• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh: ARTANTA MELIANI SITEPU NIM:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh: ARTANTA MELIANI SITEPU NIM:"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (STUDI PUTUSAN NO.

11/PID.SUS-ANAK/2016/PN LGS DAN PUTUSAN NO. 7/PID.SUS-ANAK/ 2015/ PN KBJ)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

ARTANTA MELIANI SITEPU NIM: 160200348

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Artanta Meliani Sitepu

Nim : 160200348

Judul Skripsi : “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (STUDI PUTUSAN NO.

11/PID.SUS-ANAK/2016/PN.LGS DAN PUTUSAN NO. 7/PID.SUS- ANAK/2015/PN KBJ)”

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar merupakan hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan asli dari saya sendiri, bebas dari peniruan terhadap karya orang lain. Kutipan pendapat dan tulisan orang lain saya akan mencantumkan sumber yang jelas dan ditulis sesuai dengan cara-cara penulisan karya ilmiah yang berlaku.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, dan bentuk-bentuk peniruan lain yang dianggap melanggar peraturan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Medan, Juni 2020 Yang Membuat Pernyataan

(Artanta Meliani Sitepu

(4)

i

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan kasih karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Menjadi suatu kewajiban bagi setiap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk menyusun dan menyelesaikan suatu skripsi, dan untuk itu penulis menyusun suatu skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Putusan No.11/Pid.Sus-Anak/2016/Pn Lgs Dan PutusanNo. 7/Pid.Sus-Anak/ 2015/

Pn Kbj)”.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikhlas memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan oleh penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan dorongan moril maupun materil kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Ok. Saidin, S.H. M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan II

(5)

ii

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus Dosen Pembimbing I Penulis yang telah mengajar dan bersedia meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini;

6. Ibu Liza Erwina, S.H. M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Ibu Dr. Marlina, S.H. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang juga dengan tulus telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan memberikan masukan serta nasehat kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi;

8. Ibu Prof. Dr. Ningrum, S.H. M.LI, selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis yang membantu menyelesaikan studi penulis;

9. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak Ilmu Pengetahuan Hukum dan mendidik penulis selama di nbangku perkuliahan;

10. Terima kasih buat orang tua penulis Ruslan Sitepu S.Pd. M.M dan Masnah Sembiring yang terus memberikan dukungan baik secara moril maupun materil dan kasih sayang serta semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(6)

iii

11. Terimakasih untuk kakak penulis Perwita Sari Sitepu S.Pd dan abang penulis Perista Elyas Sitepu S.Pd yang selalu memberikan dukungan penuh selama proses penulisan skripsi ini dan semasa perkuliahan;

12. Untuk Tim seperjuangan „Tolak Bala‟, Saroh yeobo, Anesa xiaobo, Makjun, dan Olipe yang telah mewarnai dunia perkampusan selama perkuliahan;

13. Untuk teman-temanku “Skripsi Pasti Mantap Club” dan Kelompok klinis Anesa, Sarah, Olivia, Theresia, David, Juanda, Ishak serta Emmiya dan lain lain, yang selalu sediakan waktunya untuk mengerjakan skripsi bersama.

14. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu yang telah turut andil, mendukung, serta membantu penulis mengerjakan skripsi ini.

Demikianlah yang dapat Penulis sampaikan, akhir kata dengan segenap kerendahan hati Penulis mengharapkan agar skripsi ini dapat berguna bagi dan bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2020 Hormat Penulis

Artanta Meliani Sitepu 160200348

(7)

iv

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (STUDI PUTUSAN NO. 11/PID.SUS ANAK/2016/PN LGS DAN PUTUSAN NO. 7/PID.SUS-ANAK/ 2015/ PN KBJ)

ABSTRAK

Artanta Meliani Sitepu, M. Hamdan, Marlina*

Tindak pidana pembunuhan dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk juga oleh seorang anak. Anak yang telah melakukan tindak pidana akan dijatuhi tindakan hukum atau sanksi hukum, dimana dalam tindakan hukum tersebut anak pelaku tindak pidana harus diberikan perlindungan hukum. Proses peradilan pidana anak harus mengedepankan hak-hak anak serta mempertimbangkan putusan sebaik-baiknya agar tidak merusak masa depan anak. Skripsi ini membahas permasalahan mengenai pertanggung jawaban pidana terhadap anak pelaku tindak pidana pembunuhan dalam Putusan Nomor No.11/Pid.Sus- Anak/2016/Pn Lgs Dan Putusan No. 7/Pid.Sus-Anak/ 2015/ Pn Kbj. Berdasarkan pertimbangan hakim untuk anak M. Ridwan dan Andika sebagai pelaku tindak pidana pembunuhan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya hakim menjatuhi hukuman berupa pidana penjara. Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu suatu metode yang digunakan untuk mengkaji/menganalisis data yang berupa bahan-bahan hukum terutama bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan materi yang dibahas. Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa penerapan ketentuan hukum pidana terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh anak telah sesuai dengan fakta-fakta hukum baik keterangan para saksi, ahli dan keterangan terdakwa dan terdakwa dianggap sehat jasmani dan rohani sehingga dianggap mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sanksi pidana yang diberikan Hakim kepada terdakwa anak sesuai Pasal 340 KUHP Jo Undang- Undang RI No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Putusan Nomor No.11/Pid.Sus-Anak/2016/Pn Lgs dan Pasal 340 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Undang-Undang RI No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Putusan No. 7/Pid.Sus-Anak/ 2015/ Pn Kbj sudah tepat. Dimana mengingat anak yang telah mencapai umur 14 (empat belas) tahun dapat dijatuhi pidana dengan dikurangi ½ (satu per dua) dari maksimum pidana bagi orang dewasa.

Kata Kunci:

Anak, Tindak Pidana Pembunuhan, Pertanggungjawaban Pidana

*Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan Indonesia

(8)

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 8

1. Pertanggungjawaban Pidana ... 8

2. Pengertian Anak ... 11

3. Unsur-unsur Tindak Pidana... 13

4. Tindak Pidana Pembunuhan ... 15

F. Metode Penelitian... 17

G. Sistematika Penulisan... 20

BAB II. PENGATURAN HUKUM ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA A. Pengaturan hukum anak sebagai pelaku tindak pidana menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ... 22

B. Pengaturan hukum Penjatuhan sanksi terhadap anak pelaku tindak pidana menurut Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak... 35

C. Perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan anak ... 40

BAB III. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN A. Latar belakang penyebab terjadinya tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh anak ... 48

B. Pertanggungjawaban Pidana Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana pembunuhan ... 55

(9)

vi

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM PUTUSAN NO. 11/PID.SUS- ANAK/2016/PN.LGS DAN PUTUSAN NO. 7/PID.SUS- ANAK/2015/PN.KBJ

A. Putusan No. 11/PID.SUS-ANAK/2016/PN.LGS ... 65

a. Kasus Posisi ... 65

b. Dakwaan ... 68

c. Tuntutan ... 68

d. Fakta Hukum ... 69

e. Dasar Pertimbangan Hakim ... 71

f. Putusan Hakim ... 77

g. Analisis Kasus. ... 78

B. Putusan No. 7/PID.SUS-ANAK/2015/PN.KBJ ... 83

a. Kasus Posisi……… ... 83

b. Dakwaan ... 85

c. Tuntutan ... 85

d. Fakta Hukum ... 96

e. Dasar Pertimbangan Hakim ... 88

f. Putusan Hakim ... 93

g. Analisis Kasus ... 94

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan... 99

B. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 102 LAMPIRAN

(10)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum (rechtstaat), bukan Negara yang berdasarkan atas kekuasaan (machtstaat). Hal ini disebutkan dalam Pasal 1 ayat ( 3) Undang –Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang rumusannya “Negara Indonesia adalah negara hukum”.1

Hukum memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yaitu sebagai alat untuk menciptakan keadilan, keteraturan, ketentraman dan ketertiban serta memberikan kepastian hukum. Namun dewasa ini pola tingkah laku manusia semakin menyimpang dan tidak sesuai dengan norma yang berlaku dimasyarakat dan berujung terjadinya suatu pelanggaran bahkan kejahatan.2

Kejahatan di Indonesia saat ini setiap tahunnya selalu meningkat, termasuk kejahatan yang dilakukan oleh anak. Berdasarkan Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pengertian anak adalah anak yang telah berusia 12 tahun tetapi belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

Anak adalah salah satu asset pembangunan nasional yang harus diperhatikan dan diperhitungkan kualitas dan masa depannya sebab anak berperan sebagai penentu masa depan bangsa. Pembangunan akan sulit untuk dilaksanakan jika

kualitas anak tidak baik. 3

1 Undang-Undang Dasar 1945

2 Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

3 Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak di Bawah Umur, PT Alumni, Bandung, 2010, hlm. 1.

(11)

2

Anak memiliki peranan yang penting didalam suatu bangsa, seorang anak tetaplah anak, perkembangan kejiwaan anak berbeda dengan orang dewasa. Anak memiliki sistem penilaian tersendiri, sejak lahir si anak sudah menampakkan ciri- ciri dan tingkah laku karakteristiknya serta memiliki kepribadian yang khas dan unik.

Pada perkembangannya memasuki fase remaja, anak mengalami banyak perubahan besar yang memberi pengaruh cukup besar pada sikap dan tindakannya menjadi lebih agresif sehingga banyak anak-anak yang tindakannya dapat digolongkan ke arah tindakan yang menunjukkan penyimpangan ke arah gejala kejahatan dan berhadapan dengan hukum.

“Anak yang berhadapan dengan hukum” dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, menurut Pasal 1 angka 2 Undang- Undang No. 11 Tahun 2012, terdiri atas :4

1. Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana (pasal 1 angka 3);

2. Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana (pasal 1 angka 4);

3. Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan/atau dialaminya sendiri (pasal 1 angka 5).5

Tindak pidana yang dilakukan anak merupakan masalah serius yang dihadapi setiap Negara. 6 Penyelesaian tindak pidana perlu ada perbedaan antara

4 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

5 R. Wiyono, Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm. 15.

6 Agung Wahyono dan Siti Rahayu, Tinjauan Peradilan Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1983, hlm. 2.

(12)

perilaku orang dewasa dengan pelaku anak, dilihat dari kedudukannya seorang anak secara hukum belum dibebani kewajiban dibandingkan orang dewasa, selama seseorang masih disebut anak, selama itu pula dirinya tidak dituntut pertanggungjawaban, bila timbul masalah terhadap anak diusahakan bagaimana haknya dilindungi hukum.7

Bentuk-bentuk perbuatan remaja berupa kekerasan yang sebelumnya dapat ditolerir dan dianggap wajar ternyata telah berubah menjadi tindakan kriminal yang sangat mengganggu dan meresahkan masyarakat, salah satu tindakan kriminal yang dilakukan adalah pembunuhan.

Kejahatan terhadap jiwa seseorang yang menimbulkan akibat matinya seseorang merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Praktek kejahatan terhadap jiwa meliputi jumlah yang besar setelah kejahatan terhadap harta benda.8 Pembunuhan adalah suatu kejahatan yang tidak manusiawi, karena pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain, yang dilakukan secara sadis.

Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak disebabkan oleh berbagai faktor antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup orang tua telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan anak yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu kurang perhatian dan kasih sayang, asuhan dan bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap perilaku penyesuaian diri,

7 Mulyana W. Kusumah (ed), Hukum dan Hak-Hak Anak, Rajawali, Jakarta, 1986, hlm. 3.

8 H.A.K. Moch Anwar (Dading), Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Penerbit Alumni, Bandung, 1980, hlm. 88.

(13)

4

serta pengawasan dari orang tua, wali atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat yang lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya.9

Pembinaan yang dapat dilakukan oleh orang tua dapat dilaksanakan melalui peningkatan mutu gizi, pembinaan perilaku kehidupan berbudi pekerti luhur, penumbuhan minat belajar, peningkatan daya cipta dan daya nalar serta kreativitas, penumbuhan kesadaran akan hidup sehat, serta penumbuhan idealisme dan patriotisme dalam pembangunan nasional dan peningkatan kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan masyarakat agar tidak sampai melakukan penyimpangan hukum atau tindak pidana.

Anak yang melakukan tindak pidana harus mendapatkan sanksi pidana atas perbuatannya. Sanksi pidana yang dijatuhkan bagi anak harus didasarkan pada kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan. Sanksi pidana adalah penderitaan yang dengan sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.10 Penjatuhan pidana atau tindakan yang diberikan harus bermanfaat bagi anak agar ada perubahan ke arah yang lebih baik yang dialami anak setelah menjalani hukumannya. Hakim saat menjatuhkan putusan wajib mempertimbangkan keadaan fisik dan mental anak, keadaan keluarga, keadaan rumah, keadaan lingkungan dan laporan pembimbing kemasyarakatan tentang perilaku anak.

Anak diharapkan mampu mengisi kemerdekaan Negara Indonesia dengan semangat perjuangan yang tinggi, gemar menggali ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi diimbangi dengan sikap dan moralitas yang baik, percaya

9 Supramono Gatot, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2000, hlm. 158.

10 R. Wiyono, Op Cit., hlm. 140.

(14)

kepada kemampuan diri sendiri, kreatif, jujur, dan bertindak sesuai dengan norma- norma masyarakat, norma dan hukum, serta bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup bangsa yang sedang menghadapi banyak permasalahan saat ini.11

Berdasarkan uraian tersebut di atas, Penulis tertarik untuk membahas permasalahan tindak pidana pembunuhan yang dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk juga anak, anak yang menjadi harapan bagi keluarganya juga sebagai generasi penerus bangsa. Penulis melakukan suatu kajian ilmiah mengenai anak sebagai pelaku tindak pidana pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain dan penulis membuat kajian yang membahas hal tersebut yang dibuat dalam bentuk skripsi yang berjudul: “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Putusan No. 11/Pid.Sus-Anak/2016/PN Lgs dan Putusan No. 7/Pid.Sus- Anak/2015/PN Kbj)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penulisan skripsi ini, maka yang menjadi permasalahan yang akan diuraikan pada bab selanjutnya adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Pengaturan Hukum Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana ?

2. Bagaimana Pertanggungjawaban Pidana Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan ?

3. Bagaimana Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Putusan No. 11/Pid.Sus- Anak/2016/PN Lgs Dan Putusan No. 7/Pid.Sus-Anak/2015/PN Kbj?

11 Bunadi Hidayat, Op Cit, Hlm. 2.

(15)

6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini, antara lain adalah : 1. Untuk mengetahui pengaturan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak

pidana.

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana anak pelaku tindak pidana pembunuhan.

3. Untuk mengetahui Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Putusan No. 11/Pid.Sus- Anak/2016/PN Lgs dan Putusan No. 7/Pid.Sus-Anak/2015/PN Kbj.

Penulisan skripsi ini juga kiranya dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis sebagai berikut :

1. Manfaat secara teoritis yaitu diharapkan akan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, khususnya memberikan masukan terhadap perkembangan ilmu Hukum Pidana sekaligus pengetahuan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan “pertanggungjawaban pidana anak pelaku tindak pidana pembunuhan”.

Dan juga skripsi ini diharapkan dapat menambah literatur-literatur dalam bidang hukum yang telah ada sebelumnya.

2. Manfaat secara praktis yaitu diharapkan dapat memberi manfaat bagi masyarakat luas, baik mahasiswa fakultas hukum, aparat penegak hukum, praktisi hukum, pemerintah, maupun masyarakat awam agar masyarakat dapat lebih memahami hukum, terutama menyangkut hal yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana anak pelaku tindak pidana pembunuhan.

(16)

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Putusan No. 11/Pid.Sus- Anak/2016/Pn.Lgs Dan Putusan No. 7/Pid.Sus-Anak/2015/Pn Kbj)” ini belum pernah ditulis oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara., namun objek kajian mengenai putusan dalam skripsi ini sudah ada diteliti dengan judul dan tinjauan permasalahan yang berebeda. Berdasarkan penelusuran literature tentang judul skripsi di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa judul tersebut belum pernah ditulis, sehingga layak untuk ditulis dan diteliti. Dengan demikian apabila dikemudian hari ternyata telah ditemukan skripsi dengan judul dan isi yang sama maka Penulis akan mempertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Beberapa penelitian yang mirip dengan karya ilmiah (skripsi) ini antara lain:

1. Ester Ronatiur Sitorus, dengan judul skripsi “Pertatanggungjawaban Tindak Pidana Terhadap Nyawa yang Dilakukan Anak (Analisis Putusan No.1/Pid.Sus/Anak/2015/PN-Stb)” dengan rumusan masalah yaitu:

a. Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana terhadap nyawa yang dilakukan anak ?

b. Bagaimana pengaturan hukum tindak pidana terhadap nyawa ?

c. Bagaimana penerapan hukum tindak pidana terhadap nyawa yang dilakukan oleh anak sesuai pasal 340 KUHP Jo UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ?

(17)

8

2. Desi Permatasari Pohan, dengan judul skripsi “Penjatuhan Sanksi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Kepada Anak (Studi Putusan No.31/Pid.Sus/Anak/2016/PN.Mdn)” dengan rurmusan masalah yaitu;

a. Bagaimana pengaturan sanksi terhadap anak yang melakukan tindakpidana terhadap anak ?

b. Bagaimana penjatuhan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap anak dalam Studi Putusan No.

31/Pid.Sus/Anak/2016/PN.Mdn

3. Hade Brata, dengan judul skripsi “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Studi Putusan No. 7/Pid/Sus- Anak/2015/PN.Kbj)” dengan rumusan masalah yaitu:

a. Bagaimana perlindungan hukun yang diberikan bagi anak pelaku tindak pidana pembunuhan ?

b. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap anak pelaku tindak pidana pembunuhan berencana dalam Putusan No. 7/Pid/Sus- Anak/2015/PN. Kbj ?

Sehingga dengan demikian penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan serta jauh dari unsur plagiat terhadap karya dari pihak lain.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pertanggungjawaban Pidana

Konsep “pertanggungjawaban” itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan

(18)

mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak

mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat.12

Pertanggungjawaban pidana, dalam istilah asing disebut juga Teorekenbaardheid atau criminal responsibility, yang menjurus kepada

pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban pidana itu sendiri adalah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana.

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Terjadi pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.

Pemidanaan terhadap pelaku dapat diberikan jika tindak pidana yang dilakukannya memenuhi unsur-unsur delik yang telah ditentukan dalam undang- undang. Penentuan pertanggungjawaban pidana dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan pelaku tindak pidana.

Moeljatno menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukan perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus ada kesalahan atau sikap batin yang dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang tidak tertulis tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.13

Pertanggungjawaban pidana memiliki unsur-unsur antara lain :

12 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2012, hlm. 156.

13 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm. 37.

(19)

10

1. Mampu Bertanggungjawab

Mampu bertanggungjawab merujuk kepada kemampuan pelaku atau pembuat. Istilah lain yang sering digunakan untuk merujuk kepada kemampuan bertanggungjawab yakni dapat dipertanggungjawabkan pembuat.

Seseorang mampu bertanggung jawab mencakup:

a. Keadaan jiwanya

1. Tidak terganggu oleh penyakit terus menerus atau sementara (temporair);

2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile dan sebagainya);

3. Tidak terganggu karena terkejut, hypnotism, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar, mengigau dan lain sebagainya.

b. Kemampuan jiwanya

1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya;

2. Dapat menentukan kehendak atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak dan;

3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.14 2. Kesalahan

Kesalahan dianggap ada, apabila dengan sengaja atau karena kelalaian telah melakukan perbuatan yang menimbulkan keadaan atau akibat yang dilarang oleh hukum pidana dan dilakukan dengan mampu bertanggungjawab.15

Menurut Moeljatno dalam hukum pidana kesalahan dan kelalaian seorang dapat diukur dengan apakah pelaku tindak pidana itu mampu bertanggung jawab, yaitu bila ditindakannya itu memuat 4 unsur yaitu:16

14 Amir Ilyas,Asas-Asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan

Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, Rangkang Education, Yogyakarta, 2012, hlm. 76.

15 Ibid, hlm. 77.

(20)

a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);

b. Diatas unsur tertentu mampu bertanggung jawab;

c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan; dan

d. Tidak adanya alasan pemaaf.

3. Alasan Pemaaf

Alasan pemaaf merupakan suatu alasan yang menghapus kesalahan dari sipelaku tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf yang dilihat adalah sisi orang/pelakunya. Misalnya, karena pelakunya tidak waras atau gila sehingga tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.

2. Pengertian Anak

Di Indonesia apa yang dimaksud dengan anak tidak ada kesatuan pengertian. Hal ini disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kepentingan anak masing-masing memberikan pengertiannya sesuai dengan maksud dikeluarkannya peraturan perundang-undangan tersebut. 17

Secara umum dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki dengan tidak mengenyampingkan bahwa seseorang yang dilahirkan oleh wanita meskipun tidak pernah melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. Anak juga merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru yang merupakan asset bangsa, masa depan Bangsa dan Negara dimasa yang akan datang.

16 Moeljatno, Op Cit, hlm. 177.

17 R. Wiyono, Op. Cit, hlm. 10.

(21)

12

Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 : Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

Batas umur 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan- pertimbangan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, tahap kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut.18

Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 :Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Menurut Hurlock manusia berkembang melalui beberapa tahapan yang berlangsung secara berurutan, terus menerus dan dalam tempo perkembangan yang tertentu, dan biasa berlaku umum. Untuk lebih jelasnya tahapan perkembangan tersebut dapat dilihat pada uraian ini:19

1) Masa Pra-lahir: Dimulai sejak terjadinya konsepsi lahir 2) Masa Jabang bayi: satu hari -dua minggu.

3) Masa Bayi: dua minggu-satu tahun.

4) Masa Anak-anak I: 1 tahun-6 tahun.

5) Masa Anak-anak II: 6 tahun-12/13 tahun.

6) Masa remaja: 12/13 tahun-21 tahun 7) Masa dewasa: 21 tahun-40 tahun.

8) Masa tengah baya: 40 tahun-60 tahun.

9) Masa tua: 60 tahun-meninggal.

Anak menurut Undang–Undang Perlindungan Anak Undang–Undang No.

35 tahun 2014 Pasal 1 ayat “1” adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan.

18 Ibid., hlm. 11.

19 Andy Lesmana, Definis Anak, Sumber : https://andibooks.wordpress.com/definisi-anak diakses pada tanggal 13 Februari pukul 14.00 Wib.

(22)

Pengertian tentang Anak dapat digunakan tergantung situasi dan kondisi dalam pandangan yang mana yang akan dipersoalkan nantinya karena terdapat beberapa perbedaan pengertian. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa anak adalah seseorang yang masih berada didalam kandungan hingga berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Pada umur anak yang menginjak remaja 11–18 tahun suka melakukan kegiatan apapun baik kegiatan yang bersifat positif maupun kegiatan yang bersifat negatif. Salah satunya kini banyak kegiatan anak yang bersifat negatif yang menyebabkan mereka harus berhadapan dengan hukum.

3. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Rumusan tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar hukum, jika diperhatikan terdiri dari beberapa unsur/elemen. Ada ahli yang mengemukakan unsur-unsur tindak pidana secara sederhana yang hanya terdiri dari unsur objektif dan unsur subjektif, dan ada pula yan g merinci unsur-unsur tindak pidana yang diambil berdasarkan rumusan undang-undang.20

Simons menyebutkan unsur unsur dari tindak pidana (strafbaar feit) adalah:21

1. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan)

2. Diancam dengan pidana (statbaar gesteld) 3. Melawan hukum (onrechmatig)

4. Dilakukan dengan kesalahan.

20 Mohammad Ekaputra, Dasar-dasar Hukum Pidana Edisi 2 USU Perss, Medan, 2015, hlm. 107.

21 Mulyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Hukum Pidana, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2015, hlm. 10.

(23)

14

Simons juga menyebutkan adanya unsur objektif dan subjektif dari tindak pidana (strafbaar feit). Unsur objektif antara lain: perbuatan orang, akibat yang keliatan dari perbuatan tersebut, mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat openbaar atau “di muka umum”.

Sedangkan unsur subjektif antara lain: orang yang mampu bertanggungjawab, adanya kesalahan (dolus atau culpa), perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan, kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan.22

Beberapa ahli membagi unsur-unsur tindak pidana secara mendasar, yaitu sebagai berikut:23

1) Van Apeldoorn

Menurut Apeldoorn, bahwa elemen delik itu terdiri dari elemen objektif yang berupa adanya suatu kelakuan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatig / wederrechtelijk) dan elemen subjektif yang berupa adanya seorang pembuat (dader) mampu bertanggung jawab atau dapat dipersalahkan (toerekeningsvatbaarheid) terhadap kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu.

2) Van Bemmelen

Van Bemmelen menyatakan bahwa elemen-elemen dari strafbaarfeit dapat dibedakan menjadi:

a. Elementen voor destrafbaarheid van het feit, yang terletak dalam bidang objektif karena pada dasarnya menyangkut tata kelakuan yang melanggar hukum.

b. Mengenai elementen voor destrafbaarheid van dedade, yang terletak dalam bidang subjektif karena pada dasarnya menyangkut keadaan/ sikap bathin orang yang melanggar hukum, yang kesemuanya itu merupakan elemen yang diperlukan untuk menentukan dijatuhkannya pidana sebagaimana diancamkan.

3) Pompe

Pompe mengadakan pembagian elemen strafbaar feit atas:

a) Wederrechtelijkheid (unsur melawan hukum);

b) Schuld (unsur kesalahan);

c) Subsociale (unsur bahaya/ gangguan/ merugikan)

22 Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Kencana, Jakarta, 2014, hlm. 40.

23 Mohammad Ekaputra, Op. Cit., hlm. 107-108.

(24)

Selain itu, untuk dapat dikategorikan sebagai tindak pidana sebuah perbuatan haruslah tidak memiliki alasan pembenar sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP tentang Keadaan Darurat (noodtoestand), Pasal 49 ayat 1 (KUHP) Pembelaan Terpaksa (noodweer), Pasal 50 tentang “melaksanakan undang- undang” Pasal 51 KUHP tentang “menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang”.

4. Tindak Pidana Pembunuhan

Pembunuhan adalah berasal dari kata “bunuh” yang mendapatkan awalan

“pem” dan akhiran “an” yang menjadi “pembunuhan”. Maka pembunuhan berarti perkara atau perbuatan membunuh kata bunuh berarti mematikan, menghilangkan nyawa, membunuh artinya membuat supaya mati, pembunuhan artinya orang atau alat yang membunuh, pembunuh berarti perkara membunuh, perbuatan atau hal membunuh.24

Perbuatan yang dikatakan pembunuh adalah perbuatan oleh siapa saja yang sengaja merampas nyawa orang lain. Pembunuh (belanda : doodslag) itu diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun (Pasal 338 KUHP). Jika pembunuh itu telah direncanakan lebih dahulu, maka disebut pembunuhan berencana (belanda : moord), yang diancam dengan pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun atau seumur hidup atau pidana mati (Pasal 340 KUHP).

24 Soesilo,R.T.th, Kriminologi, Politeia, Bogor, 2010, hlm. 108.

(25)

16

Perkara nyawa sering disinomin dengan “jiwa”. Dalam KUHP Pasal 338- 340 menjelaskan tentang pembunuhan atau kejahatan terhadap jiwa orang.

Kejahatan ini dinamakan “makar mati” atau pembunuhan (doodslag).25 Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja disebut atau diberi kualifikasi sebagai pembunuhan, yang terdiri dari:

a) Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (doodslag, Pasal 338 KUHP).

b) Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului dengan tindak pidana lain (Pasal 339 KUHP).

c) Pembunuhan berencana (moord, Pasal 340 KUHP).

d) Pembunuhan ibu terhadap bayinya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan (Pasal 341, Pasal 342, danPasal 343 KUHP).

e) Pembunuhan atas permintaan korban (Pasal 344 KUHP).

f) Penganjuran dan pertolongan pada bunuh diri (Pasal 345 KUHP) g) Pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan (Pasal 346 s/d 349

KUHP).

Unsur-unsur Tindak Pidana Pembunuhan yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif yaitu perbuatan menghilangkan nyawa dan obyeknya nyawa orang lain, unsur subjektif yaitu dengan sengaja.

Menurut Adami Chazawi perbuatan menghilangkan nyawa orang lain terdapat 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu:26

1. Adanya wujud perbuatan;

2. Adanya suatu kematian (orang lain); dan

3. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara perbuatan dan akibat yang ditimbulkan.

25 Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh,Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hlm. 4.

26 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta , 2005.

hlm. 57

(26)

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu research. Kata research berasal dari re (kembali) dan to search ( mencari). Oleh karena itu,

penelitian pada dasarnya merupakan “suatu usaha pencarian”.27

Penelitan hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, diadakan juga pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum yang kemudian mengusahakan pemecahan masalah yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.28

Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis permasalahan yang ada di dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan adalah penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka dan peraturan perundang-undangan serta norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan. Penelitian hukum normatif mencakup:29

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum b. Penelitian terhadap sistematik hukum

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal d. Perbandingan hukum; dan

27 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 1.

28 Ibid , hlm. 14.

29 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif “Suatu Tinjauan Singkat”, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 13-14.

(27)

18

e. Sejarah hukum

Penelitian Hukum normatif memberi pemahaman terhadap permasalahan norma yang dialami oleh ilmu hukum dogmatik dalam kegiatannya mendeskripsikan norma hukum, merumuskan norma hukum, dan menegakkan norma hukum.30

2. Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Pendekatan adalah cara pandang peneliti dalam memilih spectrum ruang bahasan yang diharap mampu memberi kejelasan uraian dari suatu substansi karya ilmiah. Pada umumnya, pendekatan dalam penelitian hukum normatif terdiri dari : pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conseptual approach), pendekatan analitis (analytical approach), pendekatan perbandingan

(comparative approach), pendekatan sejarah hukum (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approuch), pendekatan kasus (case approach).31

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan perundang-undangan (state approach), pendekatan analitis (analytical approach), dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan (statute approach) diperlukan dalam penelitian ini karena yang akan diteliti adalah

beberapa aturan hukum yang menjadi fokus dari penelitian. Untuk menghasilkan penelitian yang lebih akurat, pendekatan perundang-undangan (statute approach) dibantu oleh pendekatan analitis (analytical approach) guna memperkaya pertimbangan-pertimbangan hukum dalam melakukan pemeriksaan penerapan

30 I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum, Kencana, Denpasar , 2016, hlm. 82.

31 Ibid, hlm. 156.

(28)

aturan hukum tersebut serta didukung pula oleh pendekatan kasus (case approach) dengan tujuan mempelajari penerapan aturan hukum kedalam praktik

hukumnya.

3. Data dan Sumber Data

Pada penelitian hukum normatif bahan hukumnya dapat berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan tersier.32

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif, mengikat dan berkekuatan hukum tetap yang terdiri atas peraturan perundang- undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim. Bahan hukum primer bisa juga pernyataan yang memiliki otoritas hukum yang ditetapkan oleh suatu cabang kekuasaan pemerintahan. Sedangkan bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi dan sifatnya tidak mengikat yang dapat berupa buku teks, jurnal hukum, kamus hukum atau ensiklopedi hukum dan komentar- komentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum tersier mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya abstrak perundang-undangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum dan seterusnya.

Mencakup pula penunjang di luar bidang hukum misalnya yang berasal dari bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik, filsafat dan lain sebagainya.33

Dalam penelitian ini, bersumber dari data sebagai berikut:

32 Ibid, hlm. 141.

33 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., hal. 33.

(29)

20

a) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti KUHP Indonesia dan peraturan perundang-undangan di luar KUHP yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini;

b) Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti media cetak, media elektronik, dan hasil penelitian dan karya ilmiah;

c) Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris, kamus istilah komputer dan internet dan kamus hukum.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini dibuat secara sistematis dan terperinci yang diuraikan dalam bab per bab yang berkesinambungan yang terdiri dari lima bab. Untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini merupakan gambaran umum yang terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Pengaturan Hukum Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana

Bab ini membahas mengenai pengaturan tindak pidana anak sebagai pelaku tindak pidana, penjatuhan sanksi terhadap anak pelaku tindak pidana menurut Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan bagaimana

(30)

perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan anak.

BAB III : Pertanggungjawaban Pidana Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan

Bab ini membahas mengenai pertanggungjawaban pidana anak pelaku tindak pidana dan latar belakang anak melakukan tindak pidana.

BAB IV : Analisis Putusan Pengadilan Nomor 11/Pid.Sus-Anak/2016/Pn.Lgs Dan Putusan No. 7/Pid.Sus-Anak/2015/Pn.Kbj

Bab ini berisikan Kronologis Kasus , Dakwaan, Tuntutan, Fakta- fakta Hukum, Pertimbangan Hakim, Putusan Pengadilan dan Analisis Kasus.

BAB V: Penutup

Bab ini merupakan penutup dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya, yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini, yang dilengkapi dengan saran-saran.

(31)

22 BAB II

PENGATURAN HUKUM ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

A. Pengaturan Hukum Anak Pelaku Tindak Pidana Menurut Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud “sistem peradilan pidana anak” adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.34

Permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum sangat merisaukan.

Undang-Undang Tentang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997 dianggap sudah tidak memadai lagi dalam memberikan solusi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Maka berdasarkan hal tersebut DPR RI bersama Pemerintah RI telah membahas Rancangan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak pada tahun 2011 sampai 2012.35

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mulai diberlakukan dua tahun setelah tanggal pengundangannya, yaitu pada tanggal 30 Juli 2012 dan mulai berlaku sejak tanggal 31 Juli 2014.

Setiap pembentukan Undang-Undang yang baik, harus disertakan dasar- dasar filosofis, yuridis dan sosiologis. Dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan dasar-dasar pemikiran dalam Rancangan Undang-Undang, antara lain:

34 R. Wiyono, Op Cit , hlm. 21.

35 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Di Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 51

(32)

1. Dasar filosofis

Dasar filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila.

Penjabaran nilai-nilai Pancasila didalam memcerminkan suatu keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia.

Disebutkan bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, sehingga untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan anak.

Dasar filosofis ini mengafirmasi nilai-nilai Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, dan kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga sebagai bangsa yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai-nilai religiusitas, maka permasalahan anak yang berhadapan dengan hukum harus diberikan prioritas yang terbaik bagi anak.

2. Dasar Sosiologis

Dasar sosiologis yang ada pada undang-undang harus menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Perwujudan pelaksanaan lembaga peradilan pidana anak dapat menguntungkan atau merugikan mental, fisik dan sosial anak. Tindak pidana anak, dewasa ini secara kuantitas dan kualitas cenderung meningkat dibandingkan dengan tindak pidana lain, nyaris semua tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa dilakukan juga oleh anak-anak. Banyak faktor yang membuat anak

(33)

24

melakukan suatu tindak pidana seperti keadaan ekonomi yang kurang baik, pengaruh globalisasi dibidang komunikasi dan informasi, perkembangan ilmu pengetahuan serta pengaruh perubahan gaya hidup. Keluarga juga memegang kendali yang besar terhadap perbuatan yang dilakukan oleh anak. Faktor intern dari keluarga seperti kurangnya perhatian, kasih sayang dan pengawasan dari orang tua sehingga anak mudah terpengaruh dengan pergaulan negatif dilingkungan masyarat.

3. Dasar Yuridis

Menurut teori, hukum haruslah membantu manusia berkembang sesuai dengan kodratnya: menjunjung keluhuran martabat manusia, bersifat adil, menjamin kesamaan dan kebebasan, memajukan kepentingan dan kesejahteraan umum.

Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan atas hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dan diskriminasi”. Hal ini dijabarkan dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

4. Dasar Psikopolitik Masyarakat

Psikopolitik masyarakat adalah suatu kondisi nyata didalam masyarakat mengenai tingkat penerimaan atau tingkat penolakan terhadap suatu peraturan perundang-undangan. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak baik langsung maupun tidak merupakan akibat dari perbuatan dan tindakan yang dilakukan oleh orang dewasa dalam bersinggungan dengan anak atau merupakan sebagai bagian

(34)

dalam proses interaksi anak dengan lingkungannya, dimana anak belum mampu secara dewasa menyikapinya.

Proses penyelesaian perkara anak dengan hukum harus dilaksanakan berdasarkan asas sistem peradilan pidana anak berikut:36

a. Perlindungan, yaitu yang meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung dari tindakan yang membahayakan anak secara fisik dan/atau psikis.

b. Keadilan, yaitu bahwa setiap penyelesaian perkara anak harus mencerminkan rasa keadilan bagi anak.

c. Non diskriminasi, yaitu tidak adanya perlakuan yang berbeda didasarkan pada suku, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak serta kondisi fisik dan/atau mental.

d. Kepentingan terbaik bagi anak, yaitu segala pengambilan keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak.

e. Penghargaan terhadap pendapat anak, yaitu penghormatan atas hak anak untuk berkepentingan dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan, terutama jika menyangkut hal yang mempengaruhi kehidupan anak.

f. Kelangsungan dan tumbuh kembang anak, yaitu hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.

g. 1. Pembinaan, yaitu kegiatan untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan, keterampilan, professional serta kesehatan jasmani dan rohani anak, baik dimalam maupun diliuar proses peradilan pidana.

2.Pembimbingan, yaitu pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, professional serta kesehatan rohani dan jasmani klien pemasyarakatan.

Pengaturan hukum yang paling mendasar dalam ketentuan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum, yakni :

A. Diversi

Diversi dalam sistem peradilan pidana merupakan upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk mengalihkan kasus pidana yang dilakukan oleh

36 R. Wiyono, Op Cit, hlm. 27-28.

(35)

26

anak dari mekanisme formal ke mekanisme yang informal. Diversi dilakukan untuk menemukan penyelesaian yang berbentuk win win solution.37

Konsep diversi di Indonesia pertama sekali diatur di dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Menurut Undang- Undang No. 11 Tahun 2012 Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Akan tetapi dalam naskah akademik Rancangan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dikemukakan diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara tersangka atau terdakwa atau pelaku tindak pidana yang difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat, pembimbing kemasyarakatan anak, polisi, jaksa, atau hakim.38

Terdapat 3 jenis pelaksanaan diversi, yaitu : 39

1. Berorientasi kontrol sosial (social control orientation)

Dalam hal ini aparat penegak hukum menyerahkan anak pelaku pada pertanggungjawaban dan pengawasan masyarakat;

2. Berorientasi pada social service, yaitu pelayanan sosial oleh masyarakat dengan melakukan fungsi pengawasan, perbaikan dan menyediakan pelayanan bagi pelaku dan keluarganya;

3. Berorientasi pada restoratif justice, yaitu memberi kesempatan kepada pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya kepada korban dan masyarakat. Semua pihak bersama-sama membuat kesepakatan, apa tindakan terbaik untuk anak pelaku ini.

Tujuan dilakukannya diversi menurut Pasal 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan,

37 Marlina, Hukum Penitensier, PT Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 73.

38 M. Nasir Djamil, Op Cit, hlm. 137.

39 Marlina, Loc Cit, hlm. 73-74

(36)

menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Pelaksanaan diversi diharapkan juga untuk menghindari atau meminimalisir stigmatisasi terhadap anak pelaku tindak pidana, anak diharapkan dapat kembali kedalam lingkungan sosial yang wajar dan dapat memperbaiki kesalahannya tanpa melalui hukum pidana oleh Negara yang mempunyai otoritas penuh. Pentingnya penerapan konsep diversi ini karena tingginya jumlah anak yang masuk ke peradilan pidana dan diputus dengan penjara serta mengalami kekerasan saat menjalani hukumannya.

Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri wajib diupayakan diversi.40 Para penegak hukum wajib mengupayakan diversi dalam penanganan perkara anak.

Diversi tidak dapat diupayakan pada pemeriksaan di Pengadilan Tinggi karena adanya frasa “pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri” dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 apalagi perkara tindak pidana anak selalu diajukan ke Pengadilan Negeri dengan Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan (Pasal 6 KUHP).41 Akan tetapi jika diingat bahwa tujuan dari diversi adalah seperti disebutkan dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 dan pemeriksaan di Pengadilan Tinggi sifatnya devolutif, artinya seluruh pemeriksaan perkara dipindahkan dan diulang oleh Pengadilan Tinggi yang bersangkutan , maka ada alasan untuk membenarkan bahwa diversi dapat pula diupayakan pada tingkat pemeriksaan di Pengadilan Tinggi.

40 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

41 R. Wiyono, Op Cit, hlm. 50.

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun Koperasi Kredit Harapan Kita Kota Medan adalah Koperasi yang masih menimbulkan faktor kekeluargaan, Koperasi Harapan Kita Kota Medan lebih ,mengambil

Adapun yang menjadi rumusan masalah penulisan ini adalah bagaimana pengetahuan tradisional dalam pengaturan Hak Kekayaan Intelektual, bagaimana pengaturan mengenai

Dakwaan tesebut merupakan rujukan majelis hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa yang menyatakan tindak pidana pencurian dengan kekerasan “(2) Diancam dengan

memperoleh kompensasi atas kerugian yang diderita maka konsumen dapat menuntut pertanggungjawaban secara perdata kepada pelaku usaha. Terdapat dua bentuk pertanggungjawaban

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyelesaian kredit yang mengalami kemacetan pada Kredit Usaha Rakyat di PT.Bank Rakyat Indonesia Cabang Kota Binjai

Persekongkolan tender merupakan kegiatan dilarang karena menimbulkan persaingan usaha tidak sehat yang diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999. Akibatnya

Dalam UU Nomor 5 Tahun 1999, kartel adalah apabila pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan

Menimbang, bahwa terhadap pembelaan yang disampaikan oleh Terdakwa dan Penasehat Hukumnya, yang mana sebagimana pertimbangan Majelis Hakim tersebut di atas dimana