• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan Data

Penulis menyajikan data tentang unsur intrinsik, nilai budaya dan skenario pembelajaran di kelas XI SMA. Data berupa narasi dan percakapan dari objek penelitian. Berikut data yang diambil dari penelitian.

1. Unsur Intrinsik Novel Sinden Karya Purwadmadi Admadipurwa

Dalam penelitian ini dibahas unsur intrinsik dalam novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa.

a. Unsur Intrinsik dalam novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa

Unsur intrinsik novel meliputi tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan amanat. Berikut ini disajikan pembahasan untuk setiap unsur tersebut.

1) Tema (theme)

Tema adalah gagasan dasar dan makna yang dikandung sebuah oleh cerita. Untuk mendapatkan tema, terlebih dahulu harus diidentifikasi maslah-masalah yang terdapat di dalam cerita yang dapat membantu menemukan tema.

Pengertian masalah dengan tema berbeda karena masalah merupakan suatu unsur yang membangun tema sehingga timbul beberapa masalah yang mendukung

tema. Masalah yang terdapat dalam novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa antara lain:

a) Komunis sudah dianut Lurah Sumberwungu

Di bawah ini disajikan data (1) yang berisi masalah pemuda berkumpul di halaman balai desa yang terdapat dalam novel Sinden sebagai berikut.

“Ponco kamu memang sewenang-wenang. Dasar!”kata Tarman tegas. Meski kata-katanya belum usai namun semua cukup maklum, yang dimaksud Tarman. Lurah Ponco membeliak mendengar kata-kata keras itu. Lurah Ponco selalu menonak dituduh komunis meski ia selalu berhubungan dengan orang-orang partai (Admadipurwa, 2007:71).

Berdasarkan kutipan di atas, penulis menyimpulkan bahwa Lurah Ponco adalah salah satu anggota partai komunis yang berkuasa di desa Sumberwungu. Oleh sebab itu, Tarman selalu menentang Lurah Ponco agar komunis tidak berkembang di Sumberwungu.

b) Warga yang tidak setuju dengan ideologi partai komunis mulai bertindak. Hal ini dapat dilihat pada data (2) sebagai berikut.

Pak Mantri dan Tarman memang merasa sudah saatnya memusuhi Ponco dan Mangun secara terang-terangan. Sebab kalau tidak, kasihan rakyat yang tak berdosa dan tak tahu papa-apa, jadi korban ambisi mereka. Dan Tarman juga tahu, Ponco dan Mangun tak seberapa berbahaya disbanding dengan ajaran-ajarannya. Pak Mantri, Tarman dan Gendon bertekad membendung pengaruh Ponco. Pak Mantri yang mengupayakan kesejahteraan warga, Tarman yang berusaha mencerdaskan kehidupan rakyat dan Gendon memberikan siraman rokhani (Purwadmadi, 2007: 72).

Dari uraian tersebut di atas, penulis menyimpulkan bahwa beberapa warga yang tau akan bahaya ajaran partai yang Ponco anut, mereka menyusun strategi untuk melawan Ponco secara halus. Cara-cara yang mereka gunakan cara yang tidak menimbulkan konflik.

c) Kalangan seniman ingin berjuang melalui sinden. Nyai Estu merupakan tokoh kesenian di desa Sumberwungu. Ia tidak mau ketinggalan dalam hal perjuangan. Hal ini dapat dilihat pada data (3) sebagai berikut.

Estu ingin melahirkan sinden bersuara emas yang kondang. Ia ingin mencetak sinden. Ia ingin Tumi menjadi kembang sinden dan mengalahkan semua sinden yang dipersiapkan orang-orang Poncodriyo. Ia ingin berjuang melalui sinden. Melalui seorang anak dara, Tumi (Purwadmadi, 2007: 89).

Dari kutipan di atas, penulis menyimpulkan bahwa Nyai Estu juga mempunyai cara untuk berjuang melawan PKI melalui kesenian. Cara yang Nyai Estu pilih adalah dengan melahirkan sinden baru yang baik yang dapat menjadi panutan warga Sumberwungu.

d) Masalah kesenian Sumberwungu yang akan dihancurkan

Di bawah ini disajikan data (4) yang berisi masalah kesenian Sumberwungu yang akan dihancurkan yang terdapat dalam novel Sinden sebagai berikut.

Murid Ki Dipocarito tidak hanya banyak tersebar di Argalaksa tetapi juga melebar sampai di daerah Surakarta dan Yogyakarta. Apabila Ki Dipocarito dapat berkompromi dan menjalankan misi partai, maka seni pedalangan dan karawitan akan gampang ditekuk bertekuk lutut pada propaganda partai. Demikian juga dengan Nyai Estu Suminar yang memiliki banyak murid sinden (Admadipurwa, 2007:247).

Dari kutipan narasi di atas, penulis menyimpulkan bahwa kesenian di Argalaksa begitu besar dan para pemuka kesenian menjadi idola kebanyakan masyarakat. Oleh sebab itu, partai komunis ingin memanfaatkan kesenian perwayangan dan karawitan sebagai sarana kampanye namun, partai komunis mendapat perlawanan dari sebagian seniman yang ada di Sumberwungu seperti Nyai Estu Suminar dan rekan-rekanya.

Berdasarkan seluruh masalah di atas, penulis menyimpulkan bahwa tema yang terkandung dalam novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa adalah “perjuangan para seniman dan sebagian masyarakat melawan partai komunis”. Perjuangan para seniman ditampilkan pada tokoh Nyai Estu beserta rekan-rekannya sedangkan perjuangan masyarakat ditampilkan pada tokoh Tumi, Karto, guru Tarman, Gendon dan lain-lain.

2) Latar (setting)

Latar (setting) adalah landas tumpu yang menyaran pada hubungan tempat, hubungan waktu, dan hubungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Unsur latar dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a) Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan. Berikut penulis sajikan latar tempat yang terdapat dalam novel Sinden.

(1) Emper rumah

Emper merupakan serambi( di samping, di muka, atau di belakang rumah atau bangunan); atap tambahan yang bersambung pada rumah induk (KBBI: 370).. Di dalam novel Sinden menggunakan latar tempat yaitu emper rumah yang dapat dilihat pada data (5) di bawah ini.

Karto duduk di lincak, bagian emper rumahnya. Waktu itu Tumi baru saja pulang berlatih nyinden di rumah Nyai Estu, sinden ternama. Tumi cercita-cita menjadi sinden (Admadipurwa, 2007:7).

Dari kutipan di atas, penulis menyimpulkan latar tempat berada di emper rumah. Emper rumah tanpa pagar ini menjadi tempat nyaman untuk berinteraksi karena sejuk oleh angin yang berhembus setiap saat. Emper rumah juga menjadi

tempat hilangnya Rudito saat tergeletak karena minuman keras. Hal ini dapat dilihat pada data (6) sebagai berikut.

Siang tadi, Karto pergi ke ladang mengairi tanamannya sepeninggalan Tumi berangkat belajar nyinden ke rumah Nyai Estu. Ia membiarkan Rudito, terlelap mabuk di emperan rumahnya. Hingga seperempat malam ia di ladangnya pekedemikian biasanya ia lakukan (Admadipurwa, 2007:58).

Dari kutipan narasi di atas, penulis menyimpulkan peristiwa hilangnya Rudito saat ia tergeletak di emper rumah Karto dan ditinggal pergi ke ladang. Sepulang dari ladang, Rudito yang tadinya tergeletak sudah tidak ada dan hanya bercak darah yang tersisa berceceran.

(2) Kamar tidur

Kamar merupakan ruang yang bersekat(tertutup) dinding yang menjadi bagian rumah atau bangunan (KBBI: 611). Di dalam novel Sinden menggunakan latar tempat kamar tidur dapat dilihat pada data (7) di bawah ini.

Tumi tak kuasa menolak. Begitu masuk kamar itu Tumi langsung terperangah. Sebuah kamar yang mewah, tempat tidur lebar berkelambu. Almari besar berisi baju-baju indah. Baunya harum melati dan di pojok ruangan terdapat sebuah songsong (paying kebesaran) yang tertutup dan sebilah tombakdengan landeyan (tangkai) panjang. Pusaka yang menemani selama ini (Admadipurwa, 2007:46).

Dari kutipan narasi di atas, penulis menyimpulkan bahwa latar tempat berada di kamar tidur Nyai Estu. Tumi malam itu hedak menginap di rumah Nyai Estu karena latihan sampai larut malam. Ketika Tumi hendak tidur di ruang tamu Nyai Estu memaksa untuk tidur bersamanya karena Tumi sudah dianggap sebagai anak Nyai Estu, bukan sekadar murid.

(3) Jalan setapak

Jalan adalah tempat untuk lalu lintas orang (KBBI: 558). Jalan setapak adalah jalan yang memiliki lebar kurang lebih 50cm. Di dalam novel Sinden menggunakan latar jalan setapak yang dapat dilihat pada data (8) di bawah ini.

Tidak tau kenapa orang-orang yang yang lewat jalan itu selalu menapak di tempat orang lain juga menapak sehingga di bagian tersebut rumput tak tumbuh. Seperti kebiasaan orang desa, berjalan selalu beriringan muka belakang bukan berjajar berjalan bersama. Rumputan di kanan kiri “jalan setapak” malam itu tampak hitam (Admadipurwa, 2007:58).

Dari kutipan di atas, penulis menyimpulkan latar tempat berada di jalan setapak. Malam itu Karto menyusul Tumi yang menginap dirumah Nyai Estu. Karto memberi kabar bahwa Rudito hilang, mereka bergegas kembali ke rumah Karto dengan melewati jalan setapak.

b) Latar Waktu

Selain latar tempat, juga digunakan latar waktu untuk mendukung cerita. Latar waktu yang berkaitan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah cerita. Di bawah ini disajikan data yang berkaitan dengan latar waktu sebagai berikut.

(1) Siang hari

Kebiasaan Karto sembari melepas lelah setelah petang hari ia habiskan untuk bercocok tanam di kebun ia beristirahat sambil mengayam kipas. Ketika itu Karto mengayam kipas di siang hari. Hal tersebut dapat dilihat pada data (9) sebagai berikut.

Siang semakin membumbung. Hari panas namun angin gunung sabar menyejukkannya. Karto selesai menganyam kipas. Dalam duduk siang di emperan rumahnya, Karto seperti membiarkan lamunannya mengembang. Saat sedang menyeruput the pahitnya, Tumi berlarian, tergopoh-gopoh,

menangis tanpa membawa apapun. Bahkan ia hanya mengenakan kain jarit penutup tubuhnya (Admadipurwa, 2007:18).

Dari kutipan di atas, penulis menyimpulkan bahwa latar waktu adalah siang hari. Hal ini dapat dilihat pada penggalan kutipan, “Hari panas namun angin gunung sabar menyejukkannya. Karto selesai menganyam kipas”. Dalam kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa latar waktu adalah siang hari.

(2) Malam hari

Hari itu Tumi belajar hingga malam hari meski rekan-rekan yang belajar di tempat Nyai Estu sudah lebih dahulu pulang. Latar waktu malam hari pada novel Sinden dapat dilihat pada data (10) sebagai berikut.

Hari berangkat malam. Tinggal Tumi yang masih berada di rumah Nyai Estu. Kawanya, sesama gadis yang belajar sinden kepada Nyai Estu sudah pada pulang sejak sebelum senja. Tumi biasanya menghabiskan malam latihannya berdua dengan Nyai Estu. Tumi menginap, menemani Nyai Estu dan esoknya baru pulang (Admadipurwa, 2007:44).

Dari kutipan di atas, penulis menyimpulkan latar waktu adalah malam hari. Sudah menjadi kebiasaan Tumi belajar Nyinden sampai malam hari.

(3) Sore hari

Tumi, Nyai Estu, dan Tarman terlibat obrolan serius ketika mereka berada di bawah pohon yang berada tak jauh dari sungai. Mereka membicarakan tentang permasalahan yang sedang terjadi selepas Karto ditangkap oleh polisi. Hal tersebut mereka bicarakan sore hari, dapat dilihat pada data (11) sebagai berikut.

Hari makin sore dan sinar matahari tak lagi begitu panas. Anak-anak gembala sudah mulai menggiring ternak ke pinggir sungai yang banyak ditumbuhi rumput liar. Penggembala itu melihat Tumid dan Tarman sedang duduk-duduk di bawah asam kranji, tebing kali Sumberwungu (Admadipurwa, 2007:159).

Dari kutipan di atas, penulis menyimpulkan latar waktu adalah sore hari. Hal ini penulis simpulkan berdasarkan penggalan kutipan “Hari makin sore dan sinar matahari tak lagi begitu panas”. Latar waktu sore hari juga pengarang gunakan pada bagian selanjutnya ketika Tumi, Tarman dan Nyai Estu beranjak meninggalkan pohon Asam Kranji. Hal ini dapat dilihat pada data (12) sebagai berikut.

Gembala meneruskan langkahnya, memburu kerbaunya yang akan makan tanaman di ladang orang. Mereka menatap anak gembala makin menjauh melangkah menuju lereng rumput. Mereka bertiga beranjak meninggalkan kali berbatas rimbun daun-daun pandan. Banyak orang dewasa di Sumberwungu yang mulai gelisah. Hari makin senja, matahari seakan begitu cepat melorot ke kaki langit (Admadipurwa, 2007:163).

Uraian di atas berisi latar waktu sore hari. Hal ini dapat dilihat pada penggalan kutipan “Hari makin senja, matahari seakan begitu cepat melorot ke kaki langit”. Penggalan kutipan tersebut memberikan gambaran bahwa sore hari semakin petang dan hari mulai malam.

Berdasarkan seluruh kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa latar waktu terjadinya peristiwa dalam novel Sinden adalah siang hari, malam hari dan sore hari. Latar waktu disajikan secara utuh oleh pengarang sehingga menimbulkan imaginasi pembaca.

c) Latar Sosial

Latar sosial adalah hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat suatu tempat yang diceritakan dalam cerita. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencangkup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks, misalnya berupa kebiasaan hidup, cara berpikir, dan lain-lain yang

tergolong latar sosial. Di bawah ini disajikan data-data yang berkaitan dengan latar sosial sebagai berikut.

(1) Seorang Sinden

Seorang sinden adalah gambaran latar sosial Nyai Renggomanis, biduanita terkenal yang memulai cerita tentang Sinden di Sumberwungu. Pada saat itu putra tunggal Nyai Renggomanis hilang karena ia adalah salah satu tokoh revolusi. Di bawah ini disajikan data (13) yang berkaitan dengan hal tersebut sebagai berikut.

Seperti warga desa lainnya, Tuwuh adalah warga kebanyakan. Biasa-biasa saja. Tuwuh tumbuh menjadi pemuda lumrah. Kelebihannya, ia kuliah di Yogya dan sudah hampir selesai studi di universitas terkemuka. Warga menganggapnya sebagai pemuda yang berkecukupan karena warisan dari ibunya lebih dari cukup untuk hidup. Yang paling pokok, Tuwuh dikenal sebagai putra tunggal almarhum Nyai Renggomanis, sinden atau biduanita dalam karawitan Jawa. Ibunya sinden ternama (Admadipurwa, 2007:2). Kutipan tersebut berisis latar sosial Nyai Renggomanis. Renggomanis adalah sinden ternama dan merupakan cikal bakal kelahiran sinden-sinden di Sumberwungu. Nyai Estu merupakan salah satu murid Nyai Renggomanis.

(2) Seorang Lurah

Seorang lurah adalah gambaran Poncodriyo sebagai lurah yang berkuasa di Sumberwungu. Di bawah ini disajikan data (14) berisi latar sosial sebagai berikut.

Tetapi Kartosemedi teguh pada pendiriannya. Ia menempuh semua resiko jika Lurah Sumberwungu akan mempersulit dirinya di kemudian hari. Kartosemedi ingin anak gadisnya itu dapat mencapai cita-cita sebagai sinden sekaligus merantas tradisi kawin cerai yang dialami banyak pesinden (Admadipurwa, 2007:17).

Kutipan di atas berisi latar sosial Poncodriyo. Poncodriyo adalah seorang lurah yang terkenal kejam terhadap rakyatnya. Kartosemedi harus berurusan dengan lurah tersebut karena lamaran yang ditujukan kepada anak gadisnya Tumi.

Pernyataan tersebut dapat dilihat pada penggalan kutipan, “Ia menempuh semua resiko jika Lurah Sumberwungu akan mempersulit dirinya di kemudian hari”. Dalam penggalan kutipan di atas dijelaskan bahwa tidak mudah ketika harus berurusan dengan Lurah Poncodriyo.

3) Sudut Pandang (point of view)

Sudut pandang merupakan krusial dalam mempengaruhi penyajian cerita dan alurnya. Sudut pandang sendiri memiliki pengertian sebagai cara pengarang menempatkan dirinya di dalam cerita. Sudut pandang adalah teknik yang dipilih pengarang untuk menyampaikan cerita. Sudut pandang dibedakan menjadi dua, yaitu orang pertama dan orang ketiga. Dalam novel Sinden pengarang menggunakan sudut pandang narrator observe yaitu sudut pandang orang ketiga mahatahu. Sudut pandang narrator observe ditandai adanya penggunaan kata ganti orang ketiga seperti dia, ia, mereka, ataupun nama. Berikut ini disajikan data (15) yang berkaitan dengan sudut pandang sebagai berikut.

Rudito dikenal sebagai pemuda yang serba susah. Kesukaannya, berjudi, mabuk, dan main perempuan. Bahkan sangat doyan mengganggu isteri orang. Semua warga Sumberwungu menngetahui tingkah polah Rudito, namun tidak seorangpun berani melawan. Kekuasaan Poncodriyo sangat besar, bahkan makin tambah besar. Tumi tahu, Rudito makin mengejarnya. Namun, gadis itu tidak ambil peduli (Admadipurwa, 2007:11).

Berdasarkan kutipan di atas, penulis menyimpulkan bahwa pengarang mahatahu segala tingkah laku dan karakter tokoh yang ia sebutkan. Pengarang memberikan gambaran secara rinci tentang tokoh Rudito tersebut. Gambaran watak tokoh yang disajikan secara rinci juga dapat dilihat pada data (16) sebagai berikut.

Tumi tumbuh menjadi gadis remaja yang baik. Ia biasa bekerja di ladang. Ia biasa menyiapkan makan untuk bapaknya. Ia juga menbgurus ayam-ayam piaraannya. Ia juga mengurus rumahnya yang mungil hingga menjadi bersih dan rapih (Admadipurwa, 2007:14).

Kutipan di atas, memberikan gambaran watak tokoh Tumi yang disajikan secara implisit yaitu pembaca terlebih dahulu harus menyimpulkan apa yang disampaikan pengarang melalui sebuah narasi maupun percakapan. Penulis menyimpulkan bahwa tokoh Tumi adalah gadis yang rajin dalam segala pekerjaan rumah.

4) Alur (plot)

Alur merupakan rangkaian peristiwa dalam karya sastra yang dihubungkan dengan sebab-akibat. Peristiwa yang satu menyebabkan atau disebabkan peristiwa yang lain. Tahapan-tahapan peristiwa yang ada dalam cerita terbentuk dalam rangkaian peristiwa. Tasrif membagi perkembangan alur secara lebih rinci, tahap situation (penyituasian), tahap generating circumtances (pemunculan konflik), tahap climax (klimaks), dan tahap denouement (penyelesaian). Di dalam novel Sinden kelima tahapan tersebut berlaku secara kronologis. Oleh karena itu alur cerpen ini disebut sebagai alur maju atau progresif. Berikut ini disajikan pembahasan untuk masing-masing tahapan alur sebagai berikut.

a) Tahap penyituasian (situation)

Awal cerita dimulai dengan hilangnya Tuwuh. Mahasiswa putra tunggal Nyai Renggomanis hilang karena ia adalah aktivis sekaligus pendemo yang kerap memimpin demonstrasi dimana-mana. Hal ini terdapat pada kutipan (17) sebagai berikut.

Ya, warga desa di Sumberwungu belum pernah merasa sepenting saat ini. Sebuah desa yang lama tenggelam dalam katagori miskin dan layak menerima bantuan pengentasan kemiskinan, kini berubah menjadi desa yang amat diperhatikan. Ketika rasa bangga terhadap Tuwuh itu muncul dari sebagian warga, tiba-tiba mereka harus kembali tenggelam dalam ketakutan. Sebab, hari-hari terakhir ini mereka terkena larangan Kepala Desa untuk tidak memberi keterangan kepada siapa saja yang datang ke Sumberwungu. Terlebih-lebih kepada wartawan. Semua harus membisu dan hanya Pak Kades yang berhak memberi keterangan. Jika dilanggar, mereka akan dicap PKI dan ikut menanggung dosa-dosa Tuwuh, penyair dan pendemo yang hilang itu (Admadipurwa, 2007:5).

Dalam uraian di atas, penulis menyimpulkan terhadap pengenalan desa Sumberwungu. Desa bekas tumbuh kembang anggota PKI. Desa yang pernah terkena imbas dari kekejaman partai komunis. Hal tersebut dapat dilihat pada penggalan kutipan, “Jika dilanggar, mereka akan dicap PKI dan ikut menanggung dosa-dosa Tuwuh”, hal tersebut membuat semua warga takut. Dari kletakutan warga inilah penulis menyimpulkan tentang partai komunis yang kejam dan sampai saat ini masih tetap ditumpas sampai akar-akarnya.

b) Tahap pemunculan konflik (generating circumstances)

Pada tahap ini konflik-konflik politik yang ada di Sumberwungu mulai muncul. Hal tersebut terlihat muncul ketika Lurah Ponco mulai menggunakan balai desa untuk melatih pemuda bela diri dan setiap saat ada pertemuan-pertemuan dengan anggota partai. Hal ini dapat dilihat pada data (18) sebagai berikut.

Kini Poncodriyo sangat bersemangat memimpin desanya. Melakukan banyak kegiatan. Desa Sumberwungu menjadi hidup tetapi juga menyimpan kebencian, dendam, dan pergolakan kepentingan yang sewaktu-waktu bias meledak menjadi perseteruan antar- sesame warga. Tanda-tanda kea rah sana sudah mulai ada (Admadipurwa, 2007:51).

Dari kutipan di atas, penulis menyimpulkan bahwa Sumberwungu sudah mulai banyak permasalahan, banyak warga yang bersebrangan ideologi. Lurah

Ponco sebagai kepala Desa justru yang memfasilitasi dan menjadi pelopor gerakan partai komunis.

c) Tahap peningkatan konflik (rising action)

Ketika Lurah Ponco sangat bersemangat menjalankan misi partai, hal lain adalah Rudito putra tunggalnya minta dilamarkan Tumi anak Kartosemedi. Lamaran Lurah Ponco ditolak. Rudito mabuk karena frustasi dan mendatangi Kartosemedi. Hal ini dapat dilihat pada data (19) berikut ini.

“ Dari tadi siang lho nganbruknya ditempat saya Bu,” sela Tumi. “ saya juga sudah minta Mas Gendon melapor ke kelurahan, tapi kok ya nggak ada yang mengurusnya.”

‘Saya anggap itu kejadian lumrah. Lalu saya tinggal ke tegalan. Baru setelah malam saya pulang lho kok dia nggak ada. Ya sudah mungkin sudah diambil keluarganya. Saya sudah menduga Tumi menginap disini. Saya pun masuk rumah dan siap tidur. Tapi menjelang tengah malam, mendenngar orang merintih di depan rumah. Setelah saya tengok, eee lhadalah, Raden Rudito berlumuran darah. Saya kaget dan panik. Lalu saya lari kemari…” (Admadipurwa, 2007:56).

Dari penggalan percakapan di atas, penulis menyimpulkan bahwa konflik yang diamalami para tokoh semakin miningkat. Rudito berlumuran darah di rumah Kartosemedi karena mabuk. Secara tidak langsung apabila warga tahu maka Karto akan menjadi sasaran amuk warga yang tidak tahu apa-apa. Maka dari itu Karto ke tempat Nyai Estu untuk melapor karena ia masih bulek dari Rudito malam itu juga sebelum memberitahu warga.

d) Tahap klimaks (climax)

Rudito terkapar di emperan rumah Kartosemedi. Kartosemedi panik dan pergi meninggalkan Rudito dalam keadaan berlumuran darah untuk melapor sekaligus mencari Tumi ke rumah Nyai Estu. Di bawah ini disajikan data (20) yang berkaitan dengan klimaks sebagai berikut.

Nyai Estu ikut tegang. Berjalan perlahan kea rah Karto yang berjongkok mengamati bekas-bekas bercak darah. Yang lain kemudian mencari tahu. Dan malam itu berubah menjadi sebuah kekacauan. Rudito tidak ditemukan. Rudito hilang (Admadipurwa, 2007:61).

Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan tahap klimaks terjadi pada saat hilangnya Rudito. Ketika ditinggal Kartosemedi ke rumah Nyai Estu, Rudito masih terkapar tak berdaya. Sepulang dari rumah Nyai Estu, Rudito sudah tak ada di emperan rumah.

e) Tahap penyelesaian (denoument)

Tahap penyelesaian dari semua konflik yang dialami oleh para tokoh dalam cerita adalah ketika PKI dinyatakan partai larangan. Semua anggota partai ditangkap bahkan dimusnahkan. Hal ini dapat dilihat pada data (21) berikut ini.

Dokumen terkait