penelitian, berikut penulis paparkan teori mengenai hakikat novel, unsur intrinsik novel, nilai budaya, dan skenario pembelajaran sastra di kelas XI SMA.

1. Hakikat Novel Pengertian Novel

Prosa dalam pengertian kesusastraan juga disebut fiksi, teks naratif atau wacana naratif. Bentuk karya fiksi yang berupa prosa adalah novel dan cerpen. Kata “novel” berasal dari kata Latin novellas yang berarti baru (Tarigan, 1991: 164).

Menurut Waluyo (2002: 136) novel adalah wacana yang dibangun oleh beberapa unsur. Unsur-unsur itu membangun suatu kesatuan, kebulatan, dan regulasi membangun sebuah struktur. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa novel adalah bentuk karya fiksi yang dibangun oleh beberapa unsur yang menceritakan tentang kehidupan sehari hari.

2. Unsur Instrinsik Novel

Novel sebagai karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur pembangun yaitu dari unsur instrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Kepaduan antar berbagai unsur inilah yang membuat sebuah novel terwujud. Unsur yang dimaksud seperti tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, majas/gaya bahasa, dan amanat. Adapun penjabaran mengenai unsur intrinsik novel adalah sebagai berikut. a. Tema

Sudjiman (1988:51) menyatakan bahwa tema adalah sebuah gagasan, ide, atau pikiran yang mendasari karya sastra. Sejalan dengan Sudjiman, Tarigan (2008:80) berpendapat bahwa tema adalah dasar cerita.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang tema di atas, dapat disimpulkan bahwa tema merupakan suatu gagasan sentral, sesuatu yang hendak diperjuangkan dalam suatu tulisan atau karya fiksi. Tema disampaikan pengarang melalui unsur-unsur cerita agar dapat di tangkap oleh pembaca.

b. Alur (plot)

Alur (plot) merupakan unsur fiksi yang penting. Staton (1965: 14) mengemukakan plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Sejalan dengan Staton, Abrams (1981: 137) mengemukakan bahwa alur (plot) merupakan struktur

peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu.

Dalam cerita terdapat tahapan-tahapan yang terbentuk dalam rangkaian peristiwa. Berikut disajikan pendapat Tasrif mengenai tahapan alur yang disarikan oleh Nurgiyantoro (2010: 149) sebagai berikut.

1) Tahap situation (penyituasian)

Tahap ini berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal yang bertfungsi untuk melandasi cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.

2) Tahap generating circumtances (pemunculan konflik)

Pada tahap ini konflik (masalah-masalah) mulai dimunculkan oleh pengarang. Jadi, tahap ini merupakan pemunculan awal konflik cerita dan akan berkembang pada tahap berikutnya.

3) Tahap rising action (peningkatan konflik)

Tahap ini merupakan tahap pengembangan konflik yang telah dimunculkan sebelumnya. Peristiwa di dalam cerita semakin mencekam dan menegangkan.

4) Tahap climax (klimaks)

Pada tahap ini pertentangan atau konflik yang terjadi mencapai titik puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku terjadinya konflik.

5) Tahap denouement (penyelesaian)

Tahap ini merupakan penyelesaian dari konflik yang telah mencapai klimaks. Konflik-konflik tersebut mulai diberi jalan keluar kemudian cerita diakhiri.

c. Tokoh dan penokohan

Tokoh dalah pelaku yang mengalami peristiwa dan perlakuan dalam berbagai cerita. Sudjiman (1988:16) menyatakan tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Sejalan dengan Sudjiman, Abrams (dalam Nurgiantoro, 2002:165) berpendapat bahwa tokoh atau pelaku cerita adalah orang – orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki moral dan kecenderungan tentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Penokohan terlihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Sebaliknya, ada tokoh yang hanya muncul sekali atau beberapa kali dalam cerita, antara lain: tokoh utama, tokoh tambahan, tokoh protagonis, tokoh antagonis, tokoh sederhana, dan tokoh bulat.

Penokohan adalah teknik menampilkan tokoh. Teknik penampilan tokoh atau penggambaran tokoh menurut Nurgiyantoro (2010:195-211) terbagi menjadi dua, yaitu:

1) Teknik analitik, yaitu pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan deskripsi atau penjelasan secara langsung.

2) Teknik dramatik, yaitu pengarang tidak secara langsung mendeskripsikan sikap, sifat, tingkah laku, teknik pikiran lain, yang meliputi: teknik cakapan, teknik reaksi tokoh lain, teknik pelukisan latar, dan teknik pelukisan fisik.

Berdasarkan pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa tokoh merupakan pelaku cerita yang hadir untuk menampilkan suatu karakter tertentu, sedangkan penokohan merupakan gambaran tentang seseorang yang ditampilkan dalam cerita.

d. Latar (setting)

Latar merupakan peristiwa-peristiwa dalam cerita terjadi pada suatu waktu atau dalam suatu rentan waktu tertentu. Latar (setting) adalah landas tumpu yang menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010:216).

Nurgiyantoro (2002: 227-233) membedakan latar menjadi tiga unsur pokok, yaitu :

1) Latar tempat

Latar tempat merupakan latar yang menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya sastra, seperti : desa, sungai, jalan, hutan, dan lain-lain.

2) Latar waktu

Latar waktu merupakan latar yang menyarankan pada “kapan” terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra misalnya: tahun, musim, hari dan jam.

3) Latar sosial

Latar sosial merupakan latar yang menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra, misalnya kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandanga hidup, cara berfikir dan bersikap.

Latar (setting) dalam cerita bukan semata-mata sebagai kapan dan dimana cerita itu terjadi, melainkan juga tempat pengambilan nilai-nilai yang akan diungkapkan pengarang dalam cerita tersebut. Oleh karena itu, biasanya pengarang tidak akan sembarangan dalam menentukan latar (setting) cerita karena latar sangat berperan dalam mendukung cerita baik itu dalam kaitanya dengan tema, sikap tokoh, dan peristiwa-peristiwa.

Berdasarkan pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa latar (setting) adalah suatu linjgkungan atau tempat terjadinya peristiwa-peristiwa dalam karya satra, yang meliputi tempat, waktu, dan sosial.

e. Sudut Pandang (point of view)

Sudut pandang atau pusat pengisahan merupakan titik pandang dari sudut mana cerita itu dikisahkan (Nurgiyantoro, 2005:18). Ada dua metode penceritaan dalam pusat pengaisahan yaitu:

1) metode akuan, yakni aku bercerita tentang dirinya sendiri (aku kadang oleh pembaca diidentikan dengan pengarangnya),

2) metode diaan, artinya pengarang tidak tampak hadir dalam cerita tetapi dia berkedudukan sebagai yang serba tahu, cerita yang dikisahkan adalah cerita mereka.

f. Gaya Bahasa

Abrams (1981: 190-191) menjelaskan bahwa gaya bahasa adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Gaya bahasa pada hakikatnya merupakan teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan (Nurgiyantoro, 2010: 277). g. Amanat

Amanat terdiri dari 2 macam, yaitu tersurat dan tersirat. Amanat bersifat tersurat adalah amanat yang secara langsung disampaikan dalam karya sastra. Sebaliknya, amanat bersifat tersirat adalah amanat yang secara tidak langsung disampaikan oleh penulis, pembaca harus menyimpulkan sendiri amanat bacaan tersebut (Nurgiyantoro, 2010:335).

3. Nilai budaya

Orientasi nilai budaya dalam penelitian ini yang berhubungan dengan sitem nilai budaya dalam masyarakat. Koentjaraningrat (1975:32) menjelaskan bahwa sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat.

Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga masyarakat, mengenai hal-hal

yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sitem tata kelakuan manusia lain yang tingkatanya lebih konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma, semuanya juga berpedoman kepada sistem nilai budaya.

Sistem nilai-budaya dalam semua kebudayaan di dunia, meliputi: hakikat dari hidup manusia (MH), hakikat dari karya manusia (MK), hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu (MW), hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitar (MA), hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya (MM). (Kluckhohn dalam Koenjaraningrat, 1975:34-35).

Dari lima cabang nilai tersebut, peneliti budaya akan menerapkan ke dalam kancah fenomena di lapangan. Mungkin sekali, hanya sebagian yang ditemukan dan mungkin pula menemukan keseluruhan nilai. Semakin kompleks hidup manusia, tentu aneka nilai itu akan semakin nampak dalam kehidupannya. Dalam kaitanya dengan nilai moral atau budi pekerti kategori budi pekerti dapat dikelompokkan menjadi lima, yatu: (1) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan, misalnya: semedi, menyembah, berkorban, slametan dan sebagainya; (2) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan manusia, misalkan sikap gotong royong, rukun, membantu, kasih-mengasihi; (3) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan alam semesta, yaitu sikap tak semena-mena kepada benda mati (batu, air, sungai, gunung); (4) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan mahkluk lain, misalkan jin, setan, hewan, tumbuhan dan lain-lain; (5) budi

pekerti yang berhubungan antara manusia dengan diri sendiri (Endraswara, 2002: 83).

4. Skenario Pembelajaran Sastra di kelas XI SMA a. Pembelajaran sastra

Pembelajaran sastra merupakan penyajian karya sastra dalam situasi belajar mengajar kelas yang bertujuan untuk menanamkan sikap positif terhadap hasil karya sastra dalam wujud pemahaman transformasi dari tekstual ke faktual. Pembelajaran sastra meliputi salah satu bidang yang luas, karena pengertian sastra mencakup isi yang beraneka ragam, termasuk dalam pembelajaran sastra misalnya: puisi, drama, cerpen, dan novel.

Salah satu kelebihan novel sebagai bahan pembelajaran sastra adalah cukup mudah karya sastra tersebut dinikmati sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing dalam memahami cerita sesuai perseorangan. Namun, tingkat kemampuan tiap-tiap individu tidak sama (Rahmanto, 1988:66).

b. Manfaat Pembelajaran Sastra

Endraswara (2005: 51-59) menyatakan bahwa pembelajaran sastra bermanfaat untuk memberi wawasan kemanusiaan, mendidik jiwa bangsa, dan memberi wawasan budaya kepada peserta didik. Sejalan dengan Endraswara, Moody (dalam Endraswara, 2005: 56-57) menyatakan bahwa pembelajaran pembelajaran sastra dapat membantu pendidikan yang cakupannya meliputi 4 manfaat, yakni: membantu keterampilan berbahasa,

meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak.

c. Materi Pembelajaran Sastra

Depdiknas (2006: 3-4) menyebutkan bahwa bahan pembelajaran/materi pembelajaran adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar (KBM), baik tertulis maupun tidak sehingga tercipta lingkungan/suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar.

Bahan pembelajaran yang disajikan kepada siswa harus sesuai dengan kemampuan siswanya pada suatu tahapan pengajaran tertentu. Guru harus dapat memilih bahan yang tepat dengan tingkat perkembangan siswa.

Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang saat ini digunakan di semua jenjang pendidikan. Sesuai dengan Undang- undang Sistem Pendidikan Nasional, mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonessia, khususnya pembelajaran sastra di SMA kurikulum 2013 meliputi kompetensi isi, kompetensi dasar, dan indikator kompetensi.

Kompetensi Inti (KI) 2: Memiliki sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia dengan cara mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia dan mengapresiasi sastra Indonesia sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. Kompetensi dasar 2.4 mengembangkan sikap apresiatif dalam menghayati karya sastra.

Berdasarkan paparan KI dan KD di atas sesuai dengan kurikulum 2013 dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sastra di SMA dapat

menggunakan novel sebagai materi pembelajaran sastra. Novel yang digunakan harus mempunyai nilai estetik dan mengandung nilai-nilai pendidikan yang berguna bagi siswa. Novel yang digunakan sebagai materi pembelajaran di kelas XI SMA adalah novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa dengan penjelasan mengenai nilai budaya.

Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan agar bahan pembelajaran yang dipilih tepat, sesuai dengan yang diungkapkan Rahmanto, (1988: 27-31) ada tiga aspek penting yang tidak boleh dilupakan jika kita ingin memilih bahan pembelajaran sastra, yaitu: aspek bahasa, aspek kematangan jiwa (psikologi), dan aspek latar belakang kebudayaan siswa. Novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa syarat akan aspek tersebut. d. Model Pembelajaran

Model pembelajaran menurut Suprijono (2010: 46) adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Dengan kata lain model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.

Model pembelajaran yang penulis gunakan adalah pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning). Pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru. Secara umum pembelajaran kooperatif dianggap lebih diarahkan oleh guru, di mana guru menetapkan tugas dan pertanyaan-pertanyaan serta menyediakan bahan-bahan dan

informasi yang dirancang untuk membantu peserta didik menyelesaikan masalah yang dimaksud. Guru biasanya menetapkan bentuk ujian tertentu pada akhir tugas (Suprijono, 2013: 55).

Untuk pencapaian hasil yang maksimal, lima unsur dalam pembelajaran kooperatif harus diterapkan (Suprijono, 2009: 58). Lima unsur tersebut adalah positive interpendence (saling ketergantungan positif); personal responsibility (tanggung jawab perseorangan); face to face promotive interaction (interaksi promotif); interpersonal skill (komunikasi antaranggota); dan group processing (Pemrosesan kelompok).

Supaya pembelajaran kooperatif berjalan maksimal, sebagai guru wajib memahami sintak model pembelajaran kooperatif. Sintak model pembelajaran kooperatif terdiri dari enam fase (Suprijono, 2009: 65).

Tabel 1. Sintak Model Pembelajaran

FASE-FASE PERILAKU GURU

Fase 1: Present goals and set Menyampaikan

tuju-an dtuju-an mempersiapktuju-an peserta didik

Menjelaskan tujuan pembelajaran dan mempersiapkan peserta didik siap belajar

Fase 2: Present Information

Menyajikan informasi Mempresentasikan informasi kepada peserta didik secara verbal Fase 3: Organize student into

learning teams

Mengorganisir peserta didik ke dalam tim-tim belajar

Memberikan penjelasan kepada peserta didik tentang tata cara pembentukan tim belajar dan membantu kelompok melakukan transisi yang efisien

Fase 4: Assist team work and study

Membantu kerja tim dan belajar Membantu tim-tim belajar selama peserta didik mengerjakan tugasnya Fase 5: Test on the materials

Mengevaluasi Menguji pengetahuan peserta didik mengenai berbagai materi pembelajaran atau kelompok-kelompok mempresentasikan hasil kerjanya

Fase 6: Provide recognition Memberikan pengakuan a-tau penghargaan

Mempersiapkan cara untuk mengakui usaha dan prestasi individu maupun kelompok

e. Langkah-langkah Pembelajaran

Langkah-langkah pembelajaran adalah tahap-tahap yang ditempuh dalam proses pembelajaran. Tahap-tahap tersebut dipilih dan ditentukan masing-masing guru sesuai dengan model dan metode yang digunakan.

Menurut Rahmanto (1988: 43), guru hendaknya selalu memberikan variasi dalam menyampaikan pembelajaran, sehingga siswa tidak jenuh dan selalu siap menanggapi berbagai rangsangan. Langkah-langkah pembelajaran menurut Rahmanto (1988: 43) sebagai berikut.

1) Pelacakan pendahuluan

Guru mempelajari terlebih dahulu materi yang akan diajarkan untuk memperoleh pemahaman awal tentang novel yang akan disajikan sebagai bahan ajar agar dapat menentukan aspek-aspek yang perlu mendapat perhatian khusus dan masih perlu dijelaskan.

2) Penentuan sikap praktis yang menentukan informasi yang dapat diberikan oleh guru untuk mempermudah siswa dalam memahami novel yang disajikan, keterangan yang diberikan hendaknya jelas dan seperlunya. 3) Introduksi

Pengantar yang diberikan tergantung pada setiap guru dan keadaan siswa. 4) Penyajian

Tahap penyajian yaitu menyajikan materi yang telah disiapkan untuk diajarkan kepada siswa.

5) Tugas-tugas praktis

Pada tahap ini, siswa diberi tugas-tugas praktis diawali dengan pertanyaan-pertanyaan ringan.

f. Evaluasi

Sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (school based management), guru berwenang untuk melakukan inovasi dan improvisasi dalam melaksanakan pembelajaran di sekolah (Mulyasa, 2003: 14). Sejalan dengan itu, guru dapat mengembangkan berbagai strategi penilaian, asal tetap memperhatikan prinsip berkelanjutan.

1) Tugas: siswa diminta berdiskusi untuk memahami struktur dan kaidah teks novel.

2) Observasi: mengamati kegiatan peserta didik dalam proses mengumpulkan data, analisis data, dan pembuatan laporan.

3) Portofolio: menilai laporan peserta didik tentang struktur dan kaidah teks novel.

4) Tertulis: menilai kemampuan peserta didik dalam dalam memahami, menerapkan, dan menginterprestasi makna teks novel.

Dokumen terkait