• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Kakao di Indonesia

Kakao di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh Bangsa Spanyol pada tahun 1560 di Sulawesi, Minahasa. Indonesia mengekspor kakao diawali dari pelabuhan Manado ke Manila dengan jumlah ekspor sekitar 92 ton pada tahun 1825-1828. Ekspor Indonesia sempat terhenti setelah tahun 1828 karena serangan hama pada tanaman kakao. Penyebaran tanaman kakao di Jawa baru dimulai sekitar tahun 1880. Percobaan penanaman kakao dilakukan di perkebunan kopi milik orang Belanda di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini disebabkan pada saat itu tanaman kopi Arabika mengalami kerusakan akibat terserang penyakit karat daun.

Jenis kakao yang banyak dibudidayakan adalah jenis Criollo, Forastero, dan Trinitiaro yang berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Jenis

Criollo menghasilkan biji kakao bermutu sangat baik dan dikenal sebagai kakao mulia, fine flavor cocoa, choiced cocoa, atau edel cocoa. Jenis Forastero

menghasilkan biji kakao bermutu menengah dan dikenal sebagai ordinary cocoa

Forastero sehingga menghasilkan biji kakao yang dapat termasuk fine flavor cocoa atau bulk cocoa. Jenis Tritiaro yang banyak ditanam di Indonesia adalah Hibrid Djati Runggo (DR) dan Uppertimazone Hybrida atau yang biasa disebut dengan kakao lindak (Bappebti 2011).

Pengusahaan perkebunan kakao di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh perkebunan rakyat dan sisanya adalah produksi dari perkebunan swasta dan perkebunan pemerintah. Pada tahun 2011 diduga luas areal perkebunan rakyat mencapai 1,6 juta ha diikuti luas areal perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta masing-masing sebesar 54 ribu ha dan 50 ribu ha. Sementara itu, produksi kakao di seluruh Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan bertambahnya luas areal lahan kakao. Produksi kakao diprediksi mencapai 903.092 ton pada tahun 2011. Produksi kakao Indonesia masih sangat berpeluang untuk terus ditingkatkan. Hal ini dapat dilihat dari ketersediaan lahan perkebunan kakao Indonesia yang cukup luas (Ditjenbun 2011).

Sebagian besar produksi kakao Indonesia sebesar 96 persen adalah biji yang belum difermentasi (unfermented beans) dan umumnya di ekspor belum dalam bentuk olahan, yaitu masih dalam bentuk biji (beans)2.Padahal sebagian besar permintaan impor dari negara Uni Eropa adalah biji kakao yang telah difermentasi untuk dijadikan produk cokelat olahan. Sedangkan ekspor kakao

unfermented dari Indonesia yang masuk ke Malaysia dan Singapura akan diolah untuk dijadikan kakao fermentasi dan menjual hasil olahan tersebut dengan harga yang berlipat. Kondisi ini terjadi akibat keterbatasan pengetahuan yang dimiliki petani dan kebutuhan ekonomi yang seringkali memaksa petani menjual kakao hasil panen mereka dalam bentuk biji yang tidak terfermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa petani sangat membutuhkan bantuan dan dukungan untuk menghasilkan nilai tambah dengan hasil panen yang difermentasi terlebih dahulu. Upaya untuk mencegah berkurangnya keuntungan para petani misalnya dengan cara memberikan penyuluhan dan bimbingan teknis.

Kebutuhan kakao untuk industri kakao nasional masih belum tercukupi sehingga tidak heran bila Indonesia masih harus mengimpor biji kakao untuk       

2

kepentingan bahan baku industri. Volume dan nilai impor kakao Indonesia dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Volume dan Nilai Impor Biji Kakao Indonesia Tahun 2006-2010

Tahun IMPOR VOLUME (Ton) NILAI (000 US$) 1 2 3 2006 47.109 76.031 2007 43.845 83.239 2008 53.761 119.130 2009 46.929 121.390 2010 47.455 164.609

Sumber : BPS diolah Pusdatin (2011)

Volume dan nilai impor biji kakao Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun. Dapat dilihat pada tabel bahwa rata-rata pertumbuhan volume impor biji kakao dari tahun 2006 hingga 2010 adalah sebesar 1,03 persen. Sedangkan untuk rata-rata pertumbuhan nilai impor biji kakao tahun 2006-2010 adalah sebesar 22,52 persen (Ditjenbun 2011).

Persaingan perdagangan kakao yang semakin ketat membuat perlu adanya suatu wadah yang berfungsi sebagai sarana pengelolaan risiko bagi komoditi kakao. Untuk itulah pada tahun 1999 pemerintah membentuk suatu bursa komoditi Indonesia yang disebut Jakarta Future Exchange (JFX) di bawah pengawasan Kementrian Perdagangan. Namun, komoditi yang diperdagangkan pada awal pendirian bursa ini hanya komoditi CPO, olein, dan kopi. Sedangkan komoditi kakao mulai diperdagangkan pada bursa ini tahun 2011.

Bursa komoditi ini mempunyai fungsi penting diantaranya adalah sebagai sarana yang mempermudah untuk mengakses informasi pasar. Informasi yang dapat diketahui dari bursa ini antara lain informasi mengenai harga, produksi, konsumsi, volume perdagangan, dan perkiraan pasar di masa yang akan datang. Untuk mengantisipasi fluktuasi yang akan terjadi di masa depan maka dapat dilakukan kontrak berjangka sebagai upaya perlindungan nilai. Semakin lancar informasi yang dapat diakses membuat para pelaku bisnis dapat mengantisipasi risiko yang mungkin akan terjadi dengan harga di masa depan. Hal ini diharapkan

dapat membuat pembentukkan harga yang terjadi di bursa semakin transparan dan bersaing di pasaran. Harga yang terjadi di bursa umumnya dijadikan sebagai harga acuan (reference price) oleh dunia usaha, termasuk petani dan produsen/pengusaha kecil untuk melakukan transaksi di pasar fisik.

Menurut Ariyoso (2010), salah satu ciri barang komoditi yang diperdagangkan di bursa adalah harga komoditi yang bersangkutan sering mengalami gejolak. Hal ini disebabkan perubahan kondisi perekonomian yang mempengaruhi fluktuasi harga sehingga membuat para pelaku bursa ini melakukan mekanisme hedging dengan tujuan melindungi aktiva dan/atau kewajiban agar posisi mereka tetap berada dikondisi Break Even Point (BEP). Margin yang telah ditetapkan berlaku untuk periode waktu tertentu dan dapat diubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Selain itu, ada biaya komisi yang dikenakan oleh pialang berjangka yang besaran minimumnya ditetapkan oleh bursa atas persetujuan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti 2011).

Saat ini, perdagangan kakao Indonesia secara umum masih menggunakan transaksi spot dengan pusat perdagangan di pasar fisik Makassar. Hal ini terjadi karena banyak pelaku bisnis kakao yang belum mengetahui adanya transaksi

forward untuk komoditi kakao yang mulai dijalankan pada akhir Desember 2011. Transaksi spot merupakan mekanisme perdagangan yang memperjualbelikan suatu barang dengan serah terima barang saat transaksi berlangsung dan pembayarannya dilakukan tunai pada saat itu juga.

Adapun pihak yang terkait langsung dengan perdagangan kakao di Indonesia adalah Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo). Askindo merupakan organisasi para pelaku bisnis kakao Indonesia yang bertujuan menempatkan kakao Indonesia pada kedudukan yang terbaik di pasar internasional. Askindo diharapkan dapat bersikap terbuka, kekeluargaan, adil, efektif dalam mencapai tujuan, efisien dalam pelaksanaan kegiatan, dan struktur organisasinya sehingga dapat dipertahankan dan ditingkatkan iklim usaha yang sehat, terbuka, dan bebas dari bentuk persaingan yang tidak wajar.

2.3. Analisis Transmisi Harga

Analisis transmisi harga dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu: a) pendekatan metode korelasi, dengan menghitung Total Sum Square Correlation

antara harga yang bergerak secara bersamaan pada pasar yang diuji, b) metode regresi sederhana, dan c) Vector Autoregression (VAR). Ketiga metode tersebut menelaah keterpaduan pasar dengan menggunakan harga komoditi dalam deret waktu (time series) sebagai input data untuk melakukan analisis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode VAR.

Penelitian mengenai analisis transmisi harga komoditas telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya yaitu Sianturi (2005) yang menganalisis tentang transmisi harga gula domestik terhadap harga gula dunia, Hafizah (2009) melakukan penelitian mengenai transmisi harga CPO di Indonesia terhadap harga CPO di Malaysia dan Pasar berjangka di Rotterdam, dan analisis integrasi pasar karet alam antara pasar fisik di Indonesia dengan pasar berjangka dunia yang diteliti oleh Fitrianti (2009). Selain itu, ada juga penelitian mengenai analisis transmisi harga teh hitam grade Dust di Jakarta Tea Auction terhadap Colombo Tea Auction dan Guwahati Tea Auction yang telah dilakukan oleh Adinugroho (2011).

Sianturi (2005), Hafizah (2009), Fitrianti (2009), dan Adinugroho (2011) menggunakan pendekatan metode VAR didalam penelitiannya untuk menganalisis transmisi harga pada komoditasnya masing-masing. Hasil penelitian Sianturi (2005) dengan menggunakan perangkat lunak Mickrofit 4.0 menunjukan bahwa harga gula di pasar domestik dipengaruhi oleh harga gula dunia jenis raw sugar

dan sekaligus menjadi pemimpin harga bagi gula domestik, sementara harga gula domestik tidak mempengaruhi secara nyata kedua jenis harga gula dunia (raw sugar dan white sugar). Hal ini disebabkan karena Indonesia merupakan negara

net importer gula, sehingga kebijakan domestik dan fluktuasi harga gula kurang mempengaruhi harga gula dunia.

Hafizah (2009) dalam penelitiannya yang menggunakan model ekonometrika Vector Error Correction Model (VECM) menyimpulkan bahwa pasar forward Rotterdam merupakan pasar referensi atau pasar acuan bagi pasar

Rotterdam akan menyebabkan pembentukan harga di pasar spot Indonesia dan Malaysia. Harga CPO Rotterdam dalam jangka pendek dipengaruhi oleh Malaysia dan nilai tukarnya serta dirinya sendiri. Harga CPO Malaysia dipengaruhi oleh dirinya sendiri, nilai tukarnya, harga CPO Rotterdam dan Indonesia, nilai tukarnya dan harga minyak kedelai. Adapun harga CPO Indonesia dalam jangka pendek dipengaruhi oleh harga CPO Rotterdam dan Malaysia serta nilai tukar Indonesia dan Malaysia.

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian Fitrianti (2009) adalah pendekatan dengan Vector Error Correction Model (VECM). Penelitian ini menganalisis integrasi pasar karet alam antara pasar fisik di Indonesia dengan pasar berjangka dunia. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah terdapat hubungan integrasi spasial dan kointegrasi antara pasar berjangka dunia (Singapore Commodity Exchange, Tokyo Commodity Exchange, Agricultural Future Trading of Thailand, dan Shanghai Future Exchange).

Hasil penelitian Adinugroho (2011) yang menganalisis tentang transmisi harga teh hitam grade Dust di Indonesia menunjukkan tidak terdapatnya hubungan timbal balik antara harga teh di auction Jakarta, Colombo, dan Guwahati sehingga perubahan harga yang terjadi di kedua auction luar tersebut tidak tertransmisikan terhadap harga yang terjadi Jakarta Tea Auction. Hasil penelitian ini menggunakan model VAR yang termasuk ke dalam VAR in level karena data yang digunakan sudah stasioner.

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan VAR untuk menganalisis transmisi harga. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah dari segi komoditas, yaitu biji kakao. Jadi pada penelitian ini akan menganalisis transmisi harga biji kakao di pasar fisik Indonesia dengan harga di pasar berjangka The New York Board of Trade (NYBOT) dan The London Financial Exchange (LIFFE) dengan menggunakan pendekatan model Vector Autoregressive (VAR).

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Fluktuasi dan Volatilitas Harga

Fluktuasi merupakan istilah yang mengacu pada ketidakstabilan, ketidaktetapan, guncangan, kelabilan, dan perubahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fluktuasi harga merupakan keadaan yang menunjukan gejala turun naiknya harga dan perubahan harga tersebut karena pengaruh permintaan dan penawaran. Sedangkan volatilitas merupakan pengukuran statistik dari besarnya jarak antara fluktuasi harga selama periode waktu tertentu. Ukuran tersebut menunjukan penurunan dan peningkatan harga dalam periode yang pendek dan tidak mengukur tingkat harga, namun derajat variasinya dari satu periode ke periode berikutnya (Hugida 2011).

Salah satu komoditas yang rentan terhadap adanya fluktuasi harga adalah komoditas pertanian. Umumnya, fluktuasi harga pada komoditas ini terjadi akibat ketidakseimbangan antara jumlah barang yang tersedia dengan jumlah barang yang diminta oleh konsumen. Jika terjadi kelebihan pasokan maka harga komoditas akan turun, sebaliknya harga akan naik jika terjadi kekurangan pasokan.

Fluktuasi harga yang tinggi juga berpengaruh kepada penerimaan dan keuntungan pelaku usaha yang diperoleh dari hasil kegiatan usahataninya. Hal ini sama seperti pendapat Hutabarat (1999) yang menyatakan bahwa fluktuasi harga yang tinggi tidak menguntungkan bagi perkembangan agribisnis karena dapat memiliki pengaruh negatif terhadap keputusan pemilik modal untuk melakukan investasi akibat ketidakpastian penerimaan yang akan diperoleh.

Volatilitas harga terjadi tidak hanya di pasar uang ataupun pasar saham saja tetapi juga di pasar komoditas lainnya. Ada tiga hal yang menjadi alasan pentingnya permodelan dan peramalan volatilitas harga diantaranya adalah hasil analisis dapat bermanfaat bagi pengambilan keputusan yang berkaitan dengan masalah risiko bisnis, ketepatan permodelan dapat diperoleh dengan memodelkan ragam galatnya sehingga hasil ramalan bersifat time-varying (berubah terhadap waktu) serta mendapatkan model peramalan dan pendugaan harga yang lebih tepat (Sumaryanto 2009).

Analisis volatilitas harga penting dilakukan ketika pelaku bisnis menghadapi ketidakstabilan dan ketidakpastian kondisi harga dan pola pergerakannya yang tidak dapat diperkirakan.

3.2. Teori Harga

Teori harga merupakan teori ekonomi yang menjelaskan tentang perilaku harga pasar barang atau jasa tertentu. Harga merupakan suatu nilai tukar dari produk barang maupun jasa yang dinyatakan dalam satuan moneter. Harga menjadi salah satu penentu keberhasilan dalam proses perdagangan karena harga menentukan seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh dari penjualan produk baik berupa barang maupun jasa. Teori harga membahas mengenai harga suatu barang atau jasa yang pasarnya kompetitif tinggi rendahnya ditentukan oleh permintaan pasar dan penawaran pasar.

Permintaan (demand) pasar merupakan jumlah (kuantitas) suatu komoditas yang mampu dan ingin dibeli oleh konsumen pada suatu tempat dan waktu tertentu pada berbagai tingkat harga dengan faktor lain yang tidak berubah (caterisparibus). Teori permintaan menerangkan tentang hubungan antara jumlah permintaan dan harga. Hubungan tersebut dapat digambarkan melalui kurva permintaan. Kurva permintaan menunjukkan hubungan antara harga suatu produk dengan jumlah produk yang diminta masyarakat, jika hal-hal lainnya dianggap konstan (cateris paribus). Kurva permintaan berslope (koefisien arah) negatif terhadap harga, hal ini berdasarkan hukum permintaan yang menyatakan ketika harga naik maka permintaan akan turun dan sebaliknya jika harga turun maka permintaan akan naik. Pergerakan sepanjang kurva permintaan terjadi apabila harga komoditi berubah sehingga dapat menyebabkan perubahan jumlah komoditi yang diminta atau ingin dibeli konsumen. Sedangkan, pergeseran kurva permintaan merupakan akibat dari perubahan faktor-faktor di luar harga komoditi tersebut. Menurut Sukirno (2002), ada beberapa faktor penentu permintaan diantaranya adalah harga barang itu sendiri, harga barang substitusi atau komplementer, pendapatan masyarakat, jumlah penduduk, dan selera masyarakat. Penawaran (supply) pasar merupakan hubungan yang menunjukkan banyaknya suatu komoditas yang akan ditawarkan untuk dijual pada suatu tempat

dan waktu tertentu pada berbagai tingkat harga dengan faktor lain yang tidak berubah (cateris paribus). Kurva penawaran adalah suatu kurva yang menunjukkan hubungan antara harga suatu barang tertentu dengan jumlah barang tersebut yang ditawarkan. Kurva penawaran menunjukkan hubungan yang positif antara jumlah komoditas yang akan dijual dengan tingkat harga dari komoditas tersebut. Artinya, jika harga naik maka penawaran terhadap barang akan bertambah dan sebaliknya jika harga turun maka jumlah penawaran terhadap suatu barang akan menurun juga. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penawaran pasar merupakan fungsi dari harga komoditi dengan koefisien arah (slope) yang positif. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran diantaranya adalah harga barang itu sendiri, harga barang substitusi atau komplementer, harga input atau biaya produksi, kebijakan pemerintah, dan tingkat teknologi yang digunakan (Sadono 2002). Perubahan dari faktor-faktor ini dapat menggeser fungsi penawaran dari suatu komoditi.

Kurva permintaan dan penawaran yang digambarkan dalam satu kurva akan saling memotong di suatu titik yang dinamakan dengan titik equilibrium. Titik equilibrium disebut juga titik keseimbangan pasar yang menunjukkan jumlah produk dan harga keseimbangan suatu komoditi yang terjadi di pasar.

Ada beberapa metode dalam menentukan harga jual suatu produk antara lain (1) pendekatan permintaan dan penawaran (supply demand approach), dilakukan dengan cara mencari harga keseimbangan, yaitu harga yang mampu dibayar konsumen dan harga yang diterima produsen sehingga terbentuk jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan, (2) pendekatan biaya (cost oriented approach), dilakukan dengan cara menghitung biaya yang dikeluarkan produsen dengan tingkat keuntungan yang diinginkan, dan (3) pendekatan pasar (market approach), dilakukan dengan cara merumuskan harga untuk produk yang dipasarkan dengan cara menghitung variabel-variabel yang mempengaruhi pasar dan harga seperti situasi dan kondisi politik, persaingan, sosial budaya, dan lain- lain (Marras 1999).

3.3. Konsep Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional adalah kegiatan memperdagangkan suatu barang-barang dan jasa, yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Perdagangan internasional timbul karena pada hakikatnya tidak ada suatu negara pun di dunia ini yang dapat menghasilkan semua barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduknya.

Perdagangan tersebut dapat dijelaskan oleh teori Heckescher–Ohlin yang menekankan pada perbedaan relatif faktor alam dan harga faktor produksi sebagai faktor yang paling penting. Berdasarkan teori tersebut, suatu negara akan melakukan perdagangan dengan negara lain disebabkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan dalam teknologi dan faktor produksi. Teori H-O menganggap bahwa tiap negara akan mengekspor komoditi yang mempunyai faktor produksi berlimpah dan murah dan mengimpor komoditi yang relatif jarang dan mahal. Penyamaan harga faktor produksi dengan perdagangan akan menghapuskan atau mengurangi perbedaan harga faktor produksi sebelum perdagangan.

Suatu kegiatan perdagangan internasional terjadi ditandai dengan adanya kegiatan ekspor dan impor atau pertukaran komoditi antar dua negara, dimana kegiatan ini dapat terjadi karena adanya perbedaan permintaan dan penawaran serta adanya perbedaan tingkat harga antar kedua negara. Secara teoritis, suatu negara (misalnya negara A) akan dapat mengekspor suatu komoditi (misalnya biji kakao) ke negara lain (misalnya negara B). Negara A mau dan mampu mengekspor komoditinya tersebut ke negara B apabila harga domestik negara A (sebelum terjadi perdagangan internasional) lebih rendah dari harga domestik di negara B. Harga domestik komoditas tersebut di negara A relatif lebih rendah karena di negara A jumlah penawaran akan barang tersebut lebih tinggi dari permintaan konsumen negara A, atau dengan kata lain mengalami excess supply

untuk komoditas tersebut di negara A. Dengan kondisi demikian maka negara A mempunyai kesempatan untuk menjual kelebihan produksi komoditinya tersebut ke negara lain. Sedangkan di lain pihak, negara B terjadi kekurangan penawaran karena jumlah pemintaan domestik negara B melebihi jumlah penawaran

domestik negara B, atau dengan kata lain mengalami excess demand. Akibat dari keadaan ini maka harga untuk komoditas tersebut di negara B menjadi tinggi. Maka dengan keadaan seperti ini negara B ingin membeli komoditas tersebut dari negara A yang harganya relatif lebih murah. Setelah kedua negara tersebut (negara A dan negara B) melakukan komunikasi dan negosiasi, maka negara A menyetujui untuk mengekspor komoditinya tersebut ke negara B, dan negara B secara langsung melakukan impor komoditi tersebut dari negara A. Dengan terjadinya kegiatan yang dilakukan antar kedua negara tersebut maka terjadilah suatu proses kegiatan perdagangan internasional (Salvatore 1997). Kegiatan perdagangan internasional dapat dijelaskan melalui gambar berikut ini :

P P P Sb EB Sa Pb Q1 S P1 EA Pa Db Da D O Q Q Q Qa Qb Gb. (3a) Gb. (3b) Gb. (3c)

Gambar 3. Proses Terjadinya Perdagangan Internasional Sumber : Salvatore 1997

Keterangan :

Kiri : Negara A, berperan sebagai negara pengekspor Kanan : Negara B, berperan sebagai negara pengimpor Tengah : Pasar Internasional

Pa : Harga domestik barang di negara A tanpa perdagangan internasional O – Qa : Jumlah produksi domestik barang di negara A tanpa perdagangan

internasional

Pb : Harga domestik barang di negara B tanpa perdagangan internasional O – Qb : Jumlah produksi domestik barang di negara B tanpa perdagangan

internasional

tanpa perdagangan internasional

EB : Keseimbangan antara penawaran dan permintaan barang di negara B tanpa perdagangan internasional.

P1 : Harga barang yang terjadi di pasar internasional setelah kedua negara sepakat untuk melakukan proses ekspor impor

Q1 : Jumlah barang yang diproduksi atau jumlah barang yang tersedia di pasar internasional setelah kedua negara sepakat untuk melakukan proses ekspor impor

Berdasarkan Gambar 3, diasumsikan bahwa komoditi yang akan digunakan untuk perdagangan internasional adalah komoditi biji kakao. Grafik diatas menjelaskan bahwa sebelum terjadi proses perdagangan internasional, harga biji kakao di negara A (negara pengekspor) adalah sebesar Pa, sedangkan harga biji kakao di negara B (negara pengimpor) adalah sebesar Pb. Sebelum terjadi proses perdagangan internasional jumlah produksi biji kakao di negara A adalah sebesar O – Qa, sedangkan jumlah produksi biji kakao di negara B adalah sebesar O – Qb. Apabila harga biji kakao di negara B adalah sebesar Pa maka hal ini akan menyebabkan terjadinya kondisi kelebihan permintaan (excess demand), sedangkan apabila harga biji kakao di negara A adalah sebesar Pb maka hal ini akan menyebabkan terjadinya kondisi kelebihan penawaran (excess supply). Pertemuan antara kondisi excess supply dan excess demand inilah yang nantinya akan membentuk harga di pasar internasional yang disepakati oleh kedua negara tersebut. Dalam hal ini negara A akan mengekspor biji kakao ke negara B, sedangkan negara B akan mengimpor biji kakao dari negara A. Sehingga dengan demikian terjadilah proses perdagangan internasional.

Ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari aktivitas perdagangan internasional atau perdagangan luar negeri yaitu seseorang dapat menikmati suatu barang atau jasa yang tidak dapat dihasilkan dalam negeri dengan cara mengimpornya dari negara lain. Selain itu, perdagangan luar negeri memungkinkan dilakukannya spesialisasi sehingga barang dan jasa dapat dihasilkan secara lebih murah karena lebih cocok dengan kondisi negara tersebut, baik dari segi bahan baku maupun cara berproduksi. Negara yang melakukan perdagangan luar negeri dapat memproduksi barang atau jasa yang lebih besar

daripada yang dibutuhkan pasar dalam negeri sehingga tingkat perekonomian dan pendapatan nasional dapat ditingkatkan serta angka pengangguran dapat ditekan.

Dokumen terkait