• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap Higher Order Thinking Skills (HOTS) Peserta Didik Kelas XI Semester II SMA Negeri 1 Seyegan Tahun Ajaran 2016/2017.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap Higher Order Thinking Skills (HOTS) Peserta Didik Kelas XI Semester II SMA Negeri 1 Seyegan Tahun Ajaran 2016/2017."

Copied!
292
0
0

Teks penuh

(1)

i

Pengaruh Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap Higher Order Thinking Skills (HOTS) Peserta Didik Kelas XI Semester II

SMA Negeri 1 Seyegan

TUGAS AKHIR SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian

Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh :

Retnani Arum Pertiwi 13303241060

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)

ii

Pengaruh Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap Higher Order Thinking Skills (HOTS) Peserta Didik Kelas XI Semester II

SMA Negeri 1 Seyegan Tahun Ajaran 2016/2017 Oleh:

Retnani Arum Pertiwi NIM.13303241060

Pembimbing: Prof. Dr. Endang Widjajanti LFX

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang signifikan pada Higher Order Thinking Skills antara kelas yang mengikuti pembelajaran menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dengan kelas yang mengikuti pembelajaran menggunakan model pembelajaran Learning Cycle 5E.

Desain penelitian ini adalah quasi experimental dengan tipe the matching- only posttest-only control group design. Populasi penelitian ini adalah peserta didik kelas XI IPA SMA Negeri 1 Seyegan Tahun Ajaran 2016/2017. Sampel penelitian terdiri dari dua kelas yang ditentukan dengan teknik purposive sampling. Instrumen dalam penelitian ini meliputi: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Lembar Kerja Peserta Didik, soal post test, lembar observasi Higher Order Thinking Skills dan angket respon peserta didik. Higher Order Thinking Skills diperoleh dari tes prestasi belajar peserta didik. Hasil ini juga didukung dengan hasil observasi dan angket respon peserta didik Data Higher Order Thinking Skills peserta didik kemudian dianalisis dengan analisis kovarian (anakova) menggunakan aplikasi SPSS versi 21 dan hasil observasi dan angket respon dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif.

Analisis kovarian (anakova) memberikan nilai signifikansi sebesar 0,010. Hal ini menunjukkan ada perbedaan yang signifikan pada Higher Order Thinking Skills antara peserta didik yang mengikuti pembelajaran menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dengan peserta didik yang mengikuti pembelajaran menggunakan model pembelajaran Learning Cycle 5E. Hasil ini juga didukung dengan hasil analisis deskriptif juga menunjukkan bahwa Higher Order Thinking Skills peserta didik yang mengikuti pembelajaran menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik yang mengikuti pembelajaran menggunakan model pembelajaran Learning Cycle 5E.

(3)

iii

The Influence of Problem Based Learning (PBL) Model on the Higher Order Thinking Skills (HOTS) of Students Grade XI Semester II

SMA Negeri 1 Seyegan Academic Year 2016/2017

By:

Retnani Arum Pertiwi NIM 13303241060

Supervisor: Prof. Dr. Endang Widjajanti LFX ABSTRAK

The study aims to determine whether there is a significant difference in the Higher Order Thinking Skills between the class which used Problem Based Learning model and the class which used Learning Cycle 5E model.

The quasi experimental with the type of matching only posttest only control group design was applied in this study. The population of this study is XI grade students of SMA Negeri 1 Seyegan academic year 2016/2017. The sample is consist of two classes which is determined by purposive sampling. Instrument which is used in this study including: lesson plan, student worksheet, post test, Higher Order Thinking Skils rubric and questionnaire of student response. Higher Order Thinking Skills was obtained from post-test. This result was also supported by the result which is gained from the observation and student response. Then the data was analyzed using the analysis of covarian (anacova) and the observation result and student response were analyzed using descriptive analysis method.

The analysis of covarian gave significance value 0,010. It shows that there is a significant difference in the Higher Order Thinking Skills between the student who were taught with Problem Based Learning model and the student who were taught with Learning Cycle 5E model. This result was also supported by the result of descriptive analysis which show that the Higher Order Thinking Skills of student who were taught Problem Based Learning model is higher than the student who were taught with Learning Cycle 5E model.

(4)
(5)
(6)
(7)

vii MOTTO

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”

(Q.S. Ar-Ra’d : 11)

(8)

viii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Puji syukur senantiasa kupanjatkan kepada Tuhan atas penyertaan dan kasih-Nya yang tak berkesudahan sehingga tugas akhir ini dapat selesai dengan baik.

Karya ini kupersembahkan untuk…

 Ibu, yang tak henti-hentinya mendoakan, memberi dukungan, dan menguatkan sehingga semuanya dapat terlewati dengan baik. Kakak-kakakku, Asri Saraswati, Kristian Wijayanto, Anggono Adi Anto dan keponakanku Raynar Aydin Rahadi yang selalu memberikan support dan doa. Terimakasih atas cinta kasih kalian dan semoga keberhasilan ini mampu memberikan kebahagiaan untuk kalian.

 Sahabat tersayang, Shinta Pramudyasiwi, Diya Nur Safira yang telah membantu dan menyemangati dalam jatuh bangun usahaku. Terimakasih.

 Rekan seperjuangan skripsi, Afifah Yumna Novinta

 Teman-teman Pendidikan Kimia Internasional 2013, aku bersyukur atas kesempatan untuk dapat mengenal dan menimba ilmu bersama kalian. Terimakasih atas dukungan yang diberikan selama ini.

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi yang berjudul “Pengaruh Model

Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap Higher Order Thinking Skills (HOTS) Peserta Didik Kelas XI Semester II SMA Negeri 1 Seyegan” dengan baik.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak dapat diselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Berkenaan dengan hal tersebut maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Hartono selaku Dekan FMIPA UNY yang telah mendukung kelancaran penulisan skripsi ini.

2. Bapak Jaslin Ikhsan, Ph.D selaku Ketua Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA UNY yang telah mendukung kelancaran penulisan skripsi ini.

3. Bapak Sukisman Purtadi, M.Pd selaku Ketua Program Studi Pendidikan Kimia yang telah mendukung kelancaran penulisan skripsi ini.

4. Ibu Prof. Dr. Endang Widjajanti LFX selaku dosen pembimbing Tugas Akhir Skripsi yang telah dengan sabar memberikan bimbingan, arahan, masukkan, dukungan, dan saran selama pelaksanaan penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini.

5. Bapak Jaslin Ikhsan, Ph.D selaku dosen penguji utama yang telah memberikan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

(10)

x

7. Ibu Dr. Cahyorini Kusumawardhani, M.Si selaku Penasehat Akademik yang telah memberikan arahan dan membantu saya dalam menempuh masa perkuliahan.

8. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta yang telah membimbing dan membagikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis.

9. Bapak Drs. Samidjo, M.M selaku Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Seyegan yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian ini.

10. Ibu Ngasriyati, S.Pd selaku pendidik kimia SMA Negeri 1 Sseyegan yang telah memberikan bantuan dan arahan selama melakukan penelitian di SMA Negeri 1 Seyegan.

11. Peserta didik SMA Negeri 1 Seyegan yang telah bekerjasama dan berpartisipasi dalam pelaksanaan penelitian.

12. Semua pihak terkait yang telah membantu pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis menyampaikan permohonan maaf kepada semua pihak atas segala kekurangan yang ada dan mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari pembaca. Besar harapan penulis agar karya ini dapat bermanfaat bagi kebutuhan pembaca.

Yogyakarta, Juni 2017 Penulis

(11)

xi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ... i

ABSTRAK... ii

ABSTRACT ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

HALAMAN PERSETUJUAN... v

HALAMAN PENGESAHAN …... vi

MOTTO... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI …... xi

DAFTAR TABEL ……... xv

DAFTAR GAMBAR... xvii

DAFTAR LAMPIRAN... xviii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Pembatasan Masalah ... 9

D. Rumusan Masalah ... 10

(12)

xii

F. Manfaat Penelitian ... 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA... 14

A. Kajian Teori…... 14

1. Proses Pembelajaran ... 14

2. Pembelajaran Kimia ... 15

3. Model Pembelajaran Problem Based Learning ... 18

4. Model Pembelajaran Learning Cycle 5E... 22

5. Higher Order Thinking Skills ... 24

6. Materi Asam Basa…... 28

B. Penelitian yang Relevan ... 36

C. Kerangka Berpikir ... 38

D. Hipotesis Penelitian ... 41

BAB III METODE PENELITIAN... 42

A. Desain Penelitian ... 42

B. Prosedur Penelitian …………... 42

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 44

1. Variabel Bebas ... 44

2. Variabel Terikat ... 44

3. Variabel Kontrol ... 44

D. Populasi dan Sampel Penelitian ... 45

1. Populasi Penelitian ... 45

2. Sampel Penelitian ... 45

(13)

xiii

F. Instrumen dan Analisis Instrumen Penelitian ………... 46

1. Instrumen Penelitian ... 46

2. Analisis Instrumen Penelitian... 51

G. Teknik Pengumpulan Data ... 52

1. Dokumentasi ... 52

2. Observasi …... 52

3. Ujian/Tes ………... 53

H. Teknik Analisis Data ……... 53

1. Uji Prasyarat Hipotesis ... 54

2. Uji Hipotesis………... 58

3. Analisis Deskriptif Data Observasi Higher Order Thinking Skills .…... 60

4. Analisis Deskriptif Data Respon ... 61

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 63

A. Hasil Penelitian ... 63

1. Pengetahuan Awal Peserta Didik ... 63

2. Data Higher Order Thinking Skills Peserta Didik ... 63

3. Data Observasi Higher Order Thinking Skills Peserta Didik ... 64

4. Data Respon Peserta Didik ... 65

5. Uji Prasyarat Hipotesis Penelitian ……... 65

6. Uji Hipotesis ... 67

(14)

xiv

8. Analisis Deskriptif Data Respon Peserta Didik ... 69

B. Pembahasan ... 70

1. Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Kontrol ... 72

2. Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Eksperimen ... 80

3. Pengaruh Model Pembelajaran Problem Based Learning terhadap Higher Order Thinking Skills ... ... 91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 105

A. Kesimpulan ... 105

B. Saran ... 105

DAFTAR PUSTAKA ... 107

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Trayek Perubahan Warba Indikator …... 32

Tabel 2. Kisi-Kisi Soal Post Test ... 48

Tabel 3. Kisi-Kisi Lembar Observasi Higher Order Thinking Skills ... 49

Tabel 4. Kisi-Kisi Angket Respon ... 50

Tabel 5. Desain Analisis Data …...…... 54

Tabel 6. Ringkasan Rumus Anakova …... 59

Tabel 7. Pedoman Konversi Skor menjadi Nilai Skala Lima ... 61

Tabel 8. Pedoman Penentuan Kategori Respon Peserta Didik ... 62

Tabel 9. Rangkuman Data Pengetahuan Awal Kimia Peserta Didik ... 63

Tabel 10. Rangkuman Data Higher Order Thinking Skills Peserta Didik ... ... 64

Tabel 11. Rangkuman Data Observasi Higher Order Thinking Skills Peserta Didik ... 64

Tabel 12. Rangkuman Data Respon Peserta Didik ... 65

Tabel 13. Rangkuman Hasil Uji Normalitas ………... 66

Tabel 14. Rangkuman Hasil Uji Homogenitas ……... 66

Tabel 15. Rangkuman Hasil Analisis Kovarian ………... 68

(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Bagan Komponen-Komponen Pembelajaran ... 15

Gambar 2. Bagan Hasil Pembelajaran PBL ... 19

Gambar 3. Strategi Pembelajaran Learning Cycle 5E ... 24

Gambar 4. Bagan Prosedur Penelitian ... 43

Gambar 5. Jawaban LKPD Peserta Didik Kelas Eksperimen ... 87

Gambar 6. Kunci Jawaban Soal No. 5 ... 94

Gambar 7. Jawaban Soal No. 5 Kelas Eksperimen ... 95

Gambar 8. Jawaban Soal No. 5 Kelas Kontrol ... 95

Gambar 9. Kunci Jawaban Soal No. 7 ... 97

Gambar 10 Jawaban Soal No. 7 Kelas Eksperimen ... 98

Gambar 11. Jawaban Soal No. 7 Kelas Kontrol ... 98

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Eksperimen ... 112

Lampiran 2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Kontrol ... 154

Lampiran 3. Materi Pembelajaran ... 179

Lampiran 4. Soal Higher Order Thinking Skills ... 188

Lampiran 5. Rubrik Penskoran Instrumen Asam Basa Paket 1 ... 198

Lampiran 6. Lembar Observasi Higher Order Thinking Skills Peserta Didik ... 207

Lampiran 7. Angket Respon Peserta Didik …... 240

Lampiran 8. Data Pengetahuan Awal Peserta Didik ... 244

Lampiran 9 Data Higher Order Thingking Skills Peserta Didik ... 245

Lampiran 10. Data Observasi Sikap Peserta Didik Kelas Eksperimen ... 246

Lampiran 11. Data Observasi Sikap Peserta Didik Kelas Kontrol ... 247

Lampiran 12. Data Angket Respon Peserta Didik Kelas Eksperimen ... 248

Lampiran 13. Hasil Uji Normalitas ... 249

Lampiran 14. Hasil Uji Homogenitas ... 250

Lampiran 15. Hasil Uji Korelasi Pearson ... 251

Lampiran 16. Hasil Uji Interaksi ... 252

(18)

xviii

Lampiran 19. Perhitungan Analisis Deskriptif Higher Order Thinking

Skills ... 254

Lampiran 19. Perhitungan Analisis Deskriptif Respon Peserta Didik ... 259

Lampiran 20. Hasil Validasi Logis ... 260

Lampiran 21. Surat Izin Penelitian ... 265

Lampiran 22. Surat Keterangan Pelaksanaan Penelitian ... 266

(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Globalisasi memberikan berbagai dampak di setiap aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam bidang pendidikan. Pada era globalisasi atau lebih dikenal dengan information age, peserta didik dituntut untuk memiliki sejumlah kompetensi sehingga dapat berkompetisi secara global. Balistreri, Giacomo, Noisette dan Ptak (2012) menyatakan bahwa terdapat tiga kompetensi global yang harus dimiliki peserta didik sehingga dapat menghadapi globalisasi di bidang pendidikan, yaitu:

“(a) empirically based knowledge skill such as basic competency and numeracy, science and technology skills; (b) high-order cognitive and metacognitive skills such as critical thinking and creative problem solving; and (c) global dispositions, perspectives, and attitudes” (h. 5).

Melalui kompetisi global, peserta didik dapat mengintegrasikan antara pengetahuan, keterampilan serta sikap dalam menghadapi tantangan global di bidang pendidikan. Kemampuan peserta didik dalam mengintegrasikan pengetahuan, sikap dan keterampilan membutuhkan keterampilan berpikir yang tidak berhubungan dengan keterampilan pola perilaku rutin, namun perlu adanya adanya keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills - HOTS).

(20)

2

yang memuaskan sebagaimana hasil dari Trend International Mathematics and Science Study (TIMSS), studi internasional tentang prestasi matematika dan sains peserta sekolah menengah pertama yang dikoordinasikan oleh The International Evaluation of Educationnal Achievement (IAE) pada tahun 2015. Berdasarkan hasil tersebut, di bidang matematika Indonesia menempati urutan 45 dari 50 negara peserta, dan di bidang sains indonesia menempati urutan 45 dari 48 negara peserta. Hasil tersebut menunjukkan bahwa prestasi Indonesia di bidang sains dan matematika masih tergolong rendah.

TIMSS membagi domain kognitif menjadi 3 tingkatan, yaitu pengetahuan, penerapan, dan penalaran. Hasil TIMSS menunjukkan bahwa secara umum, peserta didik lebih menguasai soal-soal yang bersifat rutin, komputasi sederhana. serta mengukur pengetahuan dan fakta yang berkonteks keseharian. Selain itu, peserta didik masih kurang dalam mengintegrasikan informasi, menarik kesimpulan, serta menggeneralisir pengetahuan ke hal-hal lain. Secara umum, hampir 80% peserta didik Indonesia hanya mampu mencapai level menengah. Berdasarkan analisis yang dilakukan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud, 2015), rendahnya prestasi Indonesia di bidang sains dan matematika disebabkan oleh implemented curriculum yang tidak beriringan dengan attained curriculum. Dengan kata lain, pembelajaran yang dilakukan dilakukan di sekolah belum sepenuhnya mampu untuk mengarahkan peserta didik untuk memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi yang merupakan salah satu indikator soal TIMSS.

(21)

3

Assessment (PISA) tahun 2015. Indonesia memperoleh peringkat 69 daari 72 negara peserta. Assessment framework pada studi PISA menekankan pada kemampuan bernalar, memecahkan masalah, berargumentasi dan berkomunikasi berdasarkan pada kemampuan berpikir tingkat tinggi. Pentingnya peserta didik dilatih untuk berpikir tingkat tinggi adalah agar peserta didik dapat memahami informasi, berpikir yang berkualitas mencapai hasil akhir yang berkualitas sehingga menjadi mandiri. Semakin baik kemampuan berpikir peserta didik akan berdampak baik terhadap hasil belajarnya.

(22)

4

sehingga apabila peserta didik dapat menguasai soal tersebut, dapat diasumsikan bahwa pengetahuan awal peserta didik tergolong tinggi. Namun demikian, berdasarkan wawancara dapat diasumsikan bahwa pengetahuan awal peserta didik tergolong rendah karena tidak ada peserta didik yang mampu mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal sebesar 76.

Rofiah, Aminah dan Ekawati (2013) menyatakan bahwa Higher Order Thinking Skills merupakan proses berpikir yang tidak hanya bertumpu pada kemampuan menghafal namun juga menyampaikan kembali informasi yang telah diketahui. Kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan kemampuan dalam menghubungkan, memanipulasi dan mentransformasi pengetahuan dan pengalaman awal peserta didik untuk berpikir secara kritis dan kreatif dalam menentukan keputusan dan memecahkan suatu masalah pada kondisi baru. Menurut Anderson dan Krathwohl (2010) terdapat tiga keterampilan dalam berpikir yang dapat dikategorikan sebagai Higher Order Thinking yaitu: keterampilan menganalisis, mengevaluasi dan mencipta.

(23)

5

dan bertalian secara logis atau membuat produk yang original (Anderson & Krathwohl, 2010).

Salah satu upaya menciptakan lingkungan pembelajaran yang dapat mengasah kemampuan peserta didik dalam berpikir tingkat tinggi adalah melalui pendekatan konstruktivisme. Hanafiah dan Suhana (2012) menyatakan bahwa pendekatan konstruktivisme bertujuan untuk merangsang dan memberi peluang kepada peserta didik untuk belajar inovatif dan mengembangkan potensinya secara optimal. Penggunaan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran diharapkan mampu meningkatkan keterampilan berpikir peserta didik.

(24)

6

Salah satu model pembelajaran yang mengunakan pendekatan konstruktivisme adalah model pembelajaran Learning Cycle 5E. Melalui model pembelajaran ini, peserta didik belajar tidak hanya dengan mendengar tetapi dapat terlibat langsung secara aktif untuk menggali dan menemukan suatu konsep. Model pembelajaran Learning Cycle 5E menekankan pengembangan kognitif dan sesuai jika diterapkan dalam pembelajaran kimia karena peserta didik diberi kesempatan seluas-luasnya untuk membangun dan mengungkapkan ide. Implementasi Learning Cycle 5E dalam pembelajaran menempatkan pendidik sebagai fasilitator yang mengelola berlangsungnya fase-fase tersebut. Model pembelajaran Learning Cycle 5E terdiri atas 5 siklus yaitu: pembangkitan minat (engagement), eksplorasi (exploration), penjelasan (explanation), elaborasi (elaborationn), dan evaluasi (evaluation) (Wena, 2008).

(25)

7

Model pembelajaran lain yang menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan metode pembelajaran trial dan sesuai karakteristik Kurikulum 2013 adalah model pembelajaran Problem Based Learning. Model pembelajaran Problem Based Learning dapat memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk dapat menemukan dan membangun konsep secara mandiri serta dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik melalui pemberian permasalahan-permasalahan yang berbeda secara berulang. Model pembelajaran Problem Based Learning merupakan kolaborasi antara problem solving dengan penemuan konsep secara mandiri. Model pembelajaran Problem Based Learning menghadapkan peserta didik pada permasalahan-permasalahan praktis sebagai pijakan dalam belajar atau dengan kata lain peserta didik belajar melalui masalah. Model ini dirasa tepat karena kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik akan muncul apabila didukung oleh suasana pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student centered), sehingga peserta didik bebas mengemukakan pendapat dari dalam dirinya serta lingkungan belajar yang mendukung peran aktif peserta didik dalam pembelajaran tersebut.

(26)

8

berpikir tingkat tinggi yang meliputi: keterampilan dalam menganalisis, mengevaluasi dan mencipta.

Prinsip Problem Based Learning lebih ditekankan kepada perbaikan dan peningkatan konsep dalam situasi nyata, mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi, keterampilan memecahkan masalah, meningkatkan keaktifan belajar peserta didik, mengembangkan keterampilan membuat keputusan, menggali informasi, meningkatkan rasa percaya diri, tanggung jawab dan komunikasi. Menurut Tan (2004), fase-fase dalam sintaks Problem Based Learning sangat menunjang pembangunan keterampilan dalam mengatur diri sendiri (self directed), kolaboratif, keterampilan berpikir tingkat tinggi yang didalamnya termasuk berpikir kreatif, cakap menggali informasi, yang semuanya dibutuhkan dalam menghadapi kompetisi global.

Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Problem Based Learning untuk meningkatkan Higher Order Thinking Skills peserta didik apabila pengetahuan awal dikendalikan secara statistik. Melalui penerapan model ini diharapkan mampu menciptakan proses pembelajaran dimana peserta didik memiliki kesempatan untuk dapat menemukan dan membangun konsep secara mandiri serta dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi melalui kelompok yang telah ditentukan. Penelitian ini diberi judul “Pengaruh Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap

(27)

9 B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Pembelajaran yang dilakukan di sekolah belum sepenuhnya mampu untuk mengarahkan peserta didik untuk memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi yang merupakan salah satu indikator soal TIMSS dan PISA.

2. Pelaksanaan pembelajaran di kelas XI MIPA SMA Negeri 1 Seyegan tidak memberi kesempatan peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi.

3. Peserta didik tidak terbiasa mengasah kemampuan proses berpikir kreatif dan kritis dalam membentuk pengetahuannya sendiri dan tidak mampu untuk mengaitkan dan menerapkan ilmu kimia yang dimiliki dalam menyelesaikan masalah sehari-hari.

4. Pendidik belum melakukan pengukuran terhadap Higher Order Thinking Skills peserta didik pada materi Larutan Asam dan Basa.

C. Pembatasan Masalah

Agar masalah tidak terlalu luas, maka perlu pembatasan masalah sebagai berikut :

(28)

10

2. Pembelajaran yang dilakukan di SMA Negeri 1 Seyegan agar dapat mengarahkan peserta didik untuk memiliki Higher Order Thinking Skills adalah menggunakan model pembelajaran yang mengaktifkan peserta didik, yaitu model pembelajaran Problem Based Learning dan Learning Cycle 5E. 3. Model pembelajaran Problem Based Learning dilaksanakan dalam lima

tahap yang meliputi: mengorientasi peserta didik pada masalah, mengorganisasikan peserta didik untuk belajar, membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya serta memamerkannya, dan menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

4. Higher Order Thinking Skills peserta didik diungkap dengan menggunakan tes Higher Order Thinking Skills yang berupa soal uraian pada materi pokok “Larutan Asam dan Basa” dan pengetahuan awal kimia peserta didik

dikendalikan secara statistik.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan batasan masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

(29)

11

Semester II SMA Negeri 1 Seyegan, jika pengetahuan awal kimia dikendalikan secara statistik?

2. Bagaimana Higher Order Thinking Skills peserta didik yang menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dan peserta didik yang menggunakan model pembelajaran Learning Cycle 5E pada materi pokok “Larutan Asam dan Basa” di kelas XI Semester II SMA Negeri 1 Seyegan

selama proses pembelajaran?

3. Bagaimana respon peserta didik terhadap penerapan model pembelajaran Problem Based Learning?

E. Tujuan Penelitian

Bertolak pada rumusan masalah, maka penelitian ini memiliki tujuan mengetahui:

1. Ada tidaknya perbedaan yang signifikan pada Higher Order Thinking Skills antara peserta didik yang menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dengan peserta didik yang menggunakan model pembelajaran Learning Cycle 5E pada materi pokok “Larutan Asam dan Basa” di kelas XI Semester II SMA Negeri 1 Seyegan, jika pengetahuan awal kimia dikendalikan secara statistik.

(30)

12

Basa” di kelas XI Semester II SMA Negeri 1 Seyegan selama proses

pembelajaran.

3. Respon peserta didik terhadap penerapan model pembelajaran Problem Based Learning.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis maupun manfaat praktis. Manfaat teoritis dari penelitian ini yaitu berupa sumbangan pengetahuan dalam bidang pendidikan. Sedangkan manfaat praktis yaitu berhubungan langsung dengan peneliti, pendidik, peserta didik dan satuan pendidikan.

1. Bagi peneliti, memberikan pengalaman langsung dalam mengajar menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dan mengetahui pengaruhnya.

2. Bagi pendidik, model pembelajaran Problem Based Learning dapat dijadikan sebagai model pembelajaran alternatif, sehingga dalam proses pembelajaran peserta didik dapat terlibat secara langsung dan termotivasi dalam belajar sehingga dapat meningkatkan Higher Order Thinking Skills peserta didik. 3. Bagi peserta didik, memberikan kesempatan peserta didik untuk belajar

(31)

13

(32)

14 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Proses Pembelajaran

Proses pembelajaran sebagai suatu sistem merupakan seperangkat komponen yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Komponen tersebut terdiri atas pendidik, peserta didik dan lingkungan sosial. Pendidik dalam proses pembelajaran dilengkapi dengan perangkat kurikulum, media pembelajaran beserta sarana dan prasarana. Komponen pembelajaran yang digunakan dapat berupa metode pembelajaran, model pembelajaran atau pendekatan. Komponen-komponen tersebut akan mempengaruhi kegiatan pembelajaran yang selanjutnya akan menentukan hasil belajar peserta didik. Hubungan antara komponen satu dengan komponen yang lain dapat dilihat dalam Gambar 1.

(33)

15

Mengajar dalam konteks standar proses pendidikan tidak hanya sekedar penyampaian materi pelajaran, tetapi juga harus dimaknai sebagai proses mengatur lingkungan agar peserta didik dapat belajar (Suprijono, 2010). Pengertian mengajar seperti ini akan memberikan gambaran bahwa fungsi utama dalam mengajar adalah menyediakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi peserta didik dan pemegang peranan aktif dalam kegiatan pembelajaran adalah peserta didik dalam upaya untuk menemukan dan memecahkan permasalahan sehingga pembelajaran akan berpusat pada peserta didik (student centered). Dengan kata lain, tercapainya suatu tujuan peserta didik sangat dipengaruhi bagaimana aktivitas peserta didik dalam belajar.

Gambar 1. Hubungan Komponen-Komponen Pembelajaran 2. Pembelajaran Kimia

Proses pembelajaran tidak terlepas dari adanya perkembangan kognitif yang dimulai dari lahir hingga dewasa. Menurut Piaget, tahap perkembangan kognitif tersebut adalah:

Pendidik, kurikulum, metode dan model pembelajaran, pendekatan, media,

sarana/prasarana

Kegiatan pembelajaran

Hasil Belajar Hasil Belajar

(34)

16 a. Periode sensorimotorik (0-2 tahun) b. Periode praoperasional (2-7 tahun) c. Periode operasional konkrit (7-11 tahun) d. Periode operasional formal (11 tahun-dewasa)

Pembelajaran kimia individu berlangsung pada tahap perkembangan kognitif periode operasional formal. Pada tahap ini, anak telah mampu untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia.

Menurut Piaget, proses belajar terdiri dari tiga tahap: a. Asimilasi

Asimilasi merupakan proses penyatuan informasi baru ke struktur kognitif yang terdapat pada benak peserta didik.

b. Akomodasi

Akomodasi merupakan proses penyesuaian struktur kognitif baru pada situasi yang baru. Akomodasi dimulai ketika pengetahuan baru yang dikenalkan tidak sesuai dengan struktur kognitif yang ada.

c. Disequilibrium dan Equilibrium

(35)

17

dapat mempelajari, memahami konsep-konsep kimia melalui pengalaman belajar yang disusun secara sistematis (Mulyasa, 2012).

Kemendikbud (2016) merumuskan tujuan pembelajaran melalui Permendiknas No.

23 Tahun 2006 yaitu untuk mengembangkan logika dan memperoleh pemahaman yang

tahan lama perihal fakta, kemampuan mengenal, menganalisis dan memecahkan masalah,

serta mempunyai sikap ilmiah yang dapat dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran kimia tidak terlepas dari dua komponen pembelajaran yang saling berkaitan

satu sama lain yaitu proses belajar dan mengajar. Keseluruhan proses pendidikan di

sekolah, kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan yang paling utama. Berhasil

tidaknya pencapaian tujuan pembelajaran tergantung pada bagaimana proses belajar yang

dialami peserta didik.

Menurut Dahar (2011) teori belajar penemuan (Bruner) dan teori belajar bermakna

(Ausubel) merupakan teori belajar yang sesuai diterapkan untuk pembelajaran kimia.

Bruner dalam teori belajarnya mengemukakan 4 tema yaitu struktur, kesiapan, intuisi dan

motivasi. Belajar kimia harus dapat mencakup tiga proses kognitif, yaitu memperoleh

informasi baru, mentransformasi pengetahuan serta menguji relevansi dan ketepatan

pengetahuan (Dahar, 2011). Belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar

penemuan. Menurut Ausubel, faktor utama yang mempengaruhi belajar adalah apa yang

peserta didik telah ketahui. Belajar bermakna akan terjadi apabila konsep atau

pengetahuan baru yang diperoleh peserta didik kemudian dikaitkan dengan konsep yang

dimiliki peserta didik dalam struktur kognitifnya. Belajar penemuan akan meningkatkan

kemampuan peserta didik dalam menalar dan meningkatkan kemampuan berpikir secara

(36)

18

3. Model Pembelajaran Problem Based Learning

Model pembelajaran Problem Based Learning adalah seperangkat model mengajar yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, pemahaman materi dan pengaturan diri (Eggen & Kauchak, 2012). Model pembelajaran Problem Based Learning menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berfikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. Model pembelajaran ini dapat digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi masalah (Riyanto, 2012).

Menurut Arends, pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pendekatan dimana peserta didik mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri (Trianto, 2011).

(37)

19 diilustrasikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Bagan Hasil Pembelajaran PBL

Menurut Arrends (2007) model pembelajaran Problem Based Learning memiliki lima karakteristik, yaitu:

a. Pertanyaan atau masalah

Problem Based Learning mengorganisasikan pengajaran di seputar pertanyaan dan masalah yang penting secara sosial dan bermakna secara personal untuk peserta didik. Peserta didik dihadapkan pada situasi dalam kehidupan nyata, menghindari jawaban sederhana dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi tersebut.

b. Fokus interdisipliner

Masalah yang akan diselidiki peserta didik telah dipilih sesuai dengan kehidupan nyata sehingga dalam pemecahannya dapat menuntun peserta didik untuk meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.

Problem Based Learning

Keterampilan penyelidikan dan mengatasi masalah

Perilaku dan keterampilan sosial sesuai peran orang

dewasa

(38)

20 c. Investigasi autentik

Melalui model pembelajaran Problem Based Learning, peserta didik diharuskan untuk melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian terhadap masalah yang nyata. Peserta didik harus menganalisis dan mengidentifikasi masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat prediksi, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen, membuat referensi dan menarik kesimpulan.

d. Produk artefak dan exhibit

Model pembelajaran Problem Based Learning menuntut peserta didik untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian yang mereka temukan.

e. Kolaborasi

Salah satu ciri dari model pembelajaran Problem Based Learning adalah kerjasama antar peserta didik satu dengan yang lainnya. Bekerjasama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog serta mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.

(39)

21

dengan penyajian analisis hasil kerja peserta didik. Lima tahapan model pembelajaran Problem Based Learning adalah sebagai berikut:

a. Orientasi peserta didik pada masalah

Pada tahap ini, pendidik menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena, demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah dan memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih.

b. Mengorganisasikan peserta didik untuk belajar

Pada tahap ini, pendidik membagi peserta didik dalam kelompok kecil, membantu peserta didik mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.

c. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok

Pada tahap ini, pendidik mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen dan penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

d. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Pendidik membantu peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.

e. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

(40)

22 4. Model Pembelajaran Learning Cycle 5E

Pembelajaran siklus atau Learning Cycle merupakan salah satu model pembelajaran konstruktivisme (Wena, 2008). Menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan pembentukan pengetahuan dimana peserta didik berperan aktif dalam melakukan kegiatan, berpikir, menyusun konsep, dan dalam hal pemberian makna tentang hal yang dipelajari (Siregar & Nara, 2010). Pembelajaran yang bersifat konstruktivistik tersebut tertuang dalam pembelajaran siklus yang pada awalnya terdiri atas 3 tahap, yaitu eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept introduction), penerapan konsep (concept application). Tiga siklus tersebut kemudian mengalami perkembangan menjadi 5 siklus yang terdiri atas pembangkitan minat (engagement), eksplorasi (exploration), penjelasan (explanation), elaborasi (elaborationn), dan evaluasi (evaluation). Adapun tahapan pembelajaran dari 5 siklus atau yang disebut Learning Cycle 5E sebagai berikut.

a. Pembangkitan minat

(41)

23

Kemudian pendidik memberikan hubungan antara pengalaman keseharian tersebut dengan topik yang akan dibahas.

b. Eksplorasi

Tahap kedua dari siklus belajar adalah eksplorasi. Kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 2 – 4 peserta didik dibentuk dan diberi kesempatan untuk bekerjasama. Dalam kelompok ini, pendidik mendorong peserta didik untuk menguji hipotesis atau membuat hipotesis, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide dalam proses diskusi kelompok. Pada tahap ini pendidik berperan sebagai motivator dan fasilitator.

c. Penjelasan

Penjelasan merupakan tahap ketiga dari siklus belajar. Pada tahap ini, pendidik mendorong peserta didik untuk menjelaskan konsep yang disusun dengan kalimatnya sendiri dan disertai bukti, serta saling mendengarkan penjelasan antar peserta didik atau pendidik dengan kritis. Pendidik memberikan penjelasan konsep dengan berpijak pada penjelasan peserta didik.

d. Elaborasi

(42)

24 e. Evaluasi

Pada tahap terakhir ini, pendidik mengamati pemahaman peserta didik tentang konsep baru yang diterapkan. Melalui evaluasi diri, peserta didik dapat mengetahui kemajuan dan kekurangan proses pembelajaran yang dilakukan. Hal tersebut juga dapat dijadikan bahan evaluasi bagi pendidik mengenai penerapan proses, apakah berjalan baik, cukup baik ataukah masih kurang (Wena, 2008).

Pada pembelajaran Learning Cycle 5E yang merupakan bagian dari pendekatan konstruktivistik ini, pendidik tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan peserta didik dibantu untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan lebih memahami jalan pikiran peserta didik dalam belajar. Strategi pembelajaran siklus dapat dilihat pada Gambar 3 (Wena, 2008).

Gambar 3. Strategi Pembelajaran Learning Cycle 5E 5. Higher Order Thinking Skills

Gunawan (2003) mendefinisikan Higher Order Thinking Skills atau keterampilan berpikir tingkat tinggi sebagai proses berpikir yang mengharuskan

1 Tahap Pembangkitan

Minat

2 Tahap Eksplorasi

3 Tahap Penjelasan 4

Tahap Elaborasi 5

(43)

25

peserta didik memanipulasi informasi dan ide-ide dalam cara tertentu yang memberi mereka pengertian dan implikasi baru. Sebagai contoh adalah ketika peserta didik menggabungkan fakta dan ide dalam proses mensintesis, melakukan hipotesis dan analisis dan akhirnya peserta didik sampai pada suatu kesimpulan.

Higher Order Thinking Skills merupakan kemampuan menghubungkan, memanipulasi dan mentransformasi pengetahuan serta pengalaman yang sudah dimiliki untuk mencapai tujuan yaitu mencapai tujuan yaitu memperoleh pengetahuan yang meliputi tingkat berpikir analisis, sintesis, evaluatif dan kemampuan memecahkan masalah pada situasi baru (Rofiah, et al., 2013).

Higher Order Thinking Skills meliputi aspek berpikir kritis, kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan memecahkan masalah. Berpikir kritis adalah kemampuan untuk melakukan analisis, menciptakan dan menggunakan kriteria secara objektif dan melakukan evaluasi data. Berpikir kreatif dipandang sebagai kemampuan untuk menggunakan struktur berpikir yang rumit untuk menghasilkan ide yang baru dan orisinal. Kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan untuk berpikir secara kompleks dan mendalam untuk memecahkan suatu masalah (Gunawan, 2003).

Resnick dalam Arrends (2008) mendefinisikan Higher Order Thinking Skills sebagai berikut:

(44)

26

b. Higher Order Thinking Skills cenderung bersifat kompleks. Urutan atau langkah-langkahnya keseluruhan tidak dapat dilihat hanya dari satu sisi pandangan tertentu.

c. Higher Order Thinking Skills sering mendapatkan multiple solution (banyak solusi), masing-masing dengan keuntungan dan kerugiannya masing-masing. Bukan merupakan solusi tunggal.

d. Higher Order Thinking Skills melibatkan nuanced judgement (pertimbangan) dan interpretasi.

e. Higher Order Thinking Skills melibatkan multiple criteria (banyak kriteria), yang kadang-kadang bertentangan satu sama lain.

f. Higher Order Thinking Skills sering melibatkan urcentainty (ketidakpastian). Tidak semua yang berhubungan dengan tugas yang ditangani telah diketahui. g. Higher Order Thinking Skills melibatkan self-regulation (pengaturan diri)

dalam proses berpikir. Seorang individu tidak dapat dipandang berpikir tingkat tinggi apabila ada orang lain yang membantu di setiap tahap.

h. Higher Order Thinking Skills melibatkan imposing meaning (penggalian makna), menentukan struktur dalam sesuatu yang tampak tidak beraturan. i. Higher Order Thinking Skills bersifat effortful (membutuhkan banyak usaha).

Berpikir tingkat tinggi membutuhkan pekerjaan mental yang terlibat dalam elaborasi dan judgement yang dituntut di dalamnya.

(45)

27

proses kognitif yang menjadi bagian dari Higher Order Thinking Skills yaitu aspek menganalisis, mengevaluasi dan mencipta. Sedangkan aspek mengingat, memahami dan mengaplikasi digolongkan sebagai Lower Order Thinking Skills (LOTS) (Sutrisno, 2011). Adapun kategori-kategori Higher Order Thinking Skills dalam dimensi proses kognitif yang dikembangkan oleh Anderson dan Krathwohl adalah sebagai berikut:

a. Menganalisis

Menganalisis merupakan proses memecah suatu materi menjadi bagian- bagian kecil dan mendeteksi bagaimana bagian-bagian tersebut terkait satu sama lain dan terkait pada keseluruhan struktur atau tujuan. Proses ini melibatkan aktivitas membedakan (differentiating), mengorganisasikan (organizing) dan menghubungkan (attributing) (Anderson & Krathwohl, 2010).

b. Mengevaluasi

Mengevaluasi merupakan proses membuat penilaian berdasarkan pada kriteria dan standar tertentu. Proses ini melibatkan aktivitas mengecek (checking) dan mengkritisi (critiquing) (Anderson & Krathwohl, 2010).

c. Mencipta

(46)

28 6. Materi Asam Basa

a. Perkembangan Konsep Asam Basa

Asam dan basa sudah dikenal sejak zaman dahulu. Istilah asam berasal dari bahasa latin acetum yang berarti cuka yang mengandung unsur pokok asam asetat H3CCOOH. Sedangkan alkali berasal dari bahasa Arab yang artinya abu. Sudah

banyak teori yang berusaha untuk menerangkan sifat asam dan basa, salah satunya adalah Lavoisier (tahun 1777). Lavoisiser menyatakan bahwa oksigen merupakan suatu unsur yang dimiliki oleh semua asam. Sedangkan tahun 1810, Davy menunjukkan bahwa asam hidroklorida tidak mengandung oksigen hanya mengandung hidrogen dan klor, sehingga ditetapkanlah bahwa hidrogen yang menjadi unsur dasar di dalam asam.

1) Teori Arrhenius

Arrhenius mengajukan teori bahwa elektrolit yang dilarutkan di dalam air akan terurai menjadi ion-ion. Jika elektrolit tersebut kuat akan terurai sempurna, sedangkan elektrolit lemah terurai sebagian. Arrhenius menyatakan bahwa asam adalah suatu jenis zat yang jika terurai menghasilkan ion hidrogen (H+), misalnya HCl.

HCl(aq) H+ (aq) +Cl-(aq)

Sedangkan basa adalah suatu jenis zat yang jka terurai menghasilkan ion hidroksida (OH-)

NaOH(aq) Na+(aq) + OH- (aq)

(47)

29

baik yaitu asam kuat merupakan katalis paling efektif. Semakin tinggi konsentrasi H+ di dalam larutannya maka asam semakin kuat (Pettruci, Herring, Madura &

Bissonette, 2007).

Kelemahan-kelemahan konsep asam dan basa Arrhenius antara lain adalah: a) Tidak dapat menerangkan sifat-sifat CO2 dan NH3.

b) Senyawa yang mengandung hidrogen tidak pasti bersifat asam, terlihat pada senyawa hidrokarbon, misalnya CH3-CH=CH2.

c) Senyawa yang mengandung gugus hidroksi tidak pasti bersifat basa. Senyawa-senyawa fenol dan golongannya mengandung gugus OH, namun justru bersifat asam. Contohnya fenol, eugenol, vanilin, dan sebagainya. d) Senyawa yang pahit dan mengandung gugus OH tidak pasti bersifat basa.

Senyawa alkanoid bersifat basa, namun sifat basa ditentukan oleh adanya gugus amina, -N-H (Sastrohamidjojo, 2005).

2) Teori Bronsted-Lowry

Salah satu keterbatasan teori Arrhenius adalah tidak dapat mengenal senyawa basa kecuali yang menghasilkan OH-. Selain itu, zaman Arrhenius telah banyak reaksi yang menggunakan pelarut bukan air seperti ammonia cair. Misalnya adalah ammonium klorida dan natrium amida bereaksi di dalam ammonia cair sebagai berikut:

Reaksi lengkap : NH4Cl(aq) + NaNH2(aq) NaCl(aq) + 2NH3(aq)

Reaksi ion : NH4+(aq) + Cl-(aq) + Na+(aq) + NH2-(aq) Na+(aq) + Cl- (aq)

+ 2NH3 (aq)

(48)

30

Reaksi ion bersih dianggap sebagai reaksi dengan NH4+ analog H+ dan NH2

-dengan OH-. Reaksi tersebut dapat dijelaskan dengan teori yang diajukan oleh J.

N Bronsted di Denmark dan T. M Lowry di Inggris pada tahun 1923. Berdasarkan teori Bronsted-Lowry, asam adalah donor proton dan basa adalah akseptor proton, seperti yang ditunjukkan dalam reaksi:

NH4+(aq) + NH2-(aq) NH3(aq) + NH3(aq)

NH3 (pelarut) adalah basa konjugat dari asam NH4+ dan juga merupakan

basa konjugat dari basa NH2-.

Contoh reaksi yang lain adalah rekasi ammonia dengan air: NH3(aq) + H2O (l) NH4+ (aq) + OH-(aq)

Dalam reaksi tersebut, H2O bertindak sebagai asam karena memberikan

suatu proton yang diambil oleh NH3. Dengan demikian, NH3 bersifat basa karena

menerima proton. Dalam reaksi balik, NH4+adalah asam dan OH- adalah basa.

Asam dan basa yang saling mengait sebagai pasangan NH3/NH4+ atau pasangan

H2O/OH- disebut pasangan konjugat. Jika molekul NH3 dilihat sebagai basa, maka

ion NH4+ merupakan asam konjugat dari NH3. Demikian juga pada molekul H2O,

molekul H2O dilihat sebagai asam dan ion OH- merupakan basa konjugat dari

H2O (Pettruci et al., 2007).

3) Teori Lewis

Pada tahun 1923, G. N Lewis mengajukan teori asam basa yang erat kaitannya dengan struktur dan ikatan. Teori ini tidak terbatas pada reaksi yang melibatkan H+ dan OH-, namun mampu memperluas konsep reaksi asam basa ke

(49)

31

dalam gas dan padatan. Teori ini digunakan untuk menjelaskan reaksi molekul organik.

Asam Lewis adalah spesies yang merupakan akseptor pasangan elektron, dan basa Lewis adalah spesies yang merupakan donor pasangan elektron. Reaksi antara asam Lewis dan basa Lewis menghasilkan pembentukan ikatan kovalen diantara keduanya. Asam berisi orbital yang belum terisi penuh dan kekurangan elektron, sedangkan basa memiliki pasangan elektron yang dapat digunakan bersama. Spesies dengan kulit valensi tak lengkap adalah asam Lewis. Jika asam Lewis membentuk ikatan kovalen koordinat dengan basa Lewis, oktetnya menjadi lengkap (Pettruci et al., 2007).

b. Indikator Asam Basa

Indikator asam basa merupakan senyawa organik yang bersifat asam atau basa lemah yang berubah warnanya dalam larutan sesuai dengan pH larutan. Salah contohnya adalah kertas lakmus. Kertas lakmus terdiri dari dua macam yaitu kertas lakmus merah dan kertas lakmus biru. Kertas lakmus merah akan berubah warnanya menjadi biru dalam larutan basa, dan pada larutan asam warnanya tetap. Sedangkan kertas lakmus biru akan berubah warnanya menjadi merah dalam larutan asam, dan pada larutan basa warnanya tetap.

Kesetimbangan asam basa indikator dirumuskan sebagai berikut:

H2O + HIn In- + H3O+

Warna asam warna basa

(50)

pH-32

meter. pH-meter merupakan alat elektronik yang memungkinkan diukurnya pH suatu larutan dengan ketelitian tinggi. Beberapa larutan indikator adalah metil jingga, metil merah, fenolftalein, metil kuning dan bromotimol merah (Rivai, 2006). Burdge dan Overby (2015) memaparkan tentang trayek perubahan warna beberapa larutan indikator. Larutan indikator ini akan memberikan perubahan warna sesuai dengan pH larutan. Trayek perubahan warna beberapa larutan indikator ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Trayek Perubahan Warna Larutan Indikator

Indikator Dalam Larutan Asam Dalam Larutan Basa Rentang pH Bromfenol biru Kuning Ungu kebiruan 3,0 – 4,6

Metil jingga Jingga Kuning 3,1 – 4,4

Metil merah Merah Kuning 4,2 – 6,3

Bromtimol biru Kuning Biru 6,0 – 7,6

Phenolptalein Tak berwarna Pink kemerahan 8,3 – 10,0 Beberapa indikator adalah pigmen tanaman. Salah satu contoh pigmen tanaman yang dapat digunakan sebagai indikator asam basa adalah kubis merah/kubis ungu. Ekstrak pigmen dari kubis merah dapat memberikan warna berbeda pada variasi pH (Chang & Goldsby, 2016).

c. Kesetimbangan Air

Air merupakan elektrolit sangat lemah dan mengalami reaksi autoionisasi air sebagai berikut

H2O(l) + H2O(l) H3O+(aq) + OH-(aq)

Reaksi autoionisasi adalah reaksi kesetimbangan, sehingga dapat ditulis:

K = [� �

+][��]

(51)

33

Konsentrasi molar dari air yang terletak pada penyebut dalam persamaan tersebut harganya hampir konstan, sehingga dituliskan:

K.[H2O]2 = Kw ...persamaan (2)

Jika persamaan (2) disubstitusikan pada persamaan (1), maka persamaan kesetimbangannya akan menjadi: Kw = [H3O+] [OH-]

Kw adalah konstanta hasil kali ion dari air atau konstanta ionisasi dari air. Pada 25℃ dalam air murni harga [H3O+] = [OH-] = 1 × 10-7M, sehingga harga

Kw = (1 × 10-7M) (1 × 10-7M) = 1 × 10-14. Jika [H3O+] = [OH-] larutan berair

dikatakan netral. Dalam larutan asam, [H3O+] > [OH-] dan pada larutan basa

[H3O+] < [OH-] (Pettruci et al., 2007).

d. Pengaruh Asam Kuat dan Basa Kuat Terhadap Kesetimbangan Air

Asam kuat dan basa kuat akan terionisasi sempurna dalam air dan autoionisasi yang terjadi sedikit sekali. Perhitungan [H+] dalam larutan berair suatu asam kuat, maka asam kuat tersebutlah yang menjadi satu-satunya sumber ion [H+]. Kontribusi autoionisasi dalam air dapat diabaikan kecuali pada larutan yang sangat encer. HCl dalam larutan berair akan terionisasi sesuai dengan persamaan reaksi:

HCl(aq) H+(aq) + Cl-(aq)

Pada basa kuat, perhitungan [OH-] diperoleh dari basa kuat yang merupakan satu-satunya sumber OH-. Kontribusi dari autoionisasi air dapat diabaikan kecuali jika larutan sangat encer. NaOH dalam larutan berair akan terionisasi sesuai dengan persamaan reaksi:

(52)

34

e. Pengaruh Asam Lemah dan Basa Lemah Terhadap Kesetimbangan Air

Dalam larutan asam lemah atau basa lemah, terdapat dua kesetimbangan yaitu kesetimbangan asam lemah atau kesetimbangan basa lemah dan kesetimbangan air. Dalam larutan asam lemah, terdapat kesetimbangan:

HA(aq) H+(aq) + A-(aq) H2O(l) H+(aq) + OH-(aq)

H+ dari HA menggeser kesetimbangan air ke kiri sehingga H+dari air makin kecil

dan dapat diabaikan. Sehingga diperoleh:

Ka = [�

+][ ]

[� ]

Ka [HA] = [H+]2, sehingga [H+] = √Ka [HA]

Dalam larutan basa lemah, terdapat kesetimbangan:

B(aq) + H2O(l) BH+(aq) + OH-(aq)

H2O(aq) H+(aq) + OH-(aq)

OH- dari B menggeser kesetimbangan air ke kiri sehingga OH- dari air makin kecil dan dapat diabaikan. Sehingga diperoleh:

Kb = [ �

+][ ��]

[ ]

,

dimana [BH+] = [OH-]

Ka [B] = [OH-]2, sehingga [OH-] = √Kb [B] (Chang & Goldsby, 2016).

f. Hubungan Ka dan Kb dengan Derajat Ionisasi (�)

(53)

35

� = y er

Reaksi asam lemah dalam keadaan serimbang: HA(aq) H+(aq) + A-(aq)

a.

Ka = [�

+][ ]

[� ]

,

Ka =

C α ×C α C −α

Karena asam sangat lemah, harga � sangat kecil, maka ( 1¬� ) = 1

Ka = �

C −α

,

sehingga

α = √

K C

Dengan cara yang sama untuk basa lemah diperoleh:

α = √

K

C

(

Chang &

Goldsby, 2016). g. Konsep pH

Pada tahun 1909, Soren Sorensen seorang biokimiawan Denmark mengajukan istilah pH untuk mengacu pada “potensial ion hidrogen”. pH menurut Sorensen didefinisikan sebagai negatif dari [H+].

pH = − log [H+]

Secara matematis, kuantitas pOH dapat dirumuskan sebagai berikut: pOH = − log [OH-]

Persamaan Kw dapat diambil logaritma negatif menjadi: Kw = [H+] = [OH-] = 1 × 10-14

− log Kw = − log [H+] [OH-]= − log (1 × 10-14)

pKw = − ( log [H+] + [OH-])= (14,00)

(54)

36

pKw = pH + pOH = 14,00 (Chang & Goldsby, 2016).

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Tosun dan Taskesenligil (2013) yang berjudul “The Effect of Problem –Based Learning on

Undergraduate Student Learning About Solution and Their Physical Properties and Scientific Processing Skills”. Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah rendahnya keterampilan proses sains dan pemahaman konsep peserta didik terhadap materi larutan. Berdasarkan penelitian diperoleh hasil bahwa penerapan model pembelajaran Problem Based Learning dapat meningkatkan keterampilan proses sains dan pemahaman konsep peserta didik terhadap materi larutan dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran konvensional yang berorientasi pada pendidik. Adapun relevansi dari penelitian tersebut terletak pada model pembelajaran yang digunakan yaitu Problem Based Learning.

(55)

37

Selain itu, penelitian ini juga serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Mataka dan Kowalske (2015) yang berjudul “The Influence of PBL on Student’s

Self-efficacy Beliefs in Chemistry”. Berdasarkan penelitian ini peserta didik yang berpartisipasi dalam pembelajaran dengan model PBL menunjukkan kenaikan yang signifikan dalam kepercayaan pada dirinya sendiri dalam memcahkan masalah. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran Problem Based Learning mampu meningkatkan pemahaman konseptual dan keaktifan peserta didik dalam pembelajaran. Adapun relevansi dari penelitian tersebut terletak pada model pembelajaran yang digunakan yaitu Problem Based Learning.

Penelitian ini juga serupa dengan penelitian Abbanikanda (2016) dengan judul “Influence of Problem-Based Learning in Chemistry on Academic

Achievement of High School in Osun State, Nigeria”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model PBL lebih efektif dalam meningkatkan prestasi belajar kimia peserta didik. Penerapan PBL juga dapat membantu peserta didik dalam meningkatkan kemampuan kerjasama, menganalisis, mengumpulkan data, mensintesis dan kemampuan pemecahan masalah. Adapun relevansi dari penelitian tersebut terletak pada model pembelajaran yang digunakan yaitu Problem Based Learning.

(56)

38

dan berkurangnya miskonsepsi pada materi Elektrokimia dengan menerapkan model pembelajaran Problem Based Learning selama proses pembelajaran. Relevansi dari penelitian tersebut adalah model pembelajaran yang digunakan yaitu Problem Based Learning.

C. Kerangka Berpikir

Globalisasi memberikan berbagai dampak di setiap aspek kehidupan manuasia, tidak terkecuali dalam bidang pendidikan. Pada era globalisasi ini, peserta didik dituntut untuk memiliki sejumlah kompetensi sehingga dapat berkompetisi secara global. Melalui kompetisi global, peserta didik dapat mengintegrasikan antara pengetahuan, keterampilan serta sikap dalam menghadapi tantangan global di bidang pendidikan. Kemampuan peserta didik dalam mengintegrasikan pengetahuan, sikap dan keterampilan membutuhkan keterampilan berpikir yang tidak berhubungan dengan keterampilan pola perilaku rutin, namun perlu adanya adanya keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills.

(57)

39

(student centered), sehingga peserta didik bebas mengemukakan pendapat dari dalam dirinya serta lingkungan belajar yang mendukung peran aktif peserta didik dalam pembelajaran sehingga peserta didik dapat mengasah kemampuan berpikir tingkat tinggi. Hal tersebut dapat diatasi dengan mengimplementasikan model pembelajaran yang berorientasi pada pendekatan konstruktivisme.

Materi asam basa merupakan salah satu materi kimia yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Untuk itu, materi asam basa akan lebih mudah dipahami peserta didik dengan penggunaaan pendekatan konstruktivisme. Peserta didik dapat membangun sendiri pengetahuan melalui pengalaman-pengalaman nyata yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, pada beberapa pokok bahasan asam basa seperti pada konsep perkembangan asam basa, konsep perhitungan pH pendekatan konstruktivisme tidak dapat diterapkan. Peserta didik tidak dapat membangun sendiri pengetahuannya karena konsep tersebut abstrak dan tidak terdapat dalam kehidupan peserta didik. Metode yang sesuai untuk membelajarkan materi yang abstrak adalah metode trial dimana peserta didik dihadapkan pada masalah-masalah yang berbeda yang dilakukan secara berulang. Pemberian masalah-masalah secara berulang akan memudahkan pemahaman konsep oleh peserta didik.

(58)

40

didik dapat mengkostruksi pengetahuan dan pengalaman mereka sendiri. Namun demikian, model pembelajaran Learning Cycle 5E kurang sesuai jika diterapkan pada pembelajaran yang berorientasi pada Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 menekankan pada pembelajaran dimana peserta didik mampu menemukan konsep berdasarkan penyelidikan yang dilakukan peserta didik secara mandiri maupun berkelompok.

Model pembelajaran lain yang sesuai dengan paradigma konstruktivisme dan karakteristik Kurikulum 2013 adalah model pembelajaran Problem Based Learning. Melalui model pembelajarn Problem Based Learning peserta didik diharuskan untuk menemukan dan membangun konsep secara mandiri sehingga dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik.

(59)

41

berpikir kreatif, cakap menggali informasi, yang semuanya dibutuhkan dalam menghadapi kompetisi global.

Penerapan model pembelajaran Problem Based Learning diharapkan mampu menciptakan proses pembelajaran yang aktif dan mandiri. Peserta didik berperan aktif dan mandiri dalam mengkonstruksi pengetahuan melalui kelompok yang telah ditentukan. Model pembelajaran ini diharapkan akan mempengaruhi Higher Order Thinking Skills peserta didik khususnya pada materi asam basa. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kualitas pembelajaran dari penerapan model pembelajaran Problem Based Learning terhadap Higher Order Thinking Skills peserta didik.

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari penelitian ini adalah:

(60)

42 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian yang digunakan menggunakan desain penelitian quasi experimented yaitu the matching-only-posttest-only-control group design. Dalam penelitian tersebut, grup eksperimen dan kontrol ditetapkan, kemudian grup eksperimen menerima perlakuan eksperimen, dan grup kontrol tidak menerima perlakuan eksperimen atau menerima perlakuan yang berbeda dengan perlakuan pada grup eksperimen. Selanjutnya grup eksperimen dan kontrol diberikan post test untuk mengukur variabel terikat (Fraenkel & Wallen, 2007).

Dalam penelitian ini, grup eksperimen dan kontrol selanjutnya disebut dengan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Perlakuan yang diberikan pada kelas eksperimen adalah pembelajaran dengan model Problem Based Learning, sedangkan untuk kelas kontrol diberikan perlakuan berupa pembelajaran dengan model Learning Cycle 5E. Hasil post test kedua kelas tersebut kemudian dibandingkan untuk mengetahui perbedaannya. Kovariabel yang dijadikan sebagai kendali dalam penelitian ini adalah nilai Ujian Akhir Semester I Mata Pelajaran Kimia yang dikendalikan secara statistik

B. Prosedur Penelitian

(61)
(62)

43

Gambar 3. Bagan Prosedur Penelitian

Gambar 4. Bagan Prosedur Penelitian Kelas XI MIPA SMA Negeri 1 Seyegan

Purposive sampling

Kelas eksperimen Kelas kontrol

Sampel Penelitian

Pembelajaran dengan model pembelajaran Problem Based

Learning

Pembelajaran dengan model pembelajaran Learning Cycle

5E

Post test

Data Higher Order Thinking Skills peserta didik

Analisis Data

Data Higher Order Thinking Skills peserta didik : normalitas, homogenitas, korelasi Pearson,

(63)

44 C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Variabel penelitian pada dasarnya merupakan segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi mengenai hal tersebut, kemudian dapat ditarik sebuah kesimpulan (Sugiyono, 2010). Dalam penelitian ini, terdapat tiga variabel yang diterapkan peneliti, yaitu:

1. Variabel Bebas

Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi variabel terikat (dependen) (Sugiyono, 2010). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran Problem Based Learning yang diterapkan pada kelas eksperimen dan model pembelajaran Learning Cycle 5E yang diterapkan pada kelas kontrol. 2. Variabel Terikat

Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2010). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah Higher Order Thinking Skills peserta didik. Higher Order Thinking Skills didefinisikan sebagai penggunaan pikiran secara lebih luas untuk menentukan tantangan baru. Higher Order Thinking Skills menghendaki seseorang untuk menerapkan informasi baru atau penegetahuan sebelumnya dan memanipulasi informasi untuk menjangkau kemungkinan jawaban dalam situasi baru.

3. Variabel Kontrol

(64)

45

ini adalah pengetahuan awal kimia peserta didik yang dilihat dari nilai Ujian Akhir Semester I Mata Pelajaran Kimia.

D. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Penelitian

Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik sebuah kesimpulan (Sugiyono, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas XI MIPA SMA N 1 Seyegan Tahun Ajaran 2016/2017 yang berjumlah 128 peserta didik dan terbagi dalam 4 kelas.

2. Sampel Penelitian

Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono. 2010). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2 kelas sebanyak 64 peserta didik untuk diberi perlakuan. Kelas pertama sebagai kelas eksperimen menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dan kelas kedua sebagai kelas kontrol menggunakan model pembelajaran Learning Cycle 5E.

E. Teknik Pengambilan Sampel

(65)

46

hal pengetahuan awal. Peneliti menentukan dua kelas tersebut sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol. Perlakuan terhadap sampel sebagai berikut :

1) Dipilih satu kelas sebagai kelas eksperimen. Jumlah peserta didik pada kelas eksperimen adalah 32 peserta didik. Kelas eksperimen ini akan melaksanakan pembelajaran dengan model pembelajaran Problem Based Learning.

2) Dipilih satu kelas sebagai kelas kontrol. Jumlah peserta didik pada kelas kontrol adalah 32 peserta didik. Pembelajaran dalam kelas kontrol tidak menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning melainkan menggunakan model pembelajaran Learning Cycle 5E.

3) Melakukan uji normalitas dan uji homogenitas untuk mengetahui apakah data telah berdistribusi normal dan sampel berasal dari populasi yang homogen atau tidak.

F. Instrumen dan Analisis Instrumen Penelitian 1. Instrumen Penelitian

Gambar

Gambar 1. Hubungan Komponen-Komponen Pembelajaran
Gambar 2. Bagan Hasil Pembelajaran PBL
Gambar 3. Strategi Pembelajaran Learning Cycle 5E
Gambar 4. Bagan Prosedur Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, mulai terjadi penurunan produksi karet yang memburuk pada tahun 1990, dan pihak perkebunan melakukan perencanaan konversi lahan dan pada tahun

Faktor-faktor yang diprediksikan dapat mempengaruhi perilaku petani dalam mengelola lahan pertaniannya adalah umur petani, tingkat pendidikan terakhir yang ditamatkan oleh

Hasil penyuluhan dan pelatihan kepada kelompok UKM pengolahan pangan dan Kelompok UKM Batik menunjukkan bahwa pemahaman peserta sesudah pelaksanaan penyuluhan dan

Keterampilan berpikir siswa akan terbentuk melalui langkah-langkah sistematis dalam menyelesaikan masalah yang mencakup: penetapan hipotesis, memilih metode yang

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa: Relationship Marketing berpengaruh signifikan dan positif terhadap Kepuasan Pelanggan, Brand Image berpengaruh signifikan dan positif

Proses pengambilan ulang UMo menggunakan metoda elekrolisis pada penelitian ini dilakukan dengan cara memotong gagalan PEB UMo/Al berukuran 10 mm x 70 mm (sebagai

Puji Syukur kepada Allah SWT karena dengan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum (Tesis) yang berjudul DAMPAK DISKRIMINASI POLISI TERHADAP PELANGGAR

Orientasi Bangunan Penyinaran langsung dari sebuah dinding bergantung pada orientasinya terhadap matahari, dimana pada iklim. tropis fasad Timur paling banyak terkena