BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori…
1. Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran sebagai suatu sistem merupakan seperangkat komponen yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Komponen tersebut terdiri atas pendidik, peserta didik dan lingkungan sosial. Pendidik dalam proses pembelajaran dilengkapi dengan perangkat kurikulum, media pembelajaran beserta sarana dan prasarana. Komponen pembelajaran yang digunakan dapat berupa metode pembelajaran, model pembelajaran atau pendekatan. Komponen-komponen tersebut akan mempengaruhi kegiatan pembelajaran yang selanjutnya akan menentukan hasil belajar peserta didik. Hubungan antara komponen satu dengan komponen yang lain dapat dilihat dalam Gambar 1.
Menurut Hamalik (2010), belajar bukanlah suatu tujuan, melainkan suatu proses untuk mencapai tujuan tersebut, sehingga belajar bukan hanya sebatas mengingat suatu materi, melainkan merupakan suatu proses mengalami. Proses mengalami dapat diperoleh dari interaksi individu dengan lingkungannya. Hasil belajar tidak ditinjau dari bagaimana peserta didik tersebut mampu untuk menguasai suatu hasil latihan melainkan ditinjau dari perubahan tingkah laku individu tersebut, misalnya dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak mengerti menjadi mengerti. Sehingga dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya.
15
Mengajar dalam konteks standar proses pendidikan tidak hanya sekedar penyampaian materi pelajaran, tetapi juga harus dimaknai sebagai proses mengatur lingkungan agar peserta didik dapat belajar (Suprijono, 2010). Pengertian mengajar seperti ini akan memberikan gambaran bahwa fungsi utama dalam mengajar adalah menyediakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi peserta didik dan pemegang peranan aktif dalam kegiatan pembelajaran adalah peserta didik dalam upaya untuk menemukan dan memecahkan permasalahan sehingga pembelajaran akan berpusat pada peserta didik (student centered). Dengan kata lain, tercapainya suatu tujuan peserta didik sangat dipengaruhi bagaimana aktivitas peserta didik dalam belajar.
Gambar 1. Hubungan Komponen-Komponen Pembelajaran 2. Pembelajaran Kimia
Proses pembelajaran tidak terlepas dari adanya perkembangan kognitif yang dimulai dari lahir hingga dewasa. Menurut Piaget, tahap perkembangan kognitif tersebut adalah:
Pendidik, kurikulum, metode dan model pembelajaran, pendekatan, media,
sarana/prasarana Kegiatan pembelajaran Hasil Belajar Hasil Belajar Lingkungan sosial
16 a. Periode sensorimotorik (0-2 tahun) b. Periode praoperasional (2-7 tahun) c. Periode operasional konkrit (7-11 tahun) d. Periode operasional formal (11 tahun-dewasa)
Pembelajaran kimia individu berlangsung pada tahap perkembangan kognitif periode operasional formal. Pada tahap ini, anak telah mampu untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia.
Menurut Piaget, proses belajar terdiri dari tiga tahap: a. Asimilasi
Asimilasi merupakan proses penyatuan informasi baru ke struktur kognitif yang terdapat pada benak peserta didik.
b. Akomodasi
Akomodasi merupakan proses penyesuaian struktur kognitif baru pada situasi yang baru. Akomodasi dimulai ketika pengetahuan baru yang dikenalkan tidak sesuai dengan struktur kognitif yang ada.
c. Disequilibrium dan Equilibrium
Disequilibrium dan equilibrium merupakan proses penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau sains, secara sederhana diartikan sebagai kumpulan pengetahuan yang sisteamatik dan penggunaannya terbatas untuk mempelajari gejala-gejala alam. Kimia merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang terintegrasi di dalam sains. Kimia mengembangkan standar kompetensi yang harapannya peserta didik
17
dapat mempelajari, memahami konsep-konsep kimia melalui pengalaman belajar yang disusun secara sistematis (Mulyasa, 2012).
Kemendikbud (2016) merumuskan tujuan pembelajaran melalui Permendiknas No. 23 Tahun 2006 yaitu untuk mengembangkan logika dan memperoleh pemahaman yang tahan lama perihal fakta, kemampuan mengenal, menganalisis dan memecahkan masalah, serta mempunyai sikap ilmiah yang dapat dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran kimia tidak terlepas dari dua komponen pembelajaran yang saling berkaitan satu sama lain yaitu proses belajar dan mengajar. Keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan yang paling utama. Berhasil tidaknya pencapaian tujuan pembelajaran tergantung pada bagaimana proses belajar yang dialami peserta didik.
Menurut Dahar (2011) teori belajar penemuan (Bruner) dan teori belajar bermakna (Ausubel) merupakan teori belajar yang sesuai diterapkan untuk pembelajaran kimia. Bruner dalam teori belajarnya mengemukakan 4 tema yaitu struktur, kesiapan, intuisi dan motivasi. Belajar kimia harus dapat mencakup tiga proses kognitif, yaitu memperoleh informasi baru, mentransformasi pengetahuan serta menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan (Dahar, 2011). Belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar penemuan. Menurut Ausubel, faktor utama yang mempengaruhi belajar adalah apa yang peserta didik telah ketahui. Belajar bermakna akan terjadi apabila konsep atau pengetahuan baru yang diperoleh peserta didik kemudian dikaitkan dengan konsep yang dimiliki peserta didik dalam struktur kognitifnya. Belajar penemuan akan meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menalar dan meningkatkan kemampuan berpikir secara bebas dan melatih kemampuan kognitif untuk menentukan dan memecahkan permasalahan (Dahar, 2011).
18
3. Model Pembelajaran Problem Based Learning
Model pembelajaran Problem Based Learning adalah seperangkat model mengajar yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, pemahaman materi dan pengaturan diri (Eggen & Kauchak, 2012). Model pembelajaran Problem Based Learning menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berfikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. Model pembelajaran ini dapat digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi masalah (Riyanto, 2012).
Menurut Arends, pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pendekatan dimana peserta didik mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri (Trianto, 2011).
Menurut Arrends (2007) esensi dari Problem Based Learning merupakan penyuguhan berbagai situasi bermasalah yang autentik dan bermakna kepada peserta didik yang dapat berfungsi sebagai batu loncatan untuk investigasi dan penyelidikan. Problem Based Learning dirancang dan dikembangkan untuk membantu peserta didik mengembangkan keterampilan berpikir, keterampilan menyelesaikan masalah dan keterampilan intelektualnya, mempelajari peran-peran orang dewasa dengan mengalaminya melalui berbagai situasi yang disimulasikan dan menjadi pelajar yang mandiri dan otonom. Seperti yang
19 diilustrasikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Bagan Hasil Pembelajaran PBL
Menurut Arrends (2007) model pembelajaran Problem Based Learning memiliki lima karakteristik, yaitu:
a. Pertanyaan atau masalah
Problem Based Learning mengorganisasikan pengajaran di seputar pertanyaan dan masalah yang penting secara sosial dan bermakna secara personal untuk peserta didik. Peserta didik dihadapkan pada situasi dalam kehidupan nyata, menghindari jawaban sederhana dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi tersebut.
b. Fokus interdisipliner
Masalah yang akan diselidiki peserta didik telah dipilih sesuai dengan kehidupan nyata sehingga dalam pemecahannya dapat menuntun peserta didik untuk meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.
Problem Based Learning
Keterampilan penyelidikan dan mengatasi masalah
Perilaku dan keterampilan sosial sesuai peran orang
dewasa Keterampilan untuk
20 c. Investigasi autentik
Melalui model pembelajaran Problem Based Learning, peserta didik diharuskan untuk melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian terhadap masalah yang nyata. Peserta didik harus menganalisis dan mengidentifikasi masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat prediksi, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen, membuat referensi dan menarik kesimpulan.
d. Produk artefak dan exhibit
Model pembelajaran Problem Based Learning menuntut peserta didik untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian yang mereka temukan.
e. Kolaborasi
Salah satu ciri dari model pembelajaran Problem Based Learning adalah kerjasama antar peserta didik satu dengan yang lainnya. Bekerjasama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog serta mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.
Menurut Bond dan Felleti dalam Jauhar (2011) Problem Based Learning merupakan suatu pendekatan untuk membelajarkan peserta didik dalam mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan dalam memecahkan masalah, belajar peranan orang dewasa yang otentik serta menjadi pelajar mandiri. Model pembelajaran Problem Based Learning terdiri dari lima tahap utama yang diawali dengan pendidik memperkenalkan peserta didik pada masalah dan diakhiri
21
dengan penyajian analisis hasil kerja peserta didik. Lima tahapan model pembelajaran Problem Based Learning adalah sebagai berikut:
a. Orientasi peserta didik pada masalah
Pada tahap ini, pendidik menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena, demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah dan memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih.
b. Mengorganisasikan peserta didik untuk belajar
Pada tahap ini, pendidik membagi peserta didik dalam kelompok kecil, membantu peserta didik mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
c. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Pada tahap ini, pendidik mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen dan penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
d. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Pendidik membantu peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
e. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Pada tahap ini, pendidik membantu peserta didik untuk melakukan refleksi dan evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
22 4. Model Pembelajaran Learning Cycle 5E
Pembelajaran siklus atau Learning Cycle merupakan salah satu model pembelajaran konstruktivisme (Wena, 2008). Menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan pembentukan pengetahuan dimana peserta didik berperan aktif dalam melakukan kegiatan, berpikir, menyusun konsep, dan dalam hal pemberian makna tentang hal yang dipelajari (Siregar & Nara, 2010). Pembelajaran yang bersifat konstruktivistik tersebut tertuang dalam pembelajaran siklus yang pada awalnya terdiri atas 3 tahap, yaitu eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept introduction), penerapan konsep (concept application). Tiga siklus tersebut kemudian mengalami perkembangan menjadi 5 siklus yang terdiri atas pembangkitan minat (engagement), eksplorasi (exploration), penjelasan (explanation), elaborasi (elaborationn), dan evaluasi (evaluation). Adapun tahapan pembelajaran dari 5 siklus atau yang disebut Learning Cycle 5E sebagai berikut.
a. Pembangkitan minat
Tahap awal dari siklus ini adalah tahap pembangkitan minat. Pada bagian ini, minat dan keingintahuan peserta didik dibangkitkan dan dikembangkan oleh pendidik. Guu dapat memberikan pertanyaan mengenai proses faktual dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan topik bahasan. Jawaban peserta didik atas pertanyaan ini dapat dijadikan acuan oleh pendidik dalam mengetahui pengetahuan awal peserta didik mengenai topik bahasan yang bersangkutan. Dalam hal itu pendidik harus mengidentifikasi miskonsepsi pada peserta didik.
23
Kemudian pendidik memberikan hubungan antara pengalaman keseharian tersebut dengan topik yang akan dibahas.
b. Eksplorasi
Tahap kedua dari siklus belajar adalah eksplorasi. Kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 2 – 4 peserta didik dibentuk dan diberi kesempatan untuk bekerjasama. Dalam kelompok ini, pendidik mendorong peserta didik untuk menguji hipotesis atau membuat hipotesis, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide dalam proses diskusi kelompok. Pada tahap ini pendidik berperan sebagai motivator dan fasilitator.
c. Penjelasan
Penjelasan merupakan tahap ketiga dari siklus belajar. Pada tahap ini, pendidik mendorong peserta didik untuk menjelaskan konsep yang disusun dengan kalimatnya sendiri dan disertai bukti, serta saling mendengarkan penjelasan antar peserta didik atau pendidik dengan kritis. Pendidik memberikan penjelasan konsep dengan berpijak pada penjelasan peserta didik.
d. Elaborasi
Tahap ini merupakan tahap keempat dari siklus dimana peserta didik akan belajar secara bermakna dengan menerapkan konsep dan keterampilan yang telah dipelajari dalam situasi baru. Jika pendidik merancang dengan baik situasi ini maka motivasi peserta didik akan meningkat sehingga akan mendorong peningkatan hasil belajar peserta didik.
24 e. Evaluasi
Pada tahap terakhir ini, pendidik mengamati pemahaman peserta didik tentang konsep baru yang diterapkan. Melalui evaluasi diri, peserta didik dapat mengetahui kemajuan dan kekurangan proses pembelajaran yang dilakukan. Hal tersebut juga dapat dijadikan bahan evaluasi bagi pendidik mengenai penerapan proses, apakah berjalan baik, cukup baik ataukah masih kurang (Wena, 2008).
Pada pembelajaran Learning Cycle 5E yang merupakan bagian dari pendekatan konstruktivistik ini, pendidik tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan peserta didik dibantu untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan lebih memahami jalan pikiran peserta didik dalam belajar. Strategi pembelajaran siklus dapat dilihat pada Gambar 3 (Wena, 2008).
Gambar 3. Strategi Pembelajaran Learning Cycle 5E 5. Higher Order Thinking Skills
Gunawan (2003) mendefinisikan Higher Order Thinking Skills atau keterampilan berpikir tingkat tinggi sebagai proses berpikir yang mengharuskan
1 Tahap Pembangkitan Minat 2 Tahap Eksplorasi 3 Tahap Penjelasan 4 Tahap Elaborasi 5 Tahap Evaluasi
25
peserta didik memanipulasi informasi dan ide-ide dalam cara tertentu yang memberi mereka pengertian dan implikasi baru. Sebagai contoh adalah ketika peserta didik menggabungkan fakta dan ide dalam proses mensintesis, melakukan hipotesis dan analisis dan akhirnya peserta didik sampai pada suatu kesimpulan.
Higher Order Thinking Skills merupakan kemampuan menghubungkan, memanipulasi dan mentransformasi pengetahuan serta pengalaman yang sudah dimiliki untuk mencapai tujuan yaitu mencapai tujuan yaitu memperoleh pengetahuan yang meliputi tingkat berpikir analisis, sintesis, evaluatif dan kemampuan memecahkan masalah pada situasi baru (Rofiah, et al., 2013).
Higher Order Thinking Skills meliputi aspek berpikir kritis, kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan memecahkan masalah. Berpikir kritis adalah kemampuan untuk melakukan analisis, menciptakan dan menggunakan kriteria secara objektif dan melakukan evaluasi data. Berpikir kreatif dipandang sebagai kemampuan untuk menggunakan struktur berpikir yang rumit untuk menghasilkan ide yang baru dan orisinal. Kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan untuk berpikir secara kompleks dan mendalam untuk memecahkan suatu masalah (Gunawan, 2003).
Resnick dalam Arrends (2008) mendefinisikan Higher Order Thinking Skills sebagai berikut:
a. Higher Order Thinking Skills bersifat non-algoritmik. Artinya, jalur tindakan tidak sepenuhnya ditetapkan sebelumnya.
26
b. Higher Order Thinking Skills cenderung bersifat kompleks. Urutan atau langkah-langkahnya keseluruhan tidak dapat dilihat hanya dari satu sisi pandangan tertentu.
c. Higher Order Thinking Skills sering mendapatkan multiple solution (banyak solusi), masing-masing dengan keuntungan dan kerugiannya masing-masing. Bukan merupakan solusi tunggal.
d. Higher Order Thinking Skills melibatkan nuanced judgement (pertimbangan) dan interpretasi.
e. Higher Order Thinking Skills melibatkan multiple criteria (banyak kriteria), yang kadang-kadang bertentangan satu sama lain.
f. Higher Order Thinking Skills sering melibatkan urcentainty (ketidakpastian). Tidak semua yang berhubungan dengan tugas yang ditangani telah diketahui. g. Higher Order Thinking Skills melibatkan self-regulation (pengaturan diri)
dalam proses berpikir. Seorang individu tidak dapat dipandang berpikir tingkat tinggi apabila ada orang lain yang membantu di setiap tahap.
h. Higher Order Thinking Skills melibatkan imposing meaning (penggalian makna), menentukan struktur dalam sesuatu yang tampak tidak beraturan. i. Higher Order Thinking Skills bersifat effortful (membutuhkan banyak usaha).
Berpikir tingkat tinggi membutuhkan pekerjaan mental yang terlibat dalam elaborasi dan judgement yang dituntut di dalamnya.
Higher Order Thinking Skills dikembangkan dari Taxonomy Bloom dan Revised Taxonomy (Anderson & Krathwohl, 2010). Dalam taxonomy Bloom yang kemudian direvisi oleh Anderson dan Krathwohl, terdapat tiga aspek dalam dimensi
27
proses kognitif yang menjadi bagian dari Higher Order Thinking Skills yaitu aspek menganalisis, mengevaluasi dan mencipta. Sedangkan aspek mengingat, memahami dan mengaplikasi digolongkan sebagai Lower Order Thinking Skills (LOTS) (Sutrisno, 2011). Adapun kategori-kategori Higher Order Thinking Skills dalam dimensi proses kognitif yang dikembangkan oleh Anderson dan Krathwohl adalah sebagai berikut:
a. Menganalisis
Menganalisis merupakan proses memecah suatu materi menjadi bagian- bagian kecil dan mendeteksi bagaimana bagian-bagian tersebut terkait satu sama lain dan terkait pada keseluruhan struktur atau tujuan. Proses ini melibatkan aktivitas membedakan (differentiating), mengorganisasikan (organizing) dan menghubungkan (attributing) (Anderson & Krathwohl, 2010).
b. Mengevaluasi
Mengevaluasi merupakan proses membuat penilaian berdasarkan pada kriteria dan standar tertentu. Proses ini melibatkan aktivitas mengecek (checking) dan mengkritisi (critiquing) (Anderson & Krathwohl, 2010).
c. Mencipta
Mencipta merupakan proses menggabungkan elemen-elemen untuk membentuk suatu keseluruhan yang baru dan bertalian secara logis atau membuat produk yang original. Proses ini melibatkan aktivitas menghasilkan (generating), merencanakan (planning) dan memproduksi (producing) (Anderson & Krathwohl, 2010).
28 6. Materi Asam Basa
a. Perkembangan Konsep Asam Basa
Asam dan basa sudah dikenal sejak zaman dahulu. Istilah asam berasal dari bahasa latin acetum yang berarti cuka yang mengandung unsur pokok asam asetat H3CCOOH. Sedangkan alkali berasal dari bahasa Arab yang artinya abu. Sudah banyak teori yang berusaha untuk menerangkan sifat asam dan basa, salah satunya adalah Lavoisier (tahun 1777). Lavoisiser menyatakan bahwa oksigen merupakan suatu unsur yang dimiliki oleh semua asam. Sedangkan tahun 1810, Davy menunjukkan bahwa asam hidroklorida tidak mengandung oksigen hanya mengandung hidrogen dan klor, sehingga ditetapkanlah bahwa hidrogen yang menjadi unsur dasar di dalam asam.
1) Teori Arrhenius
Arrhenius mengajukan teori bahwa elektrolit yang dilarutkan di dalam air akan terurai menjadi ion-ion. Jika elektrolit tersebut kuat akan terurai sempurna, sedangkan elektrolit lemah terurai sebagian. Arrhenius menyatakan bahwa asam adalah suatu jenis zat yang jika terurai menghasilkan ion hidrogen (H+), misalnya HCl.
HCl(aq) H+ (aq) +Cl-(aq)
Sedangkan basa adalah suatu jenis zat yang jka terurai menghasilkan ion hidroksida (OH-)
NaOH(aq) Na+(aq) + OH- (aq)
Teori Arrhenius berhasil menerangkan aktivitas katalis dari asam dalam reaksi dari asam-asam tertentu. Asam yang memiliki daya konduksi yang paling
29
baik yaitu asam kuat merupakan katalis paling efektif. Semakin tinggi konsentrasi H+ di dalam larutannya maka asam semakin kuat (Pettruci, Herring, Madura & Bissonette, 2007).
Kelemahan-kelemahan konsep asam dan basa Arrhenius antara lain adalah: a) Tidak dapat menerangkan sifat-sifat CO2 dan NH3.
b) Senyawa yang mengandung hidrogen tidak pasti bersifat asam, terlihat pada senyawa hidrokarbon, misalnya CH3-CH=CH2.
c) Senyawa yang mengandung gugus hidroksi tidak pasti bersifat basa. Senyawa-senyawa fenol dan golongannya mengandung gugus OH, namun justru bersifat asam. Contohnya fenol, eugenol, vanilin, dan sebagainya. d) Senyawa yang pahit dan mengandung gugus OH tidak pasti bersifat basa.
Senyawa alkanoid bersifat basa, namun sifat basa ditentukan oleh adanya gugus amina, -N-H (Sastrohamidjojo, 2005).
2) Teori Bronsted-Lowry
Salah satu keterbatasan teori Arrhenius adalah tidak dapat mengenal senyawa basa kecuali yang menghasilkan OH-. Selain itu, zaman Arrhenius telah banyak reaksi yang menggunakan pelarut bukan air seperti ammonia cair. Misalnya adalah ammonium klorida dan natrium amida bereaksi di dalam ammonia cair sebagai berikut:
Reaksi lengkap : NH4Cl(aq) + NaNH2(aq) NaCl(aq) + 2NH3(aq)
Reaksi ion : NH4+(aq) + Cl-(aq) + Na+(aq) + NH2-(aq) Na+(aq) + Cl- (aq) + 2NH3 (aq)
30
Reaksi ion bersih dianggap sebagai reaksi dengan NH4+ analog H+ dan NH2
-dengan OH-. Reaksi tersebut dapat dijelaskan dengan teori yang diajukan oleh J. N Bronsted di Denmark dan T. M Lowry di Inggris pada tahun 1923. Berdasarkan teori Bronsted-Lowry, asam adalah donor proton dan basa adalah akseptor proton, seperti yang ditunjukkan dalam reaksi:
NH4+(aq) + NH2-(aq) NH3(aq) + NH3(aq)
NH3 (pelarut) adalah basa konjugat dari asam NH4+ dan juga merupakan basa konjugat dari basa NH2-.
Contoh reaksi yang lain adalah rekasi ammonia dengan air: NH3(aq) + H2O (l) NH4+ (aq) + OH-(aq)
Dalam reaksi tersebut, H2O bertindak sebagai asam karena memberikan suatu proton yang diambil oleh NH3. Dengan demikian, NH3 bersifat basa karena menerima proton. Dalam reaksi balik, NH4+adalah asam dan OH- adalah basa. Asam dan basa yang saling mengait sebagai pasangan NH3/NH4+ atau pasangan H2O/OH- disebut pasangan konjugat. Jika molekul NH3 dilihat sebagai basa, maka ion NH4+ merupakan asam konjugat dari NH3. Demikian juga pada molekul H2O, molekul H2O dilihat sebagai asam dan ion OH- merupakan basa konjugat dari H2O (Pettruci et al., 2007).
3) Teori Lewis
Pada tahun 1923, G. N Lewis mengajukan teori asam basa yang erat kaitannya dengan struktur dan ikatan. Teori ini tidak terbatas pada reaksi yang melibatkan H+ dan OH-, namun mampu memperluas konsep reaksi asam basa ke
31
dalam gas dan padatan. Teori ini digunakan untuk menjelaskan reaksi molekul organik.
Asam Lewis adalah spesies yang merupakan akseptor pasangan elektron, dan basa Lewis adalah spesies yang merupakan donor pasangan elektron. Reaksi antara asam Lewis dan basa Lewis menghasilkan pembentukan ikatan kovalen diantara keduanya. Asam berisi orbital yang belum terisi penuh dan kekurangan elektron, sedangkan basa memiliki pasangan elektron yang dapat digunakan bersama. Spesies dengan kulit valensi tak lengkap adalah asam Lewis. Jika asam Lewis membentuk ikatan kovalen koordinat dengan basa Lewis, oktetnya menjadi lengkap (Pettruci et al., 2007).
b. Indikator Asam Basa
Indikator asam basa merupakan senyawa organik yang bersifat asam atau basa lemah yang berubah warnanya dalam larutan sesuai dengan pH larutan. Salah contohnya adalah kertas lakmus. Kertas lakmus terdiri dari dua macam yaitu kertas lakmus merah dan kertas lakmus biru. Kertas lakmus merah akan berubah warnanya menjadi biru dalam larutan basa, dan pada larutan asam warnanya tetap. Sedangkan kertas lakmus biru akan berubah warnanya menjadi merah dalam larutan asam, dan pada larutan basa warnanya tetap.
Kesetimbangan asam basa indikator dirumuskan sebagai berikut:
H2O + HIn In- + H3O+
Warna asam warna basa
Seperti terlihat pada persamaan tersebut, asam dan basa pasangannya mempunyai warna yang berbeda. itulah sebabnya warna larutan berubah dengan berubahnya harga pH larutan. pH larutan dapat ditentukan menggunakan
pH-32
meter. pH-meter merupakan alat elektronik yang memungkinkan diukurnya pH suatu larutan dengan ketelitian tinggi. Beberapa larutan indikator adalah metil jingga, metil merah, fenolftalein, metil kuning dan bromotimol merah (Rivai, 2006). Burdge dan Overby (2015) memaparkan tentang trayek perubahan warna beberapa larutan indikator. Larutan indikator ini akan memberikan perubahan