• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

1.2. Perumusan Masalah

Kakao memiliki berbagai macam turunan produk diantaranya adalah kakao biji, kakao buah, kakao pasta, lemak kakao, tepung kakao, dan makanan mengandung coklat lainnya. Keenam komoditas ini menunjukkan perkembangan volume dan nilai ekspor yang baik. Pada tahun 2009 biji kakao menjadi komoditas unggulan dengan volume ekspor sebesar 439.305 ton dan nilai ekspor US$ 1,08 miliar. Sementara itu lemak kakao menyumbang 41.605 ton volume ekspor dengan nilai ekspor US$ 230 juta dan tepung kakao dengan volume ekspor 27.540 ton serta nilai ekspor sebesar US$ 45 juta (Ditjenbun 2011). Perkembangan volume dan nilai ekspor komoditi biji kakao dan produk lain kakao Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditi Biji Kakao dan Produk Lain Kakao Indonesia

Penelitian ini menggunakan komoditi biji kakao karena memiliki volume dan nilai ekspor yang tertinggi dibanding dengan produk turunan lainnya. Berdasarkan data sebelumnya dapat dilihat volume dan nilai ekspor biji kakao menempati urutan pertama dengan total 439.305 ton dan US$ 1,08 miliar pada tahun 2009. Selain itu, akibat industri pengolahan kakao domesik yang kurang berkembang maka komoditas biji kakao memiliki potensi yang lebih unggul untuk diekspor dibanding dengan produk turunan lainnya.

Komoditas kakao seperti umumnya produk pertanian lainnya juga memiliki beberapa permasalahan yang terkait dengan harga, salah satunya adalah perubahan harga. Perubahan harga pada komoditas pertanian umumnya dipengaruhi oleh jumlah permintaan yang diinginkan konsumen dan jumlah penawaran yang ditawarkan produsen. Apabila ketersediaan barang berlebih akan menyebabkan kerugian dari segi biaya gudang dan adanya risiko kerusakan serta penurunan kualitas barang.

Potensi kerugian yang ditimbulkan oleh fluktuasi harga membutuhkan suatu penanganan khusus agar dapat diminimalisasi. Salah satu caranya adalah mengembangkan suatu sarana manajemen risiko yang disebut dengan pasar berjangka (forward). Manfaat adanya bursa berjangka ini adalah sebagai tempat pembentukan harga dengan mekanisme perdagangan yang transparan dan fungsi lindung nilai (hedging) terhadap barang yang diperdagangkan. Ketersediaan informasi yang dapat diakses tanpa hambatan akan mampu memprediksi penawaran dan permintaan di masa yang akan datang sehingga komoditi dapat diramalkan dan pelaku kegiatan agribisnis dapat merencanakan pengembangan usahanya ke depan.

Salah satu pelaku bisnis kakao di Indonesia adalah Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) sebagai organisasi yang bertujuan untuk menempatkan komoditas kakao Indonesia pada kedudukan yang lebih baik di pasar dunia, khususnya untuk harga komoditi biji kakao. Namun, saat ini diperkirakan Indonesia masih menjadi penerima harga (price taker) dalam perdagangan biji kakao dunia. Keadaan ini menjadikan posisi tawar Indonesia masih tergolong lemah yang ditandai dari rendahnya harga jual biji kakao Indonesia di dunia. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan Askindo dalam meningkatkan posisi tawar biji

kakao Indonesia, maka perlu dilakukan analisis transmisi harga yang dapat menunjukkan keterkaitan harga antar pasar biji kakao Indonesia dengan pusat perdagangan kakao di dunia.

Saat ini terdapat dua cara umum yang dilakukan dalam pemasaran kakao, antara lain dengan pelaksanaan secara fisik (spot) seperti yang dilakukan Indonesia dan pelaksanaan transaksi secara berjangka (forward) seperti di bursa New York dan London. Harga fisik dan harga berjangka mempunyai hubungan saling mempengaruhi. Kedua harga tersebut cenderung memiliki pergerakan searah dengan fluktuasi yang tidak selalu sama, namun hal tersebut tidak selalu terjadi. Harga fisik merupakan acuan bagi harga berjangka, namun hal tersebut tidak selalu terjadi karena tidak semua harga berjangka bereaksi terhadap perubahan harga fisik. Sebaliknya harga berjangka merupakan sinyal harga masa depan untuk pasar fisik. Menurut wawancara yang dilakukan dengan ketua Askindo, mekanisme pembentukan harga biji kakao di Indonesia mengacu pada harga yang dibentuk dari pusat perdagangan komoditi kakao yang terletak di Makassar. Harga biji kakao di Makassar diduga diperoleh dengan mempertimbangkan harga yang terjadi di bursa perdagangan komoditi berjangka

New York Board of Trade (NYBOT) untuk komoditi biji kakao unfermented dan

London International Financial Futures Exchange (LIFFE) untuk komoditi biji kakao fermented.

Adanya globalisasi membuat suatu kejadian di dunia menjadi semakin terkait satu sama lain dan dapat cepat berpengaruh terhadap belahan dunia lainnya. Dampak globalisasi yang dirasakan dalam bidang ekonomi diikuti oleh adanya perdagangan bebas. Hal inilah yang menyebabkan bahwa harga biji kakao yang terjadi di pasar fisik Indonesia diduga tidak berdiri sendiri. Adapun hal lain yang diduga mempengaruhinya adalah harga kakao yang terfermentasi di pasar berjangka London dan juga harga kakao yang tidak terfermentasi di pasar berjangka New York. Kedua bursa ini diduga memberika pengaruh karena merupakan pusat perdagangan berjangka terbesar di dunia untuk komoditi kakao.

Hubungan harga biji kakao di berbagai pasar pada umumnya dapat menggunakan pendekatan model Vector Autoregression (VAR). Model VAR merupakan permodelan multivariate yang dapat menjelaskan hubungan dinamis

antar variabel yang diduga berhubungan. Hingga saat ini, permodelan VAR telah digunakan dalam berbagai penelitian untuk melihat bagaimana hubungan pergerakan harga yang terjadi di berbagai pasar. Permodelan VAR pada penelitian Hafizah (2009) digunakan untuk menganalisis integrasi pasar fisik crude palm oil

(CPO) di Indonesia dan Malaysia, serta pasar berjangka di Rotterdam. Permodelan VAR lainnya digunakan Fitrianti (2009) untuk menganalisis integrasi pasar karet alam di pasar fisik Indonesia dan pasar berjangka dunia. Selain itu, analisis mengenai transmisi harga teh hitam di Indonesia pun juga dapat menggunakan permodalan VAR seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Adinugroho (2011). Pada penelitian kali ini, permodelan VAR digunakan untuk menganalisis transmisi harga biji kakao di pasar spot Indonesia, pasar forward di London dan New York. Sehingga diharapkan melalui model VAR ini dapat terlihat hubungan harga komoditi biji kakao antara pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York, dan London yang mendekati keadaan sebenarnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan yang diangkat dari penelitian ini adalah :

1. Bagaimana volatilitas harga biji kakao di pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York dan London?

2. Bagaimana hubungan harga biji kakao di pasar fisik Indonesia terhadap harga di pasar berjangka New York dan London berdasarkan model VAR yang dibuat?

3. Bagaimana implikasi transmisi harga yang dapat diaplikasikan di Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) untuk meningkatkan posisi kakao Indonesia yang lebih baik di pasar dunia?

Dokumen terkait