• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Teori

Dalam dokumen Oleh: Sugiyoto NIM. X (Halaman 20-36)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Pengertian Anak Tunagrahita Ringan

Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil. Dalam perkembangannya, istilah moron menurut Mary Baimer/Smith, Richard F. Ittenbar & R. Patton; 2002 (dalam Endang Rochyadi, 2005: 12) lebih dikenal dengan istilah developmental disability. Istilah-istilah tersebut sesungguhnya memiliki arti yang sama, tetapi dalam penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Dalam penulisan ini digunakan istilah tunagrahita ringan karena dipandang lebih tepat penerapannya dalam bidang pendidikan.

Adapun pengertian anak tunagrahita ringan menurut beberapa ahli antara lain: Menurut J.B. Suparlan (1983: 29), anak tunagrahita ringan disebut anak debil yaitu anak yang keadaannya lebih ringan dibandingkan dengan anak embisil yang tingkat kecerdasannya IQ 25-50, sedangkan anak tunagrahita ringan memiliki kecerdasan IQ 50/55-70/75.

Michael L. Hardman (1990:44) memberikan pengertian anak tunagrahita ringan : Educable mentally retarded child is one who because of subnormal development, is unable to profit sufficiently fron the program of the regular elementary school but who is considered to have potentialities for development in school academic areas. Sociaul adjustment will permit same degree of independence in the community occupational sufficiently with permit partial or total self support.

Pengertian tersebut menyatakan bahwa anak tunagrahita ringan adalah seseorang yang karena perkembangan di bawah normal, tidak sanggup untuk menerima pelajaran dengan cukup di sekolah dasar umum, tetapi masih memiliki potensi untuk berkembang dalam bidang akademik di sekolah. Penyesuaian sosialnya mendukung untuk hidup mandiri di masyarakat, kemampuan bekerjanya terbatas untuk menolong dirinya sendiri baik sebagian atau keseluruhan.

21

anak yang perkembangan mentalnya yang tergolong subnormal akan mengalami kesulitan dalam mengikuti program reguler di sekolah dasar. Meskipun demikian anak tunagrahita ringan dipandang masih memiliki potensi untuk menguasai mata pelajaran akademik di sekolah dasar, mampu dididik untuk melakukan penyesuaian sosial dalam jangka panjang, dapat berdiri sendiri dalam masyarakat dan mampu bekerja untuk menopang sebagian atau seluruh kehidupannya pada usia dewasa. Oleh karena itu anak tunagrahita ringan masih dapat diajar dalam bidang kemampuan dasar berupa membaca, menulis, dan matematika secara sederhana.

Berdasarkan pendapat di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan anak tunagrahita ringan adalah anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata, mempunyai rentang IQ antara 50-70, tetapi mereka masih memiliki potensi yang dapat dikembangkan dalam bidang akademis yang sederhana serperti membaca, menulis, dan matematika, serta ketrampilan hidup sehari-hari.

2. Karakteristik Anak Tunagrahita Ringan

Secara fisik anak tunagrahita ringan tidak berbeda jauh dengan anak normal, tetapi secara psikis mereka sangat berbeda dan mempunyai cirri khas. Adapun karakteristik anak tunagrahita ringan menurut Sutratinah Tirtonegoro (1988: 10-11) sebagai berikut:

a. Tingkat kecerdasan sekitar 50/55 - 70/75. dengan MA antara 7 - 10 tahun

Jadi walaupun anak sudah mencapai usia 12 tahun, kemampuan mentalnya setara dengan anak normal 7 - 10 tahun.

b. Sukar berpikir abstrak dan terikat dengan lingkungan

c. Kurang dapat berpikir secara logis, kurang memiliki kemampuan menganalisa, kurang dapat menghubungkan kejadian yang satu dengan yang lain, kurang dapat membedakan hal-hal yang penting.

d. Daya fantasinya sangat lemah.

e. Kurang dapat mengendalikan perasaan.

f. Dapat mengingat-ingat beberapa isitilah tetapi kurang memahami arti isitilah tersebut.

g. Suggestible (mudah dipengaruhi).

h. Kepribadian yang kurang harmonis dan sukar menilai baik-buruk. i. Daya konsentrasinya kurang baik.

Secara garis besar pendapat Samuel A. Kirk (1992: 191) tentang karakteristik anak tunagrahita ringan sebagai berikut:

22

a. Karakteristik Fisik

1) Berat badan, tinggi badan, dan koordinasi motoriknya hampir sama dengan anak normal.

2) Umumnya disertai dengan beberapa kelainan seperti kelainan mata, telinga, dan suara.

b. Karakteristik Intelektual

1) Kurang dalam kemampuan verbal dan nonverbal dalam tes intelegensi, IQ berkisar 50/55 - 70/75.

2) Perkembangan kematangan mengalami hambatan khusus di bidang akademik, ingatan, kemampuan berbahasa, persepsi, imajinasi, kreatifitas, dan kemampuan lain yang berkaitan dengan intelektual. c. Karakteristik Akademik

1) Anak belum siap untuk membaca, menulis, berbahasa, berhitung saat masuk sekolah. Keterlambatan ini berhubungan dengan usia mental bukan usia kronologisnya.

2) Untuk menyelesaikan sekolah formal dapat ditempuh setiap tingkat dua tahun bergantung dari kematangan mental dan kemampuannya.

d. Karakteristik Kepribadian dan Sosial

1) Perhatian mudah beralih, sulit untuk memusatkan perhatian.

2) Rasa toleransi kurang, karena kegagalan yang berulang-ulang dalam hidupnya.

3) Dapat mematuhi nilai-nilai sosial dan dapat bekerja sama dengan lingkungan/masyarakat.

4) Anak tunagrahita ringan lebih sering berhubungan atau bermain dengan anak yang sama usia mentalnya daripada anak yang sama usia kronologisnya.

5) Sebagian dari anak tunarahita ringan mempunyai problem tingkah laku apabila dibandingkan dengan anak yang mempunyai intelegensi normal. Problem tingkah laku ini terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara kemampuan anak untuk berbuat dan dengan tuntutan masyarakat.

Berdasarkan pendapat di atas dapat ditegaskan karakteristik anak tunagrahita ringan adalah sebagai berikut:

a. Kondisi fisik anak tunagrahita ringan tidak jauh berbeda dengan anak normal pada umumnya.

b. Kondisi psikis anak tunagrahita ringan terkait dengan pembelajaran meliputi kemampuan berpikir rendah, perhatian dan ingatannya lemah sehingga mengalami hambatan dalam pelajaran di sekolah.

23

3. Penyebab Tunagrahita Ringan

Penyebab terjadinya tunagrahita ringan sama dengan penyebab tunagrahita pada jenis yang lainnya. Sunardi (1994: 30-31) mengemukakan bahwa penyebab tunagrahita disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu:

a. Genetik.

Faktor genetik dapat disebabkan oleh kerusakan biokimia dan abnormalitas kromosom.

b. Sebab-sebab pada masa prenatal.

Penyebab tunagrahita pada masa prenatal dapat disebabkan oleh infeksi Rubella (cacar) dan faktor Rhesus (Rh).

c. Sebab-sebab pada masa perinatal.

Berbagai peristiwa pada saat kelahiran yang memungkinkan terjadinya tunagrahita yang terutama adalah luka-luka saat kelahiran, sesak napas, dan prematuritas.

d. Sebab-sebab pada masa postnatal.

Penyakit-penyakit akibat infeksi dan problema nutrisi yang diderita pada masa bayi dan awal pada masa kanak-kanak dapat menyebabkan tunagrahita. Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan tunagrahita seperti encephalitis dan meningitis.

e. Faktor-faktor Sosio-kultural.

Peran nyata dari lingkungan dalam perkembangan kemampuan intelektual masih belum dapat dipahami dengan jelas, tetapi para psikolog dan pendidik umumnya mempercayai bahwa lingkungan sosial budaya berpengaruh terhadap kemampuan intelektual.

4. Pengertian Prestasi Belajar Matematika

Hadari Nawawi (1991: 100), mengemukakan prestasi belajar adalah “suatu tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu”.

Sutratinah Tirtonegoro (1988: 24), mengartikan bahwa prestasi belajar adalah “penilaian hasil usaha kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol-simbol, angka-angka, huruf-huruf atau hal yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap peserta didik dalam periode tertentu”.

Berdasarkan pendapat yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan mengenai prestasi belajar matematika yaitu suatu tingkat keberhasilan siswa yang meliputi perubahan dalam aspek pengalaman, sikap dan ketrampilan

24

dalam menguasai program pelajaran matematika yang dinyatakan dalam bentuk nilai dari hasil suatu tes.

Prestasi belajar matematika secara operasional dalam penelitian ini adalah prestasi belajar yang dicapai dalam penguasaan konsep penjumlahan dan pengurangan suatu bilangan.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

Prestasi belajar yang dicapai oleh seorang individu merupakan suatu hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut baik yang berasal dari dalam diri individu maupun dari luar diri individu. Pengenalan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar penting sekali artinya dalam rangka membantu anak untuk mencapai prestasi belajar sebaik-baiknya.

Moh. Uzer Usman & Lilis Setiawati (1993: 100-101), mengemukakan yang tergolong faktor yang berpengaruh terhadap prestasi belajar sebagai berikut:

a. Faktor Internal yaitu yang ada dalam diri anak itu sendiri, antara lain:

1) Kelemahan mental yang berkaitan dengan faktor kecerdasan, intelegensi/kecakapan, dan bakat khusus.

2) Kelemahan fisik yang berkaitan dengan panca indera, syaraf, dan cacat. 3) Gangguan yang bersifat emosional (emosional instability).

4) Sikap dan kebiasaan yang salah dalam belajar.

b. Faktor Eksternal yaitu faktor yang terdapat di luar diri anak , antara lain: 1) Situasi belajar mengajar yang tidak merangsang siswa untuk aktif. 2) Kurikulum kurang fleksibel atau kaku.

3) Beban studi yang terlalu berat, terlalu anyak tugas yang harus diselesaikannya.

4) Metode mengajar yang monoton atau membosankan.

5) Situasi di rumah yang kurang memotivasi anak untuk belajar. 6) Beberapa sifat murid dalam belajar.

Setiap individu mempunyai keunikan yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain, demikian juga dalam proses belajar mengajar, ada siswa yang cepat dan ada yang lambat dalam belajar, ada yang kreatif dan ada yang tidak kreatif, semua itu karena keunikan individu masing-masing.

Kegiatan belajar di sekolah bertujuan untuk membantu memperoleh perubahan tingkah laku bagi setiap murid dalam rengka mencapai tingkat perkembangan yang optimal. Oleh karena itu pengenalan terhadap sifat-sifat individu

25

sangat penting. Rochman Natawijaya (1980: 17-19) mengemukakan beberapa sifat dalam proses belajar mengajar antara lain:

a. Cepat dalam Belajar

Anak yang tergolong cepat dalam belajar pada umumnya dapat menyelesaikan kegiatan belajar dalam waktu leih cepat dari perkiraan waktu yang ada. Mereka tidak memerlukan waktu yang lama untuk memecahkan suatu masalah karena lebih mudah dalam menerima peljaran. Golongan anak seperti ini sering mengalami kesulitan dalam penyesuaian belajar, karena pada umumnya kegiatan belajar di sekolah menggunakan ukuran rata-rata. Salah satu usaha yang harus dilakukan pada anak golongan ini adalah dengan menggunakan media pengajaran.

b. Lambat dalam belajar

Anak yang mengalami lambat belajar memerlukan waktu yang banyak dalam menyelesaikan materi dari waktu yang diperkirakan. Sebagai akibatnya anak golongan ini sering ketinggalan dalam belajar, dan ini pula salah satu sebab yang menjadikan mereka tinggal kelas. Dilihat dari tingkat kecerdasannya, pada umumnya anak lambat belajar memiliki taraf kecerdasan di bawah rata-rata. Anak golongan ini memerlukan perhatian khusus, antara lain dengan pengajaran remedial.

Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar, menurut Maman Rachman (1998: 150-155) yaitu:

a. Faktor Intern, yang meliputi faktor jasmaniah, psikologis dan kelelahan. 1) Faktor Jasmaniah

Proses belajar seorang siswa akan terganggu jika kesehatan siswa tersebut terganggu. Selain itu ia akan cepat lelah, kurang bersemangat, mudah pusing dan mengantuk jika badannya lemah, kurang darah ataupun ada gangguan atau kelainan fungsi alat inderanya dan tubuhnya.

2) Faktor Psikologis

Sekurang-kurangnya ada tujuh faktor yang tergolong kedalam faktor psikologis yang mempengaruhi belajar. Yaitu:

a) Intelegensi

Intelegensi besar sekali pengaruhnya terhadap kemajuan belajar. Dalam situasi yang sama, anak yang intelegensinya tinggi akan lebih berhasil daripada siswa yang mempunyai tingkat intelegensi yang rendah. Kendati demikian belum tentu anak yang tingkat intelegensinya tinggi akan berhasil dalam belajarnya. Hal ini disebabkan karena belajar adalah suatu proses yang kompleks dengan banyak faktor yang mempengaruhinya.

b) Perhatian

Untuk menjamin hasil beljar yang baik siswa harus mempunyai perhatian yang penuh terhadap materi yang dipelajarinya. Agar

26

tumbuh perhatian sehingga siswa dapat belajar dengan baik, bahan pelajaran harus diusahakan selalu menarik perhatian.

c) Minat

Minat sangat besar pengaruhnya terhadap belajar anak. Jika bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa, siswa tidak dapat belajar dengan sebaik-baiknya.

d) Bakat

Siswa yang memiliki bakat maka pelajaran akan cepat dikuasai, sehingga hasil belajarnya pun akan lebih baik. Lain halnya dengan siswa yang kurang berbakat, guru harus sabar dan telaten melayani mereka, yaitu dengan sering dan berulangkali menjelaskan ahan tersebut. Dengan seringnya menjelaskan bahan tersebut akhirnya siswa diharapkan dapat menguasai bahan yang diajarkan.

e) Motif

Dalam proses belajar mengajar guru harus memperhatikan motif belajar siswa atau faktor-faktor yang mendorong belajar siswa. Dengan mengetahui latar belakang atau motif belajar siswa, maka guru dapat mengajak para siswa untuk berpikir dan memusatkan perhatian, merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang berhubungan serta menunjang belajar.

f) Kematangan

Kematangan merupakan tingkat atau fase dalam pertumbuhan seseorang. Hal ini antar lain ditunjukkan anggota-anggota tubuhnya sudah siap untuk meleksanakan kecakapan baru. Kematangan belum berarti siswa dapat melaksanakan kegiatan terus menerus. g) Kesiapan

Kesiapan erat kaitannya dengan kematangan. Siswa dikatakan sudah memiliki kesiapan apabila pada dirinya ada kesediaan untuk memberi respon atau bereaksi. Kesiapan ini perlu diperhatikan oleh guru dalam proses belajar mengajar. Pembelajaran yang diikuti oleh peserta didik yang memiliki kesiapan akan terjadi proses pembelajran yang optimal.

3) Faktor kelelahan

Kelelahan baik jasmani maupun rohani dapat mempengaruhi keberhasilan dalam belajar.

b. Faktor Ekstern, meliputi faktor keluarga, sekolah dan masyarakat. 1) Faktor keluarga

Siswa yang sedang belajar menerima pengaruh dari keluarga berupa cara orang tua mendidik, relasi atau hubungan antar anggota keluarga, keadaan rumah, keadaan ekonomi keluarga, sikap dan perhatian orang tua, latar belakang kebudayaan orang tua.

2) Faktor sekolah

Faktor sekolah dapat mempengaruhi belajar siswa meliputi hal-hal yang berkaitan dengan metode mengajar, kurikulum, hubungan siswa

27

dengan siswa, disiplin sekolah, media pengajaran, waktu sekolah, sarana prasarana sekolah, metode belajar siswa dan tugas sekolah. 3) Faktor masyarakat

Masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga berpengaruh terhadap perkembangan pribadi siswa, yang pada akhirnya mempengaruhi terhadap keberhasilan siswa dalam belajar. Pengaruh tersebut terjadi karena keberadaan siswa dalam masyarakat. Faktor masyarakat ini berkaitan dengan kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media yang beredar/ada dalam masyarakat, pengaruh teman bergaul, dan pola hidup masyarakat.

Prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor dari dalam dan dari luar diri siswa. Faktor dari dalam yaitu faktor fisik dan psikis. Sedangkan faktor dari luar diri siswa yaitu faktor keluarga, sekolah, dan masyarakat. Faktor-faktor tersebut dapat berpengaruh secara positif maupun negatif. Anak tunagrahita ringan pada umumnya mengalami hambatan dalam belajar. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor dari dalam dan luar diri siswa. IQ anak tunagrahita ringan yang di bawah rata-rata, sehingga mengakibatkan kurang dapat berkonsentrasi terhadap pembelajaran, kurang dapat berpikir abstrak dan perhatian siswa mudah beralih serta mudah bosan terhadap pembelajaran. Faktor dari luar diri siswa juga sangat mempengaruhi prestasi belajar anak tunagrahita ringan, seperti faktor keluarga, sekolah dan masyarakat.

6. Pengertian Pembelajaran Matematika di SDLB-C

Kurikulum berbasis kompetensi Depdiknas (2004: 2) dijelaskan bahwa matematika berasal dari bahasa latin manthanein atau mathema yang berarti belajar atau yang dipelajari. Sedang dalam bahasa belanda disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran. Unsur utama pekerjaan matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya, sehingga kaitan antar konsep atau pernyataan dalam matematika bersifat konsisten. Namun demikian materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran, dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika.

28

Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi Depdiknas (2004: 2) pada pembelajaran matematika SDLB-C dijelaskan pemahaman konsep sebaiknya diawali secara induktif melalui pengalaman peristiwa nyata atau intuisi. Proses induktif-deduktif dapat digunakan untuk mempelajari konsep matematika. Pembelajarannya dimulai dari beberapa contoh atau fakta yang teramati. Misalnya buatlah daftar sifat yang muncul (sebagai gejala), kemudian perkiraan hasil baru yang diharapkan. Kemudian hasil ini kita buktikan secara deduktif. Dengan demikian cara belajar deduktif dan induktif digunakan dan sama-sama berperan penting dalam matematika. Prinsip mempelajari matematika tersebut diharapkan akan membentuk sikap siswa SDLB-C yang kritis, jujur dan komunikatif.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, pembelajaran matematika di SDLB-C bersifat indukti-deduktif, yaitu pembelajaran yang dimulai dari pengalaman kemudian untuk digunakan dalam pembelajaran konsep matematika.

7. Fungsi dan Tujuan Pembelajaran Matematika AnakTunagrahita Ringan Fungsi mata pelajaran matematika SDLB-C adalah mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap dan kemampuan matematika untuk hidup dalam masyarakat dan bekal dalam dunia kerja. Pada buku Standar Kompetensi dan Konpetensi Dasar Depdiknas (2006: 101-102), mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.

b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

d. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan dan masalah.

e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memilki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

29

Mengingat kemampuan kognitif anak tunagrahita ringan sangat terbatas, maka pengajaran remedial dipandang perlu sebagai upaya peningkatan prestasi belajar matematika agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai yakni anak mampu dan terampil dalam penguasaan kecakapan matematika khususnya penguasaan konsep penjumlahan dan pengurangan, yang nantinya dapat dijadikan bekal belajar matematika tahapan berikutnya.

8. Ruang Lingkup Pelajaran Matematika SDLB-C

Pada buku Standar Konpetensi dan Kompetensi Dasar Depdiknas (2006: 102), ruang lingkup mata pelajaran matematika meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

a. Bilangan

b. Geometri dan Pengukuran c. Pengolahan Data

Ruang lingkup pada penelitian ini hanya dibatasi pada konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan sampai dengan 20.

9. Materi Pembelajaran Matematika Anak Tunagrahita Ringan Kurikulum yang digunakan di SLB Negeri Banjarnegara, pada tahun pelajaran 2008/2009 adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Adapun materi pembelajaran dalam pelajaran matematika pada penelitian ini adalah pelajaran matematika tentang penjumlahan dan pengurangan yang ada pada semester 2, dengan demikian pokok bahasan berdasarkan kurikulum tersebut. Untuk selanjutnya materi tersebut digunakan pada pembelajaran matematika dengan pengajaran remedial. Adapun materi pelajaran matematika dalam Standar Kompetensi adalah melakukan penjumlahan dan pengurangan bilangan sampai 20. dan Kompetensi Dasar meliputi: a. Melakukan penjumlahan banyak benda sampai 20.

b. Melakukan pengurangan sampai 10.

c. Mencongak penjumlahan dan pengurangan sampai 10.

Dalam mengajarkan matematika anak tunagrahita ringan harus memperhatikan kondisi berikut ini, yaitu; usia mental (umur kecerdasan),

30

kemampuan berpikir, belajar melalui aktivitas konkrit, memperkaya pengalaman dengan memfungsikan seluruh pengideraan (sensori), dan tingkat kemandirian anak.

Proses pengajaran konsep bilangan bagi anak tunagrahita ringan adalah sebagai berikut: hal pokok yang harus dikuasai anak tunagrahita ringan adalah pengertian bilangan dan mengenal serta dapat menulis angka. Dalam mengerjakan konsep bilangan selalu diajarkan kepada anak didik dapat menentukan apa yang diketahui dan apa yang dinyatakan, sehingga mereka dapat memecahkan soal disertai pemikiran. Untuk menganalisa soal tersebut bagi anak tunagrahita ringan dapat dilakukan dengan cara mengkonkritkan soal-soal tersebut sehingga anak memperoleh pengalaman konkrit tentang konsep bilangan. Pengalaman tersebut dapat diperkuat melalui kegiatan yang diulang-ulang dengan variatif dan dinamis melalui pengajaran remedial. Dengan cara ini dapat dihindari hambatan psikologis yang berlangsung terhadap pelajaran matematika.

10. Pengertian Pengajaran Remedial

Dilihat dari asal katanya, remedial berarti bersifat menyembuhkan atau membetulkan, atau membuat menjadi baik. Menurut Izhar Hasis (2001: 64), pengajaran remedial adalah sutu bentuk pengajaran yang bersifat menyembuhkan atau membetulkan, atau pengajaran yang membuat menjadi baik.

Abin Syamsudin yang dikutip oleh Ischak S.W. dan Warji R. (1987: 2) mengatakan tentang hal yang berhubungan dengan perbaikan adalah:

segala usaha yang dilakukan untuk memahami dan menetapkan jenis sifat kesulitan belajar, faktor-faktor penyebabnya serta cara menetapkan kemungkinan-kemungkinan mengatasinya, baik secara kuratif (penyembuhan) maupun secara preventif (pencegahan) berdasarkan data dan informasi yang seobyektif serta selengkap mungkin.

Berdasarkan pendapat yang telah diuraikan di atas, maka dapat dijelaskan bahwa pengajaran remedial dalam penelitian ini adalah suatu bentuk khusus pengajaran yang bersifat perbaikan, yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi anak khususnya tentang pengajaran matematika tentang konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan sehingga penguasaan anak menjadi lebih baik dari sebelumnya. Perbaikan diarahkan kepada pencapaian hasil belajar yang

31

optimal sesuai dengan kemampuan masing-masing anak melalui perbaikan proses belajar mengajar.

11. Ciri-ciri Pengajaran Remedial

Moh. Uzer Usman & Lilis Setiawati (1993: 104), mengemukakan ada beberapa ciri-ciri pengajaran remedial, yaitu:

a. Dilakukan setelah diketahui kegiatan belajar mengajar dan kemudian diberikan pelayanan khusus sesuai dengan jenis, sifat dan latar belakang.

b. Tujuan intruksionalnya disesuaikan dengan kegiatan belajar yang dihadapi siswa .Izhar Hasis (2001: 66-67). Memberikan penjelasan mengenai ciri-ciri pengajaran remedial sebagai berikut:

a. Pengajaran remedial adalah merupakan kegiatan pengajaran yang dilakukan setelah diketahui kesulitan belajar dan kemudian diberikan pelayanan khusus sesuai dengan jenis, sifat dan latar belakangnya.

b. Tujuan intruksionalnya disesuaikan dengan kesulitan yang dihadapi.

c. Metode pengajaran remedial bersifat diferensial artinya disesuaikan dengan sifat, jenis dan latar belakang kesulitan belajarnya.

d. Pelaksanaan pengajaran remedial dapat bekerja sama dengan beberapa pihak, seperti pembimbing, ahli khusus, dsb.

e. Alat-alat yang dipergunakan dalam pengajaran remedial lebih bervariasi.

Dalam dokumen Oleh: Sugiyoto NIM. X (Halaman 20-36)

Dokumen terkait