• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat Memenuhi syarat-syarat guna memperoleh gelar sasrjana sosial SKRIPSI OLEH:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat Memenuhi syarat-syarat guna memperoleh gelar sasrjana sosial SKRIPSI OLEH:"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

PEMASYARAKATAN KLAS IIB MEULABOH

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat Memenuhi syarat-syarat guna memperoleh gelar sasrjana sosial

SKRIPSI

OLEH:

MUHAMMAD YUNUS NIM. 09C20201122

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS TEUKU UMAR

MEULABOH-ACEH BARAT

TAHUN 2014

(2)

i

Memberikan Pembinaan Bagi Narapidana Sebagai Upaya Mencegah Terjadinya Residivis di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh.

Nama Mahasiswa : Muhammad Yunus

NIM : 09C20201122

Program Studi : Ilmu Administrasi Negara

Menyetujui, Komisi Pembimbing Ketua,

Sudarman, S.Ag. M.Ag. NIDN: 01-2504-7601

Anggota,

Saiful Asra, M.Soc.Sc. NIDN: 01-1305-8201

Mengetahui, Ketua Program Studi

Ilmu Administrasi Negara,

Saiful Asra, M.Soc.Sc. NIDN: 01-1305-8201

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Sudarman, S.Ag., M.Ag. NIDN: 01-2504-7601 Tanggal Lulus: 07 Juni 2014

(3)

ii

Skripsi dengan Judul Optimalisasi Lembaga Pemasyarakatan Dalam Memberikan Pembinaan Bagi Narapidana Sebagai Upaya Mencegah Terjadinya Residivis di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh. Atas nama Muhammad Yunus, NIM 09C20201122 telah dipertahankan di depan sidang dewan penguji pada tanggal, 07 Juni 2014 dan telah direvisi.

KOMISI PENGUJI

1. Sudarman, S.Ag., M.Ag. : ………

NIDN: 01-2504-7601 Ketua

2. Saiful Asra, M.Soc.Sc. : ……….

NIDN: 01-1305-8201 Anggota

3. Muhammad Idris M.Pd : ……….

NIDN: 0123037902 Anggota

4. Hilda Syahfitir Srg, SE : ……….

NIDN: 0122088102 Anggota

Alue Peunyareng, 07 Juni 2014

Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Saiful Asra, M.Soc.Sc. NIDN: 01-1305-8201

(4)

iii Saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : MUHAMMAD YUNUS

NIM : 09C20201122

Program Studi : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Teuku Umar Meulaboh

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini benar dibuat oleh penulis sendiri dan orisinil, serta belum pernah digunakan oleh orang lain untuk memperoleh gelar sarjana akademik di suatu perguruan tinggi dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.

Apabila ternyata di dalam skripsi ini baik semua atau sebagian isinya terdapa unsur-unsur plagiat saya akan bersedia skripsi ini digugurkan dan gelar akademik yang saya peroleh dapat dicabut/dibatalkan serta dapat diproses sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Demikian surat pernyataan ini dibuat dan ditandatangani dalam keadaan sadar tanpa tekanan/paksaan dari siapapun.

Meulaboh, 07 Juni 2014 Yang membuat pernyataan,

Muhammad Yunus NIM. 09C20201122

(5)

iv Jenis Kelamin : Laki-Laki

Tempat/Tgl Lahir : Trieng Judo/13 Juli 1979

Agama : Islam

Status : Menikah

Nama Istri : Rini Anggreyani, Ama.Pd. Nama Anak : 1. Khalis Maula Azis

2. Khalas Muazzam

Ayah : Alm. Ibrahim

Ibu : Hendon

Alamat : Jl. Nasional, Lr. Kuini No. 14, Gampong Ujong Baroe, Kecamatan Johan Pahlawan.

Pendidikan formal

1. SD : 1985 s/d 1991 (SD Trieng Judo Pidie) 2. SMP : 1991 s/d 1994 (SMP Tiro)

3. SMEA : 1994 s/d 1997 (SMEA Negeri Sigli) Pengalaman Organisasi

1. Ketua III Bagian Keamanan, Organiasasi Kepemudaan INSAN DAMAI, Kajhu, Aceh Besar.

2. Ketua Komplek Perumahan Pola Keumala Kajhu, Aceh Besar. 3. Pengurus Satgas SAR Meulaboh Rescuer, Aceh Barat.

(6)

v

lautan dijadikan tinta, ditambah lagi tujuh lautan sesudah itu, maka belum akan habis kalimat-kalimat Allah yang akan dituliskan, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Lukman: 27)

Segenap tinta ini adalah wujud dari keagungan dan kasih sayang Allah. Setiap detik waktu menyelesaikan karya tulis ini merupakan hasil getaran do’a kedua orang tua, istri dan anak-anak tercinta, saudara, dan

orang-orang terkasih yang mengalir tiada henti. SKRIPSI INI KUPERSEMBAHKAN UNTUK: Yang terkasih Ayahanda Alm. Ibrahim yang mesti tak dapat lagi bertemu muka dan meliha kebahagian anaknya, namun dalam do’a semoga Ayahanda diberikan tempat yang agung di sisi Allah. Kepada Ibunda Hendon yang telah melahirkan, membesarkan, membimbing, dan

mendo’akan ananda sehingga dapat mencapai cita-cita ananda. Yang tersayang, penyemangat dikala berjuang, penghibur di kala sedih, istriku yang tercinta Rini Anggreyani dan kedua buah hati kami, Khalis

Maula Azis dan Khalas Muazzam. Terima kasih atas segala dukungan dan do’a yang diberikan kepada Abah. Segenap cinnta dan kasih Abah

terpulang kepada kalian bertiga.

Terima kasih kepada seluruh Dosen dan Staf Akademik FISIP Universitas Teuku Umar Meulaboh, yang telah menjadi bagian dari keluarga baru penulis.Bersama Bapak dan Ibu semua, dimensi akademis

penulis dapat terasah dengan baik. Maafkan segala kesahalan yang pernah penulis lakukan baik sengaja maupun tidak sengaja yang

menyinggung hati dan perasaan Dosen dan Staf Akademik.

Kepada teman-teman Ilmu Administrasi Negara Angkatan 2009, terima kasih sudah menerima penulis menjadi bagian dari keluarga kalian. Terima kasih atas pertemanan dan pengalaman yang kalian berikan.

Semoga persahabatan kita berlanjut hingga maut memisahkan. “Do the best everytimi anda everywhere”

(7)

vi

Pemasyarakatan Dalam Memberikan Pembinaan Bagi Narapidana Sebagai Upaya Mencegah Terjadinya Residivis di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh. (Pembimbing I Sudarman, S.Ag., M.Ag. dan Pembimbing II Saiful Asra, M.Soc. Sc).

Pembinaan yang diberikan oleh lembaga pemasyarakatan seperti pelatihan kerja atau keterampilan, seringnya hal itu tidak sesuai dengan karakteristik, minat dan keinginan narapidana, atau sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan kondisi di luar lembaga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara pelaksanaan pembinaan narapidana, hambatan yang dihadapi, serta upaya untuk mengatasi hambatan dalam pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB. Metode yang dipakai adalah kualitatif dengan pendekatan Yuridis

Sosiologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh, yaitu, melalui aktivitas pembinaan narapidana dan ditunjang oleh sarana dan prasarana. Hambatan yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh adalah etnis yang berbeda, kurangnya jumlah petugas keamanan, tidak memadai sarana dan prasarana, sarana fisik bangunan Lembaga Pemasyarakatan yang belum rampung, kurangnya minat warga binaan khususnya bagi narapidana residivis. Upaya untuk mengatasi hambatan sehingga terjadinya residivis dengan menggunakan metode pendekatan humanistik (manusiawi).

Kata Kunci: Pembinaan Narapidana, Lembaga Pemasyarakatan, Meulaboh Aceh Barat

(8)

vii

Atas limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis telah dapat menyusun skripsi dengan judul Optimalisasi Lembaga Pemasyarakatan Dalam Memberikan Pembinaan Bagi Narapidana Sebagai Upaya Mencegah Terjadinya Residivis di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh. Selama penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak yang menginginkan agar penulisan skripsi ini dapat mendekati kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis ingin berterima kasih kepada:

1. Drs. Alfian Ibrahim, MS., Rektor Universitas Teuku Umar Meulaboh. 2. Sudarman, S.Ag., M.Ag., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Teuku Umar dan Pembimbing I yang telah mengarahkan dan membina sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Saiful Asra, M.Soc. Sc. Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara dan Pembimbing II, yang telah membina dan mengarahkan agar skripsi ini dapat segera diselesaikan.

4. Kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, Alm. Ibrahim dan Hendon, yang telah dengan sabar membesarkan dan mendoakan penulis sampai saat sekarang ini.

5. Kepada istri tercinta, Rini Anggreyani, Ama.Pd., yang selalu mendampingi dalam susah dan senang dalam mencapai cita-cita. Serta kedua buah hati tersayang, Khalis Maula Azis dan Khalas Muazzam dimana kasih Abah berpulang kepada mereka berdua.

(9)

viii memberikan akses dalam penelitian.

7. Said Hidayat (Ka. Subsie Registrasi Lapas Klas IIB Meulaboh), Banta Sidi (Kasie Binadik Lapas Klas IIB Meulaboh), Jasman (Ka. Subsie Bimker Lapas Klas IIB Meulaboh), serta rekan-rekan di Lapas Klas IIB Meulaboh yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas bantuan dan dukungan yang selama ini diberikan.

8. Kepada informan dalam penelitian ini, yang telah membantu memberikan data yang sebenar-benarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

9. Kepada civitas akademik FISIP UTU terima kasih telah menjadi teman dan sahabat baru bagi penulis.

10. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatukarena keterbatasan ruang dan terima kasih telah membantu terselesaikannya skripsi ini tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karenga itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan.

Meulaboh, 07 Juni 2014 Penulis

(10)

ix

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR RIWAYAT HIDUP ... iv

LEMBAR PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 12

2.1. Kajian Umum Tentang Lembaga Pemasyarakatan ... 12

2.1.1. Sejarah dan Perkembangan Kepenjaraan di Indonesia... 12

2.1.2. Lembaga Pemasyarakatan dan Sistem Pemasyarakatan ... 18

2.2. Warga Binaan Pemasyarakatan dan Pembinaan Narapidana ... 23

2.3. Konsep Pembinaan ... 26

2.4. Macam-Macam Pembinaan ... 30

2.5. Tahap-Tahap Pembinaan Narapidana ... 31

2.6. Kajian Umum Tentang Residivis ... 34

2.6.1. Pengertian Residivis ... 34

2.6.2. Residivis Dalam KUHP ... 37

2.7. Recidive Sebagai Dasar Pemberatan Pidana... 44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46

3.1. Metode Penelitian... 46

3.2. Lokasi Penelitian ... 46

3.3. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ... 47

3.3.1. Sumber Data ... 47

3.3.2. Teknik Pengumpulan Data ... 48

3.4. Instrumen Penelitian ... 51

3.5. Teknik Penentuan Informan ... 51

3.6. Teknik Analisis Data... 53

3.7. Uji Kredibilitas Data ... 54

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 58

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 58

4.1.1. Sejarah Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Meulaboh ... 58

4.1.2. Letak Geografis dan Kondisi Fisik Bangunan ... 59

4.1.3. Struktur Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh ... 62

4.1.4. Tugas dan Fungsi Pegawai Lembaga Pemasyarakatan ... 64

(11)

x

4.2.1. Tahap-tahap Pembinaan ... 71

4.2.2. Aktivitas Pembinaan Narapidana ... 77

4.2.3. Sarana dan Prasarana Penunjang Pembinaan ... 82

4.3. Hambatan Dalam Membina Narapidana Residivis ... 86

4.4. Upaya Mengatasi Hambatan... 91

BAB V PENUTUP ... 94

5.1. Kesimpulan ... 94

5.2. Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 96

(12)

1

1.1. Latar Belakang

Ketika berbicara tentang kejahatan, maka kata yang pertama muncul adalah pelaku kejahatan. Pelaku kejahatan ini biasa disebut dengan penjahat, kriminal, atau lebih buruk lagi, sampah masyarakat, dan masih banyak lagi. Maka tidaklah mengherankan bila upaya penanganan kejahatan masih terfokus hanya pada tindakan penghukuman terhadap pelaku. Dengan memberikan hukuman kepada pelaku masih dianggap sebagai obat manjur untuk menyembuhkan baik luka atau derita korban maupun kelainan perilaku yang dinggap oleh pelaku kejahatan. Dimana hukuman yang dimaksud yaitu merupakan suatu sanksi pidana perampasan kemerdekaan sehingga diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan tersebut.

Dengan pemberlakuan undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika dan UU No. 5 Tahun 1997 tentang psikotropika, kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah memberikan kewenangan kepada hakim yang memeriksa pecandu narkotika dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan apabila pecandu tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba Ke Dalam Terapi Dan Rehabilitasi bahwa masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkoba sebagaimana tersebut diatas sebagai masa menjalani pidana.

(13)

Sanksi pidana yang berupa perampasan kemerdekaan dalam perundang undangan di Indonesia dibedakan jenisnya yaitu pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana tutupan (pasal 10 KUHP dan Undang-undang No. 20 Tahun 1946) yang penempatannya menjadi satu dalam lembaga pemasyarakatan.

Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kekuasaan bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah penjara dengan mewajibkan orang untuk mentaati semua peraturan dari tata tertib yang berlaku di dalam penjara yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.

Pada awalnya rumah penjara sebagai tempat pelaksanaan pidana penjara yang saat itu dibagi dalam beberapa bentuk antara lain:

1. Tuchtuis adalah rumah penjara untuk menjalankan pidana yang sifatnya berat.

2. Rasphuis adalah rumah penjara dimana kepada para terpidana diberikan pelajaran tentang bagaimana caranya melicinkan permukaan benda-benda dari kayu dengan mempergunakan ampelas.

Menurut DR. Sahardjo, SH. yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman Republik Indonesia mengatakan bahwa tujuan pidana penjara adalah “Pemasyarakatan” sehingga membuat sebutan yang tadinya “Rumah Penjara” otomatis diganti “Lembaga Pemasyarakatan”.

Lahirnya Undang-undang No. 12 Tahun 1995 penggantian istilah “Penjara” menjadi “LembagaPemasyarakatan” tentu terkandung maksud baik yaitu bahwa pemberian maupun pengayoman warga binaan tidak hanya terfokus pada itikad menghukum (FunitifIntend) saja melainkan suatu berorientasi pada

(14)

tindakan-tindakan yang lebih manusiawi dan disesuaikan dengan kondisi dari warga binaan itu.

Membicarakan kejahatan dapat dikatakan sebagai gejolak sosial yang tidak berdiri sendiri, tetapi terkait juga dengan masalah budaya dan politik. Oleh karena itu kejahatan tidak mungkin dibasmi secara tuntas, akan tetapi dapat dilakukan pengendalian agar kejahatan tidak merajalela. Narapidana bukan hanya sebagai objek melainkan juga subjek yang tidak berbeda dari manusia lainnya, yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan dan dapat dikenai pidana, sehingga yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama atau kewajiban-kewajiban sosial lain.

Untuk dapat menanggulangi kejahatan-kejahatan tersebut diatas, merupakan tugas utama dari pelaksana Undang-Undang antara lain yaitu, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan serta lembaga-lembaga lain yang terkait. Peranan petugas negara dibidang hukum mempunyai mata rantai dari tujuan perlengkapan negara mulai dari melakukan penyidikan perkara, penuntutan perkara, mengadili terdakwa dan memasukkan terpidana ke Lembaga Pemasyarakatan sampai mengeluarkan kembali kemasyarakat dengan sistem pemasyarakatan.

Walaupun telah ada gagasan untuk menjadikan tujuan dari pidana penjara itu suatu pemasyarakatan dan sebutan “rumah penjara” telah berganti menjadi “Lembaga Pemasyarakatan” akan tetapi di dalam prakteknya ternyata gagasan pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara tidak didukung dengan sarana yang

(15)

diperlukan dan bahkan perangkat peraturan yang merupakan landasan operasional dari Lembaga Pemasyarakatan untuk mengayomi serta memasyarakatkan para warga binaan pada saat itu masih mempergunakan perangkat peraturan peninggalan kolonial Belanda, seperti, (1) Gestichten Reglement (Staatsblad Tahun 1917 Nomor 708); (2) Dwang opvoeding (DOR Staatsblad 1917 Nomor 741); (3) Ordonansi Voorwaardelijke Huvijdsteling (VI) Staatsblad 1917 Nomor 749; dan (4) Voorwaardelijke Veroordeling (VV) Staatsblad 1917 No. 487.

Ke empat perangkat hukum di atas jelas merupakan peninggalan kolonial Belanda dan sudah tidak berlaku lagi karena sekarang menggunakan Undang-undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Konsep Lembaga Pemasyarakatan pada level empirisnya, sesungguhnya tidak ada bedanya dengan penjara. Tujuan sistem pemasyarakatan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Uundang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dinyatakan bahwa Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.

Hal Ini berarti bahwa tujuan akhir dari sistem pemasyarakatan adalah bersatunya kembali warga binaan pemasyarakatan dengan masyarakat, sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab, sehingga keberadaan mantan warga binaan di masyarakat nantinya diharapkan mau dan mampu untuk ikut

(16)

membangun masyarakat dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat dalam pembangunan.

Demikian halnya dengan kehadiran Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh yang merupakan salah satu unit pelaksanaan dalam mengayomi serta memasyarakatkan warga binaan yang berkedudukan di Kota Meulaboh kab. Aceh Barat dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Meulaboh yang sangat diharapkan peran sertanya di dalam mengayomi serta memasyarakatkan warga binaan yang merupakan salah satu sumber daya manusia sesuai dengan program pemerintah, karena pada kenyataannya sudah menjadi rahasia umum bahwa kondisi penjara di Indonesia sangat tidak manusiawi, seperti jumlah narapidana yang melebihi kapasitas adalah pemandangan umum di Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan mengapa banyak narapidana yang tidak mendapatkan sejumlah hak secara proposional. Seperti tempat tidur yang layak, air bersih, makanan yang layak, hak untuk informasi dan hiburan, ibadah, kesehatan, pendidikan dan pelatihan.

Sebenarnya pembinaan tidak bisa berjalan dengan efektif, dikarenakan kondisi Lapas dan Rutan yang sudah tidak sehat lagi, serta outputnya yang tidak sesuai dengan harapan dari pembinaan itu sendiri. Lapas seharusnya berisi banyak pembinaan yang memberikan penyuluhan, agar orang tersebut tidak melakukan hal yang sama (Residivis), tetapi seperti contoh kasus Roy Marten, membuktikan bahwa sebenarnya pembinaan di dalam penjara belumlah efektif, itu hanya sebagian kecil dari banyaknya kasus-kasus khususnya narkotika yang berulang (Residivis).

Melihat realitas seperti itu, penjara memang tidak lebih dari sekumpulan orang-orang jahat (melanggar hukum pidana), yang berkumpul dari yang klas teri

(17)

sampai klas kakap, dikumpulkan menjadi satu, lalu mereka bertukar pikiran, lalu menjadi penjahat yang lebih tinggi klasnya sehingga tidak menutup kemungkinan narapidana tersebut bila sudah keluar dari lembaga pemasyarakatan bukannya menjadi lebih baik akan tetapi sebaliknya dia akan mengulangi kembali perbuatan jahatnya tersebut yang kemudian menjadi penjahat kambuhan (Residivis). Selain itu hal tersebut juga disebabkan karena tidak dapat dipisahkan lagi, mana penjahat yang harus dibina sangat keras (Supermaximum security), seperti kejahatan klas kakap, dengan pembinaan yang sangat lunak, sehingga tidak mustahil mereka akan bertukar pikiran antara narapidana yang satu dengan narapidana yang lainnya, karena jumlah sipir yang tidak seimbang dengan jumlah narapidananya.

Pembinaan yang diberikan oleh lembaga pemasyarakatan seperti pelatihan kerja atau keterampilan, seringnya hal itu tidak sesuai dengan karakteristik, minat dan keinginan narapidana, atau sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan kondisi di luar lembaga. Ketertinggalan teknologi dan tidak bervariasinya pemberian keterampilan justru menyebabkan kegiatan menjadi tidak efektif, dengan biaya produksi yang tinggi dan hasil yang tidak maksimal. Bahkan ada tudingan bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah sekolah kejahatan, sebab orang justru menjadi lebih jahat setelah menjalani hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Ini menjadi salah satu faktor dominan munculnya seseorang bekas narapidana melakukan kejahatan lagi, yang biasa disebut dengan residivis.

Maka, tidak terlalu mengherankan bila hal tersebut menyebabkan kebanyakan bekas narapidana menemui kesulitan untuk berintegrasi kembali ke dalam masyarakat. Selain itu, tentu saja persoalan stigma negatif yang menempel pada “label” bekas narapidana menyebabkan banyak perusahaan atau majikan

(18)

tidak mau menerima “eks napi” sebagai pegawainya. Apabila mantan napi tidak diperlakukan secara adil sebagai warga masyarakat biasa yang telah menebus kesalahan, maka akibat yang paling buruk adalah mereka akan dapat mengulangi kembali tindakan pelanggaran hukumnya. Sebab manusia adalah mahluk yang diciptakan oleh Allah Sang Maha Kuasa sebagai dapat berbuat dosa dan kesalahan termasuk pelanggaran hukum pidana.

Mereka sudah beranggapan penjara ini sebagai tempat peristirahatan beberapa bulan ketika tertangkap melakukan aksinya. Di Rutan atau Lembaga Pemasyarakatan narapidana tidak menerima pembinaan yang memadai yang mengarah mengembalikan narapidana tersebut kepada masyarakat, sehingga ketika narapidana tersebut bebas dari penjara, tanpa bekal apa-apa, setelah di luar Lembaga Pemasyarakatan mantan narapidana tersebut harus bisa mencari biaya untuk makan, sedangkan uang di kantong tidak ada, bekal kerja juga tidak ada, tetapi bekal gelar narapidana sudah dikantongi.

Umumnya di masyarakat agak disegani atau ditakuti bila seseorang baru saja lepas dari penjara, orang tersebut pantas menyandang gelar preman. Sehingga untuk mencari pekerjaan sulit, apalagi bila pekerjaan itu membutuhkan syarat ada SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) dari kepolisian, akhirnya dengan terpaksa yang mantan narapidana tersebut dapat mengulangi kejahatannya.

Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan kajian terhadap masalah Optimalisasi Lembaga Pemasyarakatan Dalam Memberikan Pembinaan Bagi Narapidana Sebagai Upaya Mencegah Terjadinya Residivis di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh.

(19)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana cara pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh?

b. Apa saja hambatan yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh dalam melakukan pembinaan narapidana dan bagaimana upaya untuk mengatasi hambatan tersebut agar terjadinya recidive dapat ditekan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui bagaimana cara pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh.

b. Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi dan upaya untuk mengatasi hambatan tersebut agar terjadinya residivis dapat ditekan.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dilakukan untuk pengembangan pengetahuan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik pada umumnya dan pada khususnya Ilmu Administrasi Negara yang berkaitan dengan optimalisasi Lembaga Pemasyarakatan dalam memberikan pembinaan bagi narapidana sebagai upaya mencegah terjadinya residivis.

(20)

1.4.2. Manfaat Praktis

a. Bagi Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh.

1. Agar lebih optimal dalam memberikan pembinaan bagi warga binaan khususnya narapidana residivis;

2. Agar petugas pembinaan dapat mengetahui usaha-usaha apa yang harus ditempuh demi berhasilnya pengayoman bagi warga binaan agar terjadinya residivice dapat ditekan.

b. Narapidana Residivis

1. Agar dapat memanfaatkan pembinaan yang diberikan oleh petugas pembinaan Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh sehingga tidak menjadi penjahat kambuhan lagi.

c. Bagi Masyarakat

1. Untuk menunjukkan bahwa seseorang mantan narapidana tidak sepenuhnya tetap memiliki sifat jahat karena sebelumnya mantan narapidana tersebut telah diberikan pembinaan oleh Lapas sehingga hasil dari pembinaan tersebut diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat.

2. Sebagai bahan pertimbangan untuk menerima kembali seorang mantan narapidana sehingga diharapkan dapat mengembalikan status dan haknya sebagai warga sipil, bukan sebagai mantan narapidana yang selalu dinilai sebagai seorang penjahat yang hanya meresahkan masyarakat.

(21)

1.5. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang isi pembahasan dalam penulisan ini, maka secara global disistematisir sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Merupakan pengantar dari keseluruhan penulisan yang memuat Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Memuat uraian secara konsepsional mengenai tinjauan umum tentang Pengertian Lembaga Permasyarakatan, Pengertian Narapidana, Pembinaan Narapidana, Pengertian Residivis, dan Macam-macam Residivis.

BAB III METODE PENELITIAN

Metode penelitian membahas tentang jenis pendekatan, alasan pemilihan lokasi, populasi dan sampel, tehnik pengumpulan data, tehnik analisis data.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pokok pembahasan dari permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, yang meliputi gambaran umum Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh, pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh, hambatan yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh dalam melakukan pembinaan narapidana residivis dan upaya yang dilakukan

(22)

untuk mengatasi hambatan tersebut agar terjadinya recidive dapat ditekan.

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan bab akhir dari keseluruhan penulisan ini yang berisi kesimpulan yang merupakan hasil dari kegiatan penelitian mengenai permasalahan yang diangkat dengan menggunakan metode-metode yang telah disebutkan. Bab ini juga menyertakan saran-saran yang mungkin diperlukan bagi penelitian.

(23)

12

2.1. Kajian Umum Tentang Lembaga Pemasyarakatan 2.1.1. Sejarah dan Perkembangan Kepenjaraan di Indonesia

Pada awalnya tidak dikenal sistem pidana penjara di Indonesia. Sistem pidana penjara baru dikenal pada zaman penjajahan. Pada zaman VOC pun belum dikenal penjara yang seperti sekarang ini, yang ada ialah rumah tahanan yang diperuntukkan bagi wanita tuna susila, pengangguran atau gelandangan pemabuk dan sebagainya. Diberikan pula pekerjaan dan pendidikan agama, tetapi ini hanya ada di Batavia terkenal dengan sebutan spinhuis dan rasphuis. Ada 3 macam tempat tahanan demikian yaitu:

1. Bui yang terdapat di pinggir kota; 2. Tempat perantaian (kettingkwartier);

3. Tempat menampung wanita bangsa Belanda yang melakukan mukah (overspel).

Perbaikan mulai dilakukan pada zaman Inggris (Raffles). Bui-bui yang kecil dan sempit diperbaiki dan didirikan bui dimana ada pengadilan. Perbaikan diteruskan oleh Belanda setelah berkuasa kembali, diadakan klasifikasi:

1. Kerja paksa dengan sistem rantai; 2. Kerja paksa dengan upah.

Perkembangan kepenjaraan selanjutnya pada permulaan zaman Hindia Belanda dimulai dengan sistem diskriminasi, yaitu dengan dikeluarkannya peraturan umum untuk golongan bangsa Indonesia (Bumiputera) yang dipidana

(24)

kerja paksa (Stbld 1826 No.16), sedangkan untuk golongan bangsa Eropa (Belanda) berlaku penjara. Ada 2 macam pidana kerja paksa:

1. Kerja paksa dimana terpidana dirantai;

2. Kerja paksa biasa dan mendapat makanan tanpa upah.

Pada masa itu penjara disebut bui sesuai dengan keadaannya sebagai tempat penyekapan, tempat menahan orang-orang yang disangka melakukan kejahatan, orang-orang yang disandera, penjudi, pemabuk, gelandangan dan penjahat-penjahat lain. Karena pada saat itu keadaan bui masih sangat buruk dan menyedihkan, maka dibentuklah panitia untuk meneliti dan membuat rencana perbaikan.

Pada tahun 1846 setelah bekerja selama 5 tahun panitia ini mengajukan rencana perbaikan yang tidak pernah dilaksanakan. Diskriminasi perlakuan antara orang pribumi dan orang Eropa (Belanda) sangat menyolok. Perawatan jauh lebih baik dan pekerjaan lebih ringan bagi orang Eropa, begitu pula soal makanan, kondisi kamar penjara dan fasilitasnya jauh lebih baik dari orang pribumi. Pada tahun 1865 Stoet Van Beele berusaha memperbaiki keadaan penjara dengan mengutus residen Riau untuk meninjau sistem pejara di Singapura. Dikeluarkanlah peraturan baru yaitu Stbld 1871 No.28 dengan suatu sistem klasifikasi.

Sistem pengelolaan penjara diperbaiki juga dengan administrasi yang lebih rapi dengan disiplin yang lebih ketat. Pada tahun 1871 itu dirancang pula suatu ordonansi yang berisi perbaikan menyeluruh terhadap sistem penjara, namun rancangan ini tidak pernah terwujud. Antara tahun 1907-1961 dibentuk kantor kepenjaraan (Gestichten Reglement) yang tercantum dalam Stbld 1917 No.708,

(25)

mulai berlaku 1 januari 1918. Reglemen inilah yang menjadi dasar peraturan perlakuan terhadap narapidana dan cara pengelolaan penjara. Reglemen ini didasarkan pada pasal 29 KUHP (Wvs) yang terdiri dari kurang lebih 114 pasal.

Dalam periode antara perang dunia kedua (1918-1942), pada umumnya di Jawa dan Madura ada 3 jenis penjara:

1. Penjara pusat yang disebut Centrale Gevangenis Strafgevangenis. Penjara pusat ini menampung terpidana yang agak berat (lebih dari 1 tahun) disitu terdapat perusahaan yang tergolong besar dan sedang serta perbengkelan;

2. Penjara negeri yang disebut Landgevangenis. Penjara ini berfungsi menampung narapidana yang tergolong ringan (di bawah 1 tahun) pekerjaan yang dilakukan ialah kerajinan dan pekerjaan ringan yang lain serta bengkel-bengkel kecil;

3. Rumah Tahanan yang disebut Huis van bewaring. Tempat ini menampung para tahanan terpidana kurungan dan terpidana penjara yang ringan, disini tidak ada pekerjaan yang pasti.

Bagi narapidana anak-anak, pada tahun 1921 telah didirikan ruangan khusus untuk yang berumur dibawah 19 tahun, kemudian didirikan di Tanggerang penjara anak-anak untuk yang berumur di bawah 20 tahun dan disusul di Pamekasan dan Ambarawa pada tahun 1927.

Pada zaman pendudukan Jepang hampir tidak ada perubahan sistem kepenjaraan. Hanya pekerjaan narapidana banyak dimanfaatkan untuk kepentingan militer Jepang. Pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dipenjara dan untuk kebutuhan tentara Jepang ditingkatkan, seperti bertani,

(26)

menangkap ikan di laut, termasuk juga narapidana wanita dan anak-anak. Keadaan narapidana sangat menyedihkan, kurang makan, tetapi bekerja keras. Pekerjaan kerajinan juga ditingkatkan terutama untuk kepentingan tentara Jepang.

Setelah Indonesia merdeka sistem pemenjaraan ada dua macam, yang satu didaerah Republik dan yang lain berada didaerah yang diduduki Belanda. Keadaan tidak banyak berbeda dari keadaan sebelum perang. Penjara dikelola sepenuhnya sesuai dengan Reglemen Kepenjaraan Tahun 1917 Nomor 798, usaha kearah sistem prevensi umum maupun khusus menjadi sebuah tujuan. Untuk prevensi khusus terpidana di penjara agar tidak melakukan kejahatan (detterent) dan untuk prevensi umum agar masyarakat takut untuk berbuat kejahatan.

Narapidana ditempatkan disamping sel-sel yang terbatas jumlahnya, juga di bangsal-bangsal yang penuh sesak berbagai tipe penjahat sehingga perkelahian dan pemerasan antar narapidana banyak terjadi. Ada golongan “jagoan” yang menjadi “raja” di dalam penjara yang sering memeras sesamanya baik fisik maupun pasaran memesan uang, barang atau makanan kepada keluarga narapidana.

Munculnya ide sistem Pemasyarakatan untuk pertama kalinya dicetuskan oleh Dr. Sahardjo, S.H sebagai menteri kehakiman, sewaktu penerimaan gelar doktor honoris causa dari universitas Indonesia, pada tanggal 5 juli 1963. Menurut Sahardjo tujuan pidana penjara itu adalah disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana dihilangkannya kemudahan bergerak namun juga bertujuan untuk membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya narapidana tersebut menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna, karena inti dari tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan. Sehingga di Indonesia saat ini

(27)

bentuk dan namanya tidak rumah penjara lagi melainkan Lembaga Pemasyarakatan, menurut almarhum DR. Sahardjo, SH. yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman Republik Indonesia mengatakan bahwa tujuan pidana penjara adalah “Pemasyarakatan” sehingga membuat sebutan yang tadinya “Rumah Penjara” otomatis diganti “Lembaga Pemasyarakatan”.

Dengan penggantian istilah “Penjara” menjadi “Lembaga Pemasyarakatan” tentu terkandung maksud baik yaitu bahwa pemberian maupun pengayoman warga binaan tidak hanya terfokus pada itikad menghukum (Funitif Intend) saja melainkan suatu berorientasi pada tindakan-tindakan yang lebih manusiawi dan disesuaikan dengan kondisi dari warga binaan itu. Walau istilah Pemasyarakatan sudah muncul pada tanggal 5 Juli 1963, namun prinsip-prinsip mengenai Pemasyarakatan itu baru dilembagakan setelah berlangsungnya konfrensi Bina Direktorat Pemasyarakatan di Lembang Bandung (Jawa Barat) tanggal 27 april 1964 dan dari hasil konfrensi tersebut dapat disimpulkan bahwa: Tujuan dari pidana penjara bukanlah hanya untuk melindungi masyarakat semata-mata, melainkan harus pula berusaha membina si pelanggar hukum, dimana pelanggar hukum tidak lagi disebut sebagai penjahat dimana seorang yang tersesat akan selalu bertobat dan ada harapan dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari sistem pengayoman yang diterapkan kepadanya.

Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadappara pelanggar hukum dan sebagai suatu keadilan yang bertujuan untuk mencapaireintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat. Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin mengatakan bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan yang

(28)

dilakukan oleh negara kepada para narapidana dan tahanan untuk menjadi manusia yang menyadari kesalahannya.

Dalam perkembangan selanjutnya Sistem Pemasyarakatan mulai dilaksanakan sejak tahun 1964 dengan ditopang oleh UU. No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Undang-undang Pemasyarakatan itu menguatkan usahausaha untuk mewujudkan suatu sistem Pemasyarakatan yang merupakan tatanan pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan. Hal tersebut sudah diatur didalam pasal 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa:

1. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana;

2. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab;

(29)

3. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.

Sedangkan menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.

Dengan dilaksanakannya pidana penjara berdasarkan sistem pemasyarakatan, maka posisi sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia, disamping mengembalikan narapidana ke dalam masyarakat (reintegrasi sehat) mengandung pula pengertian yang lebih luas yaitu juga berfungsi pencegahan terhadap kejahatan. Dengan singkat tujuan pidana penjara ialah pemasyarakatan. Sehingga sistem pemasyarakatan tersebut masih tetap berjalan dan terus mengalami perubahan-perubahan sampai dengan sekarang namun perkembangan tersebut harus tetap sesuai dengan visi dan misi lembaga pemasyarakatan itu sendiri yaitu untuk menyiapkan para narapidana kembali ke masyarakat.

2.1.2. Lembaga Pemasyarakatan dan Sistem Pemasyarakatan

Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan pengertian lembaga pemasyarakatan diatur pada pasal 1 angka 3 yaitu : “Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan". Jadi,

(30)

dapat disimpulkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat bagi orang yang dihukum untuk dibina selama menjalani masa hukumannya.

Pokok dasar memperlakukan narapidana menurut kepribadian, menurut Sahardjo ialah:

a. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia; b. Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan, tidak ada orang yang hidup

diluar masyarakat;

c. Narapidana hanya dijatuhi kehilangan kemerdekaan bergerak, jadi perlu diusahakannya supaya narapidana mempunyai mata pencaharian.

Di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 ketentuan pasal-pasal yang berkaitan dengan sistem pemasyarakatan diatur pada pasal 1 angka 2, pasal 2, dan pasal 5 yaitu, Pasal 1 angka 2

“Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas, serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”

Pasal 2

“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”

Pasal 5

Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas : a) Pengayoman;

b) persamaan perlakuan dan pelayanan; c) Pendidikan;

(31)

d) Pembimbingan;

e) penghormatan harkat dan martabat manusia;

f) kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan;

g) terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Teknik penyelenggaraan sistem pemasyarakatan secara penuh hanya dapat dilaksanakan dalam lembaga-lembaga yang penghuninya sebagian besar dipidanakan 1 tahun keatas, usaha ini dilaksanakan terus menerus bertahap-tahap secara progressif terhadap tiap narapidana yang bersangkutan dari saat masuk sebagai narapidana hingga sampai bebasnya. Bila dilihat secara umum tahap-tahap pelaksanaan sistem pemasyarakatan dimulai dengan menerima narapidana dan menyelesaikan pencatatannya secara administrasi, yang disusul dengan observasi atau identifikasi mengenai pribadinya secara lengkap oleh suatu dewan pemasyarakatan, setelah selesai kemudian ditentukan bentuk dan cara perlakuan (treatment) yang akan ditempuh, penempatannya untuk tinggal, pekerjaan yang diberikan, pendidikan-pendidikan atau pelajaran-pelajaran yang akan ditempuhnya, disamping diberikan keterangan-keterangan tentang hak dan kewajibannya serta tata cara hidup dalam lembaga.

Tahap-tahap tersebut juga dijelaskan dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1995 yang diatur dalam pasal 10, pasal 11, dan pasal 12 yaitu:

Pasal 10

(1) Terpidana yang diterima di LAPAS wajib didaftar.

(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengubah status Terpidana menjadi Narapidana.

(3) Kepala LAPAS bertanggung jawab atas penerimaan Terpidana dan pembebasan Narapidana di LAPAS.

Pasal 11

Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) meliputi: a. Pencatatan:

(32)

1. putusan pengadilan; 2. jati diri;

3. barang dan uang yang dibawa. b. Pemeriksaan kesehatan

c. Pembuatan pasfoto d. Pengambilan sidik jari

e. Pembuatan berita acara serah terima Terpidana. Pasal 12

(1) Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar :

a. Umur

b. jenis kelamin

c. lama pidana yang dijatuhkan d. jenis kejahatan

e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.

(2) Pembinaan Narapidana Wanita di LAPAS dilaksanakan di LAPAS Wanita.

Selanjutnya setelah berjalan beberapa lama pertemuan dewan pemasyarakatan diadakan lagi dengan mengikutsertakan narapidana yang bersangkutan, dan dievaluasi keadaannya maju atau mundur tingkah lakunya. Perlakuan selanjutnya ditentukan oleh dewan sesuai dengan kemajuannya dan kemundurannya, setelah diadakan koreksi-koreksi seperlunya. Kegiatan tersebut terus dilakukan secara berkala sehingga narapidana mengalami kemajuan dalam sifatnya.

Dalam rangka mempersiapkan narapidana mengintegrasikan kembali ke masyarakat, maka kepada narapidana perlu diberikan keterampilan kerja sebagai bekal hidupnya. Keterampilan ini ditujukan kepada narapidana agar menjadi tenaga yang terampil, seperti memberikan keterampilan mekanik, menjahit, pendidikan, dan lain-lain. Dalam menjalani hukuman ini diharapkan narapidana dapat interaksi sosial yang harmonis antara mantan narapidana dengan masyarakat setelah bebas.

(33)

Kegiatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan. Prinsip-prinsip pokok yang menyangkut dasar perlakuan terhadap warga binaan dan anak didik yang dikenal dengan nama Sepuluh (10) Prinsip Pemasyarakatan :

1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna;

2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara; 3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat;

4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau jahat daripada sebelum dijatuhi pidana;

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat;

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan negara sewaktu-waktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan produksi;

7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila;

8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia;

(34)

9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai salah satu derita yang dialaminya;

10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam Sistem Pemasyarakatan.

Dengan demikian jika warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan kelak bebas dari hukuman, mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat dan lingkungannya dan dapat hidup secara wajar seperti sediakala. Fungsi Pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan yang ada didalam Lapas.

2.2. Warga Binaan Pemasyarakatan dan Pembinaan Narapidana

Para warga binaan harus dididik, diasuh dibimbing dan diarahkan pada tujuan yang bermanfaat baik untuk diri sendiri dan keluarganya maupun bagi masyarakat setelah pada waktunya dapat kembali kemasyarakat. Adapun warga binaan pemasyarakatan yaitu terdiri atas :

1. Narapidana;

2. Orang-orang yang ditahan untuk sementara; 3. Orang-orang yang disandera;

4. Orang-orang lain yang dimasukkan dengan perintah walaupun tidak menjalani pidana.

Dari kriteria warga binaan pemasyarakatan tersebut maka terhadap warga binaan khususnya dilakukan penggolongan dalam beberapa klas yang menurut pasal 50 Reglement penjara, bahwa orang hukuman tersebut dapat dibagi dengan 4 klas yaitu:

(35)

a) Klas I ialah narapidana yang telah dijatuhi pidana penjara seumur hidup, akan tetapi sulit untuk dapat dikuasai atas sifat-sifatnya yang bukan hanya bagi pegawai penjara;

b) Klas II ialah narapidana yang dihukum penjara sementara yang lebih dari tiga bulan penjara yakni apalagi narapidana yang dipandang tidak perlu untuk dimasukkan ke dalam golongan klas I;

c) Klas III ialah narapidana yang semula termasuk golongan klas II yang karena selama 6 (enam) bulan berturut-turut telah menunjukkan kelakuan yang baik, hingga perlu dipidanakan kegolongan klas III; d) Klas IV ialah narapidana yang telah dijatuhi pidana penjara kurang dari

tiga bulan, mereka ini tidak boleh ditempatkan dalam satu bangunan yang sama dimana lain-lain warga binaan telah ditempatkan seperti tersebut di atas.

Selain itu macam-macam warga binaan pemasyarakatan menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 diatur pada pasal 1 point ke 5, yaitu “Warga Binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan”.

Penggolongan warga binaan yang diatur di dalam pasal 1 angka 5 tersebut dibagi lagi dalam beberpa golongan warga binaan pemasyarakatan, yaitu:

1. Narapidana

a. Narapidana Laki-laki; b. Narapidana Wanita. 2. Anak didik pemasyarakatan

(36)

a. Anak Pidana anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

b. Anak negara anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

c. Anak sipil anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

3. Klien pemasyarakatan a. Terpidana bersyarat;

b. Narapidana, Anak Pidana, dan Anak Negara yang mendapatkan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas;

c. Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial;

d. Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial; e. Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya

dikembalikan kepada orang tua atau walinya.

Sesuai UU No.12 Tahun 1995, pasal 1 angka ke 7 bahwa narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dili ndungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.

(37)

Dr.Sahardjo dalam pidato penganugerahan gelar doctor honoris causa dalam ilmu hukum, pada tahun 1963 oleh universitas Indonesia, telah menggunakan istilah nara-pidana bagi mereka yang telah dijatuhi pidana ”kehilangan kemerdekaan”. Menurut Drs. Ac Sanoesi HAS istilah nara-pidana adalah sebagai pengganti istilah orang hukuman atau orang yang terkena hukuman, dengan kata lain istilah narapidana adalah untuk mereka yang telah divonis hakim dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pengertian pembinaan narapidana menurut PP No 31 Tahun 1999 diatur dalam pasal 1 ayat 1, yaitu kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.

Adanya model pembinaan bagi narapidana didalam Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi Narapidana dalam menyongsong kehidupan setelah selesai menjalani masa hukuman (bebas).

Sedangkan menurut Bahroedin Soerjobroto pada prinsipnya pembinaan narapidana adalah suatu proses pembinaan untuk mengembalikan kesatuan hidup dari terpidana. Jadi, istilah lembaga pemasyarakatan dapat disamakan dengan resosialisasi dengan pengertian bahwa segala sesuatunya ditempatkan dalam tata budaya Iandonesia, dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat Indonesia.

2.3. Konsep Pembinaan

Sistem pemasyarakatan adalah bersatunya kembali Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat, sebagai warga Negara yang baik dan

(38)

bertanggung jawab, sehingga keberadaan mantan Warga Binaan di masyarakat nantinya diharapkan mau dan mampu untuk ikut membangun masyarakat dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat dalam pembangunan.

Dalam konteks tersebut diatas sistem pembinaan narapidana dengan orientasi yang berbasis di masyarakat (Community - Based corrections) menjadi pilihan yang efektif dalam sistem pemasyarakatan. Community – Based corrections merupakan suatu metode baru yang digunakan untuk mengintegrasikan narapidana kembali ke kehidupan masyarakat. Semua aktifitas yang mengarah ke usaha penyatuan komunitas untuk mengintegrasikan narapidana ke masyarakat. Melalui metode Community-based corrections memungkinkan Warga Binaan Pemasyarkatan membina hubungan lebih baik, sehingga dapat mengembangkan hubungan baru yang lebih positif.

Tujuan utama Community-based corrections ini adalah untuk mempermudah narapidana berinteraksi kembali dengan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut maka penerapan Community-based corrections perlu didasarkan pada standar kriteria sebagai berikut:

a) Lokasi pembinaan yang memberikan kesempatan bagi narapidana untuk berinteraksi dengan masyarakat;

b) Lingkungan yang memiliki standar pengawasan yang minimal;

c) Program pembinaan seperti pendidikan, pelatihan, konseling dan hubungan yang didasarkan kepada masyarakat;

d) Diberikan kesempatan untuk menjalankan peran sebagai warga masyarakat, anggota keluarga, siswa, pekerja dan lain lain;

(39)

Menurut Kartasasmita, penerapan Community-based corrections dapat dilakukan dengan memberdayakan warga binaan pemasyarakatan melalui 3 upaya sebagai berikut:

1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan;

2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering) dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya.

3. Memberdayakan mengandung pola melindungi, dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah karena kurang berdaya menghadapi yang kuat.

Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka sebagai implementasi dari Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No: M.03.pr.0703 Tahun 2003 Tanggal 16 April 2003 perihal pembentukan LAPAS Terbuka Pasaman, Jakarta, Kendal, Nusakambangan, Mataram dan Waikabubak, merupakan pengejawantahan dari konsep Community-based corrections. Lembaga Pemasyarakatan Terbuka merupakan suatu sistem pembinaan dengan pengawasan minimum (Minimum Security) yang penghuninya telah memasuki tahap asimilasi dan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dimana

(40)

diantaranya telah menjalani setengah dari masa pidananya dan sistem pembinaan serta bimbingan yang dilaksanakan mencerminkan situasi dan kondisi yang ada pada masyarakat sekitar. Hal ini dimaksudkan dalam rangka menciptakan kesiapan narapidana kembali ke tengah masyarakat.

Dengan sistem pembinaan yang berorientasi kepada masyarakat maka LAPAS Terbuka seharusnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Tidak ada sarana dan prasarana yang nyata-nyata berfungsi pencegah pelarian (seperti tembok yang tebal dan tinggi, sel yang kokoh dengan jeruji yang kuat dan pengamanan yang maksimal);

2. Bersifat terbuka dalam arti bahwa sistem pembinaan didasarkan atas tertib diri dan atas rasa tanggung jawab Narapidana terhadap kelompok dimana narapidana tersebut tergolong;

3. Berada di tengah-tengah masyarakat atau di alam terbuka.

Di dalam melaksanaan suatu pembinaan, secara ilmu pengetahuan dikenal dengan teori Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial yang bertujuan untuk mengembangkan beberapa program kebijakan pembinaan narapidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Program kebijakan itu meliputi:

a. Asimilasi

Dalam asimilasi dikemas berbagai macam program pembinaan yang salah satunya adalah pemberian latihan kerja dan produksi kepada narapidana.

(41)

b. Reintegrasi Sosial

Dalam reintegrasi sosial dikembangkan dua macam bentuk program pembinaan, yaitu pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas. c. Pembebasan bersyarat adalah pemberian pembebasan dengan beberapa

syarat kepada narapidana yang telah menjalani pidana selama dua pertiga dari masa pidananya, di mana dua pertiga ini sekurang-kurangnya adalah selama sembilan bulan;

d. Cuti menjelang bebas adalah pemberian cuti kepada narapidana yang telah menjalani dua pertiga masa pidanannya, di mana masa dua pertiga itu sekurang- kurangnya sembilan bulan.

2.4. Macam-Macam Pembinaan

Bentuk-bentuk pembinaan yang diberikan kepada warga binaan saat ini, yaitu:

a. Pembinaan Mental, yaitu, pembinaan ini merupakan dasar untuk menempa seseorang yang telah sempat terjerumus terhadap perbuatan jahat, sebab pada umumnya orang menjadi jahat itu karena mentalnya sudah turun (retardasi mental), sehingga untuk memulihkan kembali mental seseorang seperti sedia kala sebelum dia terjerumus, maka pembinaan mental harus benar-benar diberikan sesuai dengan porsinya. b. Pembinaan Sosial, yaitu, pembinaan sosial ini diberikan kepada warga

binaan dalam kaitannya warga binaan yang sudah sempat disingkirkan dari kelompoknya sehingga diupayakan bagaimana memulihkan kembali kesatuan hubungan antara warga binaan dengan masyarakat sekitarnya.

(42)

c. Pembinaan Keterampilan, yaitu, dalam pembinaan ini diupayakan untuk memberikan berbagai bentuk pengetahuan mengenai keterampilan misalnya bentuk pengetahuan mengenai keterampilan berupa pendidikan menjahit, pertukangan, bercocok tanam dan lain sebagainya.

Dalam integrasi sosial dikembangkan dua macam bentuk program pembinaan, yaitu pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.

1. Pembebasan bersyarat adalah pemberian pembebasan dengan beberapa syarat kepada narapidana yang telah menjalani pidana selama dua pertiga dari masa pidananya, di mana dua pertiga ini sekurang-kurangnya adalah selama sembilan bulan;

2. Cuti menjelang bebas adalah pemberian cuti kepada narapidana yang telah menjalani dua pertiga masa pidanannya, di mana masa dua pertiga itu sekurang- kurangnya sembilan bulan.

2.5. Tahap-Tahap Pembinaan Narapidana

Pembinaan para tahanan dalam wujud perawatan tahanan, yaitu proses pelayanan tahanan yang termasuk di dalamnya program-program perawatan rohani maupun jasmani. Untuk mereka yang telah divonis hakim dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang kemudian disebut narapidana, penempatannya di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Terhadap narapidana, diberikan pembinaan, yaitu kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku profesional, kesehatan jasmani dan rohani warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang dilaksanakan dalam beberapa tahap yaitu:

(43)

a. Kegiatan masa pengamatan, penelitian, dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perancanaan pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian. Waktunya dimulai pada saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 dari masa pidananya. Pembinaan pada tahap ini masih dilakukan dalam Lapas dan pengawasannya maksimum (maximum security);

b. Kegiatan lanjutan dari program pembinaan kepribadian dan kemandirian sampai dengan penentuan perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi yang pelaksanaannya terdiri atas dua bagian;

c. Kegiatan berupa perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya masa pidana dari napi yang bersangkutan. Menyadari bahwa pembinaan warga binaan berdasarkan sistem pemasyarakatan merupakan kegiatan interaktif antara komponen narapidana, petugas dan masyarakat, maka peran serta masyarakat merupakan salah satu hal yang mutlak diperlukan. Tanpa peran serta masyarakat dalam pembinaan, tujuan sistem pemasyarakatan melalui upaya reintegrasi warga binaan tidak akan tercapai bagaimanapun baiknya kualitas program-program pembinaan yang diterapkan. Bentuk-bentuk kemitraan yang dilakukan sebagai sarana kegiatan pembinaan, antara lain peran serta masyarakat harus dipandang sebagai aspek integral dari upaya pembinaan, sehingga dukungan masyarakat sangat diperlukan dalam mencapai tujuan yang diinginkan dalam pembinaan warga binaan. Salah satu bentuk peran serta masyarakat ini diwujudkan melalui program kemitraan dalam bentuk berbagai kerjasama antara lapas atau bapas dengan masyarakat, baik perorangan maupun kelompok.

(44)

Pembinaan pada tahap ini terdapat narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat dan pembinaannya dilakukan di luar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (bapas) yang kemudian disebut pembimbingan klien pemasyarakatan.

Tahap-tahap pembinaan tersebut sudah diatur di dalam pasal 7 dan pasal 9 PP No. 31 tahun 1999 tentang pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan yaitu:

Pasal 7

(1) Pembinaan Narapidana dilaksanakan melalui beberapa tahap pembinaan.

(2) Tahap pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas 3 (tiga) tahap, yaitu: (a) tahap awal; (b) Tahap lanjutan; dan (c) tahap akhir.

(3) Pengalihan pembinaan dari satu tahap ke tahap lain ditetapkan melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan berdasarkan data dari Pembina Pemasyarakatan, Pengaman Pemasyarakatan, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Wali Narapidana.

(4) Data sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) merupakan hasil pengamatan, penilaian, dan laporan terhadap pelaksanaan pembinaan. (5) Ketentuan mengenai pengamatan, penilaian, dan pelaporan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 9

(1) Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a bagi Narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai Narapidana sampai dengan 1/3 (satu per tiga) dari masa pidana. (2) Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat

(2) huruf b meliputi:

a. Tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan 1/2 (satu per dua) dari masa pidana;

b. Tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana.

(3) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari Narapidana yang bersangkutan.

(45)

Dari penjelasan pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa tahap-tahap pembinaan narapidana menurut PP No.31 Tahun 1999 dibagi dalam tiga tahap, yaitu:

1. Pembinaan Tahap Awal (Pasal 9 (1) PP 31/99) Pembinaan ini dilakukan baik bagi Tahanan maupun bagi narapidana. Pembinaan pada tahap ini terdapat narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat dan pembinaannya dilakukan diluar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (bapas) yang kemudian disebut pembimbingan klien pemasyarakatan.

2. Pembinaan Tahap Lanjutan (Pasal 9 (2) a PP 31/99) Waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan ½ dari masa pidananya. Pada tahap ini pembinaan masih dilaksanakan di dalam lapas dan pengawasannya sudah memasuki tahap medium security.

3. Pembebasan tahap akhir (Pasal 9 (3) PP 31/99) Pada tahap ini dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 masa pidananya. Pada tahap ini pengawasan kepada narapidana memasuki tahap minimum security. Dalam tahap lanjutan ini, narapidana sudah memasuki tahap asimilasi. Selanjutnya, napi dapat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat dengan pengawasan minimum security.

2.6. Kajian Umum Tentang Residivis 2.6.1 Pengertian Residivis

Berkaitan dengan penjatuhan pidana, dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) diatur mengenai ketentuan-ketentuan yang dapat menghapus,

(46)

meringankan, dan memperberat pidana (hukuman). Hal yang dapat meringankan pidana antara lain percobaan (pasal 53 KUHP) dan pembantuan (pasal 55 KUHP). Sedangkan hal-hal yang dapat menghapus pidana adalah pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit, daya paksa atau overmatch (pasal 48 KUHP), pembelaan terpaksa (pasal 51 KUHP), melaksanakan Undang-undang (pasal 50 KUHP) dan melaksanakan perintah jabatan (pasal 51 KUHP).

Sedangkan yang dapat memperberat pidana antara lain pengulangan kejahatan (recidive) yang diatur dalam pasal 486, 487, dan 488 KUHP, perbarengan (concorsus) yang diatur dalam pasal 63 KUHP dan tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat atau tindak pidana dengan menggunakan bendera kebangsaan yang diatur dalam pasal 52 KUHP. Dalam hal ini penulis akan membahas mengenai residivis (pengulangan) sebab sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan.

Residivis adalah berasal dari bahasa prancis yang diambil dua kata latin, yaitu re dan cado, re berarti lagi dan cado berarti jatuh. Recidive berarti suatu tendensi berulang kali dihukum karena berulangkali melakukan kejahatan, dan mengenai orangnya disebut residivis. Oleh karena itu mengenai recidive adalah berbicara tentang hukuman yang berulang kali sebagai akibat perbuatan yang sama atau serupa.

Sedangkan pengertian recidive menurut Wirjono Prodjodikoro adalah seorang yang sudah dijatuhi hukuman perihal suatu kejahatan, dan kemudian, setelah selesai menjalani hukuman, melakukan suatu kejahatan lagi, yang berakibat bahwa hukuman yang akan dijatuhkan kemudian, malahan diperberat, yaitu dapat melebihi maximum.

(47)

Dalam hukum pidana, recidive dapat diartikan seseorang melakukan beberapa tindak pidana dan diantara tindak pidana itu telah mendapatkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pengertian recidive menurut Moch. Anwar, adalah dalam hal seseorang telah melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, diantara perbuatan-perbuatan mana satu atau lebih telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan.

Ada 2 arti pengulangan atau recidive, yang satu menurut masyarakat (sosial), dan yang lainnya dalam arti hukum pidana. Menurut arti yang pertama, masyarakat menganggap bahwa setiap orang yang setelah dipidana, menjalaninya yang kemudian melakukan tindak pidana lagi, disini ada pengulangan, tanpa memperhatikan syarat-syarat lainnya. Tetapi dalam arti hukum pidana, yang merupakan dasar pemberat pidana ini, tidaklah cukup hanya melihat berulangnya melakukan tindak pidana, tetapi dikaitkan pada syarat-syarat tertentu yang ditetapkan undang-undang.

Dengan adanya residivis dapat menjadi salah satu bukti yang menunjukkan bahwa seseorang justru menjadi lebih jahat setelah menjalani hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan hal ini juga yang menjadi salah satu faktor dominan munculnya seseorang bekas narapidana melakukan kejahatan lagi, yang biasa disebut dengan residivis tersebut.

Penjara yang telah melakukan segala usaha untuk merehabilitasi penjahat tidaklah lebih berhasil dari pada penjara yang membiarkan penghuninya “melapuk”. Sedangkan David Rothman mengatakan bahwa rehabilitasi adalah kebohongan yang diagung-agungkan. Pernyataan Rothman ini muncul setelah

(48)

melihat kenyataan yang sebenarnya bahwa penjara mengasingkan penjahat dari cara hidup yang wajar sehingga tidak siap untuk hidup di jalan yang benar setelah dibebaskan dari penjara dan juga pada kenyataan adanya kekerasan dalam penjara yang merendahkan martabat manusia di penjara.

Pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku diberikan "pelayanan" yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka masuk kedalam institusi penjara, Restorative justice adalah salah satu bentuk proses pembinaan dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersamasama memecahkan masalah bagaimana menangani akibatnya di masa yang akan datang.

2.6.2. Residivis Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dikenal ada beberapa sistem kambuhan atau recidive. Sebagai sistem pokok, ada 2 (dua) sistem yaitu :

1. Kambuhan Umum (General Recidive)

Menurut sistem kambuhan umum, terjadi suatu kambuhan apabila seseorang setelah melakukan tindak pidana dan atas tindak pidana yang dilakukan itu, telah dijatuhi pidana kemudian melakukan tindak pidana lagi, baik tindak pidana yang sama, sejenis maupun tindak pidana lainnya.

2. Kambuhan Khusus (Special Recidive) Sebaliknya kambuhan khusus terjadi apabila seseorang setelah melakukan tindak pidana dan atas tindak pidana yang dilakukan itu telah dijatuhi pidana, kemudian melakukan tindak pidana yang sama.

Gambar

Tabel 1 Petugas Berdasarkan Golongan dan Pendidikan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Bagaimana ketentuan remisi yang terdapat dalam Keppres RI No 174 tahun 1999 dan Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap

Sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan studi program Strata Satu (S1) pada Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Ekonomi Syariah. Sebagai tambahan ilmu

Pelaksanaan Pemungutan Retribusi Izin Reyek Travel Pekanbaru- Sumatera Barat Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu,

Kelompok yang terorganisir yang dijelaskan dalam penjelasan Undang-undang No.21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang Pasal 16 bahwa yang

Hal ini sesuai dengan penelitian Puslitbang tahun 2009-2010 didapatkan bahwa satu dari lima ibu bersalin yang mengalami pendarahan akibat ruptur perineum akan meninggal dunia

Dakwaan tesebut merupakan rujukan majelis hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa yang menyatakan tindak pidana pencurian dengan kekerasan “(2) Diancam dengan

Penelitian yang pertama fokus pada penggunaan CMS PHP-Nuke dalam membangun sistem dimana hanya terdapat dua user saja yakni administrator dan penulis, tetapi

Salah satu bahan alami yang mempunyai kemampuan untuk mencerahkan warna gigi adalah buah tomat yang mempunyai kandungan hidrogen peroksida.Tujuan penelitian ini