• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Kajian Umum Tentang Residivis

Berkaitan dengan penjatuhan pidana, dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) diatur mengenai ketentuan-ketentuan yang dapat menghapus,

meringankan, dan memperberat pidana (hukuman). Hal yang dapat meringankan pidana antara lain percobaan (pasal 53 KUHP) dan pembantuan (pasal 55 KUHP). Sedangkan hal-hal yang dapat menghapus pidana adalah pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit, daya paksa atau overmatch (pasal 48 KUHP), pembelaan terpaksa (pasal 51 KUHP), melaksanakan Undang-undang (pasal 50 KUHP) dan melaksanakan perintah jabatan (pasal 51 KUHP).

Sedangkan yang dapat memperberat pidana antara lain pengulangan kejahatan (recidive) yang diatur dalam pasal 486, 487, dan 488 KUHP, perbarengan (concorsus) yang diatur dalam pasal 63 KUHP dan tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat atau tindak pidana dengan menggunakan bendera kebangsaan yang diatur dalam pasal 52 KUHP. Dalam hal ini penulis akan membahas mengenai residivis (pengulangan) sebab sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan.

Residivis adalah berasal dari bahasa prancis yang diambil dua kata latin, yaitu re dan cado, re berarti lagi dan cado berarti jatuh. Recidive berarti suatu tendensi berulang kali dihukum karena berulangkali melakukan kejahatan, dan mengenai orangnya disebut residivis. Oleh karena itu mengenai recidive adalah berbicara tentang hukuman yang berulang kali sebagai akibat perbuatan yang sama atau serupa.

Sedangkan pengertian recidive menurut Wirjono Prodjodikoro adalah seorang yang sudah dijatuhi hukuman perihal suatu kejahatan, dan kemudian, setelah selesai menjalani hukuman, melakukan suatu kejahatan lagi, yang berakibat bahwa hukuman yang akan dijatuhkan kemudian, malahan diperberat, yaitu dapat melebihi maximum.

Dalam hukum pidana, recidive dapat diartikan seseorang melakukan beberapa tindak pidana dan diantara tindak pidana itu telah mendapatkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pengertian recidive menurut Moch. Anwar, adalah dalam hal seseorang telah melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, diantara perbuatan-perbuatan mana satu atau lebih telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan.

Ada 2 arti pengulangan atau recidive, yang satu menurut masyarakat (sosial), dan yang lainnya dalam arti hukum pidana. Menurut arti yang pertama, masyarakat menganggap bahwa setiap orang yang setelah dipidana, menjalaninya yang kemudian melakukan tindak pidana lagi, disini ada pengulangan, tanpa memperhatikan syarat-syarat lainnya. Tetapi dalam arti hukum pidana, yang merupakan dasar pemberat pidana ini, tidaklah cukup hanya melihat berulangnya melakukan tindak pidana, tetapi dikaitkan pada syarat-syarat tertentu yang ditetapkan undang-undang.

Dengan adanya residivis dapat menjadi salah satu bukti yang menunjukkan bahwa seseorang justru menjadi lebih jahat setelah menjalani hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan hal ini juga yang menjadi salah satu faktor dominan munculnya seseorang bekas narapidana melakukan kejahatan lagi, yang biasa disebut dengan residivis tersebut.

Penjara yang telah melakukan segala usaha untuk merehabilitasi penjahat tidaklah lebih berhasil dari pada penjara yang membiarkan penghuninya “melapuk”. Sedangkan David Rothman mengatakan bahwa rehabilitasi adalah kebohongan yang diagung-agungkan. Pernyataan Rothman ini muncul setelah

melihat kenyataan yang sebenarnya bahwa penjara mengasingkan penjahat dari cara hidup yang wajar sehingga tidak siap untuk hidup di jalan yang benar setelah dibebaskan dari penjara dan juga pada kenyataan adanya kekerasan dalam penjara yang merendahkan martabat manusia di penjara.

Pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku diberikan "pelayanan" yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka masuk kedalam institusi penjara, Restorative justice adalah salah satu bentuk proses pembinaan dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersamasama memecahkan masalah bagaimana menangani akibatnya di masa yang akan datang.

2.6.2. Residivis Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dikenal ada beberapa sistem kambuhan atau recidive. Sebagai sistem pokok, ada 2 (dua) sistem yaitu :

1. Kambuhan Umum (General Recidive)

Menurut sistem kambuhan umum, terjadi suatu kambuhan apabila seseorang setelah melakukan tindak pidana dan atas tindak pidana yang dilakukan itu, telah dijatuhi pidana kemudian melakukan tindak pidana lagi, baik tindak pidana yang sama, sejenis maupun tindak pidana lainnya.

2. Kambuhan Khusus (Special Recidive) Sebaliknya kambuhan khusus terjadi apabila seseorang setelah melakukan tindak pidana dan atas tindak pidana yang dilakukan itu telah dijatuhi pidana, kemudian melakukan tindak pidana yang sama.

Disamping kedua sistem tersebut terdapat sistem kambuhan tengah (Tussenstelsel) yaitu, kambuhan yang terjadi apabila seseorang telah melakukan tindak pidana dan atas tindak pidana yang dilakukan telah dijatuhi pidana kemudian melakukan tindak pidana yang termasuk kelompok tindak pidana yang karena sifatnya dianggap sama.

Undang-undang sendiri tidak mengatur mengenai pengulangan umum (General Recidive) yang artinya menentukan pengulangan berlaku untuk dan terhadap semua tindak pidana. Mengenai pengulangan ini KUHP mengatur, Pertama, menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-indak pidana tertentu dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya. Pengulangan hanya terbatas pada tindak pidana tertentu yang disebutkan di dalam pasal 486, 487, 488 KUHP, dan kedua di luar kelompok kejahatan dalam pasal 386, 387, dan 388 itu, KUHP juga menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi pengulangan, misalnya pasal 216 ayat (3), 489 ayat (2), 495ayat (2), 501 ayat (2), 512 ayat (3) KUHP. Pada tindak pidana lain yang tidak masuk pada yang diterangkan pada butir 1 dan 2 tersebut diatas, tidak dapat terjadi pengulangan. Oleh karena tidak mengenal general recidive inilah, maka pengaturannya tidak dimuat dalam buku I (pertama), melainkan dikelompokkan pada ketiga pasal tersebut dalam buku II (kedua) dan pasal-pasal tertentu lainnya dalam buku II (kejahatan) maupun buku ke III (pelanggaran).

Pada prinsipnya KUHP Indonesia menganut sistem kambuhan tengah (Tussenstelsel), akan tetapi dalam KUHP terdapat pula beberapa tindak pidana yang menganut sistem kambuhan khusus (Speciale Recidive).

Ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem kambuhan tengah (Tussenstenlsel) terdapat pada pasal 486, 487, 488 KUHP, yaitu:

Pasal 486 KUHP, Pidana penjara yang ditentukan dalam pasal 127, 204 ayat pertama, 244 248, 253-260 bis, 263, 264, 266-268, 274, 362, 363, 365 ayat pertama, kedua, dan ketiga, 368 ayat pertama dan kedua sepanjang di situ ditunjuk kepada ayat kedua dan ketiga pasal 465, pasal 369, 372, 374, 375, 378, 389, 381-383, 385- 388, 397, 399, 400, 402, 415, 417, 425, 432 ayat penghabisan, 452, 466, 489 dan 481, begitupun pidana penjara selama waktu tertentu yang dijatuhkan menurut pasal 204 ayat kedua, 365 ayat keempat dan 368 ayat kedua sepanjang di situ ditunjuk kepada ayat keempat pasal 365, dapat ditambah dengan sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian dari pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan, yang dimaksud dalam salah satu dari pasal 140-143, 145 dan 149, Kitab Undangundang Hukum Pidana Tentara, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan (kwijtgescholeden) atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa.

Pasal tersebut mengatur tentang recidive atau kambuhan tindak pidana terhadap harta kekayaan, kelompok tindak pidana kejahatan yang sejenis yang tercantum dalam pasal 486 KUHP ini adalah: (1) Dalam keadaan perang melakukan tipu muslihat penyerahan barang (pasal 127 KUHP); (2) Menedarkan barang yang membahayakan nyawa dan kesehatan orang (pasal 204 ayat 1 KUHP); (3) Pemalsuan uang (pasal 224-248 KUHP); (4) Pemalsuan merk (pasal

253-260 bis); (5) Pemalsuan surat (pasal 263, 264, 266, 268, 274 KUHP); (6) Pencurian (pasal 263, 264, 266, 268, 274 KUHP); (7) Pemerasan dan pengancaman (pasal 368, 369 KUHP); (8) Merugikan piutang (pasal 299, 400, 402 KUHP); (9) Penipuan (pasal 378, 380, 381, 385, 388 KUHP); (10) Penggelapan (pasal 372, 374, 375 KUHP); (11) Tindak pidana kejahatan pelayaran (pasal 452, 466 KUHP); (12) Penadahan (pasal 480, 481 KUHP).

Pasal 487 KUHP. Pidana penjara yang ditentukan dalam pasal 130 ayat pertama, 131, 133, 140 ayat pertama, 141, 170, 213, 214, 338, 341, 342, 344, 347, 348, 351, 353-355, 438-443, 459 dan 460, begitupun pidana penjara selama waktu tertentu yang dijatuhkan menurut pasal 104, 105, 130 ayat kedua dan ketiga, pasal 140 ayat kedua dan ketiga, 339, 340 dan 444, dapat ditambah sepertiga. Jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian, pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan yang dimaksudkan dalam pasal 106 ayat kedua dan ketiga, 107 ayat kedua dan ketiga, 108 ayat kedua, 109, sejauh kejahatan yang dilakukan itu atau perbuatan yang menyertainya menyebabkan luka-luka atau mati, pasal 131 ayat kedua dan ketiga, 137 dan 138 KUHP Tentara, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan, atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa. Pasal tersebut mengatur tentang recidive atas tindak pidana terhadap tubuh atau nyawa manusia, kelompok tindak pidana yang dianggap sejenis dalam pasal 487 KUHP, adalah: (1) Penyerangan terhadap presiden (pasal 131 KUHP); (2) Penyerangan terhadap kepala negara sahabat (pasal 140 ayat 1 dan141 KUHP);

(3) Bersama-sama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang (pasal 170 KUHP); (4) Melawan pejabat dengan kekerasan (pasal 213 dan 214 KUHP); (5) Kejahatan terhadap nyawa (pasal 338, 341, 342, 344, 347, 348 KUHP); (6) Penganiayaan (pasal 153, 351, 355 KUHP); (7) Pembajakan (pasal 438-443 KUHP); (8) Karena kelalaian menyebabkan orang mati atau luka berat (pasal 359 dan 360 KUHP); (9) Kejahatan terhadap keamanan negara (pasal 359 dan 360 KUHP).

Pasal 488 KUHP. Pidana yang ditentukan dalam pasal 134-138, 142-144, 207, 208, 310-321, 483 dan 484, dapat ditambah sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian, pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, karena salah satu kejahatan diterangkan pada pasal itu, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalani pidana tersebut belum daluwarsa.

Pasal tersebut mengatur kambuhan atas tindak pidana kejahatan terhadap kehormatan orang. Kelompok tindak pidana yang dianggap sejenis dalam pasal 488 KUHP adalah:

1. Penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden (pasal 134-138 KUHP);

2. Penghinaan terhadap kepala negara sahabat (pasal 141-144 KUHP); 3. Penghinaan terhadap penguasa umum (pasal 207 dan 208 KUHP); 4. Penghinaan (pasal 310-321 KUHP);

Dalam pasal 486, 487, 488 KUHP tersebut diatas ditentukan juga syaratsyarat terjadinya residivis, yaitu:

1. Tindak pidana yang dilakukan harus sejenis;

2. Tindak pidana yang kemudian dilakukan dalam kurun waktu lima tahun sejak terpidana menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya atas tindak pidana terdahulu.

Sedangkan ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem kambuhan (recidive) khusus terdapat baik dalam kejahatan maupun dalam pelanggaran.

a. Kambuhan khusus dalam kejahatan diatur dalam : 1. Pasal 137 ayat 2 KUHP

Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut. Pasal tersebut merupakan ketentuan kambuhan atau recidive yang diatur dalam pasal 137 ayat 1 KUHP.

2. Pasal 157 ayat 2 KUHP

Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencarian, dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.

Pasal tersebut merupakan ketentuan kambuhan atau recidive yang diatur dalam pasal 157 ayat 1 KUHP.

3. Pasal 161 bis. ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau residivis yang diatur dalam pasal 161 bis. ayat 1 KUHP.

b. Kambuhan khusus dalam pelanggaran antara lain adalah :

1. Pasal 489 ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau recidive yang diatur dalam pasal 489 ayat 1 KUHP;

2. Pasal 492 ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau recidive yang diatur dalam pasal 492 ayat 1 KUHP;

3. Pasal 501 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau recidive yang diatur dalam pasal 501 ayat 1 KUHP;

4. Pasal 512 ayat 3 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau recidive yang diatur dalam pasal 512 ayat 1 dan 2 KUHP;

5. Pasal 536 ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau recidive yang diatur dalam pasal 536 ayat 1 KUHP;

6. Pasal 540 ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau recidive yang diatur dalam pasal 540 ayat 1 KUHP;

7. Pasal 541 ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau recidive yang diatur dalam pasal 541 ayat 1 KUHP;

8. Pasal 544 ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau recidive yang diatur dalam pasal 544 ayat 1 KUHP;

9. Pasal 545 ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau recidive yang diatur dalam pasal 545 ayat 1KUHP;

Dokumen terkait