• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kajian Umum Tentang Lembaga Pemasyarakatan

Pada awalnya tidak dikenal sistem pidana penjara di Indonesia. Sistem pidana penjara baru dikenal pada zaman penjajahan. Pada zaman VOC pun belum dikenal penjara yang seperti sekarang ini, yang ada ialah rumah tahanan yang diperuntukkan bagi wanita tuna susila, pengangguran atau gelandangan pemabuk dan sebagainya. Diberikan pula pekerjaan dan pendidikan agama, tetapi ini hanya ada di Batavia terkenal dengan sebutan spinhuis dan rasphuis. Ada 3 macam tempat tahanan demikian yaitu:

1. Bui yang terdapat di pinggir kota; 2. Tempat perantaian (kettingkwartier);

3. Tempat menampung wanita bangsa Belanda yang melakukan mukah (overspel).

Perbaikan mulai dilakukan pada zaman Inggris (Raffles). Bui-bui yang kecil dan sempit diperbaiki dan didirikan bui dimana ada pengadilan. Perbaikan diteruskan oleh Belanda setelah berkuasa kembali, diadakan klasifikasi:

1. Kerja paksa dengan sistem rantai; 2. Kerja paksa dengan upah.

Perkembangan kepenjaraan selanjutnya pada permulaan zaman Hindia Belanda dimulai dengan sistem diskriminasi, yaitu dengan dikeluarkannya peraturan umum untuk golongan bangsa Indonesia (Bumiputera) yang dipidana

kerja paksa (Stbld 1826 No.16), sedangkan untuk golongan bangsa Eropa (Belanda) berlaku penjara. Ada 2 macam pidana kerja paksa:

1. Kerja paksa dimana terpidana dirantai;

2. Kerja paksa biasa dan mendapat makanan tanpa upah.

Pada masa itu penjara disebut bui sesuai dengan keadaannya sebagai tempat penyekapan, tempat menahan orang-orang yang disangka melakukan kejahatan, orang-orang yang disandera, penjudi, pemabuk, gelandangan dan penjahat-penjahat lain. Karena pada saat itu keadaan bui masih sangat buruk dan menyedihkan, maka dibentuklah panitia untuk meneliti dan membuat rencana perbaikan.

Pada tahun 1846 setelah bekerja selama 5 tahun panitia ini mengajukan rencana perbaikan yang tidak pernah dilaksanakan. Diskriminasi perlakuan antara orang pribumi dan orang Eropa (Belanda) sangat menyolok. Perawatan jauh lebih baik dan pekerjaan lebih ringan bagi orang Eropa, begitu pula soal makanan, kondisi kamar penjara dan fasilitasnya jauh lebih baik dari orang pribumi. Pada tahun 1865 Stoet Van Beele berusaha memperbaiki keadaan penjara dengan mengutus residen Riau untuk meninjau sistem pejara di Singapura. Dikeluarkanlah peraturan baru yaitu Stbld 1871 No.28 dengan suatu sistem klasifikasi.

Sistem pengelolaan penjara diperbaiki juga dengan administrasi yang lebih rapi dengan disiplin yang lebih ketat. Pada tahun 1871 itu dirancang pula suatu ordonansi yang berisi perbaikan menyeluruh terhadap sistem penjara, namun rancangan ini tidak pernah terwujud. Antara tahun 1907-1961 dibentuk kantor kepenjaraan (Gestichten Reglement) yang tercantum dalam Stbld 1917 No.708,

mulai berlaku 1 januari 1918. Reglemen inilah yang menjadi dasar peraturan perlakuan terhadap narapidana dan cara pengelolaan penjara. Reglemen ini didasarkan pada pasal 29 KUHP (Wvs) yang terdiri dari kurang lebih 114 pasal.

Dalam periode antara perang dunia kedua (1918-1942), pada umumnya di Jawa dan Madura ada 3 jenis penjara:

1. Penjara pusat yang disebut Centrale Gevangenis Strafgevangenis. Penjara pusat ini menampung terpidana yang agak berat (lebih dari 1 tahun) disitu terdapat perusahaan yang tergolong besar dan sedang serta perbengkelan;

2. Penjara negeri yang disebut Landgevangenis. Penjara ini berfungsi menampung narapidana yang tergolong ringan (di bawah 1 tahun) pekerjaan yang dilakukan ialah kerajinan dan pekerjaan ringan yang lain serta bengkel-bengkel kecil;

3. Rumah Tahanan yang disebut Huis van bewaring. Tempat ini menampung para tahanan terpidana kurungan dan terpidana penjara yang ringan, disini tidak ada pekerjaan yang pasti.

Bagi narapidana anak-anak, pada tahun 1921 telah didirikan ruangan khusus untuk yang berumur dibawah 19 tahun, kemudian didirikan di Tanggerang penjara anak-anak untuk yang berumur di bawah 20 tahun dan disusul di Pamekasan dan Ambarawa pada tahun 1927.

Pada zaman pendudukan Jepang hampir tidak ada perubahan sistem kepenjaraan. Hanya pekerjaan narapidana banyak dimanfaatkan untuk kepentingan militer Jepang. Pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dipenjara dan untuk kebutuhan tentara Jepang ditingkatkan, seperti bertani,

menangkap ikan di laut, termasuk juga narapidana wanita dan anak-anak. Keadaan narapidana sangat menyedihkan, kurang makan, tetapi bekerja keras. Pekerjaan kerajinan juga ditingkatkan terutama untuk kepentingan tentara Jepang.

Setelah Indonesia merdeka sistem pemenjaraan ada dua macam, yang satu didaerah Republik dan yang lain berada didaerah yang diduduki Belanda. Keadaan tidak banyak berbeda dari keadaan sebelum perang. Penjara dikelola sepenuhnya sesuai dengan Reglemen Kepenjaraan Tahun 1917 Nomor 798, usaha kearah sistem prevensi umum maupun khusus menjadi sebuah tujuan. Untuk prevensi khusus terpidana di penjara agar tidak melakukan kejahatan (detterent) dan untuk prevensi umum agar masyarakat takut untuk berbuat kejahatan.

Narapidana ditempatkan disamping sel-sel yang terbatas jumlahnya, juga di bangsal-bangsal yang penuh sesak berbagai tipe penjahat sehingga perkelahian dan pemerasan antar narapidana banyak terjadi. Ada golongan “jagoan” yang menjadi “raja” di dalam penjara yang sering memeras sesamanya baik fisik maupun pasaran memesan uang, barang atau makanan kepada keluarga narapidana.

Munculnya ide sistem Pemasyarakatan untuk pertama kalinya dicetuskan oleh Dr. Sahardjo, S.H sebagai menteri kehakiman, sewaktu penerimaan gelar doktor honoris causa dari universitas Indonesia, pada tanggal 5 juli 1963. Menurut Sahardjo tujuan pidana penjara itu adalah disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana dihilangkannya kemudahan bergerak namun juga bertujuan untuk membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya narapidana tersebut menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna, karena inti dari tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan. Sehingga di Indonesia saat ini

bentuk dan namanya tidak rumah penjara lagi melainkan Lembaga Pemasyarakatan, menurut almarhum DR. Sahardjo, SH. yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman Republik Indonesia mengatakan bahwa tujuan pidana penjara adalah “Pemasyarakatan” sehingga membuat sebutan yang tadinya “Rumah Penjara” otomatis diganti “Lembaga Pemasyarakatan”.

Dengan penggantian istilah “Penjara” menjadi “Lembaga Pemasyarakatan” tentu terkandung maksud baik yaitu bahwa pemberian maupun pengayoman warga binaan tidak hanya terfokus pada itikad menghukum (Funitif Intend) saja melainkan suatu berorientasi pada tindakan-tindakan yang lebih manusiawi dan disesuaikan dengan kondisi dari warga binaan itu. Walau istilah Pemasyarakatan sudah muncul pada tanggal 5 Juli 1963, namun prinsip-prinsip mengenai Pemasyarakatan itu baru dilembagakan setelah berlangsungnya konfrensi Bina Direktorat Pemasyarakatan di Lembang Bandung (Jawa Barat) tanggal 27 april 1964 dan dari hasil konfrensi tersebut dapat disimpulkan bahwa: Tujuan dari pidana penjara bukanlah hanya untuk melindungi masyarakat semata-mata, melainkan harus pula berusaha membina si pelanggar hukum, dimana pelanggar hukum tidak lagi disebut sebagai penjahat dimana seorang yang tersesat akan selalu bertobat dan ada harapan dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari sistem pengayoman yang diterapkan kepadanya.

Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadappara pelanggar hukum dan sebagai suatu keadilan yang bertujuan untuk mencapaireintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat. Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin mengatakan bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan yang

dilakukan oleh negara kepada para narapidana dan tahanan untuk menjadi manusia yang menyadari kesalahannya.

Dalam perkembangan selanjutnya Sistem Pemasyarakatan mulai dilaksanakan sejak tahun 1964 dengan ditopang oleh UU. No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Undang-undang Pemasyarakatan itu menguatkan usahausaha untuk mewujudkan suatu sistem Pemasyarakatan yang merupakan tatanan pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan. Hal tersebut sudah diatur didalam pasal 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa:

1. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana;

2. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab;

3. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.

Sedangkan menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.

Dengan dilaksanakannya pidana penjara berdasarkan sistem pemasyarakatan, maka posisi sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia, disamping mengembalikan narapidana ke dalam masyarakat (reintegrasi sehat) mengandung pula pengertian yang lebih luas yaitu juga berfungsi pencegahan terhadap kejahatan. Dengan singkat tujuan pidana penjara ialah pemasyarakatan. Sehingga sistem pemasyarakatan tersebut masih tetap berjalan dan terus mengalami perubahan-perubahan sampai dengan sekarang namun perkembangan tersebut harus tetap sesuai dengan visi dan misi lembaga pemasyarakatan itu sendiri yaitu untuk menyiapkan para narapidana kembali ke masyarakat.

2.1.2. Lembaga Pemasyarakatan dan Sistem Pemasyarakatan

Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan pengertian lembaga pemasyarakatan diatur pada pasal 1 angka 3 yaitu : “Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan". Jadi,

dapat disimpulkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat bagi orang yang dihukum untuk dibina selama menjalani masa hukumannya.

Pokok dasar memperlakukan narapidana menurut kepribadian, menurut Sahardjo ialah:

a. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia; b. Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan, tidak ada orang yang hidup

diluar masyarakat;

c. Narapidana hanya dijatuhi kehilangan kemerdekaan bergerak, jadi perlu diusahakannya supaya narapidana mempunyai mata pencaharian.

Di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 ketentuan pasal-pasal yang berkaitan dengan sistem pemasyarakatan diatur pada pasal 1 angka 2, pasal 2, dan pasal 5 yaitu, Pasal 1 angka 2

“Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas, serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”

Pasal 2

“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”

Pasal 5

Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas : a) Pengayoman;

b) persamaan perlakuan dan pelayanan; c) Pendidikan;

d) Pembimbingan;

e) penghormatan harkat dan martabat manusia;

f) kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan;

g) terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Teknik penyelenggaraan sistem pemasyarakatan secara penuh hanya dapat dilaksanakan dalam lembaga-lembaga yang penghuninya sebagian besar dipidanakan 1 tahun keatas, usaha ini dilaksanakan terus menerus bertahap-tahap secara progressif terhadap tiap narapidana yang bersangkutan dari saat masuk sebagai narapidana hingga sampai bebasnya. Bila dilihat secara umum tahap-tahap pelaksanaan sistem pemasyarakatan dimulai dengan menerima narapidana dan menyelesaikan pencatatannya secara administrasi, yang disusul dengan observasi atau identifikasi mengenai pribadinya secara lengkap oleh suatu dewan pemasyarakatan, setelah selesai kemudian ditentukan bentuk dan cara perlakuan (treatment) yang akan ditempuh, penempatannya untuk tinggal, pekerjaan yang diberikan, pendidikan-pendidikan atau pelajaran-pelajaran yang akan ditempuhnya, disamping diberikan keterangan-keterangan tentang hak dan kewajibannya serta tata cara hidup dalam lembaga.

Tahap-tahap tersebut juga dijelaskan dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1995 yang diatur dalam pasal 10, pasal 11, dan pasal 12 yaitu:

Pasal 10

(1) Terpidana yang diterima di LAPAS wajib didaftar.

(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengubah status Terpidana menjadi Narapidana.

(3) Kepala LAPAS bertanggung jawab atas penerimaan Terpidana dan pembebasan Narapidana di LAPAS.

Pasal 11

Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) meliputi: a. Pencatatan:

1. putusan pengadilan; 2. jati diri;

3. barang dan uang yang dibawa. b. Pemeriksaan kesehatan

c. Pembuatan pasfoto d. Pengambilan sidik jari

e. Pembuatan berita acara serah terima Terpidana. Pasal 12

(1) Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar :

a. Umur

b. jenis kelamin

c. lama pidana yang dijatuhkan d. jenis kejahatan

e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.

(2) Pembinaan Narapidana Wanita di LAPAS dilaksanakan di LAPAS Wanita.

Selanjutnya setelah berjalan beberapa lama pertemuan dewan pemasyarakatan diadakan lagi dengan mengikutsertakan narapidana yang bersangkutan, dan dievaluasi keadaannya maju atau mundur tingkah lakunya. Perlakuan selanjutnya ditentukan oleh dewan sesuai dengan kemajuannya dan kemundurannya, setelah diadakan koreksi-koreksi seperlunya. Kegiatan tersebut terus dilakukan secara berkala sehingga narapidana mengalami kemajuan dalam sifatnya.

Dalam rangka mempersiapkan narapidana mengintegrasikan kembali ke masyarakat, maka kepada narapidana perlu diberikan keterampilan kerja sebagai bekal hidupnya. Keterampilan ini ditujukan kepada narapidana agar menjadi tenaga yang terampil, seperti memberikan keterampilan mekanik, menjahit, pendidikan, dan lain-lain. Dalam menjalani hukuman ini diharapkan narapidana dapat interaksi sosial yang harmonis antara mantan narapidana dengan masyarakat setelah bebas.

Kegiatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan. Prinsip-prinsip pokok yang menyangkut dasar perlakuan terhadap warga binaan dan anak didik yang dikenal dengan nama Sepuluh (10) Prinsip Pemasyarakatan :

1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna;

2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara; 3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat;

4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau jahat daripada sebelum dijatuhi pidana;

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat;

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan negara sewaktu-waktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan produksi;

7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila;

8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia;

9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai salah satu derita yang dialaminya;

10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam Sistem Pemasyarakatan.

Dengan demikian jika warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan kelak bebas dari hukuman, mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat dan lingkungannya dan dapat hidup secara wajar seperti sediakala. Fungsi Pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan yang ada didalam Lapas.

Dokumen terkait