• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 1 Pendahuluan

B. Kajian Teori

1. Peristiwa Tutur dan Tindak Tutur

Dalam setiap peristiwa interaksi verbal selalu terdapat beberapa faktor (unsur) yang mengambil peranan dalam peristiwa itu. Faktor-faktor itu antara lain; penutur (speaker), lawan bicara (receiver), pokok pembicaraan (topic), tempat bicara (setting), suasana bicara (situation scene) dan sebagainya. Dalam pemakaian bahasanya, setiap penutur akan selalu mempertihungkan kepada siapa ia berbicara, di

mana, mengenai masalah apa, dan dalam suasana bagaimana. Dengan demikian, tempat bicara akan menentukan cara pemakaian bahasa penutur. Demikian pula pokok pembicaraan dan situasi bicara akan memberikan warna pula pembicaraan yang sedang berlangsung. Keseluruhan peristiwa pembicaraan dengan segala faktor serta peranan faktor-faktor itu dalam peristiwa tersebut dikenal dengan peristiwa tutur (Suwito, 1983:30).

Sehubungan dengan konsep peristiwa tutur, Dell Hymes (1968) melalui Suwito (1983) mengemukan adanya faktor-faktor yang menandai terjadinya peristiwa tutur dengan singktan SPEAKING, yang masing-masing bunyi merupakan fonem awal dari faktor-faktor yang dimaksudkan. Faktor-faktor tersebut ialah:

S : Setting dan scene, yaitu tempat bicara dan suasana bicara (misalnya ruang diskusi dan suasana diskusi).

P : Partisipan, yaitu pembicara, lawan bicara, dan pendengar. Dalam diskusi, semua peserta diskusi adalah partisipan.

E : End atau tujuan, yaitu tujuan akhir diskusi.

A : Act, yaitu suatu peristiwa dimana seorang pembicara sedang menggunakan kesempatan bicaranya.

K : Key, yaitu nada suara dan ragam bahasa yang dipergunakan dalam menyampaikan pendapatnya, dan cara mengemukakan pendapatnya.

I : Instrumen, yaitu alat untuk menyampaikan pendapat, misalnya secara lisan, tertulis, lewat telepon, dan sebagainya.

N : Norma, yaitu aturan permainan yang harus ditaati oleh setiap peserta diskusi. G : Genre, yaitu jenis kegiatan diskusi yang mempunyai sifat-sifat lain dari jenis

kegiatan yang lain.

Jika peristiwa tutur (speech event) merupakan gejala sosial terhadap interaksi antar penutur dalam situasi tertentu dan tempat tertentu, tindak tutur merupakan gejala individual yang berbersifat psikologis dan ditentukan oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi dituasi tertentu. Jika dalam peristiwa tutur orang menitikberatkan pada tujuan peristiwa (event)nya, dalam tindak tutur orang lebih memperhatikan makna atau arti tindak (act) dalam tuturan itu. Kedua hal ini saling terkait. Dalam setiap peristiwa tutur terdapat berbagai tindak tutur, sehingga dapat dikatakan bahwa peristiwa tutur itu pada hakekatnya adalah serangkaian tindak tutur yang terorganisasikan untuk mencapai tujuan.

Dalam semua komunikasi lingustik terdapat tindak tutur. Searle melalui Suwito (1983:33) berpendapat bahwa komunikasi bukan hanya sekedar lambang, kata, atau kalimat, tetapi akan lebih tepat disebut dengan produk atau hasil dari lambang, kata atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur (the performance of speech acts). Lebih tegasnya, tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi linguistik. Sebagaimana komunikasi linguistik yang dapat berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah, maka tindak tutur dapat pula berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah.

Searle (1975) melalui Nadar (2009) membagi tindak tutur menjadi tiga tindakan yang berbeda, yaitu tindak lokusioner, tindak ilokusioner, dan tindak perlokusioner. Tindakan-tindakan tersebut diatur oleh atau norma penggunaan bahasa

dalam situasi percakapan antara dua pihak, misalnya situasi perkuliahan, situasi perkenalan, situasi keagamaan, dan lain-lain. Tindak lokusiner adalah tindak tutur yang semata-mata menyatakan sesuatu, biasanya dipandang kurang penting dalam kajian tindak tutur. Berbeda dengan tindak lokusioner, tindak ilokusioner adalah apa yang ingin dicapai oleh penuturnya pada waktu menuturkan sesuatu dan dapat berupa tindakan menyatakan, berjanji, minta maaf, mengancam, meramalkan, memerintah, meminta, dan sebagainya. Tindak ikokusioner dapat dikatakan sebagai tindak terpenting dalam kajian dan pemahaman tindak tutur. Jenis tindak tutur yang lain adalah tindak perlokusioner, yaitu tindakan untuk mempengaruhi lawan tutur seperti memalukan, mengintimidasi, membujuk, dan lain-lain.

Seperti halnya dengan kajian pragmatik, konteks juga sangat penting dalam pemahaman tindak tutur. Konteks tuturan sangat mempengaruhi interpretasi tindak tutur oleh penutur maupun lawan tuturnya. Tuturan “Kamu lebih baik belajar sekarang” yang dimasksudkan sebagai tindak ilokusioner akan tergantung pada siapa yang menuturkan dan kepada siapa tuturan tersebut dituturkan. Seandainya tuturan itu dituturkan seorang ayah kepada anaknya yang masih sekolah di Sekolah Dasar, tuturan itu merupakan sebuah perintah. Namun, bila tuturan itu dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya dalam satu rumah kos, tentu tidak dapat dianggap sebagai perintah melainkan sebagai anjuran atau bujukan (Nadar, 2009:15).

Mengenai tindak lokusioner, ilokusioner, dan perlokusioner, Wijana (1996) melalui Nadar (2009) memberikan contoh dalam bahasa Indonesia dan memberi

penjelasan lebih jauh. Pada hakekatnya ketiga tindakan tersebut dapat dijelaskan sebagai tindakan untuk menyatakan sesuatu (an act of saying something), tindakan untuk melakukan sesuatu (an act of doing something), dan tindakan untuk mempengaruhi (an act of affecting someone). Tuturan “Saya tidak akan datang” memang menyatakan ketidakmampuan penutur untuk datang, tetapi bila dituturkan kepada teman yang baru saja merayakan ulang tahun berarti juga melakukan sesuatu yaitu minta maaf. Tuturan “Rumahnya jauh” yang disampaikan kepada ketua perkumpulan, kepanitiaan, atau organisasi dapat mempunyai makna ilokusi secara tidak langsung bahwa orang yang rumahnya jauh tersebut tidak dapat terlalu aktif dalam organisasi, sedangkan efek perlokusi yang diharapkan adalah agar ketua tidak memberikan terlalu banyak tugas kepada orang yang rumahnya jauh tersebut.

2. Implikatur

Purwo (1990) menjelaskan jika ada dua orang yang bercakap-cakap, percakapan itu dapat berlangsung dengan lancar karena adanya kesamaan latar belakang pengetahuan tentang sesuatu yang dibicarakan atau semacam “kesepakatan bersama”. Kesepakatan itu antara lain berupa kontrak percakapan yang tidak tertulis bahwa apa yang dibicarakan itu saling berhubungan atau berkaitan. Hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak terdapat pada masing-masing kalimat (yang dipersambungkan itu) secara lepas, maksudnya adalah makna keterkaitan itu tidak terungkap secara “literal” pada kalimat itu sendiri. Ini yang disebut implikatur percakapan.

Implikatur dari sebuah tuturan dapat dilihat pada percakapan di bawah ini.

A: Wah, panas sekali ya sore ini! Kamu kok nggak berkeringat, apa nggak kegerahan?

B: Nggak! Aku sudah mandi tadi

Kalimat Aku sudah mandi tadi sebagai jawaban pada dialog berikut, secara literal, memang tidak bersangkut-paut dengan kalimat yang diucapkan oleh lawan bicaranya sebelumnya, tetapi yang tersirat pada kalimat jawaban itu dapat dipakai sebagai pengait bagi kelancaran atau “pemasukakalan” dialog ini. Dengan kalimat jawaban itu si B mengajak bergurau dengan si A, yakni dengan menawarkan implikasi bahwa “si A merasa panas karena belum mandi.

Contoh lain sehubungan dengan implikatur disampaikan oleh Kunjana Rahardi (2005) yaitu berupa tuturan yang berbunyi Bapak datang, jangan menangis!.

Tuturan tersebut tidak dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa sang ayah sudah datang dari tempat tertentu. Penutur bermaksud memperingatkan mitra tutur bahwa sang ayah yang memiliki sifat keras itu akan melakukan sesuatu terhadapnya apabila ia terus menangis. Dengan kata lain tuturan itu mengimplikasikan bahwa sang ayah adalah orang yang keras dan sering marah-marah pada anaknya yang sedang menangis.

Grice (1975) melalui Kunjana Rahardi (2005: 43) menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan itu dapat disebut implikatur percakapan. Di

dalam implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud yang tidak dituturkan itu bersifar tidak mutlak. Inferensi maksud tidak dituturkan itu harus didasarkan pada konteks situasi tutur yang mewadahi munculnya tuturan tersebut.

3. Konteks

Yule (2006:4) menjelaskan bahwa ilmu yang menganalisis apa yang dimaksudkan seseorang dengan tuturan-tuturan melalui kata atau frasa yang digunakan. Penafsiran maksud yang disampaikan tidak lepas dari konteks, maka diperlukan pertimbangan penyampaian maksud dengan orang lain yang mereka ajak bicara, di mana, kapan, dan dalam keadaan apa. Oleh karena itu, pragmatik disebut pula studi tentang makna kontekstual.

Istilah konteks didefinisikan oleh Mey (1993:38) melalui Nadar (2009:3-4) sebagai the surrounding, in the widest sense, that enable the participans in the communication procces to interact, and that make the linguistic expressions of their interaction intelligible (situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta tutur untuk dapat berinteraksi dan membuat ujaran mereka dapat dipahami).

Definisi lain mengenai pragmatik diberikan oleh Parker (1986:11) melalui Nadar (2009:4) yang mengatakan bahwa pragmatik adalah the study of how language is used for communication (kajian tentang bagaimana bahasa digunakan untuk berkomunikasi) dan menegaskan bahwa pragmatik tidak menelaah struktur bahasa secara internal seperti tata bahasa, melainkan secara eksternal. Kalau Parker mencantumkan kata komunikasi dalam definisinya, May menekankan konteks dan

mengatakan bahwa pragmatik adalah the study of conditions of human language uses as these are determined by the context of society (kajian tentang kondisi penggunaan bahasa manusia sebagaimana ditentukan oleh konteks masyarakatnya.

Dalam kajian pragmatik, penggunaan bahasa tidak dapat terlepas dari konteks komunikasi. Bahasa dikaji secara eksternal, dimana arti suatu tuturan tergantung pada konteks sosial tempat penutur itu berada. Makna suatu tuturan tidak ditentukan oleh tata bahasanya melainkan pada situasi tempat si penutur melakukan komunikasi. Satu tuturan yang sama dapat memiliki arti yang berbeda ketika dituturkan pada konteks komunikasi yang berbeda.

Searle, Kiefer dan Bierwich (1980:ix) yang menegaskan bahwa pragmatics is concerned with the way in which the interpretation on syntactically defined expression depends on the particular condition of their use in context (pragmatik berkaitan dengan interpretasi suatu ungkapan yang dibuat mengikuti aturan sintaksis tertentu dan cara menginterpretasi ungkapan tersebut tergantung pada kondisi-konsisi khusus penggunaan ungkapan tersebut dalam konteks).

Definisi lain diajukan oleh Levinson (1983:9), yang mendefinisikan pragmatik sebagai berikut: Pragmatics is the study of those relation between language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of language (Pragmatik merupakan kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur bahasa.

Purwo (1990:15-16) memaparkan bahwa semantik dan pragmatik sama-sama menelaah makna bahasa. Namun, ada upaya yang mempertegas batas di antara semantik dan pragmatik yaitu pada definisi berikut: “pragmatik adalah telaah mengenai segala aspek makna yang tidak tercakup dalam semantik.”Maksudnya yang ditelaah dalam pragmatik adalah makna yang dikurangi setelah semantik. Semantik adalah telaah makna kalimat, sedangkan pragmatik adalah telaah makna tuturan. Kalimat adalah maujud (benar-benar ada) abstrak seperti yang didefinisikan dalam teori tata bahasa, dan tuturan adalah pengujaran kalimat pada konteks yang sesungguhnya. Dengan demikian, semantik menggeluti makna kata atau klausa, tetapi makna yang bebas konteks (context-independent), makna yang stabil, sedangkan pragmatik menelaah makna yang terikat konteks (context-dependent).

Menurut kajian pragmatik, bahasa memang tidak dapat terlepas dari konteks komunikasi. Tuturan yang diartikan oleh penerima pesan sangat terikat dengan situai dan kondisi dimana komunikasi itu terjadi. Peranan konteks dalam sebuah komunikasi sangat penting dalam penafsiran makna sebuah tuturan yang diucapkan oleh seorang penutur. Dalam pragmatik, antara bahasa dan konteks terdapat keterkaian dan tidak dapat dipisahkan karena makna sebuah tuturan sangat bergantung pada situasi komunikasi.

4. Daya Bahasa

Kata-kata (words) dan pedang (sword) merupakan dua alat yang dapat menghasilkan kuasa. Zaman dahulu, kontrol kekuasaan dilakukan dengan

senjata-senjata sederhana seperti pedang, panah, tombak, dan lain-lain. Kini senjata-senjata nuklir merupakan salah satu kekuasaan. Contohnya adalah pada dunia militer yang menggunakan kata-kata yang dapat memberikan pengaruh. Seorang pemimpin pasukan, hanya dengan mengatakan “hadap kiri” atau “tembak” segera terjadi efek yang sangat besar yaitu ribuan pasukan segera hadap kiri dan senjata-senjata yang segera ditembakkan (Fitra Yuni, 2009).

Daya bahasa adalah kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk mengefektifkan pesan yang disampaikan kepada mitra tutur. Penyampaian pesan dapat dilakukan dengan menyampaikan informasi, menolak, membujuk, mengkritik, memberikan tanggapan, melakukan negosiasi, membantah, menyindir, dan sebagainya. Agar pesan yang disampaikan dapat sampai kepada pembaca atau pendengar secara efektif, penutur atau penulis dapat memanfaatkan daya bahasa. Daya bahasa dapat digali melalui berbagai aspek bahasa seperti bunyi, bentuk kata, kalimat, pilihan kata, struktur, maupun aspek pemakaian bahasa seperti implikatur, tindak tutur, praanggapan, dan sebagainya. Namun, bahasa hanya akan keluar dayanya jika dipakai secara tepat dan kontekstual (Pranowo,2009:129).

Sudaryanto melalui Pranowo (2009:129) mengidentifikasi bahwa bunyi memiliki makna tertentu. Pada tataran bunyi, bunyi /i/ dapat menggambarkan keadaan yang dipersepsi sebagai sesuatu yang kecil, seperti kata kerikil, cukil, muskil, kandhil, dan sebagainya. Begitu pula dengan bunyi /o/.Bunyi /o/ mengandung daya yang berkadar makna kata yang relatif besar, seperti kata-kata dalam bahasa Jawa

pothol, kempol, ambrol, mrojol, mbrodhol, bodhol, dan sebagainya. Bunyi /o/ juga dapat memunculkan daya bahasa yang berimajinasi dengan kuat, seperti katrol, benjol, afdol, gerombol, dan sebagainya.

Terkadang seseorang yang telah mahir menggunakan daya bahasa, ketika berkomunikasi, apa yang dikatakan tidak sama dengan apa yang dikomunikasikan karena yang dikomunikasikan sering disembunyikan di balik apa yang dikatakan untuk menjaga kesopanan. Berkaitan dengan daya bahasa, sebenarnya setiap komunikan dapat menggali dan memanfaatkan daya bahasa. Daya bahasa dapat digunakan untuk a) meningkatkan efek komunikasi, b) mengurangi kesenjangan antara apa yang dipikirkan dengan apa yang diungkapkan, c) memperindah pemakaian bahasa dan sebagainya (Grice, 1987).

Pranowo (2009) mengatakan bahwa mengggali daya bahasa dapat dilakukan melalui tataran bentukan kata, kalimat, dan wacana. Kata-kata yang tidak berafiks justru memiliki daya bahasa yang lebih kuat dibandingkan dengan kata berafiks, misalnya kata babat lebih kuat daya bahasanya dibandingkan kata membabat dalam konteks kalimat “Perambah hutan itu babat babis semua pohon yang berdiameter 10 cm ke atas”. Namun, kata majemuk kadang juga memiliki daya bahasa yang lebih kuat daripada kata dasar, misalnya dalam konteks “Penunggang kuda lumping itu kesurupan lantas makan beling. ”Kata “kuda lumping” memiliki daya bahasa yang sangat kuat dibandingkan dengan frasa “penunggang kuda”.

Daya bahasa dapat muncul dalam tataran struktur. Struktur kalimat tertentu memiliki daya yang berbeda ketika disusun dengan struktur yang berbeda. Contoh struktur kalimat yang memunculkan daya bahasa adalah sebagai berikut:

a) Polisi menembak mahasiswa ketika berdemonstrasi. b) Mahasiswa tertembak polisi ketika berdemonstrasi. c) Ketika berdemonstrasi, mahasiswa tertembak polisi. d) Mahasiswa ditembak polisi ketika berdemonstrasi.

Struktur kalimat (a) “polisi menembak mahasiswa” memiliki daya bahasa bahwa “polisi” menjadi pelaku yang melakukan penembakan. Struktur (b) “mahasiswa tertembak polisi” yang ditempatkan di awal kalimat memunculkan daya bahwa peristiwa /tertembak/ lebih penting daripada /berdemonstrasi/. Struktur (c) “mahasiswa tertembak polisi” ditempatkan diakhir memperlihatkan bahwa polisi secara tidak sengaja melakukan suatu tindakan. Struktur (d) “mahasiswa ditembak polisi” memperlihatkan daya bahasa bahwa mahasiswa melakukan tindakan tertentu hingga harus ditembak. Efek (perlokusi) dari keempat struktur tersebut berbeda-beda.

Menurut Pranowo (2009), dalam tataran wacana, daya bahasa dapat muncul ketika kesatuan makna mengungkapkan kesatuan pesan. Pesan yang terungkap dari kesatuan makna tersebut muncul dalam bentuk wacana. Di bawah ini adalah contoh kalimat dalam bahasa Jawa yang memiliki daya bahasa.

“Yen isih gelem apik karo aku, mbok coba kowe ameng-ameng nyang omahe diajak omong-omong kanthi alus.Yen isih angel amang-amangen ben duwe

rasa wedi. Dene nek wes disabarke nganggo cara ngono isih tetep mbeguguk, kondhoa nek aku (ng)amuk bisa tak tumpes kelor.”

Wacana tersebut menggunakan pilihan kata yang tepat dalam dalam setiap kalimatnya, seperti “ameng-ameng” disusul “omong-omong”, “amang-amang”, dan “(ng)amuk” memiliki daya bahasa yang sangat kuat bagi pendengarnya. Daya bahasa itu muncul karena adanya perbedaan vokal dalam setiap kata. Lebih terasa kuat lagi ketika tiap kata memiliki makna yang berdeda dan memperlihatkan adanya gradasi dari kata yang sangat biasa ke kata yang memiliki makna afeksi yang sangat kuat, yaitu (ng)amuk.

Daya bahasa dapat pula digali melalui sinonim kata. Kata satu dengan yang lain memiliki daya bahasa yang berbeda-beda, seperti kata “mati” atau “meninggal” memiliki daya bahasa yang bersifat netral. Sedangkan kata “mampus”, “tewas”, “gugur”, dan sebagainya memiliki daya bahasa yang lebih spesifik. Kata “mampus” memiliki daya bahasa negatif yang mengandung rasa puas karena orang lain karena orang lain yang dibencinya tidak dapat berbuat apa-apa lagi seperti ketika masih hidup. Kata “gugur” memiliki daya bahasa yang hormat dengan subjek karena kematiannya terjadi untuk membela kebenaran sehingga perlu mendapatkan penghormatan (Pranowo, 2009).

5. Fungsi Komunikasi Bahasa

Dalam setiap komunikasi-bahasa ada dua pihak yang terlibat, yaitu pengirim pesan (sender) dan penerima pesan (receiver). Setiap komunikasi-bahasa dimulai

dengan si pengirim merumuskan terlebih dahulu yang akan diujarkan dalam suatu kerangka gagasan. Proses ini disebut dengan istilah semantic ecoding. Gagasan itu lalu disusun dalam bentuk kalimat atau kalimat-kalimat yang gramatikal; proses memindahkan gagasan ke dalam bentuk kalimat yang gramatikal ini disebut

grammatical encoding. Setelah tersusun dalam kalimat yang gramatikal, kalimat yang berisi pesan tadi disampaikan kepada mitra tutur. Proses ini disebut phonological encoding. Pesan tersebut kemudian diterjemahkan oleh si penerima pesan (didecoding) Abdul Chaer dan Leonie Agusta, 2004:20-21).

Halliday melalui Abdul Chaer dan Leony Agusta (2004) menjelaskan tujuh fungsi bahasa yaitu emotif, instrumental, interactional, representasional, heuristic, imajinatif, dan informatif.Dilihat dari segi penutur, bahasa memiliki fungsi emotif. Dalam hal ini penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Selain mengungkapkan emosi melalui bahasa, penutur memperlihatkan emosinya dengan ekspresi dan tindakan ketika menyampaikan tuturannya. Dengan demikian pihak penerima pesan dapat menduga emosi penutur. Fungsi emotif/ekspresif ini memiliki subfungsi seperti (1) untuk mengungkapkan kekecewaan, (2) menyatakan pendapat pribadi, (3) menyatakan sikap pribadi, (4) menyatakan pengalaman pribadi, dsb.

Dilihat dari lawan bicaranya, bahasa memiliki fungsi instrumental, yaitu mengatur tingkah laku pihak penerima pesan. Bahasa tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan kemauan pembicara. Hal ini dapat dilakukan penutur dengan menggunakan

kalimat-kalimat yang merupakan kalimat-kalimat perintah, himbauan, permintaan, maupun rayuan. Contoh kalimat yang menunjukkan fungsi komunikasi adalah “ Harap tenang. Ada ujian”, “Sebaiknya Anda menelepon dulu”, “Anda tentu mau membantu kami.”

Dari segi kontak antara penutur dan pendengar, bahasa memiliki fungsi

interactional yaitu fungsi menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat, atau solidaritas sosial. Ungkapan-ungkapan yang digunakan biasanya sudah berpola tetap, seperti pada waktu berjumpa, pamit, atau menanyakan keadaan keluarga. Oleh karena itu ungkapan-ungkapannya tidak dapat diartikan atau diterjemahkan secara harafiah, misalnya dalam bahasa Inggris ungkapan How do you do, How are you, Here you are, dan Nice day. Ada ungkapan dalam bahasa Indonesia seperti apa kabar, bagaimana dengan anak-anak, mau kemana nih, dan sebagainya.

Dilihat dari segi topik ujaran, bahasa memiliki fungsi representasional yang berarti bahasa berfungsi sebagai alat untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada di sekeliling penutur atau yang ada dalam budaya pada umumnya. Fungsi representasional inilah yang melahirkan paham tradisional bahwa bahasa itu adalah alat untuk menyatakan pikiran, untuk menyatakan bagaimana pendapat si penutur tentang dunia di sekelilingnya. Dari segi amanat, bahasa memiliki fungsi imajinatif. Sesungguhnya, bahasa itu tidak digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan baik yang sebenarnya maupun imajinasi saja. Fungsi imajinatif ini biasanya berupa karya seni (puisi, cerita, dongeng, lelucon) yang digunakan untuk kesenangan penutur maupun para pendengarnya.

Fungsi bahasa yang dipaparkan selanjutnya oleh Haliday adalah pemecah masalah. Bahasa memiliki fungsi sebagai pemecah masalah (heuristic) dapat terlihat dalam ungkapan yang meminta atau menyatakan jawab kepada suatu masalah atau persoalan. Contoh kalimat yang menunjukkan fungsi heuristic adalah ”Coba terangkan bagaimana kerjanya; Sebab kejadian itu ialah…” Jawaban yang menjelaskan suatu persoalan atau pertanyaan itulah fungsi heuristic suatu bahasa.

Fungsi terkahir adalah fungsi informatif. Fungsi informatif adalah memberitahukan sesuatu hal atau informasi kepada orang lain. Pranowo (2013:160) menjelaskan bahwa fungsi informatif memiliki subfungsi seperti (1) untuk menjelaskan, (2) untuk membuat rincian, (3) untuk beralih topik, (4) untuk mengidentifikasi, (5) untuk menghubungkan dengan menggarisbawahi, (6) untuk menghubungkan secara analogi, dan sebagainya.

6. Bahasa Verbal dan Nonverbal

Ketika manusia berpikir, proses yang terjadi dalam pikiran manusia sudah menggunakan bahasa. Proses berpikir secara kognitif sebenarnya mnerupakan proses

encoding (pengepakan) gagasan. Hal itu dilakukan dengan menggunakan bahasa. Meskipun proses encoding tidak ada yang mengetahui kecuali penuturnya, penutur sudah menata gagasan yang akan diungkapkan menggunakan wadah bahasa. Setelah tertata secara utuh, gagasan diungkapkan secara verbal menggunakan bahasa lisan atau tulisan dan menggunakan bahasa nonverbal.

Begitu juga dengan mitra tutur. Ketika seorang mitra tutur menangkap informasi yang dikemukakan oleh penutur juga menggunakan bahasa. Mitra tutur dapat menangkap informasi penutur melalui tuturan (bahasa lisan) maupun membaca (melalui bahasa tulis) atau bahkan melalui bahasa nonverbal (tatapan mata, gerak gerik anggota tubuh, lambaian tangan, dan sebagainya). Melalui bahasa itulah gagasan dapat ditangkap dan dipahami maksudnya oleh mitra tutur. Proses pemahaman informasi yang disampaikan oleh penutur, mitra tutur kemudian kemudian men-decode gagasan yang diungkapkan oleh penutur (Nababan, 1984).

7. Pengertian dan Tujuan Iklan

Widyatama (2005:13) menjelaskan bahwa iklan berasal dari bahasa Latin

Dokumen terkait