• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: ANDRE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: ANDRE"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN BELANGKAS (TACHYPLEUS GIGAS) SEBAGAI SATWA LIAR YANG DILINDUNGI DAN RELEVANSINYA DENGAN TUJUAN PEMIDANAAN (STUDI PUTUSAN NO.151/PID.B/2013/PN-TTD

DAN PUTUSAN NO.145/PID.B/LH/2020/PN.MDN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

ANDRE 170200180

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

Universitas Sumatera Utara

(2)

Universitas Sumatera Utara

(3)

LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya:

NAMA : ANDRE

NIM : 170200180

DEPARTEMEN : HUKUM PIDANA

JUDUL SKRIPSI : ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN BELANGKAS (TACHYPLEUS GIGAS) SEBAGAI SATWA LIAR YANG DILINDUNGI DAN RELEVANSINYA DENGAN TUJUAN PEMIDANAAN (STUDI PUTUSAN NO.151/PID.B/2013/PN-TTD DAN PUTUSAN NO.145/PID.B/LH/2020/PN.MDN)

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi yang saya tulis adalah benar dan tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Dengan pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa adanya paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, Mei 2021

Andre

Universitas Sumatera Utara

(4)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya dalam penulisan skripsi ini, sehingga penulisan skripsi ini berjalan lancar dan tepat pada waktunya. Telah menjadi kewajiban dari setiap Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk dapat menyelesaikan suatu karya ilmiah sebagai syarat dalam menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul :

“ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN BELANGKAS (TACHYPLEUS GIGAS) SEBAGAI SATWA LIAR YANG DILINDUNGI DAN RELEVANSINYA DENGAN TUJUAN PEMIDANAAN (STUDI PUTUSAN NO.151/PID.B/2013/PN-TTD DAN PUTUSAN NO.145/PID.B/LH/2020/PN.MDN)”

Penulis telah semaksimal mungkin dalam mengerjakan skripsi ini.

Namun, penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan yang disebabkan karena keterbatasan pengetahuan ilmiah yang dimiliki oleh penulis.

Melalui kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih tak terhingga dan rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada Almarhum Papa Syahlan dan Mama Nurhayati dan Papi Marzuki yang selama ini menjadi semangat dan panutan untuk penulis serta selalu sabar dan memberikan doa dan dukungan kepada penulis baik moril maupun materil untuk segera dapat menyelesaikan skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara

(5)

ii

Dalam penulisan skripsi ini, penulis juga menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah memberikan pemikiran, dorongan dan dukungan secara moril, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sesuai dengan yang diharapkan.

Untuk itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Bapak Dr. Mahmul Siregar SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. Agusmidah SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Muhammad Ekaputra SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Almarhum Bapak Dr. Muhammad Hamdan S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Liza Erwina S.H., M.Hum, selaku Pelaksana Tugas Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu memilih judul yang terbaik untuk Skripsi ini.

7. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin S.H., MS selaku Dosen Pembimbing ke-1 yang telah menyediakan dan meluangkan waktunya untuk membimbing, menasehati, memberi semangat dan membagi ilmunya di dalam penyelesaian skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara

(6)

iii

8. Bapak Dr.Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing ke-2 yang telah menyediakan dan meluangkan waktunya untuk membimbing, menasehati, memberi semangat dan membagi ilmunya di dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH., M.Hum., selaku Dosen Penasehat Akademik penulis.

10. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara seluruhnya yang telah mendidik dan membimbing penulis selama tujuh semester dalam menempuh pendidikan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara juga para pegawai administrasi Fakultas Hukum;

11. Kepada sahabat penulis Angel, Dhea Chintya, Jafan, Benhard, Bagus, Zulfadli dan Hana selama perkuliahan.

Akhir kata kembali penulis mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT, dan penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu penulis mohon kepada semua pihak agar dapat memberikan petunjuk dan koreksi yang membangun guna penulisan skripsi ini dapat menjadi yang lebih baik lagi. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca serta membantu perkembangan hukum di Indonesia.

Medan, Mei 2021

ANDRE 170200180

Universitas Sumatera Utara

(7)

iv DAFTAR ISI

HALAMAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 21

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II : PENGATURAN SANKSI PIDANA YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA TERHADAP SATWA DILINDUNGI A. Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya ... 25

B. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa ... 31

C. Pengaturan Sanksi Pidana Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Terhadap Satwa Dilindungi Ditinjau Menurut dalam Politik Hukum Pidana……… 35

Universitas Sumatera Utara

(8)

v

D. Kaitan Double Track System dengan Tujuan Pemidanaan yang

Berhaluan pada Pembaruan Hukum Pidana ... 45

BAB III : ANALISIS HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN SATWA YANG DILINDUNGI BERDASARKAN PUTUSAN NOMOR 151/PID.B/2013/PN-TTD DAN PUTUSAN NOMOR 145/PID.B/L.H/2020/P.N MDN A. Posisi Kasus Putusan Nomor 151/PID.B/2013/PN-TTD ... 48

1. Kronologis Kasus ... 48

2. Dakwaan Penuntut Umum ... 49

3. Tuntutan Penuntut Umum ... 49

4. Fakta-fakta Hukum ... 50

5. Pertimbangan Hakim ... 60

6. Putusan Hakim ... 66

B. Analisis Kasus Putusan Nomor 151/PID.B/2013/PN-TTD ... 68

1. Analisis Dakwaan ... 68

2. Analisis Tuntutan ... 70

3. Analisis Putusan ... 71

C. Posisi Kasus Nomor 145/Pid.B/L.H/2020/PN MDN ... 74

1. Kronologis Kasus ... 74

2. Dakwaan Penuntut Umum ... 74

3. Tuntutan Penuntut Umum ... 75

4. Fakta-fakta Hukum ... 76

5. Pertimbangan Hakim ... 78

6. Putusan Hakim ... 83

Universitas Sumatera Utara

(9)

vi

D. Analisis Kasus Putusan Nomor 145/PID.B/L.H/2020/P.N MDN ... 84

1. Analisis Dakwaan ... 84

2. Analisis Tuntutan... 87

3. Analisis Putusan ... 87

BAB IV : PENGATURAN TINDAK PIDANA PERNIAGAAN SATWA LIAR DALAM RANCANGAN UNDANG - UNDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA A. Urgensi Pembentukan Rancangan Undang - Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ... 100

B. Analisis Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya ... 103

1. Analisis terhadap penamaan Undang - Undang ... 103

2. Analisis terhadap Politik Hukum ... 104

3. Analisis Terhadap Batang Undang - Undang ... 105

4. Analisis Sanksi Pidana ... 108

5. Analisis Kewenangan Penyidikan ... 110

6. Analisis Efektifitas ... 110

7. Analisis Sosiologis ... 111

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 116

B. Saran ... 117

DAFTAR PUSTAKA ... 118

Universitas Sumatera Utara

(10)

vii

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN BELANGKAS (TACHYPLEUS GIGAS) SEBAGAI SATWA YANG DILINDUNGI DAN RELEVANSINYA DENGAN TUJUAN

PEMIDANAAN (STUDI PUTUSAN NO.151/PID.B/2013/PN-TTD DAN PUTUSAN NO.145/PID.B/LH/2020/PN.MDN)

ABSTRAK Andre *)

Salah satu bentuk resiko yang membahayakan masa depan manusia adalah perdagangan satwa liar yang menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Walaupun keanekaragaman hayati Indonesia, khususnya flora dan fauna Indonesia yang luar biasa, mengundang perhatian dan kekaguman banyak pihak di seluruh dunia. Namun, eksploitasi yang tidak rasional akhirnya berujung pada terancamnya keberadaan spesies tersebut di alam. Salah satu bentuk ekspolitasi tersebut adalah perdagangan satwa liar. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi maraknya perdagangan satwa liar adalah dengan Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Namun, permasalahannya adalah apakah hukuman pidana penjara memiliki efek jera bagi pelaku. Untuk itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui relevansi sanksi pidana penjara terhadap tujuan pemidanaan. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan perundang – Undangan, pendekatan konsep, pendekatan perbandingan dan pendekatan kasus. Hasil penelitian atau simpulan dari penelitian ini bahwa pidana penjara belum memiliki efek jera bagi pelaku tindak pidana perniagaan satwa liar. Dibutuhkan perubahan menyeluruh dalam Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya serta integrasi data pelaku kejahatan dalam integrated criminal justice system agar semakin relevan dengan perkembangan zaman.

Kata Kunci: Perniagaan Satwa, Efek Jera, Integrasi Data

*) Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

(11)

viii

JURIDICAL ANALYSIS OF PERPETRATORS OF CRIMINAL TRAFFICKING (TACHYPLEUS GIGAS) AS PROTECTED ANIMALS AND

THEIR RELEVANCE TO THE PURPOSE OF CRIMINALIZATION (A STUDY ON RULING NO.151/PID.B/2013/PN-TTD AND RULING

NO.145/PID. B/LH/2020/PN. MDN) ABSTRACT

Andre *)

One form of risk that endangers the future of humans is wildlife trafficking which causes disruption of ecosystem balance and biodiversity. Although Indonesia's biodiversity, especially the extraordinary flora and fauna of Indonesia, attracts the attention and admiration of many parties around the world. However, irrational exploitation eventually leads to the threatened existence of the species in nature. One form of such exploitation is the wildlife trade. One of the efforts made by the government to anticipate the rampant wildlife trade is by Law No. 5 of 1990 on the Conservation of Biological Natural Resources and Their Eco systems. However, the problem is whether prison sentences have a deterrent effect for perpetrators. Therefore, this study was conducted to find out the relevance of prison criminal sanctions against the purpose of criminalization. This research uses normative legal research with statutory approach method, concept approach, comparison approach and case approach. The results of the study or conclusions from this study that prison sentences have not had a deterrent effect for perpetrators of wildlife business crimes. It requires a complete change in Law No.

5 of 1990 on The Conservation of Natural Resources and Their Ecosystems and the integration of criminal data in the integrated criminal justice system to be more relevant to the development of the era.

Keywords: Wildlife Business, Deterrent Effect, Data Integration

*) Student of Criminal Law Department in University of North Sumatra

Universitas Sumatera Utara

(12)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pada tahun 2019, World Economic Forum menerbitkan hasil Global Risk Perception Survei untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang risiko yang paling berbahaya untuk masa depan manusia1. Risiko yang diukur ada lima jenis, yaitu ekonomi, lingkungan, geopolitik, sosial, dan teknologi. Selama tiga tahun berturut-turut, risiko lingkungan selalu menduduki tingkat teratas, baik dalam dampak kerusakan (impact) maupun terjadinya peluang (likelihood). Salah satu bentuk resiko yang membahayakan masa depan manusia adalah perdagangan satwa liar yang menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Walaupun keanekaragaman hayati Indonesia, khususnya flora dan fauna Indonesia yang luar biasa, mengundang perhatian dan kekaguman banyak pihak di seluruh dunia. Namun, eksploitasi yang tidak rasional akhirnya berujung pada terancamnya keberadaan spesies tersebut di alam2.

Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di kawasan tropis antara dua benua (Asia dan Australia) menyebabkan perbedaan tipe satwa di kawasan Barat, Tengah dan Timur Indonesia dan dua Samudera (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik) yang terdiri atas sekitar 17.500 pulau dengan panjang garis pantai sekitar 95.181 km3 atau setara 1,3% dari luas bumi,kondisi geografis tersebut menyebabkan Indonesia menjadi suatu Negara

1 World Economic Forum,The Global Risk Report 14th Edition ,Jenewa:WEF,hlm.6

2 Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional, 2008- 2018, hal.6

3 Yurizky, dkk.Persepsi Masyarakat Pesisir Dalam Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove Di Muara Gembong Bekasi Jawa Barat.Jurnal Perennial.Vol. 14 No. 2,2018: 78-85

Universitas Sumatera Utara

(13)

yang memiliki kekayaan sumber daya alam hayati yang tinggi. Hal tersebut merupakan karunia Allah S.W.T yang harus dikelola dengan bijaksana, sebab sumber daya alam memiliki keterbatasan penggunaan4. Sehingga, harus dilindungi, dipelihara, dilestarikan, dan dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan mutu kehidupan manusia pada umumnya menurut cara yang menjamin keserasian, keselarasan dan keseimbangan, baik antara manusia dengan Tuhan penciptanya, antara manusia dengan masyarakat maupun antara manusia dengan ekosistemnya.

Saat ini,jumlah jenis satwa liar Indonesia yang terancam punah menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature) adalah 184 jenis mamalia, 119 jenis burung, 32 jenis reptil, dan 32 jenis ampibi. Jumlah total spesies satwa Indonesia yang terancam punah dengan kategori kritis (critically endangered) ada 69 spesies, kategori endangered 197 spesies dan kategori rentan (vulnerable) ada 539 jenis5. Walau terancam punah karena kurangnya kesadaran dan kepedulian manusia terhadap lingkungan dan karena harganya yang tinggi menyebabkan transaksi dari perdagangan ini di pasar gelap mencapai 13 triliun rupiah setiap tahun menurut Wildlife Conservation Society Indonesia Program6 Dan hal ini menjadikan semakin lama segala kekayaan sumber daya alam yang ada di Indonesia akan menjadi hilang dan habis termasuk salah satunya satwa- satwa yang ada di Indonesia yang semakin lama akan menjadi punah. Sehingga tepatlah adagium Homo Homini Lupus yang menjadi faktor utama kepunahan satwa-satwa di dunia. Dengan potensi keuntungan finansial yang fantastis seperti

4 Supriadi, Hukum Lingkungan Indonesia, cet. Ke-2, Jakarta: Sinargrafika, 2008, hlm.95

5 IUCN. Membagi Beberapa Tipe Kepunahan Spesies. Diakses dari http://www.iucnredlist.org/, pada 29 Oktober 2020

6 World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, Memerangi Peredaran Ilegal Satwa Liar Dilindungi, Siaran Pers WWF bersama Badan Konservasi Sumber Daya Alam, 23 Mei 2016.

Universitas Sumatera Utara

(14)

3

yang disebut diatas sehingga banyak sekali masyarakat yang dengan sengaja memiliki, membunuh, memperniagakan satwa-satwa yang sudah jelas dilindungi hanya demi kepentingan pribadi manusia itu sendiri. Tingginya permintaan komersial dari produk-produk ilegal satwa mulai dari kulit, tulang, taring, serta daging mendorong meningkatnya perburuan satwa tersebut7.

Keuntungan finansial tersebut yang mendorong sikap batin pelaku tindak pidana perniagaan satwa liar untuk menangkap dan menjual kepada seorang yang berkeinginan memiliki satwa atau bagian tubuh satwa dilindungi tersebut yang akan memberikan keuntungan yang besar bagi dirinya sehingga manusia tak perduli apapun dilakukan olehnya dan juga tidak peduli apakah hewan tersebut sedang dalam kepunahan atau tidak. Perdagangan satwa liar terjadi apabila diawali dengan adanya penangkapan, pembunuhan, kepemilikan satwa dan perdagangan yang dalam hal ini semua terjadi karena masih adanya demand terhadap satwa tersebut. Kini perdagangan satwa liar menjadi ancaman yang serius bagi kelestarian satwa liar di Indonesia. Hal ini didasarkan pada laporan investigasi Majalah Tempo sejak 2017 hingga pertengahan tahun 2019, Kepolisian Republik Indonesia telah menangkap 796 penjual satwa ilegal dengan 15.640 satwa yang disita8Lebih dari 95% satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia. Sebanyak 40% satwa liar yang diperdagangkan mati akibat proses penangkapan yang

7 Departemen Kehutanan, Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2007-2017, (Jakarta: 2007), hlm. 1

8 Mustafa Moses, Jejak Transaksi di Taman Safari, Laporan Utama, Majalah Tempo, 6 April 2019 diakses 29 Oktober 2020

Universitas Sumatera Utara

(15)

menyakitkan, pengangkutan yang tidak memadai, kadang sempit dan makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan satwa 9

Padahal, manusia adalah makhluk Tuhan satu-satunya yang dipercaya sebagai khalifahNya yang diberi potensi untuk mengolah dan menata alam inidengan cara yang kreatif, produktif, konstruktif dan humanis. Dalam proses pengelolaan alam, diperlukan tindakan moral yang mutlak baik,agar tidak terjadi pembelokan dan justru perusakan yang menyengsarakan. Sebagai makhluk sosial, manusia sudah semestinya bertindak secara moral. Hubungan sosial, ekologis, kultural atau politik inilah yang meniscayakan manusia untuk bertindak secara moral. Tanpa adanya tatanan moral, sudah dapat dibayangkan hubungan- hubungan tersebut akan porak poranda dan hanya memberikan ketidaknyamanan kehidupan umat manusia.

Pertentangan-pertentangan sifat inilah kiranya menimbulkan paradoks dalam kehidupan manusia, sehingga tidaklah mengherankan, jika pada suatu waktu berbicara mengenai hak-hak asasi manusia, pada saat yang sama membicarakan tentang pembatasan hak-hak asasi tersebut. Hal ini bukan disebabkan karena kekhawatiran kalau hak-hak asasi tersebut dibatasi, melainkan justru disebabkan karena kebutuhan akan adanya pembatasan tersebut untuk menjaga keseimbangan ketertiban dalam suatu masyarakat10. Salah satu alat untuk mewujudkan ketertiban dalam suatu masyarakat adalah penegakan hukum.Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide serta

9 Fauna, Pro. 2010. Islam Peduli Terhadap Satwa. Malang: Pro Fauna,hlm.1

10 Edy Daminan,1970.The Rule of Law dan Praktek-Praktek Penahanan di Indonesia.Bandung:Alumni,hlm 87

Universitas Sumatera Utara

(16)

5

konsep (norma hukum) menjadi kenyataan11.Soerjono Soekanto menjabarkan lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum sebagai berikut12:

a. faktor hukum, yakni peraturan perundang - undangan.

b. faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

c. faktor sarana dan prasarana, yakni fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

d. faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

e. faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Dalam hal tindak pidana perdagangan satwa liar faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah faktor masyarakat dimana saat ini masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui apa saja aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan satwa-satwa apa saja yang dilindungi dan satwa-satwa apa saja yang tidak boleh diperdagangkan secara sembarangan tanpa izin. Namun, walau masyarakat tidak mengetahui aturan mengenai perdagangan satwa liar namun teori fiksi hukum berlaku dimana setiap orang dianggap mengetahui hukum.Dan menurut Van Hamel,suatu pidana itu dapat dibenarkan yaitu apabila pidana tersebut13:

a. Tujuannya adalah untuk menegakkan tertib hukum b. Diputuskan dalam batas-batas kebutuhan

11 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Cetakan ke-2, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011, hlm. 12

12 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Jakarta:

RajaGrafindo Persada,2010, hlm 8.

13 Lamintang. HukumPenintensier, Armico, Bandung:Alumni, 1984, hlm. 13

Universitas Sumatera Utara

(17)

c. Dapat mencegah kemungkinan dilakukannya kejahatan lain oleh pelakunya d. Dijatuhkan berdasarkan suatu penelitian yang tuntas menurut criminele

aetilogie dan dengan menghormati kepentingan yang sifat hakiki dari terpidana

Seperti pada putusan yang menjadi analisis skripsi ini, dimana pelaku tidak mengetahui bahwa hewan yang diperdagangkan termasuk dalam satwa yang dilindungi berdasarkan ketentuan peraturan perundang - undangan. Hewan yang diperdagangkan adalah Belangkas. Oleh karena itu, hal seperti di ataslah yang melatar belakangi penulisan skripsi ini. Dimana dalam skripsi ini saya akan membahas masalah ketentuan pidana pemeliharaan satwa dilindungi yang di kaji dengan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, dan juga beberapa pengaturan lain yang berkaitan dengan perlindungan satwa, termasuk juga penerapannya melalui putusan Nomor 145/Pid.B/L.H/2020/PN Mdn dan pengaturannya pada Racangan Undang - Undang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan tindak pidana perdagangan satwa yang dilindungi?

2. Bagaimana analisis hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan satwa yang dilindungi berdasarkan putusan Nomor 151/Pid.B/2013/PN-TTD dan Putusan Nomor 145/Pid.B/L.H/2020/PN Mdn?

Universitas Sumatera Utara

(18)

7

3. Bagaimana urgensi pembentukan Rancangan Undang - Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

i. Untuk mengetahui aturan pidana terhadap perdagangan satwa dilindungi.

ii. Untuk mengetahui penerapan teori pemidaan yang terkait dengan tindak pidana perdangan terhadap satwa yang dilindungi pada putusan Nomor 145/Pid.B/L.H/2020/PN Mdn

iii. Untuk mengetahui pengaturan tentang Keragaman Hayati dan Ekosistemnya baik secara ius constitum maupun ius constituendum 2. Manfaat Penelitian

i. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan yang terkait terhadap satwa dilindungi dan menambah wawasan yang sangat luas terhadap satwa-satwa dilindungi.

ii. Manfaat Praktis

a. Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan baik bagi masyarakat, mahasiswa, Lembaga pemerintah dan sebagainya dalam melakukan penelitian yang berhubungan dengan tindak pidana perniagaan satwa yang dilindungi tanpa memiliki ijin.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang satwa- satwa apa saja yang tidak dapat dipelihara sembarangan tanpa memiliki ijin khusus telebih dahulu.

Universitas Sumatera Utara

(19)

c. Penelitian ini sangat diharapkan dapat memberikan informasi tentang pentingnya melindungi, menjaga dan melestarikan satwa yang dilindungi dan memberi masukan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk saling menjaga kelestarian sumber daya alam dan ekosistemnya demi terjaganya satwa dari ancaman kepunahan

D. Keaslian Penulisan

Keaslian dari penulisan skripsi ini merupakan hasil dari penelitian penulis.

Penelitian ini dilakukan peneliti dengan mengambil panduan dari beberapa buku- buku dan sumber lainnya yang terdapat hubungan dengan judul skripsi. Bahwa skripsi dengan judul:

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN BELANGKAS (TACHYPLEUS GIGAS) SEBAGAI SATWA LIAR YANG DILINDUNGI DAN RELEVANSINYA DENGAN TUJUAN PEMIDANAAN (STUDI PUTUSAN NO.151/PID.B/2013/PN-TTD DAN PUTUSAN NO.145/PID.B/LH/2020/PN.MDN) dan telah dilakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pusat Dokumentasi dan Informasi hukum/perpustakaan Universitas cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat tertanggal 29 September 2020 yang menyatakan bahwa “tidak ada judul yang sama”.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran peneliti yang didasarkan pada pengertian, teori-teori, dan aturan hukum yang berlaku dan diperoleh dari referensi buku, media elektronik, juga melalui bantuan berbagai pihak.Oleh karena itu penulisan skripsi ini asli dan dapat dipertanggung

Universitas Sumatera Utara

(20)

9

jawabkan secara moral dan akademik. Apabila dikemudian hari terdapat judul yang sama atau sudah pernah ditulis, maka peneliti bertanggung jawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Hukum Pidana

Istilah Pidana berasal dari bahasa Hindu Jawa yang artinya Hukuman, nestapa atau sedih hati, dalam bahasa Belanda disebut straf. Jadi Hukum Pidana sebagai terjemahan dari bahasa belanda strafrecht adalah semua aturan yang mempunyai perintah dan larangan yang memakai ancaman pidana bagi mereka yang melanggarnya14

Sedangkan menurut Moeljatno, Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan Hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar- dasar dan aturan-aturan untuk15:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

14 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 1992, hlm.114

15 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008, hlm. 1

Universitas Sumatera Utara

(21)

Namun, istilah Hukum Pidana merupakan istilah yang mempunyai lebih daripada satu pengertian, maka dapat dimengerti bahwa tidak ada satupun rumusan diantara rumusan-rumusan yang ada, yang dapat dianggap sebagai

rumusan yang sempurna yang dapat diberlakukan secara umum16 Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan diatas hukum pidana sangat berperan dalam pengaturan masyarakat agar tertib hukum. Sanksi yang dimuat dalam hukum pidana dianggap sudah sesuai agar masyarakat takut untuk melakukan tindak pidana.

2. Tindak Pidana

a) Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaarfeit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda maupun berdasarkan asas konkordasi istilah tersebut juga berlaku pada WvS Hindia Belanda (KUHP). Tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan istilah itu, namun hingga saat ini belum ada keseragaman pendapat tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit17

Beberapa ahli mengemukakan pendapat mengenai pengertian dari tindak pidana, diantaranya sebagai berikut18:

a. D. Simons

16 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 1

17 Adami Chazawi, 2007, Pelajaran Hukum Pidana II, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.67

18 Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang: UMM Press, 2008), hlm. 102

Universitas Sumatera Utara

(22)

11

Menurut Simons, tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan dan yang oleh Undang- Undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Dengan batasan seperti ini, maka menurut Simons untuk adanya suatu tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

i. Perbuatan manusia, baik dalam pengertian arti perbuatan positif (berbuat) maupun negatif (tidak berbuat).

ii. Diancam dengan pidana iii. Melawan hukum

iv. Dilakukan dengan kesalahan

v. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab.

b. J. Bauman

Menurut J. Bauman, perbuatan/tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.

c. Wirdjono Prodjodikoro

Menurut beliau, tindak pdana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.

d. Simons

Sedangkan menurut Simons tindak pidana dirumuskan sebagai berikut19: i. Diancam dengan pidana oleh hukum

ii. Bertentangan dengan hukum

19 Andi Hamzah, Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004, hlm. 88

Universitas Sumatera Utara

(23)

iii. Dilakukan oleh orang yang bersalah

iv. Orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya.

b) Unsur Tindak Pidana

Menurut Lamintang, tindak pidana dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan unsurunsurnya menjadi 2 (dua) macam, yaitu unsur-unsur subjektif dan objektif. Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan pada diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaankeadaan mana tindakan dari si pembuat itu harus dilakukan20

Unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah21:

i. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa dan dolus).

ii. Maksud dan voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.

iii. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.

iv. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachteraad seperti misalnya dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.

20 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,.

Bandung, 1997, hlm.184

21 Ibid

Universitas Sumatera Utara

(24)

13

v. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat didalam rumusan tindak pidana pembuangan bayi menurut Pasal 308 KUHP.

Sedangkan unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah:

i. Sifat melanggar hukum.

ii. Kualitas si pelaku.

iii. Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat

3. Pemidanaan a) Pemidanaan

Pemidanaan merupakan bagian terpenting dalam hukum pidana, karena merupakan puncak dari seluruh proses pertanggungjawaban seorang yang telah bersalah melakukan tindak pidana. Hukum pidana tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa adanya akibat terhadap pengenaan pidana dan proses pelaksanaannya. Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penerapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. kata “pidana”

pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai hukuman. Doktrin membedakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil. J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut sebagai berikut22:

Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut- turt, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil

22 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Bandung: Sinar Grafika, 2005), hlm. 7

Universitas Sumatera Utara

(25)

mengatur cara bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tertib yang harus diperhatikan pada kesempatan itu.

Pemberian pidana atau pemidanaan dapat benar-benar terwujud apabila melihat tahap perencanaan sebagai berikut:

1. Pemberian pidana oleh pembuat undang - undang;

2. Pemberian pidana oleh badan yang berwenang;

3. Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.

Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan pidana dan tahap pemberian pidana. Sudarto menyatakan bahwa pemberian pidana itu mempunyai dua arti, yaitu:

1. Dalam arti umum ialah yang menyangkut pembentuk undang - undang, ialah yang menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana in abstracto) ;

2. Dalam arti konkrit, ialah yang meyangkut berbagai badan atau jawatanyang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu (pemberian pidana ini concreto)

b) Jenis Pemidanaan

Pemidanaan terdiri dari beberapa jenis. Jenis-jenis pemidanaan ini diaturdalam Pasal 10 KUHP yakni antara lain sebagai berikut:

1. Pidana Pokok yaitu: Pidana Mati, Pidana Penjara, Pidana Kurungan dan Pidana Denda

2. Pidana Tambahan, yakni : Pencabutan hak-hak tertentu, Perampasan barang-barang tertentu, dan Pengumuman putusan hakim.

Universitas Sumatera Utara

(26)

15

Menurut Tolib Setiady, perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan adalah sebagai berikut:23

i. Pidana tambahan hanya dapat ditambahkan kepada pidana pokok, kecuali dalam hal perampasan barang-barang tertentu terhadap anak- anak yang diserahkan kepada pemerintah. (pidana tambahan ini ditambahkan bukan kepada pidana pokok melainkan pada tindakan) ii. Pidana tambahan tidak mempunyai keharusan sebagaimana halnya

pidana pokok, sehingga sifat dari pidana tambahan itu adalah fakultatif (artinya bisa dijatuhkan maupun tidak. Hal ini dikecualikan terhadap kejahatan sebagaimana tesebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan).

c) Teori Pemidanaan

Teori pemidanaan berkembang mengikuti kehidupan masyarakat sebagai reaksi yang timbul dari berkembangnya kejahatan itu sendiri yang mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa. Dalam dunia ilmu hukum pidana ada beberapa teori pemidanaan yaitu:

1. Teori Retributif

Teori ini berfokus pada hukuman/pemidanaan sebagai suatu tuntutan mutlak untuk mengadakan pembalasan (vergelding) terhadap orang-orang yang telah melakukan perbuatan jahat. Teori ini ada dua corak, yaitu corak subjektif (subjective vergelding) yaitu pembalasan langsung ditujukan kepada kesalahan

23 Tolib Setiady, Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 77

Universitas Sumatera Utara

(27)

si pembuat; kedua adalah corak objektif, yaitu pembalasan ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan oleh orang yang bersangkutan24.

2. Teori Deterrence (Teori Pencegahan)

Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect ini, dapat dibagi menjadi:

penjeraan umum (general deterrence) dan penjeraan khusus (individual or special deterrence), sebagaimana yang dikemukan oleh Bentham bahwa:

“Determent is equally applicable to the situation of the already-punished delinquent and that of other persons at large, distinguishes particular prevention which applies to the delinquent himself; and general prevention which is applicable to all members of the comunity without exception.”

Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan memberikan peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan, sedangkan untuk prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali.

3. Teori Treatment (Teori Pembinaan/Perawatan)

Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.

Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan

24 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus, PT. Alumni, Bandung, 2012, hlm. 54

Universitas Sumatera Utara

(28)

17

adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation)25

4. Teori Social Defence (Teori Perlindungan Masyarakat)

Teori ini berkambang dari teori “bio-sosiologis” oleh Ferri. Pandangan ini juga diterima dan digunakan oleh Union Internationale de Droit Penal atau Internationale Kriminalistische Vereinigung (IKU) atau Internationale Association For Criminology (berdiri 1 Januai 1889) yang didirkan dan dipimpin oleh Adolphe Prins, Geradus Antonius van Hamel, dan Franz van Liszt. Tokoh tersebut menerima dan mengakui kebenaran dan keabsahan temuan-temuan hasil studi antropologi dan sosiologis terhadap fenomena kejahatan. Mereka juga mengakui bahwa pidana adalah salah satu alat yang paling ampuh untuk memerangi kejahatan. Namun sanksi pidana bukanlah satu-satunya alat untuk melawan kejahatan, pidana harus dipadukan dengan kebijakan sosial, khususnya dengan tindakan-tindakan preventif26 Secara tradisional, teori tentang pemidanaan dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu teori absolut dan teori relatif. Namun dalam perkembangannya muncul teori ketiga yang merupakan gabungan dari kedua teori diatas, yang dikenal dengan teori gabungan.

Jadi pada umumnya teori pemidanaan itu dibagi ke dalam tiga kelompok teori, yaitu:

1. Teori Absolut atau Teori pembalasan (Vergeldings Theorien)

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana. Teori ini diperkenalkan oleh

25 Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm.59.

26 Ibid, hlm.70.

Universitas Sumatera Utara

(29)

Kent dan Hegel. Teori Absolut didasarkan pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, dengan kata lain hakikat pidana adalah pembalasan (revegen). Sebagaimana yang dinyatakan Muladi bahwa27:

“Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.”

2. Teori Relatif atau Tujuan (Doel Theorien)

Teori relatif atau teori tujuan, berpokok pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Teori ini berbeda dengan teori absolut, dasar pemikirannya adalah penjatuhan pidana mempunyai tujuan untuk memperbaiki sikap mental atau membuat pelaku pidana tidak berbahaya lagi, dibutuhkan proses pembinaan sikap mental. Menurut Muladi tentang teori ini bahwa28:

“Pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat

27 Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta,, 2007, hlm. 11

28 Zainal Abidin, op.cit, hlm. 11

Universitas Sumatera Utara

(30)

19

menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan.”

Teori ini menunjukkan tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus (speciale preventie) yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum (general preventie) yang ditujukan ke masyarakat. Teori relatif ini berasas pada tiga tujuan utama pemidanaan yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan preventif (prevention) untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan, baik bagi individual pelaku agar tidak mengulangi perbuatanya, maupun bagi publik sebagai langkah panjang. Sedangkan tujuan perubahan (reformation) untuk mengubah sifat jahat si pelaku dengan dilakukannya pembinaan dan pengawasan, sehingga nantinya dapat kembali melanjutkan kebiasaan hidupnya sehari-hari sebagai manusia yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat.

3. Teori Gabungan/Modern (Vereningings Theorien)

Teori gabungan atau teori modern menyatakan bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip- prinsip relatif (tujuan) dan absolut (pembalasan) sebagai satu kesatuan.

Teori ini mengandung karakter pembalasan sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah.

Sedangkan karakter tujuannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik

Universitas Sumatera Utara

(31)

moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Teori ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hammel, Van List dengan pandangan sebagai berikut29:

i. Tujuan terpenting pidana adalah membrantas kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat.

ii. Ilmu hukum pidana dan perundang - undangan pidana harus memperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologis.

iii. Pidana ialah suatu dari yang paling efektif yang dapat digunakan pemerintah untuk memberantas kejahatan. Pidana bukanlah satu- satunya sarana, oleh karena itu pidana tidak boleh digunakan tersendiri akan tetapi harus digunakan dalam bentuk kombinasi dengan upaya sosialnya.

Pandangan diatas menunjukkan bahwa teori ini mensyaratkan agar pemidanaan itu memberikan penderitaan jasmani juga psikologi dan yang terpenting adalah memberikan pemidanaan dan pendidikan. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pemidanaan, yaitu dikehendakinya suatu perbaikan dalam diri manusia atau yang melakukan kejahatan terutama dalam delik ringan. Sedangkan untuk delik-delik tertentu yang dianggap dapat merusak kehidupan sosial dan masyarakat, dan dipandang bahwa penjahat-penjahat tersebut sudah tidak bisa lagi diperbaiki, maka sifat penjeraan atau pembalasan dari suatu pemidanaan tidak dapat dihindari.

d) Politik Hukum

29Djoko Prakoso, Surat Dakwaan, Tuntutan Pidana dan Eksaminasi Perkara di Dalam Proses Pidana, Liberty, Yogyakarta, hlm. 47.

Universitas Sumatera Utara

(32)

21

Menurut Soedarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturanperaturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Secara mendalam dikemukakan juga bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui alat-alat perlengkapannya yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dalam rangka mencapai apa yang dicita-citakan30.Mahfud M.D., juga memberikan definisi politik hukum sebagai kebijakan mengenai hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Hal ini juga mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Dalam konteks ini hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal- pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataannya bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materinya (pasal-pasal), maupun dalam penegakannya31. F. Metode Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini membutuhkan data-data yang relevan. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, diterapkan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian dalam penulisan skripsi ini merupakan penelitian yang menggunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) atau

30 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2008, halaman 78-79

31 Ibid,hlm.66

Universitas Sumatera Utara

(33)

dimaksud sebagai penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan perundang - undangan, melakukan penelitian kepustakaan dengan mengumpulkan berbagai literatur yang berkenaan dengan permasalahan yang dimuat dalam skripsi ini. Dalam skripsi ini juga dilakukan penelitian terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri Sibolga yang bertujuan untuk mengetahui kesesuaian hukum terhadap penerapan hukumnya dalam kasus tindak pidana pemeliharaan satwa yang dilindungi.

2. Sumber Data

Data yang digunakan di dalam penulisan skripsi ini berupa data sekunder. Data sekunder ini diperoleh dari:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu dokumen-dokumen yang bersifat mengikat dan ditetapkan oleh pembentuk undang - undang yaitu berupa peraturan perundang - undangan seperti undang - undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu dokumen yang merupakan hasil kajian yang memberi informasi dan penjelasan tentang ketentuan hukum yang ditetapkan kepada pelaku tindak pidana pemeliharaan satwa dilindungi antara lain kasus di Pengadilan Negeri Medan dengan Putusan Nomor 145/Pid.B/LH/2020/PN Mdn, buku-buku, jurnal, internet dan lain sebagainya yang berkenaan dengan masalah penulisan skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara

(34)

23

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terbagi ke dalam 5 (lima) bab dimana akan diketahui secara garis besar isi skripsi ini melalui bagian bab tersebut.. Adapun gambaran isi dari skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi uraian latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, Keaslian Penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, serta sistematika penelitian.

BAB II PENGATURAN SANKSI PIDANA YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA TERHADAP SATWA DILINDUNGI

Bab ini membahas mengenai peraturan hukum menurut Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

BAB III ANALISIS HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN SATWA YANG DILINDUNGI BERDASARKAN PUTUSAN NOMOR 151/PID.B/2013/PN-TTD DAN PUTUSAN NOMOR 145/PID.B/L.H/2020/P.N MDN

Bab ini membahas mengenai Studi Kasus Putusan Nomor 151/PID.B/2013/PN-TTD dan Putusan Nomor 145/PID.B/L.H/2020/P.N MDN

Universitas Sumatera Utara

(35)

BAB IV PENGATURAN TINDAK PIDANA PERNIAGAAN SATWA LIAR DALAM RANCANGAN UNDANG - UNDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

Bab ini membahas tentang Urgensi Pembentukan Rancangan Undang - Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Analisis Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan bagian penutup dari isi skripsi ini, yang akan mengemukakan kesimpulan dan saran yang didapat dalam penulisan skripsi ini mulai dari awal hingga akhir.

Demikian gambaran isi dari skripsi ini. Untuk melengkapi pada bagian akhirnya, peneliti akan menambahkan daftar kepustakaan dan lampiran yang dianggap perlu pada skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara

(36)

25 BAB II

PENGATURAN SANKSI PIDANA YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA TERHADAP SATWA DILINDUNGI

Dalam pengaturan sanksi pidana, ancaman sanksi pidana konservasi bukan saja berfungsi sebagai alat pemaksa agar orang tidak melakukan tindak pidana konservasi, tetapi juga sebagai rekayasa sosial (social engineering) agar semua pihak melindungi keanekaragaman hayati dan pengetahuan tradisional terkait konservasi keanekaragaman hayati yang ada dalam masyarakat. Satjipto Rahardjo berpendapat, bahwa hukum tidak dipahami sebagai suatu institusi yang esoterik dan otonom, melainkan berada dan sebagai bagian dari proses sosal yang lebih besar.32

Dikatakannya pula bahwa, hukum senantiasa memiliki struktur sosialnya sendiri. Hukum senantiasa ditempatkan dalam konteks kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakatnya33. Dengan demikian, maka penjatuhan sanksi pidana menjadi parameter keadilan dalam mengadili pelanggaran hukum dan sebagai alat untuk membangun kefahaman dan kesadaran masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan konservasi keanekaragaman hayati khususnya dalam perlindungan satwa liar. Untuk itu Indonesia telah membuat beberapa aturan-aturan hukum terkait perlindungan terhadap satwa dilindungi dari tindak pidana terhadap satwa dilindungi tersebut, yaitu sebagai berikut:

32 Anwar, Yesmil dan Adang, 2008. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta:

Grasindo.hlm.104 33 Ibid,104

Universitas Sumatera Utara

(37)

A. Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya

Undang - Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekoistemnya merupakan Undang - Undang yang terdiri dari 14 Bab dan 45 Ayat yang menjelaskan tentang perlindungan terhadap tumbuhan dan satwa dilindungi dan terhadap habitat satwa tersebut.

Dalam Undang - Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ini, petama sekali dijelaskan mengenai pengertian dari istilah satwa dan satwa liar yang diatur dalam Pasal 1 butir 5 dan butir 7. Pasal 1 butir 5 terlebih dahulu mejelaskan makna atwa, yang menyebutkan bahwa Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat dan/atau di air, dan/atau di udara.

Pasal 7 menyebutkan Satwa Liar adalah semua binatang yang hidup di darat dan/atau di air, dan/atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. Pembatasan pengertian tentang satwa liar dalam Pasal 1 butir 7 ini terjadi, yang menyebutkan bahwa ikan dan ternak tidak termasuk di dalam penngertian satwa liar, tetapi termasuk ke dalam pengertian satwa.

Di dalam Undang - Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ini kemudian menjelaskan bahwa ada beberapa perbuatan yang dilarang untuk dilakukan. Hal ini terdapat dalam beberapa pasal, yaitu:

Pasal 19

Universitas Sumatera Utara

(38)

27

(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) tidak termasuk kegiatan pembinaan Habitat untuk kepentingan satwa di dalam suaka marga satwa.

(3) Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.

Pasal 21

1. Setiap orang dilarang untuk:

a. Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;

b. Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ketempat lain di dalam atau di luar negeri.

2. Setiap orang dilarang untuk:

a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;

Universitas Sumatera Utara

(39)

b. Menyimpan, memliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;

c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar indonesia;

d. Memperniagakan, menyimpan, atau memiliki kulit, tubuh atau bagian- bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

e. Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.

Pasal 33

a. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti tanaman nasional.

b. Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luar zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.

c. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

Universitas Sumatera Utara

(40)

29

Berdasarkan uraian pasal-pasal di atas yang seluruhnya menjelaskan perbuatan-perbuatan yang dianggap suatu tindak pidana. Namun dapat dilihat bahwa khusus untuk tindak pidana perlindungan satwa dituangkan langsung dalam Pasal 21 Ayat 2, dimana pasal ini menyebutkan bahwa terdapat 5 (lima) bentuk perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana perlindungan satwa, yaitu:

“Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup”

Dari pernyataan tersebut dapat diamati bahwa menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa menjadi suatu perbuatan yang mempunyai pengaruh besar terhadap punahnya satwa yang lebih besar daripada perbuatan lain, karena jelas bahwa perbuatan di atas merupakan perbuatan yang langsung bekenaan kepada satwa dilindungi tersebut.

Perbuatan-perbuatan tersebut saling berkaitan. Adanya kegiatan perdagangan menjadikan timbulnya tindakan untuk menangkap (berburu) yang menyebabkan adanya tindakan untuk membunuh, menyimpan, yang juga hal tersebut timbul dikarenakan masih banyaknya permintaan untuk memiliki bagian-bagian tubuh satwa yang langka serta permintaan untuk dapat memelihara satwa meski sudah langka dengan disertai dengan laba atau keuntungan yang besar. Hal tersebut jelas menimbulkan rangsangan bagi para pelaku tindak pidana terhadap satwa dilindungi untuk terus melakukan perbuatannya.

Universitas Sumatera Utara

(41)

Terhadap perbuatan menangkap, menyimpan, memiliki, dan memelihara dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan saja, berbeda dengan menangkap yang jelas bahwa tujuannya adalah untuk memperdagangkan satwa tersebut demi mendapat keuntungan dan kesenangan pribadi.

Dapat dijelaskan dalam hal ini bahwa menangkap satwa juga tidak semua dapat dijatuhi hukuman pidana, seperti:

(1) Seekor satwa dalam keadaan sakit atau luka ditangkap semata-mata hanya untuk diobati dan dilindungi;

(2) Mengangkut satwa yang sedang dalam keadaan tidak dapat terbang dengan maksud untuk menyelamatkan satwa tersebut, misalnya seekor burung yang sayapnya terkena air atau oli dan minyak yang membuat burung tersebut tidak dapat terbang.

Dalam hal ini dapat dilihat bahwa perbuatan tersebut di atas apabila dilakukan tidak dapat dipersalahkan. Terhadap tindakan pengecualian seperti di atas juga di jelaskan di dalam Pasal 22 yang mengatur pengecualian sebagai berikut:

Pasal 22

(1) Pengecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang bersangkutan.

(2) Termasuk dalam penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri dengan izin Pemerintah.

Universitas Sumatera Utara

(42)

31

(3) Pengecualian dari larangan menangkap, melukai dan membunuh satwa yang dilindungi dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena suatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan kehidupan manusia.

(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana satwa liar yang dilindungi tercantum di dalam pasal 40 Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1990, yaitu34 : a. Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Satwa

i. Pasal 40 ayat (1) yang menyebutkan bahwa :

“Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”

ii. Pasal 40 ayat (2) yang menyebutkan bahwa :

“Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.00,00 (seratus juta rupiah)”.

b. Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pelanggaran Satwa i. Pasal 40 ayat (3) yang menyatakan bahwa :

34 Nanda P Nababan, Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Satwa Liar Yang Dilindungi, Jurnal Hukum, hlm 10

Universitas Sumatera Utara

(43)

“Barang siapa karena karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

ii. Pasal 40 ayat (4) yang menyatakan bahwa :

“Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

B. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 ini adalah peraturan lebih lanjut dari Undang - Undang No. 5 tahun 1990. Akan tetapi dalam Peraturan Pemerintah ini tidak ada aturan yang mengatur mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang untuk dilakukan oleh manusia terhadap satwa yang dilindungi.

Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 ini lebih kepada pengaturan mengenai jenis-jenis satwa yang dilindungi saja. Selain itu Peraturan ini juga mengatur perizinan melakukan persangkutan dan pengiriman satwa-satwa tersebut.

Pengaturan terhadap jenis-jenis satwa dilindungi ditetapkan dalam Pasal 5 mengenai kriteria penggolongan jenis satwa yang dilindungi. Kriteria yang

Universitas Sumatera Utara

(44)

33

dimaksud terhadap penetapan satwa dan tumbuhan sebagai golongan dilindungi terdapat dalam ayat (1) yaitu :

(1) Mempunyai populasi yang kecil;

(2) Adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam;

(3) Daerah penyebaran yang terbatas (endemik).

Apabila dijelaskan, maka maksud dari poin-poin tentang kriteria di atas adalah sebagai berikut:

a. Mempunyai populasi yang kecil.

Dalam hal ini suatu populasi dikatakan mempunyai populasi kecil apabila telah memenuhi paling tidak salah satu dari ciri-ciri sebagai berikut:

1. Berdasarkan observasi, dugaan, maupun proyeksi adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu dan luas, serta kualitas habitat.

2. Setiap sub populasi jumlahnya kecil;

3. Mayoritas individu dalam satu atau lebih fase sejarah hidupnya pernah terkonsentrasi hanya pada satu sub-populasi saja;

4. Dalam waktu yang pendek pernah mengalami fluktuasi yang tajam pada jumlah individu;

5. Karena sifat biologis dan tingkah laku jenis tersebut seperti migrasi, jenis tersebut rentan terhadap bahaya kepunahan

b. Adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam.

Terhadap penurunan tajam yang terjadi pada individu di alam dapat diketahui dengan berdasarkan pada:

1. Observasi, dimana saat ini sedang terjadi penurunan tajam atau terjadi di waktu yang telah lampau namun ada potensi untuk terjadi kembali; atau

Universitas Sumatera Utara

Referensi

Dokumen terkait

Rumusan masalah tersebut dikaji dengan menggunakan data-data kepustakaan atau sekunder atau dengan metode penelitian normatif yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan dan

memperoleh kompensasi atas kerugian yang diderita maka konsumen dapat menuntut pertanggungjawaban secara perdata kepada pelaku usaha. Terdapat dua bentuk pertanggungjawaban

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyelesaian kredit yang mengalami kemacetan pada Kredit Usaha Rakyat di PT.Bank Rakyat Indonesia Cabang Kota Binjai

Dalam UU Nomor 5 Tahun 1999, kartel adalah apabila pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan

Menimbang, bahwa terhadap pembelaan yang disampaikan oleh Terdakwa dan Penasehat Hukumnya, yang mana sebagimana pertimbangan Majelis Hakim tersebut di atas dimana

Meskipun hak ulayat diatur dalam UUPA, pihak Keraton tidak memilih status hak ulayat sebab melalui hak ulayat Keraton hanya bisa memberikan tanah dalam jangka waktu tertentu

Meskipun Koperasi Kredit Harapan Kita Kota Medan adalah Koperasi yang masih menimbulkan faktor kekeluargaan, Koperasi Harapan Kita Kota Medan lebih ,mengambil

Adapun yang menjadi rumusan masalah penulisan ini adalah bagaimana pengetahuan tradisional dalam pengaturan Hak Kekayaan Intelektual, bagaimana pengaturan mengenai